Wednesday, February 27, 2008

amrozi ii

"TENG Sabin nandur kacang (ke sawah menanam kacang)," ujar Tarmiyem (70) berusaha tegar menghadapi apa yang menimpa Amrozi, anak kandung keenamnya. Pernyataan itu diungkapkan Tarmiyem setelah sepanjang hari ia dicari puluhan wartawan untuk dimintai komentarnya berkaitan dengan vonis mati yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, terhadap Amrozi, Kamis (7/8) kemarin.

Meskipun berusaha tegar menerima vonis mati majelis hakim, duka tidak bisa beranjak dari wajahnya yang mulai keriput karena usianya yang senja. Saat ditanya bagaimana perasaannya, sambil sesekali mengusap tangan Nurhasyim, suaminya, yang terbaring tidak berdaya karena sakit, Tarmiyem berujar, "Perasaan kulo mboten karuan (perasaan saya tidak karuan)."

Atas apa yang telah menimpa Amrozi dan akan menimpa dua anak kandungnya yang lain, yaitu Ali Gufron dan Ali Imron, terkait peledakan bom di Bali, Tarmiyem mengaku tidak dapat menerima kenyataan. "Ngantos sak niki, kulo mboten nerimo (sampai sekarang, saya tidak dapat menerima)," ujarnya dengan suara tertahan menahan duka dan isak tangis.

Tarmiyem mengaku ingin sekali dapat kembali berkumpul dengan delapan anak kandungnya, termasuk tiga anak laki-lakinya yang saat ini ditahan dan diadili di Bali. Keinginannya untuk berkumpul kembali itu muncul di tengah kesepiannya di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur.

Sehari-hari Tarmiyem hanya menyibukkan diri dengan pergi ke sawah merawat kacang atau jagung yang ditanamnya, untuk kemudian kembali merawat suaminya yang tergolek sakit tidak berdaya di lantai semen rumahnya yang sangat sederhana. Karena sudah terbiasa dengan pola hidup seperti itu, saat vonis mati dijatuhkan majelis hakim kepada Amrozi, Tarmiyem mengaku tidak menyempatkan diri duduk di depan pesawat televisi.

Selain tidak memiliki pesawat televisi di rumah kayunya yang mulai pudar catnya, Tarmiyem mengaku perasaannya bertambah tidak karuan jika menyaksikan anak kandung yang sangat dirindukannya duduk diadili di kursi persidangan. Mengobati rasa penasarannya, saat sejenak istirahat dari aktivitasnya di sawah, Tarmiyem pergi ke rumah anak keduanya, Afiah, untuk menonton sidang Amrozi.

"Cuma sebentar, setelah itu saya ke sawah dan kembali ke rumah merawat suami. Itulah pekerjaan saya sehari-hari," demikian komentar Tarmiyem menjawab pers, yang dituturkannya dalam bahasa Jawa halus.

KEGUNDAHAN hati atas apa yang terjadi pada Amrozi memang tepat terpotret dari apa yang dilakukan Tarmiyem sepanjang Kamis kemarin di Desa Tenggulun yang gersang karena kemarau yang mulai datang. Wajahnya terus memancarkan kedukaan.

Perasaan pasrah menerima kenyataan apa pun muncul dari saudara kandung Amrozi yang berada di desa itu. Saudara Amrozi itu adalah Alimah, Afiah, Khozin, dan JaÆfar Sodiq. Satu saudara kandung Amrozi, yaitu Amin Jabir, telah meninggal dunia beberapa tahun lalu.

Karena kepasrahan itu, sepanjang Kamis kemarin tidak satu pun anggota keluarga Amrozi yang tampak antusias menyaksikan secara langsung sidang yang digelar di Denpasar tersebut dan ditayangkan di televisi.

"Kami biasa-biasa saja. Sejak awal kami sudah menyerahkan sepenuhnya kepada aparat yang menangani kasus ini. Kami pasrah dan menyerahkan sepenuhnya kepada TPM (Tim Pengacara Muslim)," ujar Khozin yang menjadi juru bicara keluarga di rumahnya.

Khozin yang adalah guru agama di Sekolah Dasar (SD) Negeri Tenggulun menyempatkan diri pulang ke rumah karena kebetulan ada jam pelajaran yang kosong. Kalau ada acara lain di luar, saya tetap akan pergi dan meninggalkan siaran sidang ini," ujar Khozin sambil sesekali memalingkan pandang ke televisi di rumahnya.

Sikap pasrah atas apa pun yang akan menimpa Amrozi dikemukakan juga oleh JaÆfar Sodiq, pendiri Pondok Pesantren Al Islam yang cukup dekat dengan Amrozi. Sepanjang siang kemarin, JaÆfar sibuk membaca Al Quran di teras rumahnya yang berhadapan dengan rumah Khozin.

Di Pondok Pesantren Al Islam, tempat favorit Amrozi cangkruk (bermain), kegiatan belajar-mengajar berjalan seperti biasanya. Di Desa Tenggulun yang berpendukuk sekitar 2.600 orang pun tidak ada aktivitas berarti terkait dengan pembacaan vonis Amrozi. Warga desa yang sebagian besar pemudanya pergi merantau ke Malaysia ini sibuk dengan aktivitas harian mereka.

Kepada para santri Pondok Pesantren Al Islam yang kagum dengan Amrozi, yang dikenal cerdas dan ramah, pemimpin Al Islam Ustadz Zakaria memberi tahu bahwa kemarin dibacakan vonis atas Amrozi. "Kepada mereka, saya hanya meminta agar berdoa bagi Amrozi dan perjuangannya," papar Zakaria yang lulusan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo, Jawa Tengah.

Namun, di balik misteri yang masih menyelimuti vonis mati atas Amrozi, keluarga dan kerabatnya mengaku tetap akan pasrah karena keterbatasan mereka. "Kami memang tidak dapat menerima vonis mati atas Amrozi. Tetapi, hal itu tidak berarti bahwa kami akan aktif melakukan tindakan. Semoga semua yang telah terjadi membawa hikmah bagi keluarga kami, bagi bangsa Indonesia, dan bagi dunia internasional. Soal mati, itu urusan Allah SWT," ujar Khozin tegar.

inu

No comments: