Friday, February 29, 2008

soeharto

BAIK-baik sama rakyat! Begitu kerap ditegaskan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu dalam setiap kali bertemu dengan prajuritnya. Menurut dia, hanya dengan "baik- baik sama rakyat", TNI sebagai kekuatan pertahanan akan tetap eksis. Dengan "baik-baik sama rakyat", kemanunggalan TNI dengan rakyat terjaga.

RYAMIZARD sadar betul, dengan sejumlah kelemahan dan kekurangan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI AD, kedekatan dan kemanunggalan dengan rakyat merupakan kekuatan pertahanan paling andal. Sejarah membuktikan hal itu berulang-ulang sejak zaman penjajahan Belanda hingga upaya mempertahankan kemerdekaan dari sejumlah pemberontakan. Sejarah negara lain juga menegaskan hal itu.

Seruan "baik-baik sama rakyat" merupakan salah satu refleksi dan upaya perbaikan kesalahan masa lalu, khususnya pada masa rezim Soeharto berkuasa. Organisasi teritorial yang berfungsi menjaga kemanunggalan TNI dengan rakyat disalahgunakan rezim Soeharto untuk kepentingan politiknya.

"Oleh rakyat, organisasi teritorial pada masa lalu dirasakan bukan sebagai pelindung dan pendamping, tetapi sebagai penegak kekuasaan dengan menggunakan kekuatan senjata untuk memaksakan kehendaknya kepada masyarakat," ujar Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo pada peringatan wafatnya Jenderal Besar Soedirman beberapa waktu lalu.

Karena diabdikan untuk menyangga kekuasaan Soeharto, kekuatan pertahanan dan keamanan Indonesia yang pernah dinilai paling efektif dan bahkan paling kuat di Asia terus merosot kekuatannya. Terjadi kesalahan pandangan rezim Soeharto untuk tidak mengembangkan kemampuan profesional TNI.

"Rezim Soeharto lebih banyak menggunakan TNI untuk kepentingan politiknya sehingga faktor politik lebih banyak mempengaruhi cara berpikir sebagian besar korps perwira TNI. Malahan pernah terjadi kalangan Taruna Akademi Militer Magelang diliputi keinginan kuat menjadi bupati kepala daerah ketimbang menjadi komandan batalyon yang unggul di medan laga," ujarnya.

Kurangnya dorongan untuk membina TNI menjadi kekuatan militer profesional yang andal berakibat kurangnya usaha untuk melengkapi TNI dengan kemampuan keuangan, kurangnnya penghasilan, dan jaminan sosial. Hal ini dinilai merugikan TNI karena memaksa TNI menyelenggarakan bidang usaha sendiri untuk memperoleh kemampuan yang diperlukan. "Masalah percukongan yang membuat reputasi TNI cemar berawal dari sini," ungkap Sayidiman.

Menurut dia, semua penyelewengan yang membuat TNI terjerumus dengan kekuatan pertahanan dan keamanan yang sangat lemah ini disebabkan oleh rezim Soeharto. Ironisnya, menjelang masa pemerintahannya runtuh, Soeharto menggelari dirinya dengan pangkat Jenderal Besar (bintang lima) bersama-sama dengan Jenderal Soedirman, dan AH Nasution.

MESKIPUN dihujat hampir di setiap aksi unjuk rasa mahasiswa yang menggulirkan tuntutan reformasi pada tahun 1998 dan tahun-tahun berikutnya, TNI (waktu itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) bersyukur karenanya. Berkat tuntutan reformasi di tubuh ABRI yang antara lain desakan untuk menanggalkan doktrin dwifungsi dan pemisahan Kepolisian RI, TNI kini berbenah.

Secara bertahap sejak 1998, TNI mencanangkan pembenahan dan perombakan penyimpangan yang selama ini terjadi dan dibiarkan terjadi di dalam tubuhnya dengan label reformasi internal. Menurut Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, salah satu bagian yang ingin diwujudkan dalam reformasi internal TNI adalah ketegasannya untuk hengkang dari gelanggang politik dengan tetap netral pada Pemilu 2004.

"Tahun 2004 merupakan tahun terakhir TNI untuk memiliki wakil-wakil di DPR dan DPRD. Ini berarti TNI akan konsentrasi hanya di bidang pertahanan. Untuk itu, tahun 2004 sangat penting bagi TNI untuk menunjukkan kepada bangsa bahwa selama ini TNI memiliki tekad yang sungguh- sungguh untuk meninggalkan gelanggang politik praktis dan bukan hanya sebagai semboyan," ujarnya seusai Rapat Pimpinan TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.

Ketegasan kebijakan TNI untuk meninggalkan masa lalunya yang memperdaya dan membuat TNI terlena disambut gembira oleh prajurit yang sungguh-sungguh ingin profesional sebagai alat utama pertahanan negara. Namun, diakui oleh sejumlah prajurit, kebijakan yang seolah tanpa kompromi itu ditanggapi dengan bersunggut- sunggut atau menggerutu.

Yang bersunggut-sunggut adalah mereka yang menjalani pendidikan di akademi militer dengan keinginan kuat untuk nantinya menjadi kepala daerah, seperti bupati, wali kota, dan gubernur, ketimbang menjadi komandan batalyon. Melihat peluang ini, beberapa parpol diam-diam mendekati mereka dengan iming-iming sesuai harapan mereka.

Namun, Endriartono berkali-kali mengulang ketegasan sikap TNI untuk netral. Memberi gigi pada ketegasan sikap netral itu, perangkat yang bermuara pada pemberian sanksi kepada pelanggar disiapkan. Sosialisasi sampai hal-hal teknis ke jajaran terendah terus dilakukan. "Pasti ada pelanggar perintah Panglima TNI. Untuk itu, kami menyiapkan mekanisme penjerannya dengan sanksi hukuman penjara," ujar Komandan Polisi Militer Mayjen Sulaiman AB.

TAHUN 2004 merupakan persimpangan jalan bagi TNI yang sejak 1998 mencanangkan reformasi internal. Reformasi internal itu dicanangkan hingga 2010 dan terus dievaluasi dari tahun ke tahun. Tahun 2004 merupakan tahun pertaruhan bagi TNI. Ingin menjadi tentara profesional atau menjadi tentara yang mengabdikan moncong senapannya untuk menyangga kekuasaan.

Pengalaman 32 tahun berada dalam rangkulan kepentingan politik rezim Soeharto seharusnya sungguh-sungguh menyadarkan TNI untuk melakukan reformasi internal menjadi tentara yang profesional. Tantangan di bidang pertahanan dan keamanan pada masa mendatang terus meningkat.

Selain harus didukung kekuatan militer yang profesional dan teknologi militer yang makin maju, TNI harus selalu dekat hatinya pada rakyat. Tiga hal ini dirampas dari TNI ketika rezim Soeharto berkuasa. Betul memang ada perhatian yang intens dan luar biasa kepada Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Namun, kekuatan pertahanan dan keamanan yang andal tidak cukup hanya memberi perhatian luar biasa kepada Kopassus.

Kesadaran akan kebutuhan pembentukan tentara yang profesional membuat masing-masing angkatan berpikir keras untuk mewujudkannya. Masing-masing angkatan, baik TNI AD, TNI AL, dan TNI AU, telah menyusun blue print pertahanan setidaknya untuk sepuluh tahun ke depan.

Secara bertahap dan setelah dilihat urgensinya, kebutuhan akan peralatan untuk mendukung perwujudan profesionalitas TNI direspons pemerintah. Masing-masing angkatan akan segera memperbarui peralatan perangnya yang telah usang karena telah berusia puluhan tahun.

TNI AD, misalnya, telah mendapat persetujuan realisasi pengadaan skuadron helikopter angkut personel Mi-17 dan skuadron helikopter serbu Mi-35 buatan Rusia. Meskipun realisasi peralatan militer ini saat ini tersendat di Departemen Pertahanan, TNI AD optimistis keinginannya memiliki peralatan militer modern terwujud.

TNI AL demikian juga. Secara bertahap, keinginan untuk memiliki empat kapal jenis korvet buatan Belanda dan empat kapal jenis Landing Platform Deck (LPD) buatan Korea Selatan akan segera terwujud. Untuk efektivitas pemeliharaan dan pergerakan pasukan, Kepala Staf TNI AL Laksamana Bernard Kent Sondakh sedang memikirkan secara mendalam rencana penggabungan Armada RI Kawasan Timur (Armatim) dan Armada RI Kawasan Barat (Armabar).

Meskipun sempat mengundang kontroversi yang tidak produktif, TNI AU juga akan memiliki satu skuadron pesawat tempur jenis Sukhoi buatan Rusia. Anggaran untuk pengadaan Sukhoi telah disetujui pemerintah.

"Untuk pengadaan peralatan militer tersebut, saat ini tinggal mengisi DIP (daftar isian proyek) saja," ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Pertahanan Marsekal Pertama Abdul Aziz Manaf.

Adanya "mainan" baru dan terus ditingkatkannya kesejahteraan prajurit diharapkan mampu membuat TNI berjalan lurus menatap masa depannya sebagai tentara profesional. Tidak perlu menengok ke belakang selain untuk meneguhkan keinginan berjalan ke depan.

inu

No comments: