KERUSAKAN bangsa ini sudah hampir sempurna! Mendengar kalimat ini, orang langsung mengaitkan dengan Prof Dr Achmad Syafii Ma'arif (69).
Menggambarkan parahnya kerusakan bangsa, Syafii yang lahir di Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935, berujar: "Secara sederhana, tengok tiga departemen sebagai contoh. Departemen Kesehatan yang mengurusi fisik, Departemen Pendidikan Nasional yang mengurusi otak, dan Departemen Agama yang mengurusi mental-spiritual manusia Indonesia. Semua bermasalah dan parah. Kerusakan bangsa ini sudah hampir sempurna."
MENJADI pejabat Ketua PP Muhammadiyah ketika reformasi lahir tahun 1998 dan kemudian menjadi Ketua PP Muhammadiyah sejak 1999 sampai sekarang membuat Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini banyak mengambil peran dalam perjalanan bangsa.
Oleh banyak kalangan, sosok sederhana yang lantang berbicara ini ditempatkan sebagai salah satu penjaga proses transisi menuju demokrasi. Dengan terbuka dan ramah, pria berjenggot putih yang kerap bolak-balik Yogyakarta-Jakarta ini menerima Kompas di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Sabtu (7/2).
Sesaat sebelum wawancara, Syafii menerima kunjungan mantan Perdana Menteri Malaysia Dr Mahatir Mohamad yang mengunjungi sejumlah tokoh Indonesia.
Separah apa kerusakan bangsa ini?
Kalangan awam tidak bisa melihat kegentingan itu. Tetapi, untuk orang yang mengerti, bangsa ini sudah menjadi bangsa yang tidak bermartabat. Di forum-forum dunia, kita sudah tidak punya nyali. Kenapa? Karena negeri ini digerogoti korupsi, utang yang tinggi, dan jadi importir terbesar.
Martabat bangsa hancur, tanpa ada kebanggaan. Indonesia hanya mampu mengekspor TKI (tenaga kerja Indonesia) tanpa keahlian. Itu mempermalukan kita. Sekarang kita sulit mengatasi masalah kompleks ini. Mau diapakan? Di semua bidang, kerusakan bangsa hampir sempurna. Masuk sekolah bayar mahal. Mau jadi pegawai negeri, menyuap. Saya ngeri dengan kondisi bangsa ini. Tapi, bagaimanapun, kita tak bisa lari dari kenyataan ini. Inilah bangsa kita.
Di tengah kondisi ini, Anda mengambil posisi apa?
Saya memposisikan diri sebagai pelayan. Seperti ketika saya ada di Jakarta sekarang. Tamu terus datang. Mereka menumpahkan unek-unek. Saya memberi komentar. Mereka tenang, meskipun kadang saya tidak bisa memberikan solusi apa-apa. Dengan menjadi pelayan, saya berusaha mencerahkan masyarakat dan berjuang untuk membela bangsa. Mudah-mudahan saya tidak tergoda masuk ke dunia politik. Godaan itu ada, tetapi sudah saya tolak jauh-jauh hari.
Masyarakat umum membandingkan kondisi saat ini dengan Orde Baru dan ingin kembali...
Beberapa hasil survei memang menunjukkan keinginan itu. Rakyat kita umumnya merasakan keadaan sekarang tambah sulit. Mereka tidak terlalu peduli dengan demokrasi, penegakan hukum, atau HAM (hak asasi manusia). Yang mereka pedulikan adalah sembako (sembilan bahan pokok), lapangan kerja, dan keamanan. Tanya sopir-sopir angkutan itu. Kalau ada demo, mereka menderita. Itu riil di lapangan dan terpenuhi ketika Orde Baru.
Pemerintah sekarang tidak efektif. Seandainya pemerintah tidur nyenyak selama 24 jam, ekonomi akan tetap tumbuh seperti sekarang. Apalagi, kalau pemerintah bangun, berpikir terus, dan memberi fasilitas sehingga sektor riil ini berfungsi. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan. Pemerintah juga tidak pernah memiliki satu bahasa. Sementara petunjuk "ibu" juga tak kunjung datang.
Ini yang membuat krisis bangsa berlarut-larut?
Faktor utamanya adalah kegagalan kepemimpinan. Kerja sama Bung Karno dengan Bung Hatta tidak berlangsung lama. Bung Hatta tidak mencoba mendekati Bung Karno melalui pintu subkultur Jawa yang canggih dan kemudian berpisah. Usaha nation and character building itu gagal.
Saat ini, tidak ada pemimpin yang terlatih. Kebanyakan dari mereka adalah politisi instan. Akademisi yang terjun ke dunia politik miskin pengalaman lapangan. Mereka sarat teori, tetapi tidak mampu memadukan teori di buku dan kenyataan di lapangan yang jauh berbeda.
Krisis berlarut-larut karena tidak adanya kepemimpinan...
Ya. Presiden Soeharto itu luar biasa, punya kharisma, dan berhasil menyulap bangsa ini. Pertumbuhan ekonomi saat itu luar biasa. Tetapi, lalu disadari bahwa pencapaian itu semu karena disokong utang luar negeri. Fundamental ekonomi Indonesia tidak pernah kuat. Tetapi, jangan dilupakan jasanya.
Hukum kita juga sudah sangat parah. Memang, ada penegakan hukum bagi yang kecil-kecil. Tetapi, tidak ada penegakan hukum untuk kasus-kasus besar. Sebagai bangsa paling korup, tidak pernah ditahan siapa koruptornya. Bangsa ini asyik untuk ditonton.
Saat ini, kita hidup dalam kegalauan sistem nilai. Kita susah membedakan mana hitam, putih, merah, atau biru. Semuanya bercampur aduk. Dalam kehidupan politik, "penyakit" orang Arab menular ke sini.
Gambarannya begini, kalau ada dua orang Arab berjalan, maka tiga orang yang mau jadi pemimpin. Sekarang, banyak orang yang ingin jadi presiden. Pemimpin partai kecil juga ingin jadi presiden. Bahkan, ketiga anak Soekarno ingin jadi presiden. Rakyat kita tidak protes. Tenang saja karena sudah lelah, sudah lama menderita sehingga stamina spiritualnya terkuras. Kalau kegalauan sistem nilai ini terjadi terus, bangsa ini mungkin tidak cepat ambruk. Tetapi, risikonya, bangsa ini tidak punya martabat.
Indonesia bangsa besar. Kalau ada pemimpin yang kuat dan adil, bangsa ini masih bisa dibangun. Masih bisa! Bagaimanapun, di ujung lorong sana, masih tampak cahaya. Cahaya itu dapat diperbesar dengan lahirnya pemimpin yang mau berjibaku membela bangsa.
Bagaimana masa sulit ini diatasi dan diakhiri? Mencari pemimpin melalui pemilu. Jika 60 persen hasil Pemilu 2004 berkualitas baik, akan ada harapan perbaikan. Pemerintahan yang akan datang akan dikendalikan mereka-mereka yang tercerahkan, punya komitmen, dan visi jauh ke depan. Walaupun di kabinet ada juga orang-orang yang memiliki mental lama, tetapi mereka jangan diberi posisi penting. Begitu juga di legislatif. Kita berharap yang menjadi anggota DPR dan DPRD adalah orang-orang yang cerah dan wawasannya luas.
Sekarang banyak politisi yang visinya hanya sebatas halaman rumahnya. Bagi mereka, politik menjadi mata pencaharian. Proses demokratisasi berhadapan dengan orang-orang semacam itu. Tapi, proses ini harus kita lalui. Saya tidak setuju pendapat yang kelewat pesimis bahwa proses demokrasi harus melewati ratusan tahun.
Mungkinkah dipercepat...
Ya. Sangat mungkin, bahkan it's a must. Tetapi, itu tergantung hasil pemilu nanti. Kalau secara kualitatif berhasil menempatkan orang yang tercerahkan sebanyak 60 persen saja di kursi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tentu akan bagus. Pencapaian 60 persen itu penting untuk membangun bangsa yang carut-marut ini.
Saat ini tidak ada penegakan hukum. Aparat penegak hukum, polisi, hakim, jaksa, sampai pengacara tidak menampilkan sosok yang meyakinkan sebagai penegak hukum karena faktor uang. Di mana-mana, hukum bisa diperjualbelikan, jabatan bisa diperjualbelikan.
Upaya apa untuk mendapat 60 persen wakil rakyat yang berkualitas tadi?
Media massa baik cetak dan elektronik sangat berguna untuk memberi pendidikan politik kepada masyarakat secara terus-menerus. Itu harus ditekankan. Tentukan pilihan dengan cerdas.
Jika harapan 60 persen itu tidak tercapai, bagaimana?
Jangan disebarkan ketakutan pemilu gagal sehingga harus diantisipasi. Kita antisipasi saja. Jika pemilu benar-benar gagal, risikonya masa transisi berkepanjangan, kesabaran masyarakat habis. Jika begitu, akibatnya tak terbayangkan.
Mungkin akan lahir chaos. Kalau Pemilu 2004 gagal, bisa dibuat skenario lain. Tapi, jangan diumumkan. Kesalahan Susilo Bambang Yudhoyono adalah mengumumkan kemungkinan gagal. Saya sudah membantahnya secara keras. Negeri ini masih memiliki sisa-sisa kekayaan alam. Memang, hutan sudah gundul dan laut sudah diserobot, tetapi masih tersisa kekayaan. Ikan masih banyak. Tanah Air di sini sangat subur. Inilah surga dunia.
Untuk membangun bangsa yang betul-betul bermartabat, berdaulat, bangsa ini butuh kepemimpinan kuat, adil, dan punya visi yang jelas. Kalau partai-partai tidak bisa menawarkan, di luar partai masih banyak pemimpin. Tergantung rakyat yang akan memilih mereka.
Demokrasi memang melelahkan, lamban, dan penuh ketidakpastian. Meski bukan sistem politik yang ideal, demokrasi merupakan sistem terbaik di antara sistem yang buruk.
Bagaimana perjuangan lewat partai politik?
Karena kita memilih demokrasi, tidak ada jalan lain kecuali lewat partai politik. Tugas masyarakat mengkritik partai dan pemimpinnya. Masalahnya, politik kini dilihat sebagai mata pencaharian. Itu tak bisa disalahkan. Politik menjadi jalan pintas untuk memperbaiki asap dapur. Ini bukan rahasia lagi.
Jangan mereka yang terlalu miskin jadi politikus. Kalau miskin, politik akan dijadikan mata pencaharian. Mereka akan melakukan segala-galanya untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Kalau perlu dengan membajak Tuhan. Mereka berperang dalil untuk membenarkan proses pembajakan itu.
Politisi ideal itu seperti apa?
Boleh berlaku sambil menyelam minum air, tetapi idealisme untuk berjuang demi keutuhan bangsa jangan hilang. Kiblat geraknya harus ke sana. Bangsa ini harus dijaga karena sudah terancam. Disintegrasi terjadi secara politik dan sosial. Sedikit ada masalah, beberapa daerah terbakar. Karena itulah Pemilu 2004 menjadi sangat penting. Melalui pemilu, bangsa ini bisa diperbaiki. Kita membangun demokrasi lewat partai-partai. Lewat pemilu, pertai-partai mendapat legitimasi secara politik. Sayangnya, moral mereka makin merosot.
Apa peran civil society seperti Muhammadiyah?
Ya. Sekarang, orang berpaling pada kekuatan civil society, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan lembaga keagamaan lain untuk memperbaiki keadaan. Tetapi, kita juga memiliki batas. Kalau masuk politik praktis, kita menjadi partai politik. Banyak orang yang akan menghantam kita. Itu dilemanya. Di antara celah-celah yang sulit itulah, kita masuk dengan niat baik
Andaikata Pemilu 2004 ini menghasilkan 60 persen saja, harapan perbaikan akan terwujud. NU dan Muhammadiyah terus berusaha mendidik masyarakat untuk memilih wakil-wakil rakyat yang tercerahkan itu. Kita berjuang dari akar rumput. Kita bekerja dalam kapasitas masing-masing. Terus saja bergerak. Jangan diam. Berbuatlah, dalam batas kemampuan kita. Kalau bisa, berbuatlah semaksimal mungkin untuk kepentingan bangsa ini.
Cukup efektifkah gerakan moral ini?
Paling tidak kita terus menyuarakan penyakit bangsa dan bagaimana keadaan moralnya. Masyarakat berharap pada NU dan Muhammadiyah agar lebih berperan mendidik rakyat menjadi pemilih yang cerdas dan kritis. Kita berperan di situ. Kita sedang merumuskan sambil berlomba dengan hari yang mepet. Saya telah bertemu dengan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi. Mudah-mudahan kita tidak tergoda. Demokrasi memang melelahkan dan membutuhkan napas panjang. Yang penting jangan tinggal diam.
inu/iam
Friday, February 29, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment