Thursday, March 6, 2008

akhirnya sby

KAMIS pukul 13.00. Di tengah panas dan pekaknya telinga lantaran karnaval 24 partai politik peserta Pemilu 2004 di hampir seluruh jalan di Jakarta, sebuah dering suara layanan pesan singkat ke telepon seluler menjadi begitu menghibur. "Merapatlah ke Kantor Menko Polkam pukul 14.00. SBY akan beri pernyataan penting."

LAYANAN pesan singkat (SMS) itu ternyata dikirim secara berantai ke hampir semua wartawan yang biasa meliput kegiatan di Kementerian Politik dan Keamanan. SMS itu terasa menghibur karena telah selama dua minggu wartawan menunggu-nunggu pernyataan penting yang telah dikatakan berkali-kali akan disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Siang itu Yudhoyono menemui wartawan dengan wajah yang cukup tenang. Ia pun berupaya melempar senyumnya saat keluar dari Ruang Arjuna dengan membawa kacamata dan buku kerjanya. Ia juga tak lupa menyapa wartawan yang hadir.

Dengan mengenakan safari hitam, Yudhoyono yang masih terus melempar senyum kemudian melontarkan ucapan pertamanya, yakni agar wartawan memprihatinkan Pemilu 2004 ini.

Setelah mengenakan kacamata dan membuka buku kerja yang berisi tulisan tangannya, Yudhoyono mengambil sikap duduk tegap untuk kemudian membacakan keputusannya.

"Ini adalah konferensi pers pertama saya selaku Menko Polkam setelah dua minggu ini terjadi kemelut politik. Selama dua minggu ini, saya berusaha menahan diri untuk tidak memberikan pernyataan yang tidak perlu," ujar Yudhoyono.

MENGHADAPI kemelut politik yang membuatnya seolah-olah berhadap-hadapan dengan Presiden Megawati Soekarnoputri, Yudhoyono mengaku telah menempuh cara-cara yang elegan sesuai dengan etika berpolitik dan berorganisasi. Namun, lantaran mendengar pernyataan Sekretaris Negara Bambang Kesowo yang menyudutkannya dan kemudian menuduhnya emosional serta melankolis, Yudhoyono menyudahi untuk bertapa bisu.

Setelah menyampaikan pembelaan dirinya dan menolak dinyatakan bersalah atas langkah yang ditempuhnya dengan berkirim surat kepada Presiden Megawati, Yudhoyono menyatakan sikapnya untuk mundur dari Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati.

"Tanpa emosi..., dengan pertimbangan dan pemikiran mendalam, saya sudah mengirim surat kepada presiden untuk mohon izin mengundurkan diri dari kabinet," ujarnya.

Sejenak Yudhoyono terdiam menatap wartawan dan buku kerja berisi tulisan tangannya. Yudhoyono yang selama terjun ke dunia politik terkesan gamang, takut mengambil risiko, dan ragu-ragu itu akhirnya mengambil keputusan.

Yudhoyono mengaku sadar dengan penilaian sejumlah kalangan mengenai dirinya. Dalam kesempatan itu, purnawirawan jenderal ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada keberanian atau ketegasan mengambil keputusan. Menurut dia, masalahnya terletak pada diabaikannya persoalan dalam surat yang dikirimnya kepada Presiden Megawati, 8 Maret 2004 lalu.

Bagi Yudhoyono, untuk sekadar mundur dari kabinet sebagai Menko Polkam akan sangat mudah, tetapi dia menunggu dasar alasan yang kuat. Tidak elegan jika tiba-tiba ia mundur hanya untuk alasan praktis, sekadar memburu kekuasaan dalam Pemilu 2004.

Oleh karena itu, dengan alasan tidak lagi dipercaya sebagai Menko Polkam oleh presiden yang terlihat dari pemangkasan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya, Yudhoyono lantas memutuskan untuk mundur. Tetap dengan senyum, Yudhoyono lantas meninggalkan wartawan.

Dua minggu kemelut politik dengan Megawati yang dijawabnya dengan keputusan mundur dari kabinet tampaknya hanya pemanasan dari kemelut panjang dalam kancah perebutan kekuasaan.

Secara terbuka, Yudhoyono, yang makin populer lewat iklan pemilu damainya di televisi, konon membuat gerah "orang-orang Megawati dan mungkin Megawati sendiri".

"Sesuai dengan hak politik saya, jika nanti pada saatnya ada partai politik, katakanlah Partai Demokrat dan dengan gabungan partai lain yang mengusulkan saya sebagai calon presiden, insya Allah saya bersedia," ujar Yudhoyono, yang berarti ia siap bersaing dengan Megawati untuk merebut kursi kepresidenan di Pemilu 2004 ini.

MENGAMATI perjalanan karier Yudhoyono, memang tidak dapat dimungkiri bahwa ia ingin selalu tampak elegan baik dalam bertutur maupun bertindak. Paling tidak, sikap itu terlihat dalam tiga peristiwa penting yang melibatkan langsung pria kelahiran Pacitan 9 September 1949 tersebut.

Sikap ingin tampak elegan itu terlihat, misalnya, ketika mantan Kepala Staf Teritorial Markas Besar Tentara Nasional Indonesia itu tanggal 27 Januari 2000 memutuskan untuk pensiun lebih dini ketika menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid.

"... Saya sangat sadar, saya harus berjiwa kesatria, saya harus konsekuen dengan apa yang saya pikirkan. Sejak semula saya siap dipensiunkan meskipun saya lima tahun lebih cepat, saya siap," kata Yudhoyono yang waktu itu masih berpangkat letnan jenderal. Ia akhirnya pensiun dengan pangkat jenderal kehormatan.

Keinginan selalu terlihat elegan itu muncul lagi ketika ia menolak jabatan Menteri Perhubungan atau Menteri Dalam Negeri di masa Presiden Abdurrahman Wahid, ketika perombakan kabinet pada 1 Juni 2001.

"Jika Bapak Presiden mengganti saya (sebagai Menko Polsoskam-Red) karena rakyat dengan kuat mendesaknya agar saya diganti, maka keberadaan saya di kabinet (lagi) tentu akan mengurangi kredibilitas beliau dan mengurangi kepercayaan rakyat kepada pemerintah, kabinet, dan utamanya kepada presiden sendiri," kata Yudhoyono ketika itu.

Kini sikap ingin tampak elegan itu kembali diperlihatkan ketika kewenangannya sebagai Menko Polkam "dipangkas" oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Yudhoyono menilai wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya sebagai Menko Polkam sudah diambil oleh Megawati. Untuk itu, ia memilih mengundurkan diri dari kabinet melalui surat yang dikirimkan kepada Presiden Megawati. Akankah langkah tersebut mengantarkan Yudhoyono ke kursi puncak kepemimpinan nasional?

Perjalanan masih harus ditempuh, dan politik tidak selalu hitam putih. Megawati pernah merasakan bagaimana kemenangannya dalam Pemilu 1999 ternyata tidak otomatis mengantarnya duduk di kursi kepresidenan.

inu/bur

No comments: