Thursday, March 6, 2008

sipil...is

SETELAH enam bulan dibiarkan, kekosongan jabatan Menteri Pertahanan karena Matori Abdul Djalil terkena stroke kembali dibicarakan. Keinginan kuat untuk mengisi kekosongan jabatan itu dimaksudkan untuk mengantisipasi situasi darurat jika terjadi kekosongan kepemimpinan nasional seperti diamanatkan konstitusi.

TIDAK ada yang mengharapkan terjadinya kekosongan kepemimpinan nasional. Namun, melihat persiapan pelaksanaan Pemilihan Umum 2004 yang kian mengkhawatirkan, antisipasi untuk segala kemungkinan menjadi mutlak dilakukan. Karena itu, kekosongan jabatan Menteri Pertahanan (Menhan) menjadi penting untuk diisi.

Komisi I DPR yang membidangi masalah pertahanan pernah mendesak Presiden Megawati Soekarnoputri untuk
mengangkat Menhan ad interim (sementara waktu) atau mengangkat Menhan baru. Tetapi, desakan yang disampaikan akhir tahun 2003 itu diabaikan. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Marsekal Madya Suprihadi yang ditunjuk sebagai pelaksana harian Menhan mengatakan, Megawati enggan mengangkat Menhan ad interim atau Menhan baru lantaran alasan kemanusiaan.

Tidak jelas apa yang dimaksud alasan kemanusiaan. Tetapi, menurut tafsiran Suprihadi yang dipanggil Presiden bulan lalu, alasan kemanusiaan adalah rasa kasihan. Terlebih jika mengingat "utang budi" Megawati kepada Matori.

Mendengar alasan ini, anggota Komisi I DPR Arief Mudatzir Mandan mempertanyakan. "Masak persoalan negara diurus dengan rasa kasihan. Kita harus gunakan hak bertanya meminta penjelasan Presiden soal ini. Apa motivasi Presiden membiarkan jabatan penting ini terus kosong".

Rapat kerja yang semula hanya menyimpulkan untuk kembali mendesak penunjukan Menhan ad interim diubah untuk menggunakan hak bertanya kepada Presiden. "Sebagai rekan kerja Dephan, kami prihatin. Sejak jabatan Menhan dibiarkan kosong, kinerja dan wibawa Dephan terus merosot. Dephan kini seperti cabang Markas Besar TNI," ujar Wakil Ketua Komisi I DPR Effendy Choirie.

Mendengar desakan itu, Suprihadi dan jajarannya hanya terdiam. Meskipun berdasarkan perundang-undangan lebih memiliki kuasa, pejabat Dephan tidak berdaya bermitra dengan Mabes TNI. Jangankan membawahi, berdiri sejajar dengan Mabes TNI saja merasa tidak berani dan tidak punya nyali.

Pengakuan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto merefleksikan bagaimana gambaran posisi Dephan di mata Mabes TNI. "Buat saya, lebih enak tanpa Menhan. Dengan begitu, saya bisa memaki-maki pejabat Dephan. Saya bisa langsung mengobrak-abrik ketidakberesan di Dephan karena semuanya anak buah saya," ujar Endriartono sambil tertawa.

Ketiadaan Menhan dan kondisi psikologis pejabat Dephan sebagai bawahan Panglima TNI menurut Choirie sangat berbahaya. Supremasi sipil atas militer yang menjadi satu agenda reformasi tidak terwujud.

Anggota Komisi I DPR Chotibul Umam Wiranu menambah, Dephan yang ditugasi mengurusi masalah pertahanan negara malah menjadi departemen yang paling lemah. Chotibul mengusulkan agar pejabat Dephan yang"disusupkan" Mabes TNI melepas baju tentaranya dan mangajukan pensiun. Ini dinilai perlu untuk mengatasi hambatan psikologis sebagai bawahan.

TUMPANG tindihnya kewenangan Dephan dan Mabes TNI diakui Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Mayjen Sudrajat. "Masih ada nuansa kewenangan politik di Mabes TNI. Idealnya, TNI dilihat sebagai profesional yang melaksanakan keputusan politik. Tanggung jawab politik TNI harus dipikul Menhan," katanya.

Namun, Sudrajat membantah kesan Dephan adalah cabang Mabes TNI. "Kami yang kebetulan anggota TNI tetap memberikan loyalitas kepada Menhan. Sering kali muncul risiko tugas di mana kami sering bentrok, konflik, berlawanan, atau tidak sepaham dengan teman-teman di TNI," tegasnya.

Kesan Dephan sebagai cabang Mabes TNI tercermin dari pernyataan Endriartono soal kisruh pengadaan empat helikopter Mi-17 buatan Rusia. Uang muka 2,6 juta dollar AS yang diambil dari pemerintah tanpa bank garansi, sejak tahun lalu belum dibayarkan ke Rosoboronexport, produsen Mi-17.

Lantaran kesal dengan kelakuan "anak buahnya" di Dephan, Endriartono mendatangi dan mengamuk di Dephan. Pejabat Dephan yang bertanggung jawab dimarahinya dan diancam akan dipidanakan. Amukan dan ancaman Endriartono efektif. Usai mengamuk, entah dari mana diperoleh, uang muka pembelian Mi-17 dibayarkan ke pihak Rosoboronexport.

Kedatangan Endriartono untuk mengamuk itu dijelaskan Dephan sebagai berikut. Jumat, 13 Februari 2004, Sekjen Dephan Marsekal Madya Suprihadi meminta waktu menghadap Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto untuk menjelaskan hal-hal berkaitan dengan Mi-17. Namun, dalam pelaksanaannya, Panglima TNI datang menemui Sekjen Dephan di Kantor Dephan.

Tidak jelas lantaran kemarahan Endriartono atau bukan, Sekjen Dephan dan Dirjen Rensishan Mas Widjaja lantas menyampaikan bahwa Dephan telah mengambil langkah untuk menyelesaikan masalah pengadaan Mi-17 dengan menunjukkan surat kesanggupan Andy Kosasih sebagai perwakilan Swift Air di Jakarta untuk membereskan bank garansi.

KEENGGANAN Mabes TNI untuk tunduk kepada Dephan memang beralasan melihat kasus kisruhnya proses pengadaan Mi-17. Lebih dalam dari sekadar alasan emosional, Sudrajat mengakui, kedudukan Panglima TNI di bawah Presiden seperti diatur Tap MPR No VII/2000 membuat Mabes TNI merasa berkedudukan sejajar dengan Dephan.

"Tap MPR No VII/2000 yang mengatakan Panglima TNI di bawah Presiden, Menhan di bawah Presiden, dan Kepala Polri di bawah Presiden, memunculkan multi interpretasi. Walaupun dalam UU No 3/2002 disebutkan di bawah Presiden dalam konteks penggunaan kekuatan, tetapi orang dapat juga menjabarkan hal itu dalam konteks administrasi. Kita perlu duduk dan menata kembali bagaimana manajemen pertahanan dan keamanan" ujarnya.

Usulan Sudrajat dirasa mendesak juga oleh pengamat militer Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Edy Prasetyono."Banyak kalangan memahami secara keliru soal pengkajian ulang itu dengan wacana penggabungan kembali TNI dengan Polri. Kaji ulang bertujuan membuat instrumen hukum kuat bagi TNI dan Polri dan hubungannya dengan institusi sipil yang menjadi atasannya," jelasnya.

Mengenai dominannya peran Mabes TNI, menurut Edy lantaran secara institusional Dephan bertahun-tahun berada dalam cengkeraman Mabes TNI dengan rangkap jabatan Panglima TNI (ABRI) dan Menhan. Di tambah, secara politik, TNI memang dominan perannya di masa lalu. "Dalam waktu singkat, Dephan tidak siap menjadi representasi supremasi sipil atas militer," ujar Edy.

Pertanyaan, kapan Dephan sanggup menunjukkan supremasi sipilnya harus dimulai dengan menjawab pertanyaan kapan jabatan Menhan yang kosong sejak 27 Agustus 2003 diisi. Dengan membiarkan jabatan itu kosong, Mabes TNI dengan mudah akan kembali mengobrak-abrik Dephan. Setelah jabatan teramat penting itu diisi, baru dipikir manajemen pertahanan dan keamanan dengan mengkaji ulang Tap MPR No VI dan VII Tahun 2000 dan UU No 3/2000.

Adanya Menhan yang secara perundang-undangan berkedudukan lebih tinggi, membuat Panglima TNI berpikir ulang untuk menerobos masuk dan mengobrak-abrik Dephan meski dengan alasan kekesalan dan ketidakberesan di dalamnya.

"Penunjukan Menhan merupakan hak sepenuhnya Presiden. Namun, untuk mereka yang memahami esensi pembentukan sebuah negara yang mengharapkan jaminan keamanan, jabatan Menhan terlalu penting untuk dibiarkan kosong terlalu lama," ujar Edy.

inu

No comments: