TRANSISI menuju demokrasi yang sedang kita jalani selama lima tahun belakangan ini, selain menumbuhkan harapan akan perubahan, juga menyuburkan kecemasan akan potensi kegagalannya. Ketika kita sepakat melakukan reformasi, sebetulnya kita ingin berpindah secara kualitatif dari satu orde yang korup, otoriter, dan antidemokrasi menuju orde yang bersih dan demokratis.
Namun, kita kini menyadari apa yang kita sebut sebagai reformasi bukanlah perpindahan kualitatif seperti yang diharapkan. Bahkan sejumlah kalangan mengatakan, selama lima tahun terakhir ini tidak ada orde dalam arti tatanan yang lebih baik. Yang ada adalah bablasan atau kelanjutan orde sebelumnya. Inilah awal dari seluruh kecemasan kita.
Karena, yang terjadi selama reformasi bukanlah perpindahan secara kualitatif dan lebih merupakan kelanjutan orde sebelumnya. Kebebasan dalam bentuk terbukanya ruang politik melalui Pemilu 2004 itu dinikmati juga oleh mereka yang selama ini kerjanya "merampok" negara juga dinikmati kaum oportunis.
KITA saksikan eforia politik berlebihan yang muncul setelah tumbangnya Soeharto melemahkan civil society yang sebelumnya bersatu. Kini kebebasan politik yang muncul pada masa transisi demokrasi justru telah melemahkan civil society dan juga aktor di dalamnya.
Saat rezim otoriter Orde Baru tumbang dengan lengsernya Soeharto, fokus kehidupan politik bergeser dari perjuangan menjadi tindakan terpencar dan sendiri-sendiri. Tanpa bisa dihindari, gerakan demokratisasi yang mendasarkan diri pada isu tunggal anti-otoritarianisme dengan sendirinya kehilangan keutamaan dan menjadi redup setelah musuh bersama itu tumbang.
Pada saat yang sama, banyak kalangan lantas memutar haluan. Kepentingan dan pertimbangan keuntungan pribadi lebih mengemuka daripada memikirkan memajukan demokrasi. Masa depan cerah masa transisi menuju demokrasi segera luntur, dan front koalisi besar civil society yang semula bersatu menentang kekuasaan otoriter porak poranda.
Civil society semakin lemah ditinggalkan sebagian besar pendukungnya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa mewujudkan demokrasi lebih efektif dengan cara menjadi partisan partai politik atau birokrat daripada menjadi kekuatan oposisi yang bersatu di luar panggung. Nilai demokrasi kini pindah dari civil society ke panggung politik dan diperebutkan politisi yang semula bersama-sama mengusung proses demokratisasi. Latar belakang dan identitas komunal kembali menjadi ikatan untuk perebutan nilai demokrasi yang diartikan tidak lebih dari kekuasaan dan uang.
Identitas komunal memang tidak pernah lepas mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Sah-sah saja mereka menghidupi latar belakang identitas komunal tertentu mengukuhkan identitas komunalnya melalui institusi politik untuk alasan mulia memajukan demokrasi. Namun, dalam sejarahnya, identitas komunal menjadi kekuatan yang merusak kebebasan ketika dipaksakan kehadirannya. Demokrasi terpimpin dengan jargon nasionalis, agama, dan komunis terbukti telah menjadi perusak kebebasan.
Identitas komunal yang seharusnya muncul dari masyarakat menjadi unsur perusak ketika sistem (negara) menjadi faktor utama yang memaksa. Ketika 32 tahun Orde Baru dan Soeharto berkuasa, identitas komunal secara sistematis subur ditumbuhkan dalam upaya mempertahankan kekuasaannya. Pada masa itu, negara menjadi kekuatan perusak dan pembiadab terbesar karena dibangun dalam sistem yang salah dan dijalankan oleh orang yang salah secara salah.
Sebenarnya, negara berpotensi menjadi kekuatan pemberadab terbesar, yaitu jika dibangun dalam sistem yang benar dan dijalankan oleh orang-orang benar secara benar. Kita sepakat, terlepas dari kelelahan dan ketidakpastian, sistem demokrasi tetaplah menjadi sistem terbaik untuk membangun negara sebagai kekuatan pemberadab. Demokrasi dapat dirumuskan sebagai sistem politik yang tegak di atas prinsip kedaulatan rakyat dan dijalankan melalui rasionalitas politik saling kontrol di antara tiga pilarnya, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Namun, pemaknaan secara sosiologis mengenai demokrasi perlu ditekankan agar tidak terjebak pada pemaknaan yang sempit. Secara sosiologis, demokrasi dapat dimaknai sebagai proses politik yang bukan hanya bertumpu pada kedaulatan rakyat, tetapi bertumpu pada keadilan dan upaya transformatif.
Kalau hanya dimaknai sebagai kedaulatan rakyat, terlebih secara sempit, seperti yang kita lihat saat ini, mereka yang berkutat dalam dunia politik hanya bicara soal nomor urut. Oleh mereka, pemilu hanya dilihat sebagai sarana mencapai uang dan kekuasaan, bukan sebagai sarana membentuk masyarakat yang berkeadilan sosial dan transformatif.
Dalam arti ini, peran negara tidaklah dominan, tetapi sebatas sebagai penjamin adanya kesetaraan dan keadilan politik bagi setiap warga negara tanpa memandang suku, ras, dan agama, atau dengan kata lain inklusif.
POLITIK asumsinya adalah sekular. Tidak ada kebenaran yang dibekukan, dibakukan, atau dipermanenkan. Kebenaran yang telah disepakati bersama secara periodik lima tahunan diadu lagi untuk kemudian dicari dan ditemukan untuk dihidupi bersama. Politik adalah sekular, bukan dalam arti anti-agama, tetapi dalam arti semua orang punya kesempatan, setiap klaim kebenaran punya ruang untuk kemudian naik dan muncul mewarnai. Ada kontestasi di situ.
Karenanya, adalah sah mereka, yang semula bersatu dalam nama civil society dan kini terserak dan kerap berlawanan atas nama perebutan kekuasaan, berdiri dalam identitas komunal yang lebih memberi rasa aman di tengah kecemasan dan ketidakpastian transisi. Pluralisme adalah tuntutan demokrasi. Namun, dimungkinkannya kebenaran yang beragam hidup dalam demokrasi dengan membuat representatif politik atasnya secara vertikal atas dasar apa saja tidak cukup untuk menyatakan adanya pluralisme.
Pluralisme dapat muncul jika dimungkinkan adanya overlapping consensus. Menurut John Rawls, overlapping consensus adalah kesepakatan yang saling meliputi tentang prinsip-prinsip keadilan yang mendasari penataan kehidupan masyarakat yang adil (Rawls, John, 1993, Political Liberalism).
Munculnya partai politik dengan dasar identitas komunal bukan jaminan adanya pluralisme dalam demokrasi. Pluralisme sejati dalam demokrasi muncul ketika seseorang atau sebuah komunitas dapat keluar dari identitas komunalnya untuk mengakui dan mengikuti kebenaran yang ada di luar kebenaran komunalnya karena telah teruji secara rasional lintas subyek dan komunitas (intersubyektif).
Di Indonesia yang sangat pluralistis, situasi overlapping consensus belum sungguh-sungguh terjadi. Untuk mewujudkan demokrasi di tengah pluralisme identitas komunal dengan klaim kebenaran masing-masing, situasi overlapping consensus harus tumbuh dengan adanya jaminan hukum dan rasa aman saat seseorang dan komunitas berada di luar identitas komunalnya.
Secara primitif, rasa aman memang diberikan komunitas atas dasar identitas komunal. Akan tetapi, dalam negara modern, rasa aman sejatinya harus ditumbuhkan dan diberikan melalui hukum dan perangkatnya. Namun, kesulitannya, kadang kala dan kerap kali kita enggan dan ragu untuk keluar dari mentalitas komunal yang memberi rasa aman dan perlindungan secara primitif.
inu
Thursday, March 6, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment