Wednesday, March 12, 2008

cendekiawan capres

PEMILIHAN UMUM (Pemilu) 2004 tak cuma mampu menggerakkan roda perekonomian rakyat dengan kreasi mereka menciptakan kaus, topi, atau berbagai suvenir, tetapi juga sebagai lapangan pekerjaan baru. Terbukti, banyak orang-orang yang berbondong-bondong ingin menjadi tim kampanye atau tim sukses. Terlepas dari apa latarbelakang maupun profesi mereka.

Salah satu kelompok yang juga mewarnai dinamika pemilu, terlebih pemilu presiden mendatang adalah kelompok cendekiawan. Mereka tak cuma beramai-ramai muncul di media massa, baik media cetak, radio, maupun televisi dengan berbagai tulisan, analisa, ulasan, hingga presentasi hasil polling atau survei mereka, tetapi mereka juga ramai-ramai menjadi tim kampanye ataupun tim sukses capres-calon wapres tertentu.

Ibarat musim bunga, centang perenang nama-nama para cendekiawan ini ada di balik para capres-cawapres. Sebutlah sejumlah nama cendekiawan yang tercantum sebagai tim kampanye PDI-P, seperti Sonny Keraf (mantan Menteri Lingkungan Hidup dan pengajar di Universitas Atmajaya). Di kubu Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dicantumkan nama Marwan Mas (dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin), S Budhisantoso (dosen UI), Irzan Tandjung, Musa Asyarie, dan Astrid Susanto.

Di kubu Wiranto-Salahuddin Wahid tercantum nama Happy Bone Zulkarnaen, Mahfud MD, dan Soleh Salahuddin. Di kubu Hamzah Haz-Agum Gumelar, cendekiawan yang menjadi tim kampanye pasangan ini adalah Qomari Anwar dan Laode M Kamaluddin. Di kubu Amien Rais-Siswono Yudo Husodo tercantum nama Syafii Maarif, Abdul Munir Mulkan, Ahmad Watik Pratiknya, Dawam Raharjo, Muhammad Surya, Muslimin Nasution, Yahya Muhaimin, Bambang Sudibyo, Rizal Sukma, Didiek J Rachbini, dan Drajad Wibowo.

Alasan mereka pun beragam. Ada yang merasa lelah mengkritik tetapi tidak pernah didengar pemerintah sehingga memutuskan mereka harus masuk ke dalam sistem, namun ada pula yang sama sekali tidak tahu menahu namun namanya "dicatut" jadi tim sukses.

Salah satunya, Marwan Mas. Ia mengatakan terkejut ketika suatu hari surat keputusan (SK) KPU sampai di rumahnya. "Saya sama sekali tidak tahu, kok tiba-tiba nama saya dicantumkan dalam tim kampanye. Saya tidak setuju, intelektual mendukung capres tertentu. Kalau sudah begitu, dia tidak bisa netral lagi," kata Marwan.

Lain cerita Rizal Sukma dan Drajad Wibowo. Drajad Wibowo yang selama ini dikenal sebagai pengamat ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menjelaskan alasan ia masuk ke politik. "Alasannya, dua tahun yang lalu saya memang telah diajak bergabung oleh partai-partai lain, tetapi ketika itu saya masih memilih jalur profesional. Namun berbagai kasus, kejadian, upaya saya untuk menyuarakan apa yang saya yakini ternyata tidak juga didengar, akhirnya saya memutuskan untuk masuk ke dalam. Sekarang saya sudah terpilih sebagai calon anggota DPR, saya berharap dengan berada di dalam saya bisa berbuat lebih besar," jelas Drajad.

Rizal Sukma, peneliti dari CSIS, menjelaskan, alasannya mendukung Amien Rais karena sebagai warga Muhammadiyah ia ingin mendukung kader Muhammadiyah yang baik untuk memimpin negeri ini. Ia meyakini, Amien Rais cukup layak dan mampu membenahi persoalan bangsa Indonesia. Berbeda dengan Drajad, Rizal Sukma tidak menjadi calon legislatif, ia hanya menjadi bagian dari tim sukses Amien Rais dengan memberi masukan baik berupa desain politik maupun politik pertahanan. Kedua bidang yang merupakan kepiawaian Rizal Sukma. "Ini prosesnya temporer, cuma sampai Oktober. Setelah itu, saya bisa berkonsentrasi pada penelitian yang akan saya lakukan," jelas Rizal Sukma.

Berbeda dengan tim kampanye yang secara terang-terangan mencantumkan nama, di sekeliling para capres-cawapres ini juga bertebaran cendekiawan yang menjadi tim sukses. Nama-nama mereka, entah disengaja atau tidak, tidak muncul ke permukaan. Bahkan cenderung "disembunyikan", namun wajah-wajah mereka kerap tampil mendampingi para capres ataupun kerap berkunjung ke rumah para capres. Di sisi lain, mereka masih aktif tampil dalam acara diskusi atau dialog di media massa, menganalisis politik.

Rizal Mallarangeng, Direktur Freedom Institute, memang namanya tak tercantum sebagai anggota tim sukses. Hanya rumor yang berkembang bahwa nama Rizal masuk sebagai anggota Mega Center, tim sukses Megawati. Akan tetapi, dalam kunjungan Megawati ke daerah-daerah, Rizal termasuk salah satu orang yang ikut serta mendampingi, di samping Wakil Sekjen PDI-P Pramono Anung.

Sebagai contoh, dalam kunjungan Presiden Megawati ke Riau dan Batam, 25 Mei lalu, Rizal Mallarangeng ikut serta dalam rombongan. Ketika sampai di lokasi Base Ops Halim Perdana Kusuma, Rizal melontarkan idenya untuk membentuk embedded journalist (wartawan yang menempel terus dalam kunjungan) Megawati daklam kunjungan ke daerah selama satu bulan.

Namun ketika dikonfirmasi soal posisinya, Rizal mengaku bahwa ia hanyalah sebatas teman yang membantu sahabatnya. Sebab ia sudah mengenal lama Taufik Kiemas dan Megawati. "Saya kenal dengan Mbak Megawati dan Taufik Kiemas sudah sejak lama. Jadi bukan hal yang baru. Saya ini bukan tim sukses, saya cuma sahabat saja," tegas Rizal.

Nama-nama lain yang juga disebut-sebut masuk dalam tim Mega Center, Daniel Sparingga (pengamat politik Universitas Airlangga), Hotman M Siahaan (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga), dan Sri Adiningsih (pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada). Ketiganya membantah sebagai anggota dari tim Mega Center. Sri Adiningsih secara tegas mengatakan dirinya bukan bagian dari tim sukses Mega atau bergabung dalam Mega Center.

"Saya ini hanya masuk dalam tim Keppres 12 Tahun 2004 yang sedang menggodok working group Indonesia-Jepang. Saya sama sekali tidak masuk dalam tim Mega Center," tegas Sri Adiningsih.

Hal yang sama juga diungkapkan Daniel Sparingga dan Hotman Siahaan saat dikonfirmasi. Daniel secara tegas mengatakan, "Tidak. Saya tidak terlibat dalam salah satu tim sukses capres atau cawapres. Saya tetap independen sebagai pengamat politik dan tetap selalu menjaga jarak dengan kepentingan politik atau kandidat manapun. Pencatutan nama saya dalam tim sukses tersebut telah merugikan saya karena saya memang tidak terlibat di dalamnya," ujarnya.

Hotman M Siahaan juga membantah anggapan sejumlah kalangan yang menyebutkan dirinya terlibat dalam Mega Center untuk kepentingan politik pasangan Megawati-Hasyim. "Saya tidak ikut-ikut dalam tim sukses capres mana pun. Adalah pilihan pribadi saya untuk tetap menjadi penonton saja karena akan menjadi lebih bebas dan fair dalam mengamati dan menganalisa. Selain itu, sebagai pegawai negeri yang ingin tetap menjadi pegawai negeri, saya tidak diperbolehkan ikut dalam tim sukses capres," ujar Hotman.

Untuk para cedekiawan yang saat ini terlibat dalam tim sukses capres, Hotman meminta agar komitmen untuk tidak mengkhianati rakyat dan mencederai demokrasi yang sedang bersama-sama diupayakan tetap dipertahankan.

Tudingan berada di balik capres tertentu juga dialami oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI). Mulai dari tudingan berada di balik capres Susilo Bambang Yudhoyono hingga polemik soal uang sebesar Rp 250 juta yang dilaporkan oleh pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Direktur Riset LSI Muhammad Qodari mengatakan bahwa konsep harus memiliki kaki. Oleh karena itu, aktivitas LSI secara kelembagaan adalah melakukan jajak pendapat, untuk menggali opini publik yang berguna bagi pembuatan kebijakan. Khusus untuk survei pemilih mengenai partai politik dan calon presiden, Qodari mengatakan bahwa hasil survei LSI tak hanya sebatas informasi pendapat masyarakat soal parpol ataupun capres tertentu, tetapi juga pesan-pesan publik terhadap elite politik. LSI secara tegas mengatakan data yang disajikan kepada publik adalah hasil temuan di lapangan.

Namun Qodari mengakui, di dalam internal LSI terdapat komitmen adanya pengakuan atas hak warga negara untuk bersikap secara politik. Bentuknya, meski tidak secara formal masuk parpol tertentu tetapi tidak menutup kemungkinan bagi peneliti maupun staf LSI untuk bersimpati pada partai politik atau capres tertentu. "Kami punya aturan di LSI, kode etik yakni mereka yang bekerja di LSI tidak boleh menjadi pengurus partai politik, tetapi menjadi anggota partai politik diperbolehkan," kata Qodari.

Ia menambahkan, memang secara kelembagaan, LSI agak kedodoran. Antisipasi atas perkembangan dinamika politik yang demikian tinggi tidak pernah terpikirkan ketika lembaga survei ini terbentuk.

"Kami sibuk dengan produk-produk LSI, sehingga kemarin rumusan aturan main belum diperluas. Kami mungkin dalam waktu dekat akan memperluas aturan hingga mencantumkan apakah boleh menjadi bagian tim sukses capres tertentu ataukah tidak," kata Qodari.

Persoalan lain yang muncul, kata Qodari, adalah soal dana dari Partai Golkar kepada LSI untuk melakukan jajak pendapat pertengahan Mei lalu. Di dalam kegiatannya, LSI melakukan dua hal, pertama jajak pendapat publik yang dibiayai JICA dan dedicated survey yang dibuat untuk melayani klien-klien privat, seperti Partai Golkar. Dedicated survey ini harus dilakukan LSI karena lembaga ini dalam waktu empat tahun harus menunjukkan peningkatan pendapatan dan empat tahun kemudian akan disapih oleh JICA.

"Kami tidak tahu itu akan dilaporkan ke KPU. Kalau orang melihat seolah-olah survei kami selama ini dibiayai, tetapi dalam kegiatan LSI ada dua kegiatan yang berbeda," kata Qodari. Ia mengatakan, hasil jajak pendapat dan analisa LSI untuk publik bisa dikatakan mendekati akurat. Namun hal itu salah diartikan oleh partai-partai politik. Misalnya saja ketika Megawati memperoleh suara signifikan, LSI dituding mendukung Megawati.

"Tudingan itu muncul, seolah-olah Denny JA mau cari muka terhadap Megawati, hanya karena melihat Mas Denny itu dekat dengan Taufik Kiemas. Begitu pula dengan meningkatnya perolehan suara Yudhoyono. Tetapi saya mau menegaskan bahwa LSI itu independen," jelas Qodari.

PERSOALAN masuknya cendekiawan ke dalam pusaran kekuasaan memang selalu menimbulkan kontroversi. Kelompok yang satu mengatakan hal itu adalah sebuah pengkhianatan terhadap ilmu, kelompok yang lain mengatakan hal itu untuk membumikan ilmu.

Julien Benda secara tegas dalam bukunya "La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Intelektual)" yang diluncurkan tahun 1927 menolak masuknya cendekiawan ke dalam pusaran kekuasaan.

Benda secara tegas menolak bahwa seorang intelektual harus berpihak. Ia menegaskan, cendekiawan sejati adalah orang yang kegiatannya tidak mengejar tujuan praktis, dan menolak gairah politik serta komersialisasi.

Antonio Gramsci dalam The Gramsci Reader (2000) memberi istilah organik kepada cendekiawan. Para cendekiawan dapat mengambil kelompok masyarakat sebagai obyek kepentingan politiknya, merekonstruksi kelas itu sesuai dengan kebutuhan agar memperoleh pengakuan dan identitas.

Masuknya kalangan cendekiawan ke dalam pusaran politik dan kekuasaan memang bukan hal baru, jauh-jauh hari, fenomena ini sudah muncul pada rezim Soekarno ataupun era "Orde Baru" Soeharto.

Pada era Orde Baru secara sistematis ilmu-ilmu sosial telah dilemahkan. Ilmuwan hanya menjadi teknisi, dan penelitian yang dilakukan sudah menurun derajatnya hanya menjadi penelitian pesanan.

Mengutip tulisan M Fadjroel Rachman dalam artikelnya "Pengkhianatan Cendekiawan" di harian ini, Selasa (25/5), "Ilmu pengetahuan bukanlah tempat bersembunyi bagi pengecut dan oportunistis."

inu

No comments: