Seusai undian nomor urut pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Minggu (23/5) malam, para capres dan cawapres diminta memverifikasi nama mereka. Ejaan, gelar, dan pangkat mereka pun diperiksa.
Ada yang sedikit "aneh" ketika itu. Mereka yang pensiunan tentara ternyata meminta pangkat mereka tidak dicantumkan. Maka jadilah nama Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Agum Gumelar pun tanpa "jenderal (purn)", tetapi gelar-gelar lainnya dipasang dari gelar H (haji), Ir, Drs hingga SIP atau Prof.
Tidak jelas benar mengapa para pensiunan jenderal itu ogah mencantumkan pangkatnya. Padahal biarpun sudah pensiun, orang biasanya masih bangga dengan pangkatnya itu walaupun diembeli kata "purn" dalam tanda kurung, yang artinya purnawirawan alias pensiunan tentara.
Boleh jadi mereka sudah sadar bahwa mereka sudah pensiun, sekarang sudah menjadi warga sipil, sehingga tidak perlu lagi membawa-bawa pangkat dalam kehidupan kesehariannya. Atau, bisa juga mungkin, mereka agak enggan mencantumkan pangkatnya di tengah isu kekhawatiran kembalinya militerisme dalam kehidupan politik Indonesia. Setidaknya masih banyak pendapat bahwa seolah-olah jika capres dari militer-ya para jenderal itu-berkuasa, maka Indonesia akan kembali menjadi militeristik.
Namun terlepas dari lepas pangkat itu, sejarah panjang militer Indonesia dalam perpolitikan Indonesia sudah terlalu panjang. Orde Baru "berhasil" menebar mereka di segala posisi, dari wali kota, bupati, gubernur, hingga pengurus olah-raga!
Beberapa diakui kepiawaiannya menerapkan "manajemen militer" yang rapi, tegas, disiplin dan teratur dalam kehidupan sipil. Setidaknya ilmu dan taktik perang mereka dianggap juga bisa diterapkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan keseharian. Namun lainnya, juga banyak mendapat kritikan pedas karena menerapkan sistem komando dan main perintah seringkali tidak cocok dengan kehidupan sipil yang demokratis.
Turunnya Jenderal Besar TNI (Purn) Soeharto dalam pemerintahan di Indonesia tidak serta-merta meluluhlantakkan sendi-sendi militerisme dalam sistem politik Indonesia. Meskipun militer berhasil digiring keluar dari parlemen, dorongan untuk memiliki kekuatan seperti militer tampaknya masih sangat kuat mempengaruhi partai politik di Indonesia.
Sejumlah kalangan mengkhawatirkan munculnya kembali militerisme dalam kehidupan perpolitikan kita. Namun kalangan lainnya juga mengkritik sipil yang masih kedodoran mengelola berbagai persoalan.
DI tengah kontroversi militerisme semacam itu, nama-nama para jenderal-walaupun sudah pensiun-ternyata masih tetap tersebar di antara tim kampanye pasangan calon presiden-wakil presiden.
Sebut saja mantan Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen (Purn) Moh Ma'ruf yang menjadi Ketua Tim Nasional Kampanye Capres Yudhoyono-Jusuf Kalla. Tim sukses Yudhoyono- Kalla memang diperkuat sedikitnya delapan jenderal purnawirawan, dua mantan panglima ABRI/TNI duduk dengan jabatan sebagai dewan pengarah kampanye. Mereka adalah Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Jenderal (Purn) Edi Sudradjad dan Laksamana (Purn) Widodo AS. Di jajaran dewan pengarah, terdapat juga Mayjen (Purn) Evert Erenst Mangindaan yang mantan Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) VIII-Trikora dan Gubernur Sulawesi Utara. Salah satu sekretaris tim Ma'ruf adalah Mayjen (Purn) Samsoedin. Selain itu juga masih ada Mayjen (Purn) Djali Yusuf, mantan Panglima Kodam Iskandar Muda; Ketua Badan Pemenangan Pemilu Marsma (Purn) Suratto Siswodihardjo.
Demikian juga Partai Golkar. Walaupun Ketua Panitia Kampanye Partai Golkar dipercayakan kepada Slamet Effendi Yusuf, partai yang menjagokan capres-cawapres Wiranto-Salahuddin Wahid ini menempatkan mantan Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fahrul Razy sebagai wakil Slamet dengan sekretarisnya Mayjen TNI (Purn) Affandi. Selain mereka, tercatat juga Letjen TNI (Purn) Suaidi Marasabessy yang menjadi Koordinator Bidang Perencanaan, Konsepsi, dan Evaluasi; Mayjen TNI (Purn) Tulus Sihombing (Direktur Informasi, Organisasi Gabungan, Kepala Bagian Kontra Isu); Mayjen TNI (Purn) Sonny Sumarsono (Wakil Kepala Bagian Hubungan Kelembagaan); Mayjen TNI (Purn) Soentoro (Korda Jatim); Letjen Nurfaizi (Korda Jateng); Laksamana Pertama (Purn) Afwan Madani; Mayjen TNI (Purn) Nasution (Korda Aceh).
Bahkan, di partai politik yang pernah menjadi korban keganasan militerisme seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pun ada pensiunan jenderal yang masuk. Tidak hanya sampai di situ, di partai motor reformasi seperti Partai Amanat Nasional (PAN) pun, juga ada pensiunan jenderal yang bergabung.
Di antara Tim 20 (Tim Kampanye PDI-P untuk pasangan Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi) juga hadir Mayjen (Purn) Theo Syafei (Ketua DPP) yang juga mantan Pangdam IX/Udayana dan Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI.
Di PAN, tidak tanggung-tanggung, Mayor Jenderal TNI (Purn) Suwarno Adiwijoyo (mantan Assospol Kasospol ABRI) yang bergabung di PAN langsung punya posisi yang penting di PAN. Bahkan, posisinya sebagai salah satu ketua di DPP PAN kembali dikukuhkan oleh formatur kongres I PAN di Yogyakarta tahun 2000. Saat ini, Suwarno masuk dalam Dewan Penasihat Amien Rais for Presiden. Posisi sebagai dewan penasihat ini, memberikan kewenangan kepada Suwarno untuk memberikan nasihat baik diminta ataupun tidak pada tim kampanye Amien Rais for Presiden.
Meskipun demikian, menurut Kepala Staf Tim Kampanye Amien Rais for Presiden Eddy Soeparno, kewenangan kebijakan ada bagian lain. Yaitu, Dewan Kebijakan dan Strategi. Di Dewan Kebijakan dan Strategi inilah rencana dan kebijakan untuk kampanye Amien Rais digodok.
"Jadi, untuk kebijakan dan strategi pada tataran teknis, tidak dilakukan oleh Dewan Penasihat, tetapi oleh Dewan Kebijakan dan Strategi," ujarnya.
Di PPP, Letnan Jenderal TNI (Purn) Mohammad Yunus Yosfiah yang baru lepas dari menteri penerangan, langsung menduduki jabatan sebagai sekretaris umum. Sebuah jabatan yang sangat prestisius di partai politik. Pasalnya, sekumlah yang sehari-hari menjadi penanggung jawab kebijakan partai.
Tidak heran, kalau dalam tim kampanye Hamzah Haz yang maju sebagai kandidat presiden bersama calon wakil presiden Agum Gumelar, Yunus menduduki posisi sebagai penasihat. Dalam pelaksanaan sehari-harinya, Tim Kampanye pasangan Hamzah-Agum dijabat oleh Hasrul Azwar yang menjadi ketua timnya. Selain Yunus, mantan Kapuspen ABRI Brigade Jenderal TNI Abdul Wahab Mokodongan menjadi wakil ketua tim kampanye pasangan Hamzah-Agum.
SUDAH dipastikan pengalaman kemiliteran mereka dalam hal taktik dan strategi dari para purnawirawan jenderal itulah yang sangat dibutuhkan oleh masing-masing tim kampanye. Suaidi Marasabessy mengakui, keberadaan pensiunan tentara itu diperlukan untuk memberi sumbangan tenaga sesuai dengan keahlian masing-masing. Slamet Effendi menilai, orang yang berlatar belakang militer juga memiliki hal-hal positif, seperti kedisiplinan tinggi dan taat pada tugas masing-masing. "Mereka itu mengerti apa yang menjadi tugasnya. Tapi, bukan berarti tidak kristis," tandasnya.
Soal apakah seorang sipil akan kesulitan mengatur para jenderal, dia mengatakan, baik sipil maupun militer, seluruhnya bekerja di bawah sistem organisasi sehingga dia mengaku sama sekali tidak menemui kesulitan. Terlebih, dirinya yang juga mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor sudah terbiasa bekerja sama dengan militer maupun dengan Nahdlatul Ulama.
"Saya kan mantan Ketua Umum GP Ansor. Jadi, bintangnya sembilan," ucapnya berkelakar menunjuk jumlah bintang yang ada di lambang NU yang memang berjumlah sembilan.
Sedangkan menurut Suratto dari tim kampanye Yudhoyono-Kalla mengakui, kehadiran sejumlah purnawirawan di lingkaran dekat Yudhoyono dimaksudkan untuk meraih dukungan keluarga besar TNI yang tersebar di seluruh Indonesia.
MENURUT pengamat politik dari LIPI Ikrar Nusa Bhakti soal tim sukses, keinginan capres (dari kalangan militer) melibatkan para purnawirawan dalam tim suksesnya lantaran kesamaan almamater dan sebagai anggota keluarga besar TNI. "Para capres berharap, keterlibatan para purnawirawan mampu membawa gerbong besar mereka di masa lalu. Ini yang harus diwaspadai. Jangan sampai gerbong besar anggota TNI yang masih aktif turut terseret dalam pertarungan kekuasaan tersebut" kata Ikrar beberapa waktu lalu.
Kelebihan yang diambil dari para purnawirawan adalah penguasaan para purnawirawan terhadap medan perpolitikan di Indonesia. Tidak heran, mereka yang terlibat dalam tim sukses itu adalah mereka yang sebelumnya aktif di bidang sosial dan politik ABRI ketika itu. "Mereka sungguh paham memperoleh informasi dan memanfaatkannya untuk propaganda," kata Ikrar.
Kelebihan yang hendak diperoleh dari para purnawirawan itu adalah efektifnya pelaksanaan tugas dengan sistem komando. Dari atas hingga bawah, terdapat satu bahasa yang dapat sama-sama dipahami untuk kemudian diterjemahkan pelaksanaannya di lapangan. Tidak ada kemungkinan perdebatan yang panjang mengenai hal yang tidak perlu.
Bahkan, motor reformasi di Indonesia seperti Amien Rais yang akan maju menjadi salah satu kandidat presiden mendatang pun sempat mengungkapkan pikiran bahwa tokoh-tokoh militer memang masih dibutuhkan dalam politik. Padahal, politik merupakan locus dari masyarakat sipil.
Menurut Ikrar, pensiunan militer dalam partai politik memang tidak bisa dicegah. Namun, masuknya faham militerisme dalam partai politik harus ditolak.
Problemnya, menurut Ikrar, militer di Indonesia memang memiliki tradisi korps yang sangat kuat. Seringkali cara berpikirnya pun tidak berubah. Tidak heran kalau cara berpikir dan bertindak pun rasanya tidak akan berpindah dari referensi pemerintahan Jenderal (Purn) Soeharto.
Senada dengan Ikrar, Sejarawan Universitas Indonesia Anhar Gonggong menilai, pensiunan militer memang berhak masuk dalam partai politik. Hanya saja, tetap harus diwaspadai munculnya militerisme dalam partai politik dan masyarakat.
Militerisme, lanjut Anhar, tidak hanya bisa dimunculkan oleh anggota militer ataupun pensiunan militer, tetapi juga bisa dimunculkan masyarakat sipil. Ini memang salah satu kisah sukses pemerintahan Orde Baru yang berhasil memasukkan faham militer dalam benak masyarakat.
inu/sut/mam/bur/ush
Tuesday, March 11, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment