BARANGKALI pasangan calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakil presiden Jusuf Kalla adalah pasangan yang paling mengerti bagaimana memanfaatkan media massa dengan beriklan untuk memenuhi impian politik mereka.
Jauh sebelum masa kampanye dimulai 1 Juni 2004, kandidat yang dicalonkan Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, dan Partai Bulan Bintang telah beriklan di sejumlah media massa.
Dituding mencuri start kampanye, Yudhoyono yang menjadi bintang iklan atas dirinya sendiri dan atas Jusuf Kalla mengelak. Apa yang dilakukannya itu telah dikonsultasikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan tidak ada larangan untuknya. "Kami tidak berkampanye karena tidak ada ajakan untuk mencoblos atau menawarkan program. Kami hanya memohon doa restu seluruh rakyat setelah resmi dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden beberapa partai politik," ujar Yudhoyono ketika iklan itu kerap muncul.
Apa yang dilakukan Yudhoyono dan Jusuf Kalla dengan beriklan boleh jadi sah secara hukum seperti kerap ditegaskan Ketua Kelompok Kerja Kampanye KPU Hamid Awaluddin. Namun, publik tahu, apa yang dilakukan pasangan ini tidak lain daripada iklan untuk menjual diri. Apa yang dilakukan dan apa yang hendak dicapai dengan rangkaian iklan selama lebih kurang 10 hari itu adalah untuk menguatkan citra kesantunan yang telah ditangkap publik mengenai pasangan ini.
Karena itu, iklan kampanye yang terang-terangan dilakukan itu diakui sebagai upaya memohon doa restu. Santun sekali bukan! Berikut ini kutipan pernyataan Yudhoyono ketika memohon doa kepada rakyat dengan cara memuji pasangannya, "Saudara Muhammad Jusuf Kalla adalah seorang profesional dan pebisnis ulung. Berkepribadian sederhana, taat, dan cinta keluarga."
Seminggu berselang, muncul iklan pasangan lain dengan memanfaatkan momen bulan Mei yang penuh sejarah bagi bangsa. Calon presiden dari Partai Amanat Nasional yang lekat dengan momen tumbangnya rezim Orde Baru pada bulan Mei tampil ke muka dengan jargon reformasi yang diteriakkannya bersama-sama rakyat menjelang jatuhnya Jenderal Besar Soeharto. Sampai menjelang masa kampanye sesungguhnya, iklan yang mengaitkan reformasi yang belum selesai dengan Amien itu terus muncul di televisi. Citra Amien sebagai salah satu pendorong gerakan reformasi dikukuhkan dengan iklan yang tampil sederhana tersebut.
Masih memanfaatkan momen bulan Mei, Jenderal (Purn) Wiranto yang memiliki sisi gelap yang belum sepenuhnya terungkap di seputar peristiwa kerusuhan Mei 1998 tampil di layar kaca dalam paket iklan. Sama dengan tujuan Amien beriklan, Wiranto mengukuhkan citranya sebagai tentara yang tidak haus kuasa dan lebih unggul dibandingkan dengan Yudhoyono saingannya yang berdiri manggut-manggut di belakangnya.
Tidak mau ketinggalan dan kalah dalam persaingan, Yudhyono dan Jusuf Kalla tampil ke muka dengan memanfaatkan Hari Kebangkitan Nasional. Iklan "Bangkitlah Negeriku!" muncul di sejumlah media. Atas pelanggaran yang kasat mata ini, anggota Komisi Penyiaran Indonesia Bimo Nugroho meminta KPU bertindak tegas dan keras menegur kandidat yang kebelet itu. "Apa yang dilakukan kandidat adalah upaya menyiasati hukum. Yang mereka lakukan adalah kampanye dan KPU harus menegur keras," ujar Bimo.
Berpegang pada Surat Keputusan KPU Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kampanye Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Hamid berkeras bahwa apa yang dilakukan sejumlah kandidat bukanlah iklan kampanye. "Ketika iklan itu ditampilkan, mereka belum resmi menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Lagi pula, apa yang mereka lakukan tidak memenuhi unsur kampanye yang kami maksud yang sifatnya komulatif," papar Hamid dengan entengnya.
DENGAN aturan main yang penuh celah sehingga membuat pemain bersiasat untuk dapat keluar dari jerat, menjadi tidak lagi relevan penetapan masa kampanye selama satu bulan menjelang hari pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Perbedaannya mungkin hanya pada hilangnya perasaan malu-malu untuk menjual diri atau tepatnya menjual sisi cerah kandidat karena secara hukum memang dipersilakan.
Untuk keperluan menjual titik cerah dan mengukuhkan citra itu, mulai Selasa besok, sejumlah media massa baik elektronik dan cetak akan dibanjiri iklan kampanye (jargon dan slogan) yang isinya nyaris seragam meskipun dilakukan kandidat yang berbeda. Untuk keperluan menjual sisi cerah kandidat ini, sejumlah konsultan komunikasi dan biro periklanan terjun langsung menggarapnya berdasarkan pesanan.
Wakil Ketua Bidang Media Tim Kampanye Wiranto-Salahuddin Wahid Karna B Lesmana menjelaskan, untuk pasangan yang dicalonkan Partai Golkar ini telah disiapkan tiga versi iklan kampanye di televisi. Masing-masing versi ada yang berdurasi 30 detik dan ada yang berdurasi 45 detik.
Tiga versi iklan kampanye ini menurutnya menghabiskan dana Rp 1 miliar untuk ongkos produksi. Dana yang lebih besar dipergunakan untuk biaya pemasangan iklan yang diperkirakan mencapai Rp 10 miliar. Untuk iklan televisi sekitar 70 persen, radio 15 persen, dan media cetak 15 persen. "Kami juga sedang menjajaki billboard, media iklan luar ruang," ujarnya.
Menurut Wakil Ketua Tim Media lainnya, Tito Sulistio yang membawahi langsung bidang riset, public event, dan produksi media, konsep awal iklan berasal dari pihaknya. Namun, dalam pelaksanaan kemudian dibahas bersama dengan biro iklan profesional.
Dalam pembuatan iklan Wiranto-Wahid, timnya bekerja sama dengan empat biro iklan yaitu JC&K, Saka Infosa, Hamdan Communication, dan Prinsip. Pimpinan proyek pencitraan Wiranto-Wahid di media massa adalah JC&K. Upaya menciptakan citra dan mengukuhkannya dalam satu bulan masa kampanye dilakukan juga pasangan Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo. Paquita Wijaya, deputi dua media center tim kampanye Amien-Siswono yang menangani pembuatan citra mengatakan, ada enam versi iklan kampanye dengan durasi 30 detik yang dipersiapkan. Dalam iklan tersebut diangkat platform partai, masalah pendidikan, dan pertanian.
Menurutnya, konsep iklan kampanye berbeda dengan iklan Hari Kebangkitan Nasional Amien yang muncul di televisi dan radio hingga saat ini. Dalam iklan kampanye mendatang, Amien-Siswono ingin mengingatkan kembali kepada masyarakat mengenai banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pada era reformasi sekarang ini.
Konsep iklan yang akan dimunculkan selama kampanye nanti lebih menonjolkan testimonial orang lain. Artinya, Amien tidak perlu menjelaskan tentang dirinya, namun lebih mengangkat pengakuan dan pandangan tokoh masyarakat, masyarakat awam, dan profesional tentang Amien. "Konsep iklan ini memang sudah digodok bersama, untuk menjaring berbagai masukan dan ide. Maka jadilah konsep iklan seperti yang diinginkan sekarang ini sebagai produk bersama," ujar Paquita.
Proses pembuatan iklan ini menurut Paquita mendapat bantuan dari banyak pihak. Tidak heran kalau biaya yang dikeluarkan menjadi lebih kecil dibandingkan jika harus ditanggung sendiri semuanya. Jumlahnya tidak lebih dari Rp 1,5 miliar untuk enam versi iklan kampanye.
Jika Wiranto-Wahid dan Amien-Siswono lebih menekanzkan kerja bareng sejumlah biro iklan dan kaum profesional lainnya, pasangan Yudhoyono-Kalla mempercayakan penuh penciptaan dan pengukuhan citra atas diri mereka kepada Hotline Advertising yang didirikan Subiakto Priosoedarsono. Baik tim sukses Yudhoyono-Kalla maupun pihak Hotline Advertising tertutup mengenai bagaimana proses pembentukan citra ini dilakukan.
Public Relations Manager Hotline Advertising Ratna Marhaendra tidak bersedia memberi komentar apa pun mengenai pembuatan iklan pasangan Yudhoyono-Kalla dengan alasan terikat kontrak untuk tidak berkomentar. Mengenai apa yang akan dilakukan dalam kampanye, Ketua Seksi Kampanye Yudhyono-Kalla Umar Said mengemukakan, yang dilakukan tidak lain dari menampilkan dan menguatkan persepsi dan ketokohan Yudhyono- Kalla.
Mengenai visi, misi, dan program untuk sementara akan ditinggalkan selama masa kampanye. "Ini kami lakukan karena terus terang saja, di tingkat akar rumput masyarakat tidak peduli dengan visi, misi, atau program. They donÆt care! Ini bukan Amerika Serikat atau Eropa. Karena itu kami berkonsultasi dengan banyak pihak yang kompeten untuk membuat jargon dan slogan," ujar Umar.
PENDEKATAN iklan kampanye dengan menggunakan jargon, slogan, dan menghindarkan pemaparan visi, misi, dan program kandidat memang tidak terhindarkan mengingat sejumlah keterbatasan dan kendala yang ada. Praktisi iklan sekaligus managing director biro iklan Ad-house Paramacipta Soebiagdo menilai, iklan kampanye kandidat akan seragam dengan menonjolkan sisi kelebihan dan kekuatan (sisi cerah) masing-masing kandidat.
"Mereka, siapa pun para capres-cawapres itu, cenderung menginginkan biro iklan untuk mengemas ÆkekuatanÆ mereka. Akibatnya, pada kampanye salah seorang kandidat tampak ingin menonjolkan latar belakang kekuatan dan kemampuannya berkontribusi pada negara," ujar Soebiagdo.
Kandidat seperti itu tambah Soebiagdo, emoh menampilkan sisi kelemahan yang mereka miliki. Kecenderungan seperti itu justru memukul biro iklan. Biro iklan mengalami kesulitan memunculkan ide serta kreativitas yang mereka miliki. Padahal, jika kandidat berminat mengemas sisi kelemahan mereka dengan cerdas, hal itu dapat lebih menguntungkan. Mengemas kelemahan dan mengeksplorasinya dengan baik justru mampu menyedot empati audiens.
"Dengan berempati, orang tidak lagi sekadar dibuat sadar (aware) untuk kemudian paham (comprehend), dan memutuskan untuk beraksi (action) dalam artian mau membeli ÆprodukÆ yang diiklankan. Konsep seperti itulah yang setidaknya menjadi parameter baik tidaknya sebuah iklan," tambahnya.
Sayangnya, tambah Soebiagdo, konsep iklan seperti itu saat ini sama sekali tidak menarik minat atau dilirik para kandidat capres-cawapres. Hal itu karena para kandidat lebih peduli dan menginginkan biro iklan menonjolkan kekuatan, yang mereka anggap mereka miliki dalam bentuk jargon dan slogan yang mudah diingat.
Saat ini biro iklan Soebiagdo tengah menggarap iklan kampanye salah seorang kandidat, yang sayangnya menurut Soebiagdo juga "terperangkap" untuk emoh mengikuti "kiat sukses beriklan" miliknya.
Untuk kandidat yang satu ini akhirnya Soebiagdo memutuskan lebih memfokuskan iklan- iklan kampanyenya ke segmen akar rumput kandidat, yang lebih dikenal sebagai kaum sarungan itu melalui media fliers, selebaran, brosur, dan keping vcd, ketimbang melalui media massa.
Memang tidak dipungkiri oleh Soebiagdo, beberapa biro iklan terjebak dalam satu keadaan di mana mereka lebih memilih untuk menuruti si pemesan iklan karena dikejar target pemasukan. Apalagi diakui pula, pemasukan dari belanja iklan para kandidat capres-cawapres untuk memoles diri mereka dalam masa kampanye kali ini sangat menguntungkan jika dilihat dari segi bisnis.
Pada prinsipnya Soebiagdo meyakini sebuah biro iklan memang harus selalu tanggap dalam berupaya menangkap peluang. Dengan begitu segala kesempatan yang muncul selalu berorientasi bisnis, bahkan kalaupun biro itu mencoba berorientasi ke dalam sisi politik, pada akhirnya segi bisnis tetap dominan.
Untuk itu sebuah biro iklan harus memiliki kemampuan mengembangkan konsep (concept development) yang matang dengan cara memahami pasar dari produknya yang akan diiklankan itu.
"Dalam dunia periklanan kami mengenal satu prinsip yang kami sebut state of mind atau tahapan pola pikir. Tahapan itu dimulai dari membuat sadar (aware) pada produk yang diiklankan, paham (comprehend), yakin (convince), ingin membeli (action), dan terakhir memelihara (maintain) orang agar mau tetap membeli," ujar Soebiagdo.
Justru dalam konteks ini, seringnya client sudah cukup puas dengan sekadar "dikenal" dan "dibeli" oleh para konsumen konstituen mereka. Keadaan itu juga berpengaruh pada kalangan biro iklan. Mereka terjebak untuk cukup puas memproduksi iklan yang sifatnya datar dan hampir semuanya sama rata sama rasa.
Sebuah kampanye presiden menurut Soebiagdo seharusnya tidak boleh hanya sekadar mengajak orang untuk "Ayo, pilihlah saya". Hal itu berarti sama dengan sikap tidak mau tahu apakah masyarakat sudah yakin, mengerti, atau mengenal siapa si kandidat sebenarnya.
"Saya juga tidak bisa menyalahkan teman-teman jika kemudian berprinsip asal biro mereka dibayar layak. Kampanye seperti itu buat saya belum baik dan benar. Sama artinya kami membodohi rakyat. Untuk perkara ini saya memang cenderung sangat fanatik," ujar Soebiagdo.
Menurut Soebiagdo, prospek bisnis pembuatan iklan kampanye lumayan menguntungkan. Bahkan diilustrasikan, keuntungan yang diperoleh dari satu iklan kampanye bahkan bisa dipakai untuk sedikit "bersantai-santai" selama setahun.
"Penjualan (billing) iklan yang kami peroleh bisa lima kali lipat dari yang bisa kami dapat dari iklan produk, bahkan yang sudah sangat terkenal sekali- pun. Akan tetapi peluang ini tetap berisiko tinggi mengingat kami berurusan dengan lembaga yang tidak berbadan hukum seperti parpol," ujar Soebiagdo.
inu/sut mam/dwa
Tuesday, March 11, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment