LEBIH dari enam bulan penerapan status darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan misi utama "mempertobatkan" anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), berjalan. Banyak klaim dari kedua belah pihak yang kerap bertentangan satu sama lain. Namun, tidak dapat dibantah, konflik di Aceh lebih menonjol melahirkan nestapa dibandingkan pahlawan.
Air mata para istri dan keluarga delapan prajurit Detasemen 81 Antiteror Komando Pasukan Khusus (Kopassus) belum kering meratapi kepergian orang yang mereka kasihi, yang tewas karena jatuh ke laut di Lhok Seumawe saat latihan manuver stabo (stabilized tactical airborne operation), 4 Oktober 2003.
Delapan prajurit tangguh itu tewas tidak dalam konflik bersenjata. Mereka mendapat musibah saat latihan menyiapkan peringatan Hari Tentara Nasional Indonesia, 5 Oktober.
Angin kencang berembus saat delapan prajurit ini bergelantungan di helikopter jenis Bell. Untuk menghindari lebih banyak korban, tali diputus.
"Andai tidak diputus, awak beserta helikopter bisa jatuh. Menurut ketentuan yang berlaku dan briefing yang dilakukan sebelumnya, dalam kondisi seperti itu, tali harus segera diputus," kata Panglima Komando Operasi TNI Mayor Jenderal Bambang Darmono waktu itu.
Tidak ada pertanggungjawaban secara terbuka mengenai musibah ini. Kepala Staf TNI AD Jenderal Ryamizard Ryacudu mengungkap, penanggung jawab musibah ini mengarah kepada pilot dan tua rentanya helikopter yang dipakai.
Pekan lalu, nestapa baru di Aceh kembali muncul. Juga tidak dalam rangka operasi militer menumpas GAM. Panser jenis Saracen buatan Inggris berisi dua wartawan Indosiar dan lima prajurit TNI AD tergelincir dan terguling. Kamerawan Indosiar, Arie Wailan Orah atau akrab disapa Awo, tewas dan reporter Indosiar, Sisca T Gurning, luka parah. Lima prajurit di dalam panser itu juga terluka.
Tidak ada yang dapat menolak jika musibah datang. Namun, perasaan tidak terima dari banyak kalangan masih menyelimuti musibah tersebut.
Sementara ini, pihak TNI AD menyimpulkan, musibah terjadi karena panser Saracen sudah sangat tua, para penumpangnya juga tak mengenakan sabuk pengaman dan helm.
Nestapa lain konflik bersenjata di Aceh terjadi pada fajar pertama penerapan status darurat militer di Pantai Samalanga, Kabupaten Bireuen, 19 Mei 2003. Begitu taklimat dikumandangkan, tank amfibi (PT-76) keluar dari KRI Teluk Langsa. Belum semua kendaraan tempur dan personel keluar dari kapal perang produksi tahun 1945 tersebut, engsel rampa KRI Teluk Langsa yang juga telah renta usianya jebol.
Akibatnya, KRI Teluk Langsa mundur. Sekitar 200 prajurit Marinir asal Surabaya yang siap mendarat dalam kendaraan tempur didaratkan dengan perahu karet dan sekoci darurat. Ketidaksiapan peralatan tempur ini memunculkan musibah di awal penerapan status darurat militer di Aceh.
Sersan Satu (Sertu) Kartono pingsan dan tidak tertolong saat hendak mendarat dengan perahu karet darurat. Tingginya gelombang laut Pantai Samalanga menggulung perahu yang ditumpanginya.
Di tempat yang sama, tidak lama kemudian kendaraan amfibi pengangkut artileri (KAPA) berisi puluhan anggota Marinir dari KRI Teluk Ende terbalik karena gagal menyentuh garis pantai. Sertu Ramli dari Batalyon Howitzer Satuan Resimen Artileri Surabaya tewas tergulung gelombang. Juga sama sekali tidak ada gangguan atau serangan GAM, saat pendaratan yang memakan waktu empat jam itu berlangsung.
PERPANJANGAN status darurat militer di Aceh yang diputuskan pemerintah mendapat kritik tajam dari sejumlah kalangan. Tim Ad Hoc Aceh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai, perpanjangan darurat militer justru akan memperpanjang kesengsaraan rakyat Aceh.
Menurut catatan Tim Ad Hoc Komnas HAM, tercatat 319 warga sipil tewas, 117 orang luka-luka, 108 orang hilang, dan puluhan ribu orang mengungsi. Ini juga diakui Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Menurut catatan TNI selama empat bulan operasi militer, 304 warga sipil tewas dan 140 orang lainnya luka-luka.
Apalagi dari penerapan status darurat militer di Aceh, tidak muncul kepermukaan cerita kepahlawanan prajurit TNI melumpuhkan GAM dan menangkap petingginya.
Kelayakan perpanjangan status darurat militer lalu dipertanyakan. Pemerintah terkesan tidak punya alternatif penyelesaian masalah, kecuali memperpanjang darurat militer.
Kelemahan peralatan tempur, tidak jelasnya strategi dan taktik melumpuhkan GAM, serta jatuhnya korban di luar "medan pertempuran", lalu seperti memperkuat argumentasi mereka yang menolak darurat militer. Mereka tak ingin air mata harus terus mengalir hanya untuk kesia-siaan.
inu
Thursday, February 28, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment