Thursday, February 28, 2008

papua

Satu suku bangsa, satu budaya, namun terpisahkan di dua negara. Kenyataan ini membingkai permasalahan yang muncul di perbatasan darat antara Indonesia, dalam hal ini Provinsi Papua, dan Papua Niugini (PNG).

Kesamaan suku bangsa dan budaya, yang tertanam sangat dalam sejak ratusan tahun sebelumnya di antara orang Papua di dua negara ini, membuat warga dua negara tidak sadar bahwa secara yuridis mereka harus berbeda.

Kesatuan suku bangsa dan budaya Melanesia inilah yang membuat pemerintah kesulitan bertindak tegas terkait, misalnya, dengan hak tanah ulayat. Garis lurus perbatasan pada 141 derajat bujur timur (BT) di atas kertas memang membagi pulau berbentuk burung tersebut menjadi dua. Namun, penduduk pulau yang memiliki kesamaan kebiasaan dan budaya serta saling bersaudara tersebut sulit dipisah. Mereka yang tinggal di perbatasan bahkan tidak menyadari bahwa mereka berbeda negara.

"Sebagai contoh, banyak dari warga PNG yang memiliki hak tanah ulayat di sekitar Sungai Tami (Papua) yang jaraknya sekitar lima kilometer dari pos perbatasan Wutung. Sebaliknya, hal itu juga terjadi untuk warga Papua. Mereka juga memiliki hak tanah ulayat di PNG," jelas Kepala Badan Perbatasan dan Kerja Sama Daerah Provinsi Papua Suryanto SW.

Oleh Pemerintah Indonesia, kelompok warga dengan hak tanah ulayat lintas negara ini dikategorikan dalam pelintas batas tradisional. Mereka memiliki hak untuk melintas dan mengurus tanah ulayatnya dengan dibekali kartu lintas batas. Pelintas batas tradisional ini kerap melintasi pos perbatasan karena ingin menggarap tanah ulayat mereka. Umumnya, mereka berkebun di tanah ulayat tersebut dan kemudian pulang.

Namun, tidak sedikit dari pelintas batas tradisional ini yang tidak memiliki kartu lintas batas. Kartu lintas batas tersebut tidak diurus lantaran warga Papua dan PNG yang sangat sederhana tidak sadar akan perbedaan negara yang diputuskan secara politis di antara kedua negara.

Kesamaan suku bangsa dan budaya di antara dua negara ini oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilihat sebagai hambatan dalam urusan pertahanan. Bersamaan dengan lemahnya pengawasan perbatasan yang seperti dibiarkan menganga, kelompok separatis bersenjata dengan sangat leluasa bersembunyi di PNG seusai melakukan aksinya di Papua dan diburu aparat TNI.

Departemen Pertahanan (Dephan) mendeteksi di kawasan perbatasan setidaknya ada tiga kelompok separatis bersenjata, yaitu kelompok Mathias Wenda, Hans Bomay, dan Paulus Kaladana. "Tiga kelompok separatis bersenjata ini berbasis di PNG, yaitu di Provinsi Sandaun dan Western, dan kerap melakukan aksi di Papua," ujar Kolonel AM Johannes Pessy, salah seorang pejabat Dephan.

Tiga kelompok separatis bersenjata ini memanfaatkan kamp pengungsi warga eks Papua sebagai daerah penyelaman dan logistik wilayah. "PNG tidak mempunyai komitmen yang konkret untuk memberantas kamp pengungsi dan tiga kelompok separatis bersenjata tersebut," ujar Panglima Komado Daerah Militer (Kodam) XVII Trikora Mayjen N Zainal.

Pemerintah Indonesia telah memberi tahu keberadaan tiga kelompok separatis bersenjata tersebut ke PNG. Namun, karena alasan keterbatasan personel dan dana, PNG lepas tangan dengan tetap membiarkan tiga kelompok separatis bersenjata ini beroperasi.

"Saya tidak khawatir Papua akan lepas hanya lewat aksi kelompok separatis bersenjata tersebut. Kekuatan mereka semakin melemah karena lambatnya kaderisasi dan tidak adanya pasokan persenjataan. Namun, keberadaan mereka tetap harus ditumpas dan dibersihkan dari Papua," ujar Zainal.

Kesulitan lantaran kesamaan suku bangsa, budaya, dan lemahnya penjagaan di kawasan perbatasan sebetulnya menyimpan potensi ekonomi. PNG yang relatif lebih tertinggal dari Indonesia tergoda untuk menjadikan Indonesia, khususnya Papua, sebagai tempat berbelanja.

"Harga barang-barang kebutuhan lebih murah di Abepura dibandingkan dengan di PNG. Untuk minyak goreng kemasan lima liter, di Abepura harganya Rp 24.000. Sementara untuk barang yang sama di PNG, harganya mencapai Rp 40.000," ujar Steward warga PNG seusai berbelanja di Abepura bersama istri dan anaknya.

Bersama rombongannya sekitar delapan orang, Steward secara berkala berbelanja di Abepura. Selain minyak goreng, mereka juga membeli berkarung-karung beras. "Bisa satu minggu satu kali, bisa juga satu bulan sekali. Bergantung pada kebutuhan dan uang yang ada," ujarnya.

Karena tingginya frekuensi warga PNG yang datang berbelanja ke Abepura, Pemerintah Provinsi Papua akan membuka hubungan langsung dengan Provinsi Vanimo di PNG. "Rencananya, Juni 2004, hubungan langsung itu dapat diwujudkan bersamaan dengan program perbaikan dan pelebaran jalan dari pos perbatasan ke Jayapura," ujar Suryanto.

inu

No comments: