Dikawal satu regu anggota Tentara Nasional Indonesia bersenjata lengkap, rombongan Departemen Pertahanan bersama wartawan media cetak dan elektronik berarak menyusuri jalan menanjak, berliku, terjal, dan mulai terkelupas lapisan aspalnya menuju pos perbatasan Indonesia (Provinsi Papua) dengan Papua Niugini. Pos perbatasan terletak di kawasan Wutung, batas darat paling utara antara Indonesia dan PNG.
Dengan perjalanan darat menembus hutan yang masih terjaga kelestariannya, kawasan Wutung dapat dicapai selama sekitar tiga jam dari Kota Jayapura. Perjalanan darat menjadi terlalu lama lantaran jalan aspal satu-satunya tersebut telah terkelupas dan berlubang hampir di sepanjang perjalanan.
"Pos perbatasan di kawasan Wutung merupakan pos perbatasan darat terbaik Indonesia dan PNG (Papua Niugini) yang kita miliki. Di sana sudah ada penggabungan sejumlah instansi terkait dan aparat keamanan," kata Kepala Badan Perbatasan dan Kerja Sama Daerah Provinsi Papua Suryanto SW, sesaat sebelum rombongan berangkat ke perbatasan.
Sebelum tiba di pos perbatasan, penjelasan Suryanto sangat melegakan. Di tengah lelahnya menempuh perjalanan darat berkelok-kelok dan menanjak serta menerobos hutan, rombongan berharap dapat beristirahat sejenak menikmati sejuknya angin yang menyusup dedaunan hijau hutan tropis. Meneguk sejuknya air pegunungan pasti akan menghilangkan penat dan lelahnya perjalanan.
Begitu tiba di pos perbatasan di kawasan Wutung, harapan mendapatkan kelegaan setelah penatnya perjalanan berubah menjadi keprihatinan. Bangunan pos perbatasan yang dioperasikan bersama-sama antara aparat imigrasi, bea cukai, karantina, polisi, dan TNI sejak tahun 1998 ini memang terawat dan terlihat masih kokoh berdiri di atas batu karang. Akan tetapi, tidak ada jaringan listrik dan saluran air.
"Jika butuh air minum dan untuk kebutuhan lainnya, kami mengandalkan hujan turun atau menunggu ada pergantian petugas penjaga pos yang datang dari Jayapura. Pergantian petugas sekaligus digunakan sebagai saat untuk pengisian kebutuhan akan air dan kebutuhan lainnya," ujar seorang petugas jaga seusai memeriksa kendaraan penuh berisi penumpang yang akan melintas dari PNG ke Papua.
Pihak Pemerintah Provinsi Papua telah lama menyadari pentingnya jaringan listrik dan air di pos perbatasan ini. Namun, tidak ada yang dapat dilakukan sejak pos ini didirikan. Pernah diupayakan untuk mengebor batu karang di kawasan Wutung untuk mendapatkan sumber air. Akan tetapi, kedalamannya yang diperkirakan mencapai lebih dari 150 meter tidak memungkinkan untuk pengeboran. Selain itu, tidak ada jaminan jika pengeboran dilakukan air yang didapat adalah air yang bersih mengingat kawasan Wutung tepat berada di tepi Samudra Pasifik.
Karena itu, lebih menjanjikan jika membuat pipa saluran air bersih dari sumber mata air di Pegunungan Pawa yang berjarak lima kilometer dari pos perbatasan. "Itu salah satu kendala yang kami hadapi di perbatasan. Mengenai jaringan listrik, kami belum dapat membayangkan kapan akan dapat tersambung," ujar Suryanto.
KENDALA di pos perbatasan sepanjang sekitar 770 kilometer yang membentang antara Jayapura di ujung utara hingga Merauke di ujung selatan memotret kendala yang lebih besar dan lebih kompleks di perbatasan darat Indonesia dan PNG. Di pos perbatasan terbaik saja, kendala yang muncul tidak sedikit dan sangat prinsipiil. Dapat dibayangkan kendala dan permasalahan di pos lain atau di perbatasan lain yang tidak ada pos perbatasannya.
Antara Indonesia dan PNG, meskipun terdapat ratusan jalan yang dapat dilintasi oleh siapa pun yang ingin melintas, hanya terdapat dua pos perbatasan. Pos pertama di Wutung yang merupakan pos terbaik dan pos kedua ada di Sota, Merauke. Pos perbatasan di Sota direncanakan menjadi pos gabungan sejumlah instansi, seperti di Wutung. Namun, karena kendala yang lebih kompleks, hingga sekarang rencana itu belum terlaksana. Petugas perbatasan hanya datang ketika siang. Menjelang sore, mereka kembali ke rumah mereka dan membiarkan perbatasan tersebut tidak terjaga.
Karena minimnya penjagaan di ratusan perlintasan dua negara satu suku bangsa ini juga di pos perbatasan yang disiapkan, Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) XII Trikora Mayor Jenderal N Zainal mengatakan, wilayah perbatasan Indonesia dan PNG sangat terbuka. "Perbatasan kita dengan PNG sangat bolong. Karena itu, wilayah perbatasan menjadi tempat paling nyaman bagi kelompok separatis bersenjata untuk keluar masuk Indonesia dan PNG. Seusai melakukan gerakannya di Papua, dengan mudah kelompok separatis bersenjata ini lari ke PNG dan bersembunyi di sana," ujar Zainal.
Di sepanjang perbatasan yang tidak kasatmata letaknya karena tanpa pagar tersebut, Kodam XVII Trikora mendirikan 21 pos penjagaan di wilayah- wilayah yang dinilai rawan. Aparat TNI yang ditugaskan di 21 pos tersebut berjumlah tiga peleton. Meskipun Kodam XVII Trikora tidak melihat kelompok separatis bersenjata sebagai ancaman bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penjagaan wilayah perbatasan tetap penting karena kerap terjadi perpindahan warga PNG ke wilayah Indonesia (Papua).
Untuk kasus perpindahan warga PNG ke wilayah Papua terjadi di wilayah Warasmal yang luasnya mencapai sekitar 160 kilometer persegi dan terbagi dalam sembilan desa. Dari sembilan desa tersebut, tiga desa diantaranya mengibarkan bendera PNG dan menerapkan sistem pemerintahan PNG. Warga PNG tersebut berpindah ke Warasmal karena kalah perang dari suku Telefomen. Kepindahan mereka tidak terdeteksi lantaran tidak terjaganya perbatasan Indonesia dan PNG.
"Sementara ini kami hanya bisa mendeteksi saja tanpa mampu berbuat apa-apa. Jika hal ini terus dibiarkan, kawasan Warasmal yang terletak di wilayah Indonesia ini bisa-bisa lepas karena sudah ada warga PNG yang menetap di sana sejak beberapa tahun yang lalu," ujar Zainal.
Selain tempat perlintasan kelompok separatis bersenjata dan kepindahan warga PNG tanpa terdeteksi, lemahnya pengawasan di perbatasan menimbulkan kerawanan lain, seperti penyelundupan ganja dari PNG ke Papua dan penyelundupan hasil bumi, utamanya vanili. Untuk penyelundupan tersebut, aparat kepolisian beberapa kali mampu menangkap pelaku dalam sejumlah operasi. Namun, karena banyak wilayah perbatasan yang bolong, penyelundupan dipastikan lebih banyak terjadi tanpa pemantauan dan penindakan.
Selain kendala tersebut, sejumlah pelaku kriminal di Papua yang dengan mudah dapat melarikan diri ke PNG melintasi perbatasan tidak dapat dikejar atau ditangkap. "Antara Indonesia dan PNG belum ada perjanjian ekstradisi. Kami tidak bisa berbuat apa-apa kalau ada pelaku kriminal yang lari ke PNG," ujar Wakil Kepala Kepolisian Daerah Papua Komisaris Besar Tommy Jacobus.
PERBATASAN Indonesia dan PNG terletak lurus dari utara ke selatan pada 141 derajat bujur timur (BT). Di perbatasan sepanjang sekitar 770 kilometer tersebut tertanam 52 tugu penanda perbatasan yang terletak di antara 14 Meridian Monumen (MM). Tugu yang terletak di antara 14 MM tersebut merupakan kekuatan hukum wilayah perbatasan.
Sebanyak 14 MM penanda batas tersebut dibangun pada tahun 1966. Pembinaan kerja sama perbatasan dengan PNG telah dilakukan sejak tahun 1973 pada saat PNG masih dalam kekuasaan Australia. Saat PNG merdeka tahun 1975, kerja sama tersebut lantas diperbarui.
"Di atas kertas perbatasan tersebut sangat jelas terlihat. Akan tetapi, di lapangan yang merupakan wilayah lembah dan perbukitan, batas tersebut nyaris tidak terlihat oleh mata telanjang," papar Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Pertahanan Marsekal Pertama Abdl Aziz Manaf seusai meninjau pos perbatasan di Wutung.
Selain itu, penegasan perbatasan di antara warga Papua dan PNG sulit dilakukan karena adanya hak tanah ulayat. Warga kedua negara yang berada di sekitar perbatasan yang memiliki kesatuan budaya umumnya tidak menyadari bahwa mereka terpisahkan. "Banyak dari warga PNG yang memiliki tanah ulayat di Papua. Mereka tinggal di PNG, tetapi menggarap kebun di wilayah Papua," ujar Suryanto.
Perbatasan darat Provinsi Papua memang hanya dengan PNG. Akan tetapi, Papua berbatasan dengan dua negara lain, yaitu Australia di laut sebelah selatan Merauke dan Republik Palau di Pulau Mapia, Biak Numfor. Sama seperti menganganya perbatasan darat, perbatasan laut dengan dua negara tersebut juga menganga. Karena itu, di wilayah sekitar perbatasan itu kerap terjadi pencurian ikan besar-besaran tanpa penindakan tegas lantaran minimnya kemampuan penegakan hukum di laut.
"Dengan wewenang dan kekuatan yang ada, kami tidak punya kemampuan untuk mengejar para pelanggar perbatasan di laut yang menguras kekayaan luat. Wilayah kita dan wilayah perbatasan sangat rawan terhadap pencurian ikan," ujar Wakil Komandan Lantamal V Kolonel Laut Anthony Noorbandy.
Bagaimana pelanggaran perbatasan di udara? Lebih buruk penanganannya dibandingkan dengan yang tejadi di darat dan laut. Untuk memantau ada atau tidaknya pelintas batas di provinsi paling timur ini melalui udara, Indonesia tidak memiliki kemampuan. "Memantau melalui apa? Kita tidak memiliki radar untuk memantau. Penerbangan sipil di Papua tidak menggunakan bantuan radar," ujar Komandan Pangkalan Udara Jayapura Kolonel Penerbang Sunaryo.
Di darat, laut, dan udara. Perbatasan kita dibiarkan sekian lama menganga dan nyaris tanpa penjaga....
inu
Thursday, February 28, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment