Thursday, February 28, 2008

ruko pemilu

SAH-sah saja pesimisme dan keengganan sebagian anggota masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya, alias memilih untuk tidak memilih dan menjadi golongan putih dalam Pemilihan Umum 2004 mendatang. Habis yang akan dipilih juga orangnya itu-itu juga, cuma ganti baju. Para jagoan Orde Baru maupun orde lainnya, termasuk para koruptor pun, ikut-ikut meminta dipilih. Itu biasanya alasan yang mengemuka.

Akan tetapi, tengoklah antusiasme sekelompok masyarakat lain dalam menyiapkan diri untuk turut andil dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Di sebuah rumah toko (ruko) yang beralamat di Jalan Roa Malaka Utara, Jakarta Barat, puluhan warga keturunan Tionghoa duduk memadati ruangan di lantai dua yang memang kecil ukurannya.

Mereka datang tidak untuk membicarakan urusan dagang atau bisnis cari untung lainnya. Peserta diskusi terbuka yang diselenggarakan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti) itu memadati ruko di belakang Hotel Omni Batavia tersebut, untuk mengobrol "urusan negara", yakni Pemilu 2004.

Tidak mudah mencari ruko yang menjadi tempat diskusi terbuka dengan tema "Antisipasi Pemilu 2004" tersebut. Padatnya Jalan Roa Malaka Utara oleh pedagang kaki lima dan kendaraan yang sembarangan diparkir di jalan penuh ruko tersebut menambah kesulitan menemukan tempat itu. Beberapa peserta bahkan mengaku sempat nyasar.

Namun, dikusi yang menghadirkan sejumlah narasumber Bara Hasibuan, Romo Beny Susetyo Pr, Frans Tshai, Franky Sahilatua, Rieke Diah Pitaloka, AB Susanto, dan Faisol Reza itu berlangsung hangat. Tingginya apresiasi dan kritisnya peserta tampak sejak narasumber berbicara. Saat ada yang menyimpang dari kesepakatan, interupsi lantas mengemuka.

Untuk menertibkan jalannya diskusi, Benny G Setiono dari Perhimpunan Inti yang menjadi moderator diskusi membuat peraturan yang kemudian disepakati bersama. Untuk narasumber, diberi waktu 15 menit. Untuk penanya dibatasi waktunya hanya satu menit. Bel menjadi tanda jika waktu yang disepakati telah terlewati. "Kita harus mulai tertib dan teratur menaati aturan mulai dari diri kita sendiri," ujarnya.

Lantaran tempat penyelenggaraan diskusi di ruko yang padat dan ramai, pada 30 menit awal, pengumuman untuk memindahkan kendaraan turut menjadi interuptor.

Perhimpunan Inti menyelenggarakan diskusi terbuka untuk melepaskan diri dari bayang-bayang marjinalisasi Orde Baru terhadap warga keturunan Tionghoa. Selama Orde Baru, tabu bagi warga keturunan Tionghoa untuk terlibat dalam percaturan politik mengurus negara. Warga keturunan Tionghoa disisihkan hanya untuk berkutat pada persoalan perdagangan dan ekonomi.

Penyisihan dan pengotak-ngotakan ini masih kental terasa hingga saat ini. Tengok saja misalnya kawasan Glodok, Mangga Dua, Kelapa Gading, dan sekitar lokasi dilangsungkannya diskusi. Keinginan untuk melawan pengotak-ngotakan tersebut tercermin dalam diskusi.

"Kita harus mengikis pengotak-ngotakan dan stereotip yang terhadap warga keturunan Tionghoa. Kita tunjukkan bahwa kita juga mau berperan dalam kehidupan berbangsa," ujar AB Susanto yang menjadi calon anggota legislatif urutan pertama Provinsi DKI Jakarta dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Menyikapi sistem Pemilu 2004 yang berbeda, yang mana calon pemilih dapat berperan dengan memilih langsung calon yang dikehendakinya, kalkulasi untung dan rugi seperti layaknya dalam dunia dagang menjadi acuan. Kalkulasi untung dan rugi tampaknya efektif untuk mendapatkan anggota DPR/DPRD, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden.

"Jangan lagi dipilih mereka yang nyata-nyata saat ini membawa kesengsaraan. Yang melakukan korupsi tanpa diberi sanksi. Yang punya catatan hitam di masa lalu. Pilih orang-orang baru yang menjanjikan dan relatif bersih dalam Pemilu 2004. Pilihlah mereka yang akan memperjuangkan aspirasi dan membawa keuntungan untuk Anda," ujar Benny Susetyo, disambut tepuk tangan riuh peserta diskusi terbuka.

Masalahnya, masih adakan orang-orang seperti itu...?

inu

No comments: