SEBAGAI Kepala Staf Tentara Nasional Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu cukup dekat dengan prajuritnya. Dalam setiap kesempatan, jenderal yang matang dalam Operasi Seroja di Timor Timur lebih dari 10 tahun ini selalu menyapa dan memompa semangat prajuritnya. Kepada prajurit dan keluarganya yang menjadi korban darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Ryamizard kerap membesarkan hati mereka dengan membesuknya.
Dalam setiap kesempatan memberikan amanat di depan prajuritnya, Ryamizard nyaris tidak pernah lupa menyelipkan perintah kepada prajuritnya agar "baik-baik dengan rakyat". Kepada prajuritnya yang tidak bisa dipisahkan dari rakyat, Ryamizard berpesan, "Jangan sekali-kali mengingkari janji rakyat. Mereka meminta bukti. Lebih baik satu kali bicara 1.000 kali bekerja daripada 1.000 kali bicara tidak ada artinya."
Hal yang sama ia tegaskan kembali ketika publik ramai membicarakan Rancangan Undang-Undang TNI yang kontroversial. Dalam Apel Komadan Satuan Tugas TNI AD di Kompleks Kopassus Cijantung, Jakarta, Ryamizard mengundang seluruh komandan berikut sesepuh TNI AD hadir dalam malam renungan di Markas Besar TNI AD. Dalam renungan yang dilakukan pada malam hari di lapangan terbuka itu, Ryamizard mengaku resah melihat kondisi bangsa akhir-akhir ini.
Dalam keresahan itu, Ryamizard menegaskan kembali pesan Jenderal Besar Soedirman. "Satu- satunya hak milik yang tidak berubah adalah TNI Angkatan Perang. Kalau TNI diubah, pasti negara akan hancur. Walaupun dapat tekanan, kami bertekad setia mengawal dengan segenap jiwa dan raga demi keutuhan TNI," katanya.
Ryamizard berkeluh kesah mengenai tak adanya kepedulian kepada TNI yang telah mengorbankan jiwa dan raganya demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Peduli kah mereka dengan kami yang berkorban jiwa dan raga tetapi justru difitnah dan dipenjara? Jawabannya adalah tidak!" ujarnya.
Seusai menyampaikan renungan dalam keheningan dan cahaya temaram obor itu, Ryamizard turun podium menyalami sesepuh TNI AD yang hadir, seperti Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Jenderal (Purn) Edi Sudradjat dan Letjen (Purn) Hari Sabarno.
Dalam keharuan, jenderal yang tidak banyak suka bicara ini mendatangi janda dan anak tentara yang gugur di medan tugas. Ryamizard menyapa, menyalami, dan memompa semangat tentara yang mengalami cacat tubuh dan masih dirawat di rumah sakit. Kehadiran penyanyi Ebiet G Ade membawakan lagu "Untuk Kita Renungkan" dan "Ayah" menambah keharuan malam itu.
TANGGAL 26 Agustus mendatang, genap satu tahun Departemen Pertahanan (Dephan) dibiarkan tanpa adanya menteri pertahanan (menhan). Matori Abdul Djalil yang ditunjuk Presiden Megawati sebagai Menhan dalam Kabinet Gotong Royong menderita stroke dengan penyumbatan aliran darah di batang otaknya.
Karena sakitnya parah, setelah beberapa minggu dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat dirawat di RS Mount Elizabeth, Singapura. Penanganan kesehatan Matori menjadi sulit dan rumit karena adanya beberapa komplikasi kesehatan yang dideritanya, seperti gangguan paru-paru, gula (diabetes), dan sinusitis.
Banyak peristiwa penting terkait dengan pertahanan terjadi ketika Matori sakit. Selain munculnya sejumlah komplikasi atas penerapan status darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, muncul kasus pengadaan helikopter angkut jenis Mi-17 untuk TNI AD dan rancangan RUU TNI.
Ketiadaan menhan selalu dikeluhkan Komisi I DPR setiap kali rapat dengar pendapat di DPR. Namun, keluhan tinggal keluhan. Sampai sekarang jabatan menteri pokok di luar menteri dalam negeri dan menteri luar negeri itu dibiarkan kosong oleh yang memiliki hak prerogatif, Presiden Megawati Seokarnoputri.
Menghadapi kasus pembelian helikopter Mi-17 dan juga Sukhoi, ketika rapat kerja dengan Komisi I DPR, Panglima TNI sambil bercanda mengemukakan, "Buat saya, lebih enak tanpa menteri pertahanan. Dengan begitu, saya bisa memaki-maki pejabat Dephan yang tidak benar kerjanya. Saya bisa langsung mengobrak-abrik ketidakberesan di Dephan karena semua adalah anak buah saya," ujarnya sambil tertawa lepas.
Ketua Komisi I DPR dari Partai Golongan Karya Ibrahim Ambong mengemukakan, selama memimpin komisi yang membidangi masalah pertahanan itu, kontroversi antara Dephan dan Markas Besar TNI selalu terjadi. "Salah satu contoh yang paling jelas adalah kasus Sukhoi. Jika membaca laporan kami dengan lampiran-lampirannya, akan ketemu, bahkan secara terbuka, Panglima TNI mengatakan Dephan adalah anak buahnya. Untung itu diakuinya hanya joke. Namun, memang itu yang sebenarnya terjadi," ujarnya.
Dengan kenyataan empiris yang mengkhawatirkan dan membahayakan itu, Ambong berharap, Rancangan Undang- Undang TNI secara jelas mengatur tugas Panglima TNI secara rinci agar tak ada tumpang tindih antarlembaga. Dalam kaitan dengan Departemen, seperti disebut dalam RUU TNI Pasal 16 (2), Panglima bekerja sama dengan menteri. Tidak cukup jelas disebut apa maksud dari kerja sama dan menteri apa yang diajak bekerja sama.
Oleh Ambong, ketidakjelasan itu menunjukkan RUU TNI penuh keraguan. "Memang secara keseluruhan kita melihat RUU TNI ini penuh keraguan dalam pembuatannya. Contoh yang paling tegas dikatakan posisi ketiga angkatan itu sama dan sederajat. Tetapi, kalau kita merunut satu demi satu secara rinci, ternyata ada perbedaan. Misalnya, kalau angkatan laut itu dikatakan menegakkan hukum di laut, angkatan udara hukum di udara. Tetapi angkatan darat tidak disebut sebagai apa. Apa bedanya, kan berarti ada perbedaan," ujar Ambong.
Letjen (Purn) Agus Widjojo mengemukakan, untuk menempatkan institusi TNI dalam konteks demokrasi, TNI harus melakukan dekonstruksi paradigma lamanya yang telah berjalan bertahun-tahun dan telah terinternalisasi. Pemberian peran kepada TNI seperti diatur dalam RUU TNI, misalnya, sejauh ini masih dianggap bahwa tugas itu otomatis, berada di luar keputusan politik Presiden.
"Tugas melaksanakan operasi militer selain perang bukan hal aneh buat TNI. Tetapi, perlu diingat, buat TNI gambaran, imajinasi dan interpretasi atas tugas itu dilaksanakan di luar kewenangan Presiden. TNI merasa boleh melaksanakan perannya secara langsung. Itu terbukti dengan munculnya Pasal 19 atau Pasal Kudeta dalam draf RUU TNI lama. TNI masih merasa bertanggung jawab atas segala-galanya," ujar Agus.
Lebih lanjut ia menengok alternatif rumusan TNI sebagai alat pemerintah bukan alat negara. Sumpah Prajurit yang asli itu adalah setia kepada pemerintah, bukan kepada negara. "Kalau kita mengatakan, TNI alat negara, konsekuensinya secara kultural apa? TNI akan mengatakan, ÆSaya kan alat negara, bukan alat pemerintah. Saya bisa hadir di luar Presiden, saya bisa bantah Presiden, saya bisa menentang Presiden." Ini harus kita padamkan, kita dekonstruksikan," paparnya.
Menurut Agus, senang atau tidak senang, mau atau tidak mau, secara sistem ketatanegaraan, TNI harus hadir di bawah keputusan politik Presiden sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan. Jangan sampai TNI masih merasa hadir di luar presiden. Perubahan sumpah prajurit menjadi setia kepada negara, menurut Agus, dilakukan untuk menjustifikasi peran ganda TNI atau dwifungsi.
Dalam kaitan dengan jati diri TNI seperti dirumuskan RUU TNI Pasal 2 (1) bahwa TNI adalah tentara rakyat, Agus mengungkapkan, definisi itu akan membuat bingung prajurit. "Saya memberi contoh. MPR bersidang di Senayan dengan 700 orang resmi yang dipilih rakyat. Lalu, ada demonstrasi di Semanggi dengan massa 5.000. TNI menyekat dan mengemankan. Yang demonstrasi 5.000 orang itu berteriak kepada TNI, ÆEh kau kan tentara rakyat, membela rakyat, kami rakyat asli nih. Kami datang dari Depok, Condet, Clincing, dan Cibubur. Kami bangun jam 03.00 dan belum makan. Ngapain membela 700 orang itu, kami rakyat asli lho.Æ Apa tidak bingung itu prajurit," ujarnya.
Dalam RUU TNI belum terlihat bagaimana hubungan kewenangan antarinstansi terkait dengan pertahanan. Tidak terlalu jelas juga didudukkan posisi Panglima TNI di hadapan Presiden dan Dephan yang secara ideal membawahinya.
Agus khawatir penyusunan dan pembahasan RUU TNI terjebak pada kesalahan yang sama ketika amandemen UUD 1945 dilakukan, yaitu dengan langsung ke pasal-pasal berdasarkan imajinasi dan praktik- praktik nyata tanpa disepakati dulu kerangka dasarnya. "Konsep makro secara fundamental bagaimana hakikat TNI? Di mana kita letakkan TNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demokratis modern. Kita belum sepakat itu dan langsung ke pasal demi pasal sehingga menjadi blang blonteng. Tetapi, kalau kita sepakati dulu makro- konsep yang komprehensif, mau bikin UU, doktrin, atau apa pun akan mudah dan akan ada konsistensi. Harus ada keberanian untuk membicarakan walaupun kita berbeda. Bagaimana kita sepakat meletakkan TNI di dalam sistem politik Indonesia yang sudah lebih demokratis dan modern berbeda dengan masa lalu," ujar Agus.
Konsep "baik-baik dengan rakyat" seperti yang kerap dikemukakan Ryamizard adalah ungkapan kerinduan TNI untuk kembali dicintai rakyatnya. Namun, dalam konteks demokrasi yang tumbuh di Indonesia, TNI sebagai alat negara (pemerintah) dibiayai sepenuhnya oleh rakyat (APBN) serta kekuasaan menggunakan TNI ada di tangan presiden dan diawasi rakyat melalui mekanisme di DPR.
Lalu, TNI bertanggung jawab atas apa dan kepada siapa? TNI bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas operasi militer secara terukur kepada pemberi perintah (Presiden). Pertanggungjawaban yang berfokus pada tanggung jawab profesional, seperti pendidikan militer, latihan militer, kesiapan militer, baik personel maupun persenjataan, dan keberhasilan operasi militer.
inu
Tuesday, March 18, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment