DALAM dua tahun terakhir, setiap perpisahan kelas terakhir Pondok Pesantren (Ponpes) Al Islam di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur, Ustad Abu Bakar Ba'asyir selalu hadir memberi ceramah perpisahan.
Kehadiran Ustad Ba'asyir -pendiri Ponpes Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah-sangat penting. Mengapa? Ustad Ba'asyir ternyata adalah Idola Santri Ponpes Al Islam, yang didirikan tahun 1993.
Begitulah pemaparan Pemimpin Ponpes Al Islam Ustad Muhammad Zakaria (32) saat ditemui sebelum memberi ceramah dan pengajian di Surabaya, Kamis (7/11).
"Anak-anak pondok selalu meminta kehadiran Ustad karena bangga, senang, dan kagum terhadap komitmennya pada Islam. Menurut para santri, ustad orangnya kalem, tetapi tegas."
Menurut ustad lulusan Ponpes Al Mukmin, Ngruki, tahun 1992 ini, dalam dua tahun terakhir, Ba'asyir selalu datang saat diundang untuk memberi ceramah perpisahan kelas terakhir, yaitu pada 16 Juni 2001 dan 17 Juni 2002.
Untuk perpisahan tahun ajaran 2003, seluruh santri sudah meminta Ba'asyir datang lagi memberikan ceramah. Mungkin harapan itu tidak akan terkabul karena Ba'asyir kini dalam tahanan polisi.
Meskipun antara tahun 1988-1992 Zakaria menempuh pendidikan di Al Mukmin, Ngruki, secara pribadi pria kelahiran Manggarai, Nusa Tenggara Timur, ini mengaku tidak mengenal Ba'asyir secara pribadi.
"Saya baru tahu Ustad adalah pendiri Al Mukmin dari ramainya pemberitaan tentangnya," papar ustad yang sebelum menjadi pemimpin Pesantren Al Islam berprofesi sebagai guru agama di Lamongan.
AL Islam didirikan atas permintaan H Khozin, pegawai negeri sipil yang merupakan kakak kandung Amrozi, yang saat ini menjadi tersangka dalam kasus peledakan bom di Bali itu.
"Tahun 1993, Haji Khozin pergi ke Ngruki untuk meminta seorang ustad sebagai pemimpin karena ia akan mendirikan pondok pesantren. Ustad Ngruki lalu meminta Khozin menghubungi saya yang alumni Ngruki dan sedang berada di Lamongan," ujarnya.
Awal sebelum pesantren dibangun, Zakaria membuka kursus bahasa Arab dan Inggris dengan jumlah murid 300 orang. Namun, saat pondok pesantren selesai dibangun, jumlah santri berkurang jadi 150 orang.
"Saat saya mendirikan pesantren bersama kakaknya, Amrozi sudah tidak ada di Lamongan. Menurut orang-orang, ia di Malaysia," ujar Zakaria.
"Saya baru kenal Amrozi tahun 1997 saat ia pulang ke Lamongan dari Malaysia. Tapi, kemudian ia menghilang lagi dan baru muncul tahun 2000. Meskipun sibuk karena sering pergi dalam waktu cukup lama, kalau sedang ada di kampung, Amrozi sering turut shalat berjamaah di pesantren dan kami sering pergi bersama mencari makan," paparnya.
SAAT diminta komentarnya mengenai keterlibatan Amrozi dalam kasus peledakan bom di Bali, Zakaria yang sempat diperiksa polisi di Kepolisian Resor (Polres) Lamongan usai penangkapan Amrozi, merasa tidak yakin dengan tuduhan itu.
"Saya tidak yakin sedikit pun. Dari apa yang saya ketahui, Amrozi tidak memiliki kemampuan dan kapasitas untuk itu. Kalau dinilai terkait lantaran Amrozi adalah pemilik terakhir mobil Mitsubishi L 300, mungkin saja karena profesinya adalah montir dan jual beli kendaraan," ujarnya.
Lagi pula, saat kejadian peledakan bom di Bali 12 Oktober 2002, bersama dengan Kamar, Polisi Kehutanan Lamongan, Amrozi sedang menonton tinju di televisi di rumahnya.
Zakaria mengaku cukup mengenal Amrozi dan keluarganya. Amrozi, seperti dituturkan Zakaria, adalah salah satu dari 13 anak H Nurhasyim yang beristri dua. Saat ini, Nurhasyim terbaring lumpuh karena sakit. Amrozi sendiri kepada Zakaria mengaku telah tiga kali menikah dan memiliki dua anak kandung dan satu anak tiri. Saat ini ia hidup bersama istri ketiganya, Susi.
Selain ahli memperbaiki motor dan memiliki usaha jual beli mobil, Amrozi juga pandai memperbaiki dan memasang antena tambahan pada handphone. Untuk mobilitas, Amrozi sering mengendarai sedan Toyota Crown warna putih dengan nomor polisi G 8488 D.
"Kami berdua sering pergi mencari sate dengan mobil yang saat ini disita polisi sebagai barang bukti," ujar Zakaria.
IBU kandung Amrozi, Tariem, mengaku terkejut dengan penangkapan anaknya. "Waktu anak saya ditangkap, saya sedang di ladang. Ketika pulang sore hari, di rumah saya sudah banyak polisi yang menggeledah kamar anak saya. Sampai sekarang saya tidak tahu di mana keberadaan dan apa kesalahan yang dibuat anak saya," kata Tariem.
Dalam kesehariannya, Amrozi memang diketahui para tetangganya sebagai montir kendaraan. Bengkel tempat ia bekerja berada tepat di samping rumah orangtuanya. Rumah itu, selain ditempati Tariem dan suaminya, Nurhasyim, juga ditempati Amrozi bersama istri dan anaknya. Rumah yang terdiri dari dua bangunan utama dan satu bangunan tambahan itu kini sudah diberi batas garis polisi.
Bangunan pertama yang memanjang ke belakang ruangannya dipetak-petak menjadi lima ruangan. Menurut Tariem, ruangan itu sebagai tempat tinggal bagi para guru ponpes Al Islam yang dipimpin anak ketiganya, H Khozin.
Bangunan kedua yang memiliki tiga kamar ditempati Tariem bersama Nurhasyim di kamar bagian depan. Kamar belakang ditempati Amrozi serta istri dan anaknya, sementara bangunan ketiga adalah bengkel yang dijadikan tempat praktik sehari-hari Amrozi.
"Sehari-hari Amrozi bekerja sebagai montir dan tidak pernah pergi ke mana-mana. Kalaupun pergi, paling-paling hanya untuk membeli kekurangan onderdil kendaraan yang ia perbaiki dan perginya pun tak pernah lama," kata Tariem.
Selain Amrozi, Tariem masih memiliki tujuh anak kandung lainnya, yakni Alima, Afiah, Khozin, Djafar Sodiq, Gufron, Amin Jabir, dan Ali Imron. Gufron dan Ali Imron berada di Malaysia. Djafar Sodiq dan Khozin mengelola ponpes Al Islam.
DI pondok pesantren yang luasnya sekitar 60 x 120 meter itu terdapat tiga ruangan kelas yang bangunannya terbuat dari papan dengan atap genteng merah. Selain ruang kelas, dalam kompleks itu juga terdapat beberapa ruang tempat tidur santri laki-laki, bangunan bertingkat untuk santri perempuan, lapangan voli, dan sebuah masjid.
Dari 150 santri, hanya lima persen yang berasal dari desa Tenggulun. Sisanya dari bebeberapa daerah di Jatim dan luar Jatim, seperti dari Malang, Ngawi, Madiun, Madura, Solo, dan Flores.
Menurut salah seorang pengajar pesantren, Nurfitratullah, santri-santri yang tinggal di ponpes Al Islam adalah santri yang berusia dari 12-20 tahun. Sebagian besar sudah ada yang tinggal di ponpes Al Islam selama delapan tahun.
inu
Sunday, February 24, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment