Sunday, February 24, 2008

sumpah pemuda

KAMI putra-putri Indonesia,
berbangsa satu, bangsa Indonesia
Kami putra-putri Indonesia,
ber-Tanah Air satu, Tanah Air Indonesia
Kami putra-putri Indonesia,
berbahasa satu, bahasa Indonesia

SETIDAKNYA, setahun sekali setiap tanggal 28 Oktober, kita diingatkan akan heroisme pemuda dari seluruh negeri yang bercita-cita luhur mulia untuk menyatukan negeri lewat Soempah Pemoeda! Namun, bagaimana pemuda di Jawa Timur (Jatim), khususnya Surabaya, menghayati dan memaknai peristiwa yang terjadi 76 tahun lalu itu? Memang beragam tanggapan pemuda dalam menjawab pertanyaan dasar ini. Namun, pada umumnya mereka tidak lagi merasakan gema dan juga pesan dari ikrar pemuda yang dipekikkan pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, di Batavia (kini Jakarta) itu.

"Dari pelajaran sejarah di sekolah sejak SD (sekolah dasar-Red) memang saya tahu kalau tanggal 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Namun, hanya tahu sebatas tanggal saja. Selebihnya saya tidak tahu," tutur Suprapto (17), siswa kelas II Sekolah Menengah Umum (SMU) Muhammadiyah 6 Surabaya, Minggu (27/10).
Penuturan polos remaja yang bersama puluhan teman seusianya hadir dalam diskusi bertajuk "Membangkitkan Semangat Kebangsaan" di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Surabaya itu diungkapkan juga sejumlah teman-temannya. Sumpah pemuda yang menyatukan dan menjadi alat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan itu tak lagi bergema. Juga di relung hati kaum muda yang menjadi pewaris semangat itu.

BANYAK sebab yang menjadi pemicu lunturnya semangat kebangsaan yang merupakan warisan para pendahulu Republik ini. Para pemuda yang ditemui mengaku sangat jenuh melihat wacana kebangsaan yang saat ini dibicarakan dalam sejumlah forum, baik di pemerintahan maupun di luar pemerintahan.

"Tidak pernah ada habisnya dan tidak memberi kontribusi nyata bagi bangsa. Karena itu, saya makin tidak berminat membicarakan politik termasuk soal kebangsaan itu," ujar Vina (21), mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya. Kenyataan itulah yang membuat dia dan beberapa temannya enggan membicarakan masalah kebangsaan yang berbau politik.

"Yang penting ngurusin sekolah. Habis sekolah kerja cari uang untuk hidup dan masa depan. Soal kebangsaan dan negara enggak sampai kepikiran," ungkap Bintoro (20), yang ditemui sedang asyik memilih-milih komik Jepang di sebuah toko buku di Tunjungan Plaza, Surabaya.

Penyebab lain lunturnya semangat kebangsaan atau keinginan untuk memberi kontribusi bagi kelangsungan dan kehidupan berbangsa sejumlah besar kaum muda adalah tidak adanya kepercayaan yang diberikan oleh kelompok tua kepada kaum muda.

"Saat ini hampir tidak ada posisi dalam lembaga resmi yang dipercayakan kepada kaum muda. Bahkan, untuk mengurusi kaum muda, lembaga-lembaga itu menempatkan orang-orang tua di sana," ujar Haris Nukman (21), Ketua Komisariat Istimewa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Tarbiyah cabang Wonocolo, Surabaya.

Jika pada lembaga-lembaga atau partai-partai tertentu kaum muda sepertinya diutamakan, mahasiswa Jurusan Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel ini melihat, hal itu hanya trik saja untuk merebut suara. Jumlah kaum muda yang memiliki hak suara dalam pemilihan umum (pemilu) cukup signifikan. Namun, setelah suara di dapat, kaum muda segera ditinggalkan.

Untuk pembangunan kesadaran berbangsa, sejumlah kecil mahasiswa dan kaum muda melakukannya lewat diskusi yang sifatnya terbatas tanpa penyaluran melalui organisasinya dan juga organisasi pemuda lain. "Akibatnya kami sering mengalami kelesuan dan kelelahan karena tidak ada tanggapan sama sekali dari pemerintah atas sejumlah tuntutan dan aspirasi yang kami sampaikan," paparnya.

DENGAN kondisi yang umum terjadi seperti ini, Haris yakin, hanya segelintir orang muda yang masih punya perhatian dan keprihatinan perihal kebangsaan. "Di kampus dan di tempat biasanya anak muda berkumpul, tidak ada pembicaraan soal-soal kebangsaan atau kehidupan bernegara. Mahasiswa telanjur apolitis yang membuat mereka berpikiran pragmatis," ungkapnya.

Sikap apolitis dan pragmatis kaum muda ini diakui juga oleh Nita Savitri (16), siswa kelas II SMK Ketintang I Surabaya. "Jangankan soal kebangsaan, untuk masalah yang ada di sekitarnya saja banyak yang tidak peduli. Untuk berorganisasi di tingkat sekolah saja susah mengajak dan melibatkan mereka. Yang dipikirin cuma bersenang-senang dan kepentingannya sendiri," ujarnya.

Lunturnya semangat kebangsaan seperti yang muncul dalam diri para pemuda yang mengikrarkan Sumpah Pemuda 76 tahun lalu juga diakui Suprapto dan teman-temannya. Menurut dia, kaum muda terjebak dalam arus yang tidak bisa mereka kendalikan, seperti konsumerisme. "Yang muncul di benak kaum muda dan menjadi bahan pembicaraan adalah bagaimana memiliki barang ini dan itu seperti yang banyak diiklankan di media," ungkapnya.
Oleh karena itu, semua kaum muda yang ditemui dan dimintai komentar perihal memaknai Sumpah Pemuda hanya tersenyum dengan canggung. "Jangankan memaknai Sumpah Pemuda, memotivasi diri untuk sekolah saja banyak yang kesulitan. Tidak sedikit teman-teman saya yang membolos sekolah dan kemudian terlibat dalam penggunaan obat-obatan terlarang karena pergaulan," ungkap Suprapto.

Ironis memang. Tetapi, itulah yang terjadi pada sejumlah-untuk tidak mengatakan sebagian besar-kaum muda kita seperti yang tertangkap secara acak di sejumlah tempat mereka biasa berkumpul. Lalu, akan diletakkan ke pundak siapa semangat dan cita-cita kebangsaan para pemuda pendahulu mereka yang telah berikrar bersama: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia?

inu

No comments: