TENGGULUN. Sebelumnya hampir tidak pernah terdengar namanya, lantaran satu dari 10 desa di Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur, ini terpencil dan tertinggal. Saat melintasi jalan sepanjang delapan kilometer menuju desa ini dari jalan kabupaten yang penuh dengan hiasan ranting kering pepohonan karena kemarau, bayangan mengenai ketertinggalan itu mendapatkan pembenarannya.
Namun, begitu memasuki kawasan perumahan penduduk, bayangan tentang ketertinggalan desa yang sepekan terakhir begitu populer karena penangkapan Amrozi segera sirna. Meskipun terpencil dan terkucilkan oleh hamparan luas ladang tadah hujan yang mengering karena kemarau, hampir semua simbol kemajuan dan modernitas dimiliki sebagian besar penduduk desa yang berjumlah sekitar 2.600 jiwa ini.
"Meskipun jalan masuknya sangat jauh dan menimbulkan kesan terpencil dan terasing, kami tidak pernah merasa tertinggal. Hampir semua warga desa di sini memiliki televisi," ujar seorang warga bangga. Selain itu, simbol modernitas lain seperti handphone tampak ditenteng oleh beberapa pemuda desa.
MELIHAT kondisi alam desa ini, hampir mustahil keterpencilan dan ketertinggalan desa ini dapat diatasi. Jika hanya mengandalkan hasil pertanian dan ladang, ketertinggalan dan keterpencilan dipastikan akan terus melekat. "Setahun, kami hanya panen tiga kali. Dua kali panen padi dan sekali panen jagung atau kedelai dengan hasil yang tidak selalu bagus," ujar Sodik (49).
Lalu, dari mana warga desa ini berhasil lepas dari belenggu ketertinggalan menuju kemakmuran? "Lebih dari 20 persen warga desa pergi ke Malaysia untuk kerja bangunan. Jika dihitung-hitung, hasilnya bisa lebih dari enam kali kerja tani," ujar Kepala Desa Tenggulun Drs Maskun.
Menurut data yang dimilikinya, saat ini, terdapat 643 warga Desa Tenggulun yang mencari kerja di Malaysia. Dengan total keluarga hanya 426 keluarga, di setiap rumah, pasti ada satu atau dua anggota keluarga yang bekerja di negeri jiran tersebut. "Mereka yang pergi bekerja ke Malaysia inilah yang membuat desa jauh dari kesan terpencil dan tertinggal," papar Maskun, yang menjadi kepala desa sejak tahun 1989.
Maskun memberi contoh, untuk mengaspal jalan desa sepanjang sekitar enam kilometer, seluruh dana didapat dari warga yang pergi ke Malaysia. Karena semua keluarga ada anggotanya yang bekerja di Malaysia, setiap keluarga dimintai bantuan antara Rp 200.000 hingga Rp 1 juta. "Terkumpul lebih dari Rp 300 juta untuk mengaspal jalan desa pada tahun 1999," ujarnya.
Karena mudahnya mendapatkan ringgit di negeri jiran itu, tidak sedikit warga Desa Tenggulun yang kemudian terus berbondong-bondong ke Malaysia untuk mengubah nasib. Hal ini mulai berlangsung sejak tahun 1980 hingga sekarang.
"Saya pergi ke Malaysia untuk cari kerja di sana tahun 1982. Sekarang saya ke sini karena puasa dan akan segera pulang kembali ke Malaysia karena banyak kerja di sana," ujar Marsodin (45), seorang warga Tenggulun.
Marsodin mengatakan, "pulang kembali ke Malaysia" karena secara kewarganegaraan, ia, istri, dan putra-putrinya tercatat sebagai warga negara Malaysia. "Sejak tahun 1984, saya sudah mendapat IC (Identity Card/Kartu Penduduk Malaysia-Red). Saya pulang untuk menengok kampung dan membangun rumah untuk hari tua," ujarnya sambil duduk mengamati bangunan rumah dua lantai yang baru dibangunnya.
Apa yang dilakukan Marsodin dilakukan juga oleh sejumlah warga desa lain. Karena sebagian besar dari mereka yang tinggal dan bekerja di Malaysia memiliki IC, mereka dengan mudah meninggalkan Malaysia dan kemudian datang lagi. "Mereka yang punya IC, sluman-slumun datang dan pergi-Red) dari desa ini," tutur Maskun.
NAMUN begitu, tidak mudah untuk mendapatkan IC Malaysia apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini. "Persyaratannya makin diperketat," ujar Maskun.
Salah satu teman sekolahnya di sekolah dasar di Lamongan, yaitu Gufron (39), yang saat ini menjadi buronan Tim Investigasi, telah mengubah nama. "Saya ketemu Gufron sedang berdakwah di Malaysia tahun 1988 bersama seorang temannya dari Desa Dadapan. Saat itu, namanya sudah berubah bukan lagi Gufron seperti yang saya kenal saat sekolah dasar," ujarnya, yang mengaku tidak ingat nama baru Gufron ketika berada di Malaysia.
Gufron, yang sudah berubah nama itu, kepada Marsodin mengaku tinggal di Pondok Pesantren Al Arqam, Johor, Malaysia. Selain bertemu Gufron, Marsodin mengaku beberapa kali bertemu dengan Amrozi di Ampang Tasik, Kuala Lumpur, Malaysia, yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari tempatnya tinggal.
Mengenai perginya Gufron dan Amrozi ke Malaysia ini dibenarkan oleh H Khozin, saudara kandungnya yang menjadi Ketua Yayasan Pondok Pesantren Al Islam di Desa Tenggulun. Dari Malaysia yang menjadi ladang kedua warga Desa Tenggulun, pondok pesantren yang diangan-angankannya sejak tahun 1989 itu mendapat dana sehingga berdiri tahun 1993 dan terus berkembang hingga muncul kasus peledakan bom yang mengaitkan Amrozi dengan pondok pesantren dengan santri sekitar 150 remaja itu.
inu
Sunday, February 24, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment