TENGGULUN. Selain identik dengan pemudanya yang mencari ladang kedua di Malaysia, desa berpenduduk sekitar 2.600 jiwa di Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur, yang akhir-akhir ini meroket namanya lantaran Amrozi, itu identik juga dengan Kiai Sinori.
Menurut cerita penduduk setempat, Kiai Sinori adalah "pembabat alas" yang memperkenalkan warga Desa Tenggulun dengan ajaran Islam. Sekitar awal abad ke-19, kiai asal Madura ini datang ke desa itu untuk bertapa.
"Tujuan utamanya ke sini untuk menyebarkan agama Islam di desa ini," ujar Kepala Desa Tenggulun Drs Maskun. Setelah menyebarkan agama Islam selama empat tahun, pada usia 21 tahun, kiai yang gemar memelihara burung perkutut ini meninggal dunia. Kiai yang banyak berjasa kepada warga desa itu dimakamkan di belakang Masjid Baitul Muttaqin yang terletak sekitar 300 meter dari rumah Amrozi. Terdapat cungkup untuk menghormati jasa-jasanya kepada warga desa.
Sinori adalah nama julukan yang diberikan warga kepada kiai yang datang ke Tenggulun pada usia 17 tahun ini. "Sinori itu artinya yang memberi sinar terang melalui penyebaran agama Islam yang dilakukannya," tutur Maskun.
Selain memberi sinar terang kepada warga, kiai yang dikenal memiliki "ilmu" ini dianggap berjasa karena menemukan sumber air di desa yang gersang itu. Sumber air yang terletak 30 meter dari makamnya itu tak pernah surut meski kemarau panjang tiba.
Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, desa ini kemudian diberi nama Tenggulun. Tenggulun adalah nama pohon yang terletak di dekat sumber air yang ditemukannya. "Di pohon tenggulun itulah, Kiai Sinori sering mengerek burung perkutut kesayangannya," ujar Maskun.
SEPENINGGAL Kiai Sinori, salah satu muridnya, Kiai Sulaiman, melanjutkan pekerjaan Kiai Sinori di Tenggulun. Pada masa kiai ini, yaitu sekitar tahun 1911, Tenggulun memasuki masa keemasan. "Banyak warga desa sekitar yang datang berguru ke sini. Rakyat tenteram, desa makmur, dan agama Islam menyebar luas," papar Maskun.
Namun, kejayaan Kiai Sulaiman tidak mampu dilanjutkan oleh anak-anaknya, yaitu Romli, Masriah, dan Ridwan. "Dua anak pertama meninggal pada usia muda, sementara Ridwan tidak punya santri. Ia tidak mampu merawat peninggalan ayahnya. Yang dirawat hanya harta," ungkap Maskun. Cukup
lama kosong karena tidak ada tokoh panutan desa, muncul KH Yunus yang berasal dari luar desa. Pada masa KH Yunus, banyak santri yang berguru padanya. Banyak santrinya yang kemudian menjadi kiai dan menyebar ke desa-desa lain.
Meskipun berhasil, perjuangan kiai yang masuk Tenggulun sekitar tahun 1922 ini patah lantaran tak satu pun dari kelima anaknya yang melanjutkan perjuangannya. Meminta datangnya tokoh baru, warga sering berziarah ke makam Kiai Sinori.
Beberapa tahun kemudian muncul Kiai Abdul Gani dari Desa Kranji, Lamongan. Ia menjadi tokoh di Tenggulun karena kawin dengan gadis desa itu. Pada masa kepemimpinannya, Islam pesat berkembang. "Masa kejayaannya ditandai dengan banyaknya santri yang datang berguru. Ini berlangsung selama sekitar 20 tahun," papar Maskun.
Tradisi kepemimpinan tokoh Islam di Desa Tenggulun terhenti setelah Kiai Abdul Gani. Tidak jelas apa penyebabnya. Namun, bersamaan dengan tidak adanya tokoh panutan ini, sekitar awal tahun 1980, banyak pemuda desa berbondong-bondong pergi ke Malaysia mencari ladang kedua karena tandusnya ladang di desa.
Beberapa saudara Amrozi pergi juga ke Malaysia. Salah satu dari saudaranya yang pergi ke Malaysia adalah Gufron yang sejak awal dinilai keras dalam memegang prinsip-prinsip agama.
MENURUT seorang staf Kecamatan Solokuro, sekitar tahun 1987, ada kejadian yang mencengangkan penduduk desa yang mayoritas adalah Nahdliyin (warga Nahdlatul Ulama-Red) ini. Pada tahun itu, makam Kiai Sinori, sesepuh desa yang sering diziarahi warga, dibakar oleh anggota keluarga Amrozi dengan alasan musrik.
"Waktu itu, mayoritas warga marah dan melaporkan kejadian ini ke DPRD Lamongan karena menilai ziarah makam adalah hal yang biasa. DPRD Lamongan turun tangan dan kemudian mendamaikan ketegangan yang muncul," papar staf kecamatan yang enggan disebut namanya ini.
Karena kejadian ini dan mungkin merasa terpojok, dalam tahun-tahun berikutnya, beberapa saudara Amrozi meninggalkan desa ke Malaysia, termasuk Amrozi sendiri. "Saya ketemu Amrozi di Ampang Tasik, Malaysia, sekitar tahun 1992. Walau mengaku mencari kerja, saya tak pernah jumpa dia pergi kerja," ujar Marsodin, warga Tenggulun.
Sementara Gufron dan Amrozi pergi ke Malaysia, saudaranya yang berada di desa "berjuang" dengan mengidam-idamkan sebuah pondok pesantren. Khozin, kakak Amrozi, merintis dengan mengajar membaca Al Quran pada akhir tahun 1980.
Khozin kemudian mengontak sepupunya yang sedang belajar di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Jawa Tengah, yaitu Zaifuddin Zuhri. Khozin lalu mengajukan permohonan minta pengajar ke Ngruki dan ditanggapi dengan ditunjuknya Ustad Muhammad Zakaria yang sedang berada di Glagah, Lamongan.
Tahun 1993, Pondok Pesantren Al Islam didirikan Khozin, Ja'far Sodik (kakak tertua Amrozi), Saifuddin Zuhri, dan Muhammad Zakaria. "Khozin sendiri yang datang ke Ngruki untuk minta ustad dan saya yang ditunjuk memimpin pesantrennya," ujar Zakaria (32), alumnus Ngruki tahun 1992.
Dalam masa perkembangan ini, awal tahun 1996, Ja'far Sodik yang ketika itu menjadi Sekretaris Desa (carik) Tenggulun tersandung Pasal 372 KUHP tentang penggelapan. Oleh Pengadilan Negeri Lamongan, Ja'far divonis dua bulan kurungan.
Tahun 1997, Amrozi pulang ke desa dari Malaysia. "Saat pulang, Amrozi berubah. Ia kelihatan lebih beriman. Juga saudara-saudara lainnya. Amrozi, Gufron, dan beberapa teman yang dibawanya sering ke Al Islam. Kegiatan saudara dan teman Amrozi di desa hanya antara rumah dan pesantren saja," ujar Maftuhin, tetangga depan rumah Amrozi.
inu
Sunday, February 24, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment