BERTEMPAT di belakang panggung terbuka Taman Candra Wilwatikta
Pandaan, Pasuruan, Minggu (8/9/2002) malam. Satu jam sebelum pergelaran
sendratari yang mengambil lakon Sawunggaling Gugat, tidak kurang dari
150 pemain sibuk merias, dirias, atau saling merias. Semua seakan
ingin tampil sempurna di malam yang penuh bintang di langit itu.
Bukan saja karena menurut rencana, Gubernur Jawa Timur (Jatim)
Imam Utomo akan datang menyaksikan (meskipun akhirnya rencana ini
hanya tinggal rencana karena gubernur urung datang). Mereka semua
ingin tampil sempurna, terutama karena ini merupakan penampilan
pertama sejumlah pemain yang rata-rata berusia muda.
"Ini panggung saya pertama," ujar Ira (8) yang mengaku sudah.
berdandan sejak sore hari. Siswi kelas III Sekolah Dasar Negeri (SDN)
Ketintang, Surabaya, ini akan tampil sebagai pembuka menarikan tarian
bermain bersama 17 teman seusianya berkostum sama.
Sementara para pemain sendratari yang berasal dari Sanggar Tari
Raff DC, Surabaya, sibuk berdandan dan bersiap-siap untuk tampil ke
panggung, dua pelawak kondang Jatim, Topan dan Leysus, berusaha
mengocok perut penonton yang mulai memadati sekitar 1.000 tempat
duduk yang tersedia.
Oleh karena daya tarik dua pelawak kondang inilah, menjelang
pergelaran sendratari ditampilkan sekitar pukul 21.30, tempat duduk
di depan panggung mulai penuh. Ketika lawakan Topan dan Leysus hampir
berakhir, seluruh pemain sendratari berbaris di belakang panggung
menunggu giliran tampil.
Bersamaan alunan musik tradisional dan tembang cublak-cublak
suweng dari siswa Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Surabaya,
(SMKI/SMKN9), sendratari Sawunggaling Gugat digelar. "Kami berharap
penampilan ini dapat menjadi awal bangkitnya kembali kesenian
tradisional di Jatim," ujar Sutradara Sawunggaling Gugat Sugeng
Hariyatin (36) yang kemudian bergegas ke arah panggung.
SAWUNGGALING Gugat yang ditampilkan oleh sekitar 100 penari
Sanggar Tari Raff DC dengan dukungan 15 siswa SMKN9 dan 35 pemain
barongsai dari Budi Luhur bercerita tentang upaya pencarian ayah oleh
Sawunggaling yang bermana kecil Joko Berek. Dalam pencarian tersebut,
Sawunggaling justru berhasil menggantikan kedudukan ayahnya sebagai
Bupati Surabaya dan menentang upaya Belanda yang ingin membangun
benteng pertahanan di Surabaya.
Cerita dimulai dengan tampilnya Joko Berek sedang bermain dengan
teman-temannya. Lantaran tidak punya ayah, Joko Berek diolok-olok
teman bermainnya dan kemudian menangis. Ibunya datang menenangkan dan
memberi tahu bahwa ayahnya adalah Bupati Surabaya bernama Jayeng Rono
yang suka sabung ayam. Joko Berek dan ibunya tinggal di Tegal Sari.
Dengan bekal telur, Joko Berek kemudian pergi mencari sang ayah.
Dalam perjalanan, ia dihadang dua harimau yang hendak mengambil telur
yang merupakan bakal ayam jago. "Untuk menambah semarak pergelaran,
saya masukkan barongsai untuk mengusir harimau dan kemudian mengerami
telur yang menetaskan ayam jago menangan. Dalam pakem cerita,
barongsai itu tidak ada," ujar Sugeng.
Upaya memasukkan kesenian barongsai diakui alumnus Sekolah Tinggi
Kesenian Wilwatikta (STKW) ini sebagai upaya kreatif. Menurut dia,
tanpa kreativitas seperti ini kesenian tradisional tinggal menunggu
waktu untuk ditinggalkan penontonnya. "Upaya kreatif kami lakukan
juga dengan mencari variasi tarian baru," ujarnya.
Setelah telur yang dierami naga itu menetas, Sawunggaling
dipertemukan dengan ayahnya lewat sabung ayam. Dari sinilah kisah
Sawunggaling Gugat dimulai. Ia akhirnya menemukan ayahnya yang sudah
meninggal dibunuh Belanda dan berhasil memenangi sayembara untuk
menggantikannya sebagai Bupati Surabaya.
Selama pergelaran, penonton tampak menikmati. Dinginnya angin
malam tidak sedikit pun membuat mereka beranjak. "Tariannya menarik
dan digarap bagus. Selain itu, barongsainya juga menambah bagus
cerita dan pertunjukan," ujar Nani (20) sambil asyik menikmati
sebungkus kacang rebus.
PERGELARAN kolosal yang menghabiskan biaya produksi sekitar Rp 50
juta ini disiapkan secara intensif dengan latihan bersama sebanyak 10
kali. "Selain untuk kostum dan perlengkapan panggung, biaya terbesar
lain untuk konsumsi setiap latihan yang biasanya berlangsung sehari
penuh," papar Sugeng.
Namun, meskipun kadang menjadi kendala, biaya bukan penghalang
utama untuk tetap bertahannya kelompok kesenian tradisional. Menurut
dia, yang lebih penting adalah kreativitas dalam berkarya dan
kepastian jadwal tampil.
inu
Sunday, February 24, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment