Sunday, February 24, 2008

nunukan

MATAHARI belum menunjukkan tanda-tanda akan bersinar di ufuk timur. Namun, ratusan bahkan ribuan orang yang umumnya berusia muda sudah berdiri atau sekadar duduk-duduk di sepanjang jalan utama di Pulau Nunukan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur (Kaltim) Kamis (1/8) dini hari.

Tidak ada yang mereka kerjakan di sepanjang jalan tersebut. Tatapan mereka kosong. Tidak ada pula emosi dalam percakapan yang sesekali mereka lakukan. Semua terdengar lemah dan datar. Saat ada yang mencoba memecahkan suasana dengan melucu, respon yang diharapkan sama sekali tidak muncul.

Menjelang Matahari terbit, aktivitas baru mulai terlihat. Kerumuman orang di sepanjang jalan yang semua adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal tersebut mulai berpencar. Dua tempat utama menjadi tujuan mereka yaitu Kantor Imigrasi dan Kantor PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) Nunukan.

Di Kantor Imigrasi Jalan Tien Soeharto, Nunukan, kepadatan TKI ilegal yang berupaya mendapatkan legalitas dengan terbitnya paspor merupakan pemandangan sehari-hari. Namun, di Kantor PT Pelni, kepadatan dan antrean panjang orang membeli tiket kapal baru terlihat hari itu.

"Saya ingin pulang saja ke kampung karena takut dengan paeng (denda-Red), hukuman penjara, dan pukulan rotan. Polis Malaysia akhir-akhir ini galak dan kejam terhadap kami," ujar Sahrul (28) saat antre tiket kelas ekonomi Kapal Motor (KM) Tidar di halaman Kantor PT Pelni. Pemuda Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini bertekad pulang karena majikan perkebunan kelapa sawit tempatnya bekerja tidak mau memberi jaminan baginya untuk mengurus paspor.

Alasan serupa diungkapkan ribuan TKI ilegal lain karena mulai diberlakukannya Undang-Undang (UU) Keimigrasian Malaysia yang baru, Akta Imigresen Nomor 1154 Tahun 2002 yang mulai berlaku sejak 1 Agustus 2002. Berdasarkan UU tersebut, pekerja ilegal dan orang yang mempekerjakan mereka akan dijatuhi hukuman penjara maksimum enam bulan dan hukuman cambuk maksimum enam kali.

Saat terik Matahari mulai terasa menyengat dan bersamaan dengan habis terjualnya seluruh tiket yang jumlahnya lebih dari 3.000 di Kantor PT Pelni, jalan menuju Terminal Penumpang Tunontaka, Nunukan dipadati ribuan orang pemegang tiket yang ummnya perempuan dan anak-anak.

Dengan barang bawaan berbagai ukuran yang diangkut dengan menyewa gerobak, ribuan orang yang baru terusir dari negeri jiran ini berduyun-duyun menjemput kedatangan KM Tidar yang akan membawa mereka ke Pelabuhan Nusantara Kota Pare-pare, Sulawesi Selatan (Sulsel). Menurut jadwal, KM Tidar yang datang setiap kamis dua minggu sekali ini akan meninggalkan Nunukan pukul 12.30 dan tiba di Pare-pare, Sabtu (3/8) malam.

Begitu KM Tidar yang berbobot mati 13.888 ton tampak dari kejauhan sekitar pukul 10.30, ribuan calon penumpang yang semula duduk di sekitar barang bawaanya berdiri. Setelah kapal buatan pabrik kapal Meyer Werft Jerman Barat ini sandar, lebih dari tiga ribu orang yang menunggu berjam-jam ini berlarian memadati jalan menuju kapal selebar empat meter dengan panjang sekitar 500 meter.

LEWAT dua tangga yang disiapkan, pekerja berebut naik ke atas kapal. Mereka yang cepat dan kuat lalu mendapat tempat. Mereka yang kalah cepat dan umumnya perempuan yang menggendong dan menggandeng anak-anak memanfaatkan setiap ruang yang tersisa di luar dek. "Di dalam dek tidak ada tempat lagi, terpaksa kami di sini saja," ujar Lina (35) bersama dua anaknya Risna (15 bulan) dan Fitri (4) di dek lima luar.

Seperti ratusan penumpang lain yang tidak mendapat tempat, untuk menghalau angin dan melindungi kedua anaknya dari terik matahari, kardus bawaan berisi pakaian dan peralatan dapur disusun berkeliling. Tikar dan dua selendang digelar untuk alas tidur. Abd Azis bin Sangkala (27) suaminya tidak menyertai kepulangannya karena memiliki paspor dan tidak diizinkan majikan untuk cuti.

"Kami bertiga terpaksa pulang ke kampung di Bulukumba karena takut ancaman polisi Malaysia yang akan menangkap kami yang tiada berpaspor," papar Lina sambil mencarikan obat demam di kotak obat yang dibawa sejak dari Malaysia untuk Risna. Karena tidak bisa mengantar, suaminya menitipkan mereka ke yayasan untuk mengurus kepulangan ke Bulukumba.

"Sebetulnya kami masih lelah dan ingin beristirahat di Nunukan lebih lama sebelum melanjutkan perjalanan ke Bulukumba. Namun, karena di Nunukan air bersih dan penginapan yang layak susah didapat dan membuat kami makin terlantar, kami memutuskan berangkat secepatnya. Lebih cepat sampai di kampung lebih baik," ujar Lina bersamaan dengan pengumuman anak buah kapal (ABK) bahwa pukul 13.00 kapal yang 80 persen penumpangnya TKI ilegal asal Malaysia akan berangkat.

Sementara KM Tidar yang dinahkodai Kapten Kapal Widadi mulai meinggalkan Nunukan, lebih dari tiga ribu TKI ilegal asal Sabah, Malaysia Timur di empat dek kelas ekonomi yaitu dek dua, tiga, empat, dan separuh dek lima berbenah dengan mengatur posisi duduk dan tidur. Selain dek ekonomi, dalam kapal disediakan dua dek untuk kelas satu, dua, dan tiga yang kondisinya kontras karena lebih separuh tidak terisi lantaran harganya tidak terjangkau.

Meskipun jumlah penumpang melebihi kapasitas kapal yang hanya 2.049 orang, menurut Markonis (penanggung jawab keselamatan jiwa di laut) KM Tidar Muryono, kelebihan jumlah penumpang untuk kondisi darurat seperti ini masih dapat ditoleransi karena perlengkapan keselamatan yang tersedia 5.000 unit atau kurang lebih setara dengan penumpang yang saat ini berada di dalam kapal. Dari ribuan penumpang tersebut, hanya 12 penumpang yang tidak membeli tiket ketika razia dilakukan.

Oleh karena kepadatan ini, setiap ruang kosong seperti di bawah tangga dan di seputar delapan dek luar penuh dijejali manusia dengan barang bawaan. Untuk berjalan, orang akan kesulitan. Pendingin ruangan yang sebelum tiba di Nunukan masih terasa sejuk, sesaat setelah meninggalkan Nunukan tidak lagi terasa. Di dalam dek menjadi lebih panas karena saat kapal sandar di Tarakan, sekitar 1.500 penumpang menambah padat kapal.

Tidak kuat dengan siksaan panas yang makin terasa menjelang malam, kaum pria melepas kaus dan kemeja yang dikenakan. Aroma tidak sedap pun merebak. Untuk menenangkan sejumlah balita yang jumlahnya lebih dari seribu, para ibu lalu membuat ayunan darurat dengan selendang yang digantung di rak tempat barang bawaan.

"Sudah biasa kami begini. Lagi pula hanya tiga hari saja. Ini pun masih lebih baik dibanding saat kami ditampung di Nunukan," ujar Rusman (24). Sopir perkebunan ini hendak pulang ke Bugis menitipkan istri dan anaknya ke rumah orang tuanya. Begitu sampai di Bugis, ia akan mengurus paspor untuk kembali pada majikannya di Sabah.

Karena kondisi yang tidak sehat ini, menurut catatan di poliklinik di dek tujuh, sedikitnya 18 pasien yang melapor sakit. Umumnya mereka menderita radang tenggorokan, diare, pusing-pusing, dan demam. Dari 18 pasien tersebut, tujuh di antaranya balita dan dua lanjut usia. "Umumnya mereka kelelahan dan kondisi kurang mendukung," ujar Sunarko, mantri yang bertugas.

Sementara sebagian besar penumpang kapal terlelap tidur di setiap ruang kosong di dek ekonomi dan di luar setiap dek dalam ketidaknyamanan, sejumlah anak muda yang umumnya laki-laki dan mengaku sulit tidur karena tidak ada tempat dan kepenatan pikiran memanfaatkan aneka hiburan yang ditawarkan di dalam kapal selepas pukul makan malam yang harus diambil dengan mantre di dek empat.

Selain karaoke dan cafe dengan life music di dek enam dekat dengan penumpang kelas satu, dua, dan tiga, ada juga pemutaran film di mini teater di dek dua. Dengan aneka jenis film biru (blue film) yang diputar dalam video compact disc (vcd) player dan dipancarkan dengan proyektor ke layar berukuran sekitar empat meter persegi, kepenatan mereka sejenak terusir.

Hingga pemutaran film terakhir dengan judul "Surrander" pukul 23.30, teater mini berkapasitas 120 tempat duduk dengan harga tiket Rp 10.000 tersebut tetap penuh terisi. Beberapa perempuan yang tidak tahu dan terlanjur membeli tiket, langsung keluar sambil bersungut-sunggut setelah sepuluh menit film diputar.

"Kami sudah pasang sampul VCD-nya di tempat pemesanan tiket. Kalau mereka jeli, sejak awal harusnya mereka tidak membeli tiket," ujar Aryo (36), penjaga tiket berkelit. Dengan senapan, seorang polisi berjaga di pintu masuk mini teater tersebut hingga pemutaran film berakhir sekitar pukul 01.00 dini hari.

MENYIASATI panas, kepenatan, dan makin tidak teraturnya kondisi tiap dek seperti terlihat keesokan harinya, selain membuatkan susu dalam botol, para ibu yang berangkat bersama anaknya menggantungkan selendang di langit-langit dek membuat ayunan. Sambil menahan kantuk, mereka yang umumnya pulang ke kampung masing-masing tanpa suami mengoyangkan ayunan tersebut.

Selain seperti Lina, yang pulang sendiri karena suaminya tidak mendapat izin mengantar dengan alasan pekerjaan, banyak para isteri yang hanya diantar suami sampai Pulau Nunukan. Di pulau tersebut, suami mereka lantas mengurus paspor dengan jaminan yang diberikan majikan. Karena hanya suami yang mendapatkan jaminan membuat paspor, untuk menghindari ancaman hukuman para suami memulangkan isteri dan akan-anak mereka.

"Sekarang suami saya sedang mengurus paspor yang baru selesai seminggu lagi. Nanti setelah dia kembali ke Malaysia, saya disuruh menyusul sekitar bulan sembilan," ujar Nurhati (27) penuh harap. Sementara perempuan yang sudah belasan tahun tinggal di Malaysia ini berharap, Pelabuhan Balikpapan mulai tampak dari kejauhan.

Berpisah dengan suami dalam ketidakpastian dan dihantui ketakutan seperti dialami hampir semua perempuan yang diantar pulang dengan KM Tidar menuju kampung masing-masing, dirasa menyakitkan. Selain isteri, anak-anak mereka merasakan hal yang sama.

Untuk mengurangi rasa sakit tersebut, Lina sengaja membawa empat foto suaminya untuk ditunjukkan kepada Fitri, anak pertamanya yang sering menanyakan kenapa ayahnya tidak ikut. Setiap pertanyaan itu muncul, foto yang ditaruh di dalam tas genggam selalu ditunjukkan kepada anaknya sambil menenangkannya dengan berbohong bahwa ayahnya nanti akan segera menyusul.

"Saat Fitri menanyakan ayahnya, ingin nangis rasanya. Seperti dicerai dan terusir rasanya...." tutur Lina yang kemudian matanya memerah dan berkaca-kaca. Sambil menarik nafas panjang, perempuan yang masuk Malaysia sejak tahun 1993 menatap perjalanan panjang menuju Bulukumba yang masih harus ditempuh 12 jam perjalanan darat selepas tiba di Pare-pare.

inu

No comments: