DIPASTIKAN tidak akan adalagi musik keras dengan irama mendayu-dayu mengajak mereka yang mendengarkannya bergoyang selama bulan Ramadhan 1423 Hijriah (2002) di kawasan Jarak dan Gang Dolly, Surabaya. Meskipun umumnya para pelaku usaha di "kawasan merah" Surabaya itu keberatan atas keputusan Wali Kota Surabaya mengenai penutupan tempat hiburan yang dikategorikan sebagai tempat asusila itu, mereka hanya bisa mengalah dan pasrah.
"HABIS mau gimana. Mau ngotot minta tetap diperbolehkan buka dengan batasan waktu tertentu seperti dulu sebelum tahun 2000 pasti tidak akan didengarkan. Lebih baik mengalah sejak awal daripada berjuang dengan jaminan pasti kalah," ujar Saptono (bukan nama sebenarnya, juga semua nama yang ada dalam tulisan ini), pengantar tamu di Wisma Kedaton di Jalan Jarak, Surabaya, akhir pekan lalu.
Pria asal Tulungagung berusia 26 tahun yang tampak sangat dekat dan akrab dengan "anak-anak" asuhan bos wisma yang persis berada di tepi jalan itu hanya berharap dapat memperolah bekal hari raya pada sisa waktu sekitar 15 hari sebelum bulan Ramadhan tiba. "Mudah-mudahan selama 15 hari terakhir sebelum Puasa, bisa ngumpulin uang buat Lebaran dan membelikan adik-adik saya baju baru," tuturnya penuh harap.
Harapan Saptono untuk memperoleh bekal hari raya selama 15 hari terakhir sebelum puasa ini beralasan, lantaran Surat Keputusan (SK) Wali Kota mengenai penutupan tempat hiburan malam yang dikategorikan sebagai tempat asusila sudah keluar, Jumat (18/10) lalu.
Dalam SK No 50/2002 tersebut diatur, lokalisasi seperti di Jalan Jarak dan Gang Dolly, diskotek, panti pijat, kelab malam (house music), karaoke yang menyediakan pemandu wanita (purel), dan hiburan yang mengarah pada kegiatan maksiat di tutup dan dihentikan operasinya selama bulan Ramadhan.
Selain SK itu, dikeluarkan juga SK Wali Kota Surabaya No 49/2002 yang mengatur waktu/jam operasional kegiatan usaha rekreasi dan hiburan umum selama Ramadhan. Dalam SK ini, kecuali pertunjukan bioskop yang diperkenankan beroperasi antara pukul 17.30 sampai 20.00, kegiatan hiburan malam lainnya diperkenankan beroperasi antara pukul 21.00 hingga pukul 02.00. Dengan adanya dua SK tersebut, SK Wali Kota No 74/2001 dinyatakan tidak berlaku lagi.
"SUDAH saya duga, selama Bulan Puasa tempat kami akan tutup. Karena itu, SK penutupan itu kami sambut biasa-biasa saja," ungkap Shirley (21) sambil meneguk jamu gendong yang sebelumnya telah ia pesan dari Mbok Rumi langganannya. Meskipun merasa agak keberatan atas keluarnya SK itu-seperti juga dikeluhkan semua pelaku usaha di daerah merah Surabaya itu-wanita asal Jember ini tampak tenang.
Malam menjelang dini hari itu, di tengah temaramnya lampu warna-warni dan hingar-bingar lampu di Wisma Ratu Mustika tempatnya "diasuh" bersama sembilan teman seusianya oleh bos pemilik wisma, Shirley tampak paling ceria dengan menggoyang-goyangkan kepala mengikuti irama musik. Saat ditanya kenapa, ia berujar, "Ini cara saya menghibur diri. Kerja hampir selesai malam ini."
Seperti dituturkannya dan juga diperkuat oleh teman-teman yang akhirnya menjalani profesi serupa menjadi pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Jarak dan Gang Dolly, seluruh wisma yang berjumlah tidak kurang dari 60 itu akan tutup sekitar pukul 01.00. Mengenai jam buka bervariasi. Ada yang sudah mulai buka pukul 11.00, ada juga yang baru buka usai magrib. "Namun, bersamaan dengan nyala lampu jalan, wisma sudah buka semua," tutur Ria (22).
Ketika ditanya apa yang akan dilakukannya selama bulan Ramadhan, wanita asal Semarang yang sudah tiga tahun menjadi PSK di Surabaya ini dengan mantap menjawab, "Saya akan pulang kampung. Karena saya Muslim, saya juga akan berpuasa dan mempersiapkan Idul Fitri bersama saudara-saudara saya di Semarang."
Saat ditanya, apakah saudara dan kaluarganya mengetahui jenis pekerjaannya di Surabaya, Ria yang bertubuh tinggi langsing menggoda ini hanya tersenyum malu dan kemudian menggelengkan kepala. Sesaat kemudian ia berujar, "Saya pamit ke Surabaya pada orangtua untuk kuliah. Semula saya memang kuliah, tetapi karena pergaulan saya terseret menjalani pekerjaan ini."
Jawaban Ria mamang klise, namun itulah yang umum diujarkan oleh sejumlah PSK saat ditanya kenapa bisa sampai menjalani profesinya yang dicap asusila itu. Selain lantaran terseret karena pergaulan bebas, masalah ekonomi menjadi penyebab berikutnya. "Karena itu, saya berharap tidak akan lama. Setelah warung di kampung cukup modalnya, saya akan meninggalkan tempat ini. Lagi pula, saya akan semakin tua dan tamu pasti tidak akan melirik lagi," ujar Wulan (23).
SELAIN sejumlah PSK yang tampak siap dengan keputusan penutupan lokalisasi selama bulan Ramadhan, banyak juga yang merasa tidak siap. Mereka tidak siap lantaran masih baru dan enggan pulang ke kampung lantaran umumnya sudah tidak diterima lagi oleh keluarganya. Kekhawatiran sejumlah bos pengasuh wisma justru muncul dari PSK yang tidak siap ini.
"Seperti yang terjadi tahun lalu. Kami tutup, namun lantaran banyak anak-anak yang tetap tinggal di wisma, kami kena razia dan dituduh tetap beroperasi. Untuk masalah seperti ini kami minta pemahaman dari petugas penertiban. Mereka tetap di wisma karena tidak berani pulang kampung," ujar seorang bos wisma di Gang Dolly yang keberatan disebut namanya.
Kekhawatiran lain yang kemungkinan akan terjadi untuk PSK yang tidak siap ini adalah mereka tetap akan beroperasi di tempat-tempat lain seperti menjajakan diri di tepi jalan, di hotel, atau tempat lain yang memungkinkan. "Mudah-mudahan pindahnya tempat operasi ini tidak terjadi," ujarnya penuh harap.
Bagi yang sudah siap dengan keputusan penutupan lokalisasi, mereka tampak lebih punya rencana dan tinggal mengoptimalkan kerja selam 15 hari sisa sebelum puasa tiba. "Modal sudah ada dan warung kecil-kecilan sudah saya buka di kampung. Libur puasa ini akan saya pakai untuk mengurus warung itu," tutur Ria yang tak lama kemudian berjalan masuk kamar bersama pria setengah baya yang sejak lama memandanginya.
inu
Sunday, February 24, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment