TENGGULUN pasti bukan termasuk bagian dari strategi persaingan media. Namun, kesunyian desa yang kering dan gersang di tengah musim kemarau ini pecah, ketika sepekan terakhir puluhan wartawan berbagai media massa berdatangan, berburu berita ke sana.
Mereka datang ke Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, kira-kira 40 km utara Kota Lamongan, setelah polisi menginformasikan bahwa di desa inilah tempat asal Amrozi, tersangka tragedi peledakan bom di Kuta, Bali.
Para wartawan berebut mendapat berita utamanya, tidak hanya dari lokasi Pondok Pesantren Al Islam, tempat Amrozi sering datang shalat berjamaah. Sejumlah orang lain yang disebut-sebut terlibat adalah pengurus Pondok Pesantren Al Islam yang sampai sekarang belum jelas keberadaannya. Rumah-rumah mereka kemudian jadi ajang pengintaian wartawan dan tentu polisi.
Desa yang sejauh mata memandang hanya menampakkan lahan kering ini mendadak mendapat liputan luas, sekaligus menjadi arena bertarung wartawan dalam rangka persaingan media. Terisolirnya Tenggulun membuat sejumlah media tampil all out menunjukkan seluruh piranti pendukungnya.
Di desa seluas 3,53 kilometer persegi dan berpenduduk 2.174 jiwa yang terkelompok dalam 628 keluarga ini, semua awak media massa berupaya menjadi yang pertama. Pertama tahu, pertama meliput, dan pertama memberitakannya kepada konsumennya. Eksklusif kalau bisa!
Akibatnya, kejar-mengejar informasi awal pun terjadi. Setiap informasi sekecil apa pun menjadi berharga. Begitu ada informasi si Anu akan ditangkap atau rumah si Una akan digeledah, puluhan wartawan yang dahaga untuk menjadi yang pertama kemudian memburunya. Dalam sepekan terakhir, desa yang sunyi ini menjadi gaduh karena deru kendaraan berkejaran. Aspal jalan desa yang mulai mengelupas makin parah kondisinya.
Lantaran kencangnya iklim persaingan antarmedia ini, upaya saling mengecoh awak media lain pun dilakukan. Demi "mengamankan" peristiwa yang lebih besar, "pendatang baru" dikecoh dan disesatkan. Diinformasikan ada kejadian di suatu tempat, padahal tidak ada apa-apa di tempat itu. Informasi dan disinformasi datang silih berganti di sebuah desa yang masih berada di zaman agraris ini.
TIDAK main-main. Stasiun televisi Metro TV misalnya, sampai menerjunkan tiga tim ke Tenggulun. Stasiun televisi berita ini menggelar sistem siaran satelitnya, yang disebut para krunya Satellite News Gathering. Betapa uniknya menyaksikan antena satelit di atas atap mobil itu dan bagaimana cekatannya para kru berseragam biru itu bekerja, di tengah-tengah tatapan mata para santri bersarung dan berkopiah. "Seluruhnya ada 20-an personel yang diterjunkan ke sini," kisah salah satu pekerjanya.
Sebuah tim stasiun televisi diberitakan mendapat surat peringatan keras dari bosnya di Jakarta, karena gagal mendapatkan adegan penggerebekan polisi di hutan Dadapan, tempat diduga komplotan Amrozi menyimpan senjata-senjata senapan mesin di sejumlah pipa paralon yang ditimbun dalam tanah. Kru stasiun ini bekerja dengan keseriusan penuh mengejar-ngejar informasi di penjuru Tenggulun.
Tak kalah serunya adalah aksi wartawan dotcom dan radio. Di Tenggulun sinyal ponsel amat lemah diterima. Telkomsel dan Pro-XL mendapat sinyal hanya sebesar "dua strip" di layar telepon genggam. Tidak sekali dua tampak pemandangan wartawan radio mengacungkan handphone-nya ke udara, untuk mendapat perolehan sinyal yang baik, sambil ditumpangkan ke arah tape recorder (alat perekam).
Radio Elshinta menerjunkan dua awaknya yang semula bekerja di Surabaya. Mereka membangun base camp di rumah kepala desa Drs Maskun. Di rumah kepala desa ini pula puluhan anggota reserse yang berasal dari Bali, Polda Jatim, dan Polres Lamongan juga menginap. Para wartawan yang menginap di rumah kepala desa, selain mengintip kerja sesama rivalnya, juga mengamati gerak-gerik para polisi ini.
Sebuah stasiun televisi diisukan "membeli" informasi dari aparat yang berwenang. Ini karena setiap kali aparat "bergerak", para awak stasiun ini yang kepergok senantiasa menemani. Informasi awal senantiasa diperoleh awak stasiun ini. Bahkan, kabarnya, keberangkatan Ustad Zakaria ke Bali, sesungguhnya bukan oleh kerja polisi, melainkan karena "diantar" awak stasiun. Stasiun televisi ini kemudian membantah.
Namun akibatnya, di Tenggulun, rombongan wartawan TV dan media cetak senantiasa mengincar awak stasiun televisi yang berperangai "memonopoli" informasi tersebut. Begitu mobilnya bergerak ke sebuah tempat dengan segera para awak TV dan media cetak lain mengejar.
Tidak jarang "gerakan" ini hanya sebuah aksi kecoh, setelah berputar-putar di jalan desa yang tak besar ini. Intaimengintai berhenti. Jalan desa dibuat berdebu oleh saling kejar enam-tujuh kendaraan, seperti Kijang, Panther, dan Taft jika saling berebut informasi ini sedang berlangsung.
Akhirnya, belajar dari iklim yang ada di lapangan dan kesamaan setiap kejadian besar di Tenggulun, seperti penangkapan seseorang, penggeledahan rumah, dan penemuan sesuatu barang bukti yang selalu melibatkan kepala desa dan kepolisian sektor (polsek), wartawan pun membuka pos tidak resmi.
Selain di Pondok Pesantren Al Islam yang menjadi center stage upaya polisi mengungkap keterlibatan Amrozi dalam kasus peledakan bom Bali, pos wartawan terpusat di dua tempat yaitu rumah Kepala Desa Tenggulun dan Kantor Polsek Solokuro.
Di ketiga tempat itu, kendaraan wartawan diparkir dalam keadaan siaga. Setiap gerak-gerik polisi atau kepala desa menjadi perhatian dan siap diikuti kemana pun pergi. Polisi yang mungkin merasa risih terus-menerus dikuntit wartawan tak kehabisan akal. Mereka pun tak jarang mengecoh wartawan, menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi yang membuat wartawan buru-buru mengejar, namun ternyata mereka kemudian membelokkan mobil ke warung makan.
Meski media dalam negeri menerjunkan tim dengan kekuatan penuh, ternyata media asing seperti Los Angeles Times, Washington Post, Sidney Morning Herald, TIME, NHK, atau CNN terjun dengan sebuah tim sederhana berawak satu sampai tiga orang sudah termasuk penerjemah. Mereka memang menggali informasi, tapi seringkali tampak lebih asyik memotret gambaran kegiatan penduduk Tenggulun dengan segala keluguannya. Begitulah awak media itu sibuk bersaing.
inu dan ody
Monday, February 25, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment