Friday, March 14, 2008

128 kompleks tni/polri

BOLEH jadi, seminggu setelah calon presiden dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, berkampanye di Gelanggang Olahraga Bung Karno, 27 Juni 2004 lalu, tukang ojek dan sopir angkutan kompleks perumahan tentara yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta tersenyum ketika pulang ke rumah membawa hasil keringatnya. Selama seminggu, tukang ojek dan sopir angkutan kompleks perumahan tentara itu mendapat keringanan bebas dari pungutan wajib setiap hari yang dipungut "pentolan-pentolan" kompleks tentara itu.

Bebasnya pungutan wajib yang dapat mencapai Rp 10.000 per hari itu diberlakukan sebagai imbalan karena telah bersedia mengantar rombongan massa, yang umumnya anggota keluarga tentara, menghadiri kampanye terbuka yang memenuhi Gelora Bung Karno. Tawaran menggiurkan ini disambut antusias tukang ojek dan sopir angkutan kompleks perumahan tentara yang tersebar di Jakarta.

"Ini bukan jokes. Ini sungguh-sungguh terjadi. Ada keinginan besar dari anggota keluarga tentara secara sukarela menunjukkan dukungannya kepada Yudhoyono. Untuk kampanye itu, ibu-ibu mereka bahkan memasak untuk memberi bekal nasi bungkus," ujar koordinator pengerahan massa keluarga besar tentara Tim Kampanye Nasional Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK), Zainal H Yusuf.

Menurut anak kolong ini, kegairahan anggota keluarga besar tentara memberikan dukungan kepada Yudhoyono yang berpasangan dengan pengusaha JK telah terlihat jauh sebelumnya. Dukungan besar kepada Partai Demokrat yang menaruh Yudhoyono sebagai ikon dalam pemilihan umum (pemilu) legislatif telah membuktikan cukup besarnya dukungan itu.

Menghadapi pemilu presiden dan wakil presiden putaran pertama, 5 Juli 2004 lalu, dukungan keluarga besar tentara kepada Yudhoyono serius digarap agar hasilnya menjadi optimal. Untuk keperluan itulah, Tim Kampanye Nasional SBY-JK yang dikomandani purnawirawan jenderal dan disesaki juga purnawirawan jenderal itu memetakan sungguh besarnya potensi suara keluarga besar tentara.

Upaya memberi ruang ekspresi politik kepada keluarga besar tentara, menurut Zainal, memiliki momentum yang tepat. Oleh Partai Golongan Karya (Golkar) yang selama ini menjadi ruang ekspresi purnawirawan dalam berpolitik, terbukti bahwa mereka dan anggota keluarga besarnya "disia-siakan". Dalam daftar urut calon anggota legislatif di Partai Golkar, para purnawirawan jenderal ditempatkan di nomor urut yang jauh dari harapan bisa terpilih.

Atas perlakuan tidak mengenakkan dari Partai Golkar tersebut, anggota keluarga besar tentara diibaratkan seperti anak ayam kehilangan induk. "Perlakuan tidak mengenakkan itulah yang menyebabkan anggota keluarga besar tentara yang diwadahi Pepabri dan FKPPI mulai berangsur-angsur menarik diri dari Partai Golkar. Kesempatan itulah yang kemudian kami garap sungguh-sungguh," ujarnya.

Menurut data yang dimiliki Zainal, Pepabri yang mewadahi purnawirawan TNI dan Polri hingga ke tingkat akar rumput dan FKPPI yang mewadahi putra-putri purnawirawan dipetakan memiliki anggota sekitar 16,6 juta orang di seluruh Indonesia. Pepabri yang datanya sahih memiliki anggota sekitar 12,6 juta, sedangkan FKPPI memiliki anggota sekitar 4 juta. Potensi makin besar setelah Pemuda Panca Marga yang memiliki anggota sekitar 4 juta orang memberikan dukungan kepada Yudhoyono.

"Dengan kultur komando dan disiplin yang tinggi, potensi keluarga besar tentara lebih menggiurkan untuk ditangani dibandingkan mengelola potensi yang dimiliki partai politik. Dengan efektifnya komando, termasuk dalam pilihan politik, keluarga besar tentara dapat disamakan dengan sebuah aliran politik. Kita tidak pernah bisa membayangkan bagaimana efek bawaan seorang purnawirawan di lingkungannya. Meskipun hanya seorang sersan, seorang purnawirawan kerap menjadi komandan di lingkungannya. Ini yang kami pertimbangkan," ujar Zainal.

Segera setelah Pepabri secara kelembagaan memberikan dukungannya kepada Yudhoyono dan Wiranto sebelum masa kampanye lalu, Tim Kampanye Nasional SBY-JK bekerja. Pertama dipetakan jumlah kompleks tentara dan polisi yang tersebar di Jakarta, yang kemudian tercatat jumlahnya mencapai 128 kompleks perumahan. Untuk mengefektifkan upaya pencarian dukungan, dipeganglah "pentolan" masing-masing kompleks.

Oleh Zainal yang sebelumnya malang melintang di organisasi keluarga tentara, dipeganglah "pentolan" untuk masing-masing angkatan sebagai koordinator lapangan. "Agak lama membuat persiapan, pemetaan, dan koordinasi lapangan itu. Kami baru mendapatkan kepastian dukungan anggota keluarga besar tentara dari para ÆpentolanÆ itu empat hari sebelum kampanye besar di Gelora Bung Karno. Setelah sepakat, kami konsolidasi tanpa biaya. Kampanye di Gelora Bung Karno menjadi ujian efektivitas organisasi yang mereka wakili," kata Zainal.

Saat konsolidasi, untuk ujian efektivitas organisasi anggota keluarga besar tentara tersebut disediakan tiga sektor di gelora Bung Karno, yaitu sektor XII, XII, dan VIP Timur. Namun, dalam perjalanan waktu yang mepet menjelang kampanye terakhir itu, beberapa "pentolan" itu meminta tambahan tempat menjadi lima sektor.

"Permintaan kami penuhi meskipun semula kami agak ragu. Akan tetapi, pada hari pelaksanaan kampanye, lima sektor mulai dari sektor IX sampai XIV yang kami siapkan ternyata penuh bahkan sejak pukul 09.00. Selain mencengangkan kami, kenyataan ini membuktikan bahwa organisasi keluarga besar tentara berjalan efektif," ujarnya.

Tidak hanya dalam kampanye terbuka dukungan keluarga besar tentara terbukti. Dalam pemilu presiden dan wakil presiden langsung pertama kali di Indonesia itu, suara mereka diserahkan kepada Yudhoyono. Perolehan suara di tiap-tiap TPS di lingkungan tentara menunjukkan hal tersebut. "Sebagian besar kompleks tentara kami kuasai.

Sementara untuk kompleks Polri, kami hanya mampu menguasai dua saja karena keluarga Polri tampaknya lebih terpikat kepada pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi," kata Zainal.

inu

No comments: