Friday, March 14, 2008

suara cilangkap

Seharusnyalah pemilihan umum presiden dan wakil presiden berjalan tenang. Seluruh calon presiden dan calon wakil presiden telah menandatangani prasasti untuk siap menang dan siap menerima kekalahan sebelum masa kampanye dimulai. Disepakati juga seluruh kandidat untuk bersaing secara fair dan meninggalkan cara yang justru akan mencederai demokrasi.

Keharusan pemilu presiden-yang pertama kali melibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan secara langsung ini-berjalan tenang adalah dikemukakannya komitmen aparat kepolisian untuk mengawal secara proporsional dan netral seluruh kandidat. Salah satu bentuk komitmen ini adalah memberi pengawalan khusus kepada kelima pasang kandidat.

Keharusan berjalan tenangnya pemilu presiden yang menampilkan tiga purnawirawan jenderal juga dikemukakan berulang kali oleh Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI). Mabes TNI bertekad sungguh-sungguh keluar dari panggung politik praktis dengan bersikap netral. Disadari Mabes TNI, politik praktis yang dilibati selama Orde Baru merusak tentara.

Keharusan pemilu presiden berjalan tenang juga merupakan komitmen dari tiga purnawirawan jenderal untuk tidak menggunakan institusi militer yang membentuknya demi perebutan kekuasaan.

Ketiga jenderal, yaitu Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (yang paling yunior), Jenderal (Purn) Wiranto, dan Jenderal (Purn) Agum Gumelar sudah sejak pemilu legislatif mengemukakan tidak akan menggunakan gerbongnya yang masih tercecer di Mabes TNI untuk mewujudkan ambisinya.

Komitmen tiga purnawirawan jenderal untuk tidak melibatkan tentara dalam panggung politik praktis melegakan banyak kalangan. Untuk lebih meyakinkan mereka yang masih saja khawatir dengan komitmen tiga purnawirawan jenderal ini, secara khusus Yudhoyono mengatakan bahwa dirinya merupakan salah satu tokoh di lingkungan tentara yang memulai reformasi menghapus peran sosial politik tentara. Dengan penjelasan itu, Yudhoyono ingin mengatakan bahwa tidak mungkin dia menelan ludahnya sendiri.

Seolah ingin menjawab kekhawatiran beberapa kalangan mengenai hengkangnya tentara dari panggung politik yang penuh gebyar dan menggiurkan, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto memberi pengarahan kepada seluruh Panglima Komando Utama Mabes TNI beberapa jam sebelum kampanye presiden dimulai.

Dengan komitmen semua pihak yang memiliki potensi untuk saling sikut demi kepentingan kekuasaan ini, sekali lagi, seharusnyalah pemilu presiden berjalan tenang karena fairness yang menjadi sendi demokrasi tetap terjaga. Mempertegas kesungguhan tentara dalam memberi tindakan kepada anggota dan institusi di bawah Mabes TNI yang terbukti tidak netral, Endriartono tidak segan menyebut oknum tentara itu sebagai pengkhianat bangsa.

PADA tingkat wacana formal terbuka, terjawab sudah kekhawatiran sejumlah kalangan mengenai akan dilibatkannya tentara dalam panggung politik kekuasaan. Jawabannya adalah tidak mungkin! Jawaban ini setidaknya melegakan dua pasang kandidat berlatar belakang sipil beserta tim suksesnya.

Dengan komitmen Mabes TNI dan tiga purnawirawan jenderal untuk menjaga tentara dan jaringannya tetap netral, Amien Rais yang semula getol ingin pasangan berlatar belakang militer lebih lega. Calon presiden yang kemudian berpasangan dengan Siswono Yudo Husodo ini setidaknya merasa mendapat perlakuan sama dari Cilangkap, yang meskipun kecil jumlahnya tetapi teruji luas jaringan dan soliditasnya.

Jika ancaman gelar pengkhianat bangsa siap disematkan dipundak tentara yang terbukti tidak netral, untuk anggota keluarga tentara, Mabes TNI memberi keleluasaan.

Bahkan, Cilangkap menganjurkan hak suara yang dimiliki anggota keluarga tentara digunakan. Kepada alumni Cilangkap atau purnawirawan, Mabes TNI juga menganjurkan dan mendorong agar hak politik digunakan.

Untuk lingkaran kedua Cilangkap yang terdiri atas anggota keluarga tentara dan purnawirawan ini, Mabes TNI mempersilakan seluruh kandidat bersama tim suksesnya berlomba-lomba merebut simpati.

Untuk hal ini, Endriartono meminta agar digunakan cara-cara bersih dan diingatkan sekali lagi agar struktur Mabes TNI dan tentara aktif tidak ditarik-tarik untuk digunakan.

Lantas ke mana kira-kira suara lingkaran kedua Cilangkap diarahkan dalam pemilu presiden. Untuk pemilu legislatif dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 5 Juli 2004 lalu, mudah ditebak ke mana sebagian besar suara lingkaran kedua Cilangkap di arahkan.

Satu bulan sebelum 5 April 2004, Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI (Pepabri) secara tegas mengarahkan anggota keluarga besarnya dan mitra sejajarnya untuk mendukung calon anggota legislatif dari purnawirawan, warakawuri, istri, dan putra-putri purnawirawan beserta partai politiknya.

Atas arahan ini, bersamaan dengan melejitnya popularitas Yudhoyono, purnawirawan jenderal yang menjadi pendiri Partai Demokrat, partai baru ini kebanjiran dukungan.

Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Marsekal Pertama (Purn) Suratto Siswodihardjo seusai pemilu legislatif mengakui, sebagian besar suara lingkaran kedua Cilangkap diarahkan ke Partai Demokrat. "Tidak dapat dibantah, Yudhoyono-lah yang menjadi daya tariknya. Saya pun hanya nunut," ujar Suratto yang tinggal bersebelahan dengan Yudhoyono di Cikeas, Bogor.

Pernyataan Suratto bahwa sejumlah besar suara keluarga besar Cilangkap dan alumninya ditujukan ke Partai Demokrat bukan tanpa dasar. Di hampir seluruh kelurahan dan kecamatan yang memiliki kompleks TNI/Polri, perolehan suara Partai Demokrat yang mencalonkan Yudhoyono sebagai presiden unggul dibandingkan dengan perolehan suara partai lain (Lihat Tabel).

Di Kelurahan Cijantung, Pasar Rebo, Jakarta Timur, tempat Kompleks Komando Pasukan Khusus berada, Partai Demokrat meraih 922 suara di posisi teratas disusul Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Di Kelurahan Cilangkap, Cipayung, Jakarta Timur, tempat Markas Besar TNI berada, Partai Demokrat meraup 1.161 suara disusul PKS dan Partai Golkar.

Di Kelurahan Setu yang bersebelahan dengan Cilangkap, Partai Demokrat meraup 1.140 suara disusul PKS dan Partai Golkar. Di Kelurahan Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara, tempat Kompleks TNI AL berada, Partai Demokrat unggul atas PKS dan PDI-P dengan 2.946 suara. Di Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, tempat Asrama Brigade Mobil berada, Partai Demokrat memimpin dibayangi PKS dan PDI-P.

Ketika cakupan diperluas ke tingkat kecamatan di DKI Jakarta, di mana terdapat beberapa kompleks TNI/Polri, Partai Demokrat unggul juga. Di Kecamatan Tanjung Priok, Pasar Rebo, dan Ciracas, Partai Demokrat juga unggul di posisi pertama. Padahal, pada Pemilu 1999, daerah-daerah tadi merupakan "wilayah" PDI-P.

Melihat data perolehan suara Partai Demokrat yang menyandarkan diri pada figur Yudhoyono, Suratto mantap berujar bahwa anggota keluarga besar Cilangkap beserta alumninya berjasa besar bagi melonjaknya perolehan suara Partai Demokrat dalam pemilu legislatif. Munculnya Yudhoyono dalam pemilu legislatif sebagai representasi terkuat anggota keluarga besar Cilangkap dan alumninya tidak tertandingi alumni Cilangkap lain yang terjun ke dunia politik.

Akankah dukungan serupa diperoleh Yudhoyono dalam pemilu presiden mendatang setelah secara tidak terduga Jenderal (Purn) Wiranto seniornya memenangi Konvensi Calon Presiden Partai Golkar?

KEMENANGAN Wiranto dalam Konvensi Calon Presiden Partai Golkar memang membuat kalang kabut tim sukses Yudhoyono. Tim sukses yang menempatkan sejumlah purnawirawan jenderal pemikir dan pembuat strategi ini mengaku harus merevisi sejumlah rencana, strategi, dan target.

Sekretaris Tim Nasional Mayor Jenderal (Purn) Samsoedin menyebut Wiranto sebagai pesaing kuat Yudhoyono karena memiliki jaringan luas dan orang kuat di belakangnya. Dukungan keluarga besar Cilangkap dan alumninya yang nyaris solid kepada Yudhoyono terpecah dengan majunya Wiranto.

Agar tidak diliputi kebingungan dengan tampilnya dua jenderal purnawirawan yang mencalonkan diri sebagai presiden, DPP Pepabri menggelar silaturahmi tertutup dengan Wiranto dan Yudhoyono. Seluruh pengurus DPP dan DPD Pepabri beserta mitra sejajarnya seperti organisasi putra-putri tentara hadir dalam silaturahmi 17 Mei 2004 lalu.

Seperti sudah diduga, DPP Pepabri bersama mitra sejajarnya hanya akan memberikan dukungannya kepada capres dari kalangan purnawirawan militer, yaitu Wiranto dan Yudhoyono. Siapa yang akan dipilih, Pepabri meminta pilihan didasarkan pada hati nurani dan pertimbangan rasional.

Meskipun kesempatan sama seolah diberikan DPP Pepabri kepada Wiranto dan Yudhoyono, alumni Cilangkap yang bersemboyan sekali prajurit tetap prajurit ini lebih nyaman bersama Yudhoyono.

Dibandingkan dengan Wiranto, Yudhoyono dinilai tidak memiliki banyak persoalan hukum dan persoalan dengan Orde Baru. Banyaknya purnawirawan jenderal yang menjadi anggota tim sukses Yudhoyono memberi indikasi ke mana sebenarnya suara alumni Cilangkap diberikan.

Sebut saja, selain tim sukses diketuai Letnan Jenderal (Purn) Moh MaÆruf, dua mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Edi Sudrajat dan Laksamana (Purn) Widodo AS duduk dalam jajaran dewan pengarah. Begitu tercatat sebagai alumni Cilangkap akhir tahun 2003, mantan Panglima Kodam Iskandar Muda Mayor Jenderal (Purn) Djali Yusuf juga menempel Yudhoyono.

Dukungan alumni Cilangkap dan keluarga besarnya secara formal hanya kepada Yudhoyono dan Wiranto ini membuat Jenderal (Purn) Agum Gumelar yang merupakan teman satu angkatan Wiranto "cemburu". Menanggapi "kecemburuan" ini, DPP Pepabri lantas membesarkan hari Agum yang dipilih berpasangan dengan Hamzah Haz. Seusai menggundang Agum, Ketua DPP Pepabri Inspektur Jenderal (Purn) Putera Astaman menyatakan, Pepabri juga memberi dukungan kepada Agum.

Lantas, dengan wacana terbuka itu, ke mana arah suara anggota keluarga besar Cilangkap dan alumninya ditujukan? Dadu sudah dilempar!

Ketidakpastian muncul lantaran panjangnya waktu permainan. Meski demikian, satu yang pasti: sekali prajurit tetap prajurit!

inu

No comments: