Friday, March 14, 2008

tentara gamang

KESADARAN akan lenyapnya 893 pucuk senjata pabrikan berikut ratusan ribu amunisi campuran untuk keperluan angkatan bersenjata menyusul kerusuhan di Asrama Brigade Mobil (Brimob), 21 Juni 2000, muncul kembali setelah aksi penembak jitu (sniper) menewaskan dua anggota Brimob dari Markas Besar Kepolisian RI yang diperbantukan pada Kepolisian Daerah Maluku, Bharatu Lalu Syafrudin dan Bharatu S Daeng.

Lantaran aksi penembak jitu makin meresahkan masyarakat, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI) melakukan langkah darurat, yakni memerintahkan Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) Mayjen Syarifuddin Sumah untuk menggelar satuan pemburu dan pelumpuh para penembak jitu/gelap itu.

"Karena status daerah adalah tertib sipil, satuan yang terdiri dari satuan taktis dan intelijen tentunya harus berkoordinasi dengan Polda Maluku sebagai komando pengendali," ujar Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin di Jakarta, Jumat (30/4) kemarin.

Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Mabes TNI, senjata yang beredar di masyarakat digunakan di lima daerah rawan, yaitu Batu Merah, Talake, Tugu Proklamasi, Kudamati, dan Perigi Lima. Di lima daerah ini intensitas penggunaan senjata tinggi sekali.

Selain menggunakan ratusan pucuk senjata yang dirampas dari Markas Brimob dan belum kembali, tidak tertutup kemungkinan ada pasokan senjata dari luar negeri. "Menjadi tugas TNI dan Polri untuk menemukan kembali ratusan pucuk senjata yang belum ditemukan itu," ujar Sjafrie.

Sjafrie tidak mengelak saat ditanya adanya unsur pembiaran atau tidak adanya upaya pencegahan terkait dengan meningkatnya aktivitas Front Kedaulatan Maluku/Republik Maluku Selatan (FKM/RMS). "Minimal harus ada ultimatum dari komando pengendali. Panglima Kodam Pattimura telah memberi ultimatum atas peningkatan aktivitas FKM/RMS. Akan tetapi, karena tidak punya kewenangan untuk proaktif mengambil tindakan, ultimatum kami tidak bunyi," paparnya.

LANTARAN tidak jelasnya sikap pemerintah terhadap aktivitas FKM/RMS yang menggunakan sentimen keagamaan untuk tujuan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, aparat TNI menjadi gamang. Berbeda dengan aparat kepolisian yang dapat proaktif bertindak, aparat TNI harus menunggu adanya keputusan politik pemerintah untuk mengambil tindakan yang diperlukan terkait dengan konflik Ambon.

"Jangan anggap remeh konflik Ambon. Kami melihat ada ketidaksiapan aparat yang bertugas menghadapi kondisi taktis di Ambon sehingga menelan puluhan korban seperti sekarang ini," ujar Sjafrie. Terkait dengan penembak gelap itu, Sjafrie tidak yakin di Ambon telah bergentayangan para penembak gelap yang sengaja menembak dari jarak jauh secara jitu. Tertembaknya dua anggota Brimob di bagian leher dapat saja dilakukan mereka yang memegang senjata jenis M-16 misalnya.

"Tidak terlalu sulit mengoperasikan senjata untuk kemudian mengenai leher misalnya. Tinggal diarahkan ke arah kepala saja dapat dipastikan leher korban akan terkena. Tapi saya belum yakin soal sniper ini," ungkap Sjafrie.

Dalam mengatasi konflik Ambon, TNI menyarankan agar Polda Maluku sebagai komando pelaksana memperhatikan dan memahami secara sungguh- sungguh sejarah dan peta kekuatan di lima daerah yang tidak pernah sepi dari kekerasan bersenjata. Kelima daerah itu adalah Batu Merah, Talake, Tugu Proklamasi, Kudamati, dan Perigi Lima.

"Perlu ada kebijakan pemerintah untuk mengintensifkan pengamanan di lima daerah bersejarah dalam konflik bersenjata itu. Kegamangan aparat untuk bertindak dan mengatasi konflik di Ambon perlu dijawab pemerintah. Perlu ketegasan menyikapi aktivitas FKM/ RMS karena TNI sebagai alat negara tidak dapat proaktif bertindak tanpa keputusan politik pemerintah," kata Sjafrie menambahkan.

INU

No comments: