Friday, March 14, 2008

cita-cita sby

RINDUNYA hatiku padamu,
Kekasih tambatan jiwa
di seberang sana.
Bolehkah kutitipkan salam
lewat burung kenari
yang terus bernyanyi.
Sayang, aku kangen
pada pelangi di matamu,
dan
kasih indah di dadamu
Masihkah bersemi?

PUISI empat bait tersebut ditulis Susilo Bambang Yudhoyono menjelang Hari Kasih Sayang (ValentineÆs Day), 11 Februari 2004. Puisi berjudul Kangen itu merupakan satu dari 31 puisi yang pembuatannya dikebut Yudhoyono dalam rentang waktu kurang dari dua bulan sejak 7 Januari sampai 16 Februari 2004. Puisi itu membuka buku kumpulan puisi Taman Kehidupan yang diterbitkan pada masa kampanye pemilu legislatif, Maret 2004.

Beberapa puisi, termasuk puisi Kangen yang menjadi andalan itu, dicantumkan juga dalam biografinya setebal 1.023 halaman yang diluncurkan pada 31 Maret 2004. Dalam biografi yang ditulis Usamah Hisyam itu, Yudhoyono yang sedang menanjak popularitasnya ketika itu, lantaran polemik dengan Taufik Kiemas, digambarkan serba sempurna.

Di samping tempaan raga yang dijalani selama karier militernya sejak tahun 1970, jiwanya juga tertempa. Puisi-puisi melankolis itu adalah bukti tempaan atas jiwanya. Citra keseimbangan raga dan jiwa itu yang kira-kira ingin ditampilkan lewat ketergesa-gesaannya menulis puisi di tengah kesibukannya memikirkan nasib rakyat Aceh yang hidup di bawah rasa takut karena dilegalkannya adu senjata mencabut nyawa.

Keinginan untuk selalu tampil serba sempurna ini membuat Yudhoyono yang memperoleh gelar jenderal kehormatan tahun 2000 dari Presiden Abdurrahman Wahid terkesan lamban bersikap dan peragu. Kesan lamban bersikap dan peragu tersebut segera dibantah Yudhoyono lewat biografi. Kehati-hatian dan penuh pertimbangan yang membuatnya kerap terkesan lamban dan peragu.

YUDHOYONO lahir dari lingkungan keluarga prihatin. Sebagai Komandan Komando Rayon Militer (Danramil) yang wilayah tugasnya mencakup satu kecamatan, Soekotjo (ayahnya) tidak berkecukupan secara ekonomi. Dengan pangkat pembantu letnan satu (peltu), gajinya sangat kecil. Terlebih Soekotjo bertugas di daerah terpencil dan gersang, sepi dari "sabetan".

Sebagai anak tunggal pasangan Soekotjo dan Siti Habibah, Yudhoyono yang lahir seusai azan dzuhur, 9 September 1949, cukup mendapatkan kasih sayang. Soekotjo yang menjabat sebagai Danramil selama empat periode di sejumlah kecamatan di Pacitan menanamkan disiplin dan kerja keras.

Yudhoyono lahir tanpa ditunggui ayahnya di rumah kakeknya di Desa Tremas, 12 kilometer dari Kota Pacitan. Untuk kelancaran sekolahnya, Yudhoyono tinggal bersama Sasto Suyitno, pamannya yang menjadi Lurah Desa Ploso, Pacitan.

Sejak menjadi murid Sekolah Rakyat Gajahmada (sekarang SDN Baleharjo I), Yudhoyono yang dipanggil Susilo atau Sus oleh kedua orangtuanya sudah tampak menonjol.

Saat SMA, Yudhoyono bersama teman-teman membentuk Klub Rajawali untuk bermain voli dan Band Gaya Teruna untuk bermusik. Di band itu Yudhoyono memainkan bass. Ia kerap menjadi vokalis untuk menyanyikan lagu sedih dan sendu, Telaga Sunyi karya Koes Plus. Hobi bermusik Yudhoyono yang dijadikan andalan saat berkampanye bermula dari sini. Namun, saat kampanye Yudhoyono tidak lagi menyanyikan lagu sedih dan sendu Telaga Sunyi. Lagu Pelangi di Matamu milik Jamrud yang mirip dengan syair puisinya menjadi pilihannya.

LAYAKNYA pemuda lain dari daerah gersang dan terpencil, keluar daerah untuk mengubah nasib adalah sebuah dorongan, tuntutan, dan harapan. Pengalaman getir menyaksikan perceraian kedua orangtuanya memacu Yudhoyono lebih keras lagi berupaya.

Mewarisi sikap ayahnya yang keras, Yudhoyono berjuang untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya menjadi tentara dengan masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri).

Karena terlambat mendaftar, Yudhoyono tidak langsung masuk Akabri saat lulus SMA akhir tahun 1968. Satu tahun sebelum masuk Akabri, Yudhoyono sempat menjadi mahasiswa Teknik Mesin Institut 10 Nopember Surabaya (ITS). Namun, Yudhoyono kemudian memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama di Malang, Jawa Timur. Di Malang ia dapat lebih leluasa mempersiapkan diri masuk Akabri. Tahun 1970 Yudhoyono masuk Akabri di Magelang, Jawa Tengah, setelah lulus ujian penerimaan akhir di Bandung.

Saat Yudhoyono menjalani pendidikan militer, Mayjen Sarwo Edhi Wibowo yang kemudian menjadi bapak mertuanya bertindak sebagai Gubernur Akabri. Yudhoyono satu angkatan dengan Agus Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, Prabowo Subianto,Yudi M Yusuf, dan Wresniwiro. Di akhir pendidikan, Yudhoyono yang mendapat julukan Jerapah menyabet predikat lulusan terbaik Akabri 1973 dengan mendapat lencana Adhi Makasaya. Presiden Soeharto menyerahkan lencana itu kepada Yudhoyono.

Selain meraih prestasi terbaik, di tahun keempat pendidikan militer inilah cintanya tumbuh dan bersemi. Tidak tanggung-tanggung, putri Sarwo Edhie, Kristiani Herrawati, diincarnya. Pertemuan pertama dengan Kristiani yang kini menjadi istrinya terjadi saat sebagai Komandan Divisi Korps Taruna Yudhoyono melapor kepada Sarwo Edhie mengenai satu kegiatan. Saat itu Kristiani sedang berlibur di Lembah Tidar menemui orangtuanya.

Sejak pertemuan pertama di Lembah Tidar itu, Yudhoyono kerap menyempatkan diri main ke rumah dinas gubernur dengan harapan bertemu Kristiani. Setelah lebih saling mengenal satu sama lain, keduanya lantas pacaran. Mendengar hubungan cinta putranya dengan putri Sarwo Edhie, Soekotjo kaget bukan kepalang dan menganggap Yudhoyono salah bergaul.

Namun, lantaran Yudhoyono mampu meyakinkan ayahnya bahwa perbedaan status tidak menjadi pertimbangan utama dalam hubungan cintanya, Yudhoyono dan Ani terus melangkah. Sebetulnya, yang lebih dulu senang pada Yudhoyono adalah istri Sarwo Edhie. Lampu hijau ini memperlancar hubungan kasih Yudhoyono dan Ani.

Karena kemudian berpisah, Ani ke Korea Selatan ikut ayahnya sebagai Duta Besar di Korea Selatan dan Yudhoyono ke Amerika Serikat mengikuti pendidikan Airborne dan Ranger, sepasang kekasih ini menunda pernikahan. Pernikahan baru dilaksanakan 30 Juli 1976 bersama-sama dengan dua putri Sarwo Edhie lain yang juga mendapat jodoh tentara. Lantaran unik, pesta pernikahan tiga bersaudara yang dilangsungkan di Hotel Indonesia itu menjadi tontonan tamu hotel.

Bersama Ani, Yudhoyono dikaruniai dua putra, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono yang mengikuti jejak ayahnya menjadi tentara (lulusan terbaik Akmil 2000) dan Edhie Baskoro Yudhoyono yang mengurungkan niat menjadi tentara seperti ayahnya lantaran reformasi yang memaki tentara. Baskoro kemudian memilih kuliah di Curtain University, Australia.

Yudhoyono mengakhiri karier militernya sebagai Kepala Staf Sosial Politik ABRI yang kemudian berubah nama karena reformasi menjadi Kepala Staf Teritorial TNI, tahun 1998-1999. Akhir karier militer ini menyisakan duka karena sebagai tentara SBY ingin menjabat sebagai Kepala Staf TNI AD dan bahkan Panglima TNI yang memang terbuka peluangnya. Keputusan Presiden Abdurrahman Wahid menjadikannya sebagai Menteri Pertambangan dan Energi membuyarkan keinginannya.

Bersamaan dengan masa akhir karier militernya itu, SBY dan keluarga tinggal di Puri Cikeas, Gunung Puteri, Bogor, Jawa Barat. Dari rumah yang dibangun di atas tanah seluas lebih dari 3.000 meter itu, SBY membangun mimpinya untuk menjadi presiden.

MIMPI menjadi orang nomor satu di negeri ini makin kencang diupayakan perwujudannya oleh SBY sejak kekalahannya di putaran kedua pemilihan wakil presiden dalam Sidang Istimewa MPR, Juli 2001. Setelah kekalahan itu, muncul rekomendasi beberapa kalangan yang meminta SBY bersiap mencalonkan diri sebagai presiden dengan langkah mendirikan partai politik. Satu tahun kemudian, SBY melontarkan nama partai yang akan dipakainya: Partai Demokrat.

Setelah SBY secara lisan menjelaskan ciri partai politik yang diinginkannya, termasuk working ideologi-nya nasionalis-religius, hari berikutnya di kantor Tim Kresna Bambu Apus, niat mendirikan partai politik direalisasikan. Awal Agustus 2002, SBY mengadakan pertemuan terbatas yang dihadiri Prof Subur Budisantoso, Prof Irsan Tanjung, dan Dr Achmad Mubarok. Partai Demokrat didirikan dengan komitmen utama sebagai kendaraan SBY mewujudkan mimpi besarnya menjadi presiden.

Mimpi besar itu mulai dibangun bersamaan dengan tugas negaranya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan dalam Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Konsentrasinya yang terpecah tersebut sedikit banyak terasakan oleh Megawati yang ingin kembali menjadi presiden. Persaingan tertutup dalam satu perahu itu kemudian menjadi terbuka karena pernyataan suami Megawati, Taufik Kiemas. Buntut persaingan terbuka ini, SBY mundur dari kabinet menjelang kampanye pemilu legislatif.

Bersamaan dengan meningkatnya popularitas SBY, Partai Demokrat sebagai partai pendatang baru menuai hasil memuaskan dalam pemilu legislatif. Berada di urutan kelima dengan perolehan suara 8.455.225 SBY memiliki kendaraan untuk pencalonan dirinya sebagai presiden.

Meskipun demikian, Yudhoyono merasa tidak nyaman jika hanya dicalonkan oleh partai yang didirikannya saja. Setelah berkeliling mencari mitra koalisi, Partai Bulan Bintang (PBB) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) sepakat bersama-sama mencalonkannya. Sebagai wakil presiden, SBY memilih Jusuf Kalla, orang yang pertama kali memberinya selamat setelah mundur dari Kabinet Gotong Royong.

Dengan bergabungnya Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra, pasangan Yudhoyono-Kalla mengedepankan visi yang sepertinya merupakan gabungan tiga tokoh ini, yaitu aman, adil, dan sejahtera. Mengenai syariat Islam yang diusung Yusril lewat PBB, SBY berpendapat, "Syariat Islam yang diperjuangkannya ada dalam bingkai konstitusi berikut Pembukaan UUD 1945. Saya sangat memahami cita-citanya untuk mewujudkan kehidupan yang betul-betul Islami di negeri ini."

Genderang kompetisi telah ditabuh. Menjelang berakhirnya masa kampanye, tabuhan genderang kompetisi semakin kencang sehingga kerap memerahkan telinga para kandidat dan tim suksesnya. Namun, jauh sebelum kompetisi digelar, seusai mencoblos dalam pemilu legislatif, di sebuah warung soto ayam pinggir jalan, SBY berujar,

"Bagi saya Megawati atau Amien Rais itu bukan musuh, tetapi kompetitor. Karenanya, mari berkompetisi secara sehat dalam bingkai demokrasi!"

inu

No comments: