SETIDAKNYA terdapat 35 pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dapat digunakan aparat penegak hukum untuk memberangus kebebasan pers yang sedang diperjuangkan. Pasal-pasal yang tidak lagi relevan di sebuah negara demokratis itu dapat menjerat wartawan pembuat karya jurnalistik dengan hukuman penjara maksimal tujuh tahun dan denda yang dapat membangkrutkan perusahaan pers.
PERJALANAN kebebasan pers masih panjang di negeri kita yang sedang berproses menuju sebuah negara demokratis. Sejak rezim Orde Baru tumbang, kebebasan pers memang dibuka selebar-lebarnya baik pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, Presiden KH Abdurrahman Wahid, maupun Presiden Megawati Soekarnoputri.
Kebebasan pers terus diberi ruang oleh pemerintah meskipun Megawati Soekarnoputri, misalnya, tidak suka dengan jenis berita yang memojokkan dirinya, yang-menurut dia-tidak nasionalis, dan tidak patriotis. Namun, hal tersebut merupakan kecenderungan umum setiap penguasa yang agak gerah dengan pemberitaan yang tidak menguntungkan dirinya.
Ketidaksukaan itu tidak semata-mata kecenderungan penguasa yang enggan dikritik. Media massa atau pers juga harus berbenah karena masih terdapat sejumlah kesalahan mendasar dalam pemberitaan di semua media seperti akurasi dan keberimbangan. Namun, hal itu selalu terjadi dalam sepanjang sejarah pers. Yang perlu dicatat adalah adanya tekad dari semua media massa untuk mengatasi kelemahan tersebut.
Perkembangan jumlah media massa dan pemberitaannya yang semakin luas sejak tumbangnya rezim Orde Baru menunjukkan geliat masyarakat untuk memanfaatkan ruang kebebasan yang makin terbuka. Perkembangan media massa tidak lepas dari kepentingan bisnis pemilik modal dan pengelolanya. Harus ada keseimbangan antara kepentingan bisnis dan idealisme jurnalistik. Harus disadari, tidak mungkin idealisme bisa berkembang dan tumbuh tanpa dukungan bisnis yang kuat. Untuk itu, pengelola media massa, dalam hal ini wartawan, harus memiliki dukungan ekonomi yang cukup agar bisa mengembangkan idealismenya sebagai wartawan.
Kepentingan pemilik modal dapat juga menjadi bom waktu bagi media massa tersebut apabila media yang dikelolanya digunakan untuk kepentingan politik atau kepentingan sosialnya semata. Perlu dipahami, media massa yang terseret pada kepentingan politik pemilik modalnya bukanlah media yang sesungguhnya. Media tidak bisa hanya dibatasi untuk kepentingan tertentu saja. Media massa pada dasarnya adalah untuk umum, obyektif, tidak diskriminatif, dan untuk semua golongan atau kelompok dalam masyarakat.
Dari sisi hukum, aturan perundang-undangan mengenai pers di Indonesia masih jauh dari ideal karena kurang memadai tumbuh berkembangnya kebebasan pers. Konstitusi kita belum secara tegas dan jelas menjamin kebebasan pers.
UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang ada oleh aparat penegak hukum dinilai terlalu sumir lantaran sedikitnya pasal dan penjelasannya. Aparat penegak hukum mengeluh kebingungan kalau harus menggunakan UU Pokok Pers lantaran tidak lengkap. Saya punya ide memasukkan 35 pasal di KUHP ke dalam UU Pokok Pers tetapi minus ancaman hukuman penjara dan denda yang proporsional.
Pada prinsipnya, denda tidak boleh membangkrutkan perusahaan media massa tersebut. Denda harus proporsional. Kalau sampai membangkrutkan perusahaan media massa, hal itu tidak berbeda dengan pembredelan yang terjadi dalam rezim Orde Baru.
Sejumlah negara yang dalam tahap menuju demokrasi telah menghapus ancaman hukuman penjara atas karya jurnalistik. Ada kesepakatan antara asosiasi penegak hukum dengan asosiasi wartawan di El Salvador dan Kosta Rika untuk menghapuskan ancaman hukuman penjara terhadap karya jurnalistik. Negara lain yang akan menerapkan hal serupa antara lain Brasil, Cile, dan Timor Leste.
Perjalanan kebebasan pers masih panjang kecuali segara ada jaminan hukum yang muncul dari kesadaran para elite politik dan aparat penegak hukum. Kebebasan pers bukan untuk kebebasan pers itu sendiri, tetapi untuk masyarakat agar dapat menyalurkan aspirasinya di negara demokrasi.
inu
Monday, March 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment