INGAR-bingar kampanye partai politik peserta Pemilu 2004 selama tiga minggu, dan berlangsung damai di seluruh Indonesia, telah usai. Ketakutan dan kecemasan yang sempat muncul terkait dengan kampanye yang biasanya berlangsung mencekam sirna.
BERLANGSUNG damainya masa kampanye oleh beberapa pengamat dimaknai sebagai tanda mulai dewasanya perilaku elite politik dalam menyikapi perbedaan. Namun, sejumlah pengamat lain melihat bahwa berlangsung damainya kampanye atau kurangnya gereget kampanye disebabkan rakyat telanjur kecewa sehingga enggan untuk terlibat secara sukarela dalam arak-arakan atau pengerahan massa sebuah partai politik.
Jika dibandingkan dengan masa kampanye tahun 1999, terasa sekali bedanya roh yang menggerakkan sebagian besar massa untuk turut memeriahkan kampanye. Di setiap ingar-bingar kampanye, urutan pertama yang membuat massa berkerumun adalah dangdut. Urutan kedua adalah peluang mendapatkan sedikit uang, kaus partai, atau paket sembilan bahan pokok. Kehadiran juru kampanye untuk menyampaikan pidato politiknya menjadi urutan kesekian.
Tidak heran jika massa berangsur-angsur membubarkan diri ketika penyanyi dangdut yang umumnya berbaju minim mundur dan diganti juru kampanye yang hanya memutar kaset lama dan seragam dari waktu ke waktu. Kampanye menjadi hampa. Tidak terjadi pendidikan politik lantaran juru kampanye terbelenggu faham kampanye kuno.
Memaknai perubahan sikap pemilih dan sistem pemilu serta peluang pelaksanaan Pemilu 2004, berikut wawancara dengan Direktur Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Franz Magnis-Suseno di kantornya yang sederhana, tenang, dan sejuk karena pepohonan di kawasan Cempaka Putih, Jakarta, Rabu (31/3).
Proses demokratisasi sedang berlangsung di Indonesia. Publik sedang ingar-bingar dengan pemilu. Bagaimana peluang Pemilu 2004 untuk menuju transisi demokrasi?
Saya memperkirakan Pemilu 2004 sendiri akan berjalan tanpa masalah dan tidak akan ada kejutan-kejutan yang sangat berarti. Yang belum bisa diramalkan adalah apakah hasil Pemilu 2004 akan merupakan dorongan ke arah perubahan-perubahan yang diperlukan bangsa Indonesia? Untuk mendapatkan jawaban atasnya, kita harus menunggu dulu hasil dari pemilihan presiden dan wakil presiden.
Namun demikian, melihat beberapa partai politik peserta Pemilu 2004 yang diperkirakan akan menjadi yang paling besar. Melihat juga beberapa calon presiden yang paling mungkin. Maka belum tentu Pemilu 2004 menghasilkan sesuatu impuls ke arah perubahan. Masalahnya bukan pada Pemilu 2004 itu sendiri. Tetapi, apakah dengan Pemilu 2004 masalah-masalah yang kita hadapi dapat ditangani dengan lebih baik oleh mereka yang lebih kompeten? Kemungkinan Pemilu 2004 berakhir seperti Pemilu 1955 yang berjalan dengan sangat baik tetapi ternyata tidak berhasil untuk menstabilkan situasi masih terbuka.
Bagaimana peluang perubahan yang difasilitasi perubahan sistem Pemilu 2004, di mana rakyat bisa memilih langsung anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden?
Saya kira, pemilihan langsung presiden dan wakil presiden maupun peran rakyat untuk ikut mempengaruhi komposisi DPR dan DPRD pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang positif. Masalahnya kenapa harus begitu rumit seperti yang sekarang terjadi. Saya tidak mengerti. Karenanya, ada kemungkinan banyak suara yang tidak sah karena kesalahan teknis termasuk, misalnya, mencoblos kertas yang dilipat dan tidak ada kemungkinan memperbaikinya. Itu tentu cukup memprihatinkan. Namun, di luar masalah itu, dengan sistem baru di mana rakyat dapat memilih secara langsung, kedudukan presiden dan wakil presiden dan tanggung jawab legislator akan bertambah meskipun belum optimal.
Apakah ikatan mereka yang terpilih dalam Pemilu 2004 dengan rakyat akan lebih kuat?
Ya. Akan lebih kuat. Terutama menyangkut DPR dan DPRD yang dipilih karena nama mereka. Ikatan dengan pemilih akan diperkuat lantaran kepentingan untuk memperkuat basis dukungan itu. Di lain pihak, karena sistem tersebut belum menerapkan sistem distrik sehingga orang yang dipilih hanya secara sangat samar-samar, pengaruhnya juga tidak boleh dilebih-lebihkan.
FRANZ Magnis-Suseno lahir di Eckersdorf, Jerman, 26 Mei 1936, dengan nama Franz Graf von Magnis. Rohaniwan dari ordo Serikat Yesus (SY) ini menetap di Indonesia sejak tahun 1961 dan berkewarganegaraan Indonesia sejak tahun 1977. Di Indonesia, sosok tinggi kurus ini mengabdikan hampir seluruh hidupnya pada bidang pendidikan, khususnya di bidang filsafat.
Magnis-Suseno belajar filsafat di Pullach (Jerman), teologi di Yogyakarta, dan teori politik di Muenchen. Doktorat dalam filsafat diperolehnya dari Universitas Muenchen tahun 1973. Sejak tahun 1969 mengajar di STF Driyarkara.
Di usianya yang mendekati 70 tahun, Magnis-Suseno masih tetap aktif mengajar, menjadi pembicara di sejumlah seminar, dan menulis. Lebih dari 400 karangan ditulisnya dan 26 buku karyanya telah diterbitkan. Karangan dan buku yang ditulisnya berkutat dalam bidang etika, filsafat politik, dan pandangan dunia Jawa yang tampak dihayatinya.
Selama kampanye, muncul pragmatisme yang makin tinggi. Rakyat menerima begitu saja pembagian apa pun tanpa peduli apakah akan memilih partai itu atau mencampakkannya. Pendapat Anda?
Saya kira, dari sudut masyarakat, pragmatisme itu sesuatu yang positif. Artinya, rakyat tidak lagi begitu saja bisa ditipu oleh partai politik. Rakyat mulai melihat bahwa pembagian berbagai macam fasilitas seperti uang dan sebagainya tidak karena partai itu secara khusus menaruh peduli pada nasib mereka. Rakyat melihat upaya partai politik itu semata-mata untuk mencari suara. Dengan demikian, masyarakat mau saja menerima itu semua, tetapi tidak lagi merasa berutang budi untuk membalasnya dengan memberi suara. Itu sesuatu yang sehat. Semoga juga partai-partai politik lama-kelamaan mengerti bahwa cara-cara kampanye dengan membagi-bagi uang dan sembako atau membayar orang yang datang akan meniadakan dirinya sendiri. Setelah partai politik tidak mendapati efek dari caranya membagi-bagikan uang dan sembako, mungkin partai politik akan berhenti dengan praktik yang cukup buruk itu.
Pembagian uang untuk menarik massa merupakan tanda ketidaksiapan partai politik memberikan ikatan ideologis?
Saya kira mereka (partai-partai politik) itu terbelenggu oleh semacam faham tentang kampanye yang sudah kuno. Sudah kuno yaitu bahwa mereka akan mendapatkan banyak suara dalam pemilu apabila kampanye mereka ramai-ramai, di mana ada juga pemberitaan di televisi mengenai keramaian itu. Karena itu, mereka merasa mutlak untuk mendapat banyak orang guna menciptakan keramaian dan sebagainya. Untuk itulah, lalu mereka membayar orang.
Meskipun masih harus didukung dengan penelitian, saat ini sudah kelihatan bahwa banyak dari rakyat tidak lagi merasa berutang budi dengan pemberian dari partai-partai politik. Dengan lain kata, uang yang sangat banyak untuk dibagi-bagikan kepada massa yang dibebankan kepada partai politik dan calon anggota legislatifnya itu percuma. Tentu hal ini akan membawa efek yang sehat pada mentalitas partai politik dan elitenya.
Kampanye apa yang cocok dengan sistem pemilu yang baru ini?
Sebetulnya, tidak perlu kampanye dalam bentuk arak-arakan motor dan sebagainya. Itu sama sekali tidak perlu. Tidak ada manfaatnya bagi perolehan suara dalam pemilu. Tentu ini harus dicek oleh penelitian terlebih dahulu. Namun, membiayai ratusan tukang ojek untuk mengenakan kaus dan membawa bendera sebuah partai politik barangkali sama dengan buang uang ke luar jendela. Kampanye cukup dengan mengadakan rapat-rapat umum di dalam ruangan atau di lapangan terbuka dengan orang yang memang sungguh mau datang. Mereka yang datang tidak diberi apa-apa, cukup daya tarik tokoh yang bicara.
Di dalam sistem demokrasi yang sudah berjalan lama dan mantap pun, seorang caleg biasa sering tidak akan sangat menarik. Jadi, memang yang menjadi mesin vote gater biasanya adalah tokoh-tokoh tertinggi. Merekalah yang lalu harus ke mana-mana dan massa lalu akan datang, juga kalau tidak dibayar. Kalau massa hanya datang untuk dibayar, loyalitas mungkin justru tidak akan terwujud.
Apakah Anda melihat ada perubahan perilaku elite di era yang sedang berubah ini?
Saya tidak melihat banyak perubahan perilaku di kalangan elite politik, dalam orang-orang partai, dan dalam orang-orang di pemerintahan. Maka kita harapkan saja pemilu dapat menjadi pelajaran bagi mereka (elite). Mereka perlu mengerti dan disadarkan bahwa perilaku mereka akan membuat mereka tidak akan beruntung.
Dapat dikatakan reformasi tidak mengubah perilaku elite?
Memang ada perubahan dalam arti bahwa pemilu sekarang lebih bebas. Namun, dalam sikap berkampanye, belum banyak perubahan dan perbedaan. Lihat saja iklan di media massa yang hanya sloganistik belaka. Tidak ada informasi apa pun mengenai substansi program yang bersangkutan.
Meski demikian, banyak harapan dengan Pemilu 2004. Apa yang bisa dilakukan rakyat?
Rakyat hanya bisa berbuat satu hal, yaitu ikut memilih. Yang lain tidak bisa.
Memilih bagaimana?
Memilih salah satu partai politik. Saat ini makin bisa diteliti untuk kemudian menjatuhkan pilihan. Dasarnya adalah bagaimana ia tersentuh dengan berbagai macam kampanye yang mungkin saja memberi pengetahuan yang relevan untuk dasar menentukan pilihan.
Bagaimana dengan memilih untuk tidak memilih atau menjadi golput (golongan putih) untuk saat ini?
Golput tidak akan berarti. Itu hanya gerakan beberapa mahasiswa dan beberapa orang saja. Mayoritas rakyat menganggap pemilu itu sebagai sesuatu yang menarik dan mengasyikkan untuk diikuti.
Mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan dilakukan secara langsung, bagaimana kemungkinan adanya perubahan?
Tentu saja presiden hasil Pemilu 2004 akan mempunyai kedudukan dan legitimasi yang cukup kuat. Bahkan akan lebih kuat dibandingkan dalam periode lima tahun yang telah lewat ini. Dengan demikian, siapa yang akan terpilih menjadi presiden akan sangat menentukan perubahan-perubahan yang saat ini kita sandarkan dan harapkan melalui Pemilu 2004. Posisi presiden memang penting.
Bagaimana peluang munculnya presiden dari luar partai politik?
Demokrasi itu fokusnya selalu di partai politik. Tidak akan bisa dihindari. Peluang itu akan sangat kecil. Tokoh dari luar partai paling-paling akan muncul di Dewan Perwakilan Daerah.
inu
Monday, March 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment