SEJAUH ini belum terbantahkan bahwa Partai Demokrat yang kini bertengger di urutan ke lima perolehan suara sementara secara nasional (6,494,653/7,52 persen) dipilih karena Susilo Bambang Yudhoyono. Faktor ketokohan Yudhoyono mendongkrak perolehan suara partai yang kehadirannya semula tidak terlalu diperhitungkan publik.
KETUA Badan Pemenangan Pemilihan Umum Partai Demokrat Marsekal Pertama (Purn) Suratto Siswodihardjo sadar betul peran Yudhoyono bagi perolehan suara untuk partainya. Karena itu, seusai memantau penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 005, Desa Nagrek, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, 5 April 2004, yang membuat Partai Demokrat berjaya, Suratto berujar, "Faktor Yudhoyono sangat dominan. Saya nunut (ikut) popularitasnya saja."
Bagi kebanyakan pemilih yang tidak tahu-menahu apa dan bagaimana program Partai Demokrat karena memang belum cukup tersosialisasi, Yudhoyono memang menjadi gantungan utama. "Soal calon anggota legislatifnya saya tidak tahu dan memang tidak saya coblos karena katanya kan tidak harus dicoblos. Saya hanya coblos Partai Demokrat karena ada SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) di situ yang akan mencalonkan diri sebagai presiden," ujar warga Cijantung, Jakarta Timur, seusai memberikan suara di TPS 048.
Lewat berbagai survei yang dilakukan menjelang Pemilu 5 April 2004, Yudhoyono memang telah diprediksi akan mengangkat perolehan suara Partai Demokrat. Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang mengumumkan data surveinya dua hari menjelang pemilu memperkirakan Partai Demokrat akan bertengger di jajaran partai menengah dengan perolehan suara antara 5-15 persen.
"Sesuatu yang tidak dapat diabaikan dalam perpolitikan Indonesia adalah pentingnya tokoh. Kita menyaksikan bagaimana suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) didongkrak naik oleh Megawati Soekarnoputri. Bersamaan dengan turunnya ketokohan Megawati, dapat dipahami kalau suara PDI-P turut merosot. Sebaliknya, Yudhoyono yang ketokohannya naik dan diposisikan berhadap-hadapan dengan Megawati mampu mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat," ujar pengamat politik Indonesia Prof William Liddle.
KETOKOHAN atau mungkin lebih tepatnya popularitas seseorang menjadi salah satu pertimbangan paling menentukan dalam benak rakyat untuk menjatuhkan pilihannya. Dari data di pusat tabulasi yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, hal itu terbukti dalam urutan perolehan suara calon anggota DPR dari seluruh partai politik peserta pemilu untuk daerah pemilihan I dan II DKI Jakarta.
Popularitas dan terlebih jika didukung citra partai yang baik dari partai politik yang menaungi tokoh itu mengantar para tokoh yang populer unggul dengan suara meyakinkan meskipun belum satu pun tokoh yang ingin menjadi caleg melunasi bilangan pembagi pemilih (BPP). Dari 21 caleg dari daerah pemilihan I dan II DKI Jakarta, hanya Presiden Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid yang mendekati BPP dengan 240.251 suar.
BPP untuk daerah pemilihan II caleg DPR tempat Hidayat bertarung memang belum dapat dipastikan karena belum tuntasnya penghitungan suara di seluruh TPS di Jakarta. Namun, dengan 22.497 TPS dari 23.877 TPS DKI Jakarta yang telah selesai dihitung atau sekitar 94,22 persen suara BPP dapat diperkirakan.
Hingga Rabu (14/4) siang, suara sah untuk daerah pemilihan II DKI Jakarta mencapai 2.494.545 suara. Dengan sembilan kursi DPR yang diperebutkan, maka kira-kira BPP atau harga satu kursi di daerah pemilihan II DKI Jakarta sekitar 277.171 suara. Selain Hidayat, suara yang diraup delapan caleg DPR dari partai lain masih sangat jauh dari BPP atau harga kursi.
Untuk caleg terpopuler kedua dari daerah pemilihan II DKI Jakarta yang meliputi Jakarta Selatan dan Jakarta Barat yaitu Husein Abdul Azis dari Partai Demokrat, suaranya hanya sekitar sepertiga suara Hidayat, yaitu 86.232 suara. Nama-nama populer dari partai lain memperoleh suara lebih kecil lagi atau masih jauh dari BPP.
Fahmi Idris dari Partai Golongan Karya yang masih menjadi anggota DPR hanya memperoleh 41.799 suara. Menyusul kemudian suara untuk Ketua Umum Partai Bintang Reformasi (PBR) KH Zaenuddin Hamidi atau terkenal sebagai dai sejuta umat Zaenuddin MZ yang memperoleh 39.629. Dua politisi PDI-P, Roy BB Janis dan Sabam Sirait, hanya bertengger di urutan ke enam dan ke delapan dengan raupan suara lebih kecil, pararel dengan perolehan suara PDI-P di Jakarta.
Jika di daerah pemilihan II DKI Jakarta pautan suara cukup jauh, di daerah pemilihan I DKI Jakarta perolehan suara 12 caleg teratas tidak terlalu jauh terpaut. Daerah pemilihan I DKI Jakarta yang meliputi Kepulauan Seribu, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara memperebutkan 12 kursi DPR. Bertengger di urutan pertama Sekretaris Jenderal PKS M Anis dengan 97.760. Sama seperti di daerah pemilihan II DKI Jakarta, di daerah pemilihan I DKI Jakarta tidak satu pun caleg yang mampu memenuhi BPP.
Anis yang mendapat 97.760 suara, jauh dari BPP yang jika dikira-kira berdasarkan 94,22 persen penghitungan suara di KPU DKI Jakarta adalah 191.552 suara. Pengamat ekonomi kondang yang menjadi caleg untuk Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad H Wibowo hanya bertengger di urutan 11, terpopuler di daerah pertarungannya dengan memperoleh sekitar 34.439 suara. Data itu semua diambil dari tabulasi perolehan suara pemilu yang dilakukan KPU DKI Jakarta.
MELIHAT kecenderungan tidak adanya caleg yang mampu membayar lunas harga kursinya yang diimpikannya dengan raupan suara rakyat membuat esensi pemilu yang dipromosikan sebagai pemilu yang berbeda dengan pemilu sebelumnya jauh dari terwujud. Kondisi ini membuat partai politik kembali berkuasa. Kedaulatan rakyat yang diibaratkan dengan tidak lagi membeli kucing dalam karung masih jauh dari impian.
Kini caleg yang sebelumnya dikeluarkan dari karung untuk dipilih dengan sangat terpaksa harus dimasukkan ke dalam karung lagi karena tidak cukup memesona untuk berani menempati kursi yang diincarnya. Yang akan sakit hati dan mungkin bereaksi adalah caleg-caleg yang telah berupaya memesona rakyat dan meraih dukungan lebih besar, tetapi berada di urutan sepatu.
Untuk caleg PKS nomor urut tujuh di daerah pemilihan I DKI Jakarta, Afifah Hasan, yang mendapat dukungan cukup besar 49.322 suara, misalnya. Jika kebijakan penetapan caleg dikembalikan ke partai lantaran BPP tidak terpenuhi, jauh sekali ambisinya menjadi wakil rakyat terpenuhi. Setelah Anis, yang ditetapkan sebagai anggota DPR jika PKS mendapat dua atau tiga suara adalah caleg nomor urut dua dan tiga.
Hal sama jika BPP tidak terpenuhi juga terjadi untuk caleg lain di provinsi lain. Partai Golkar di daerah pemilihan Jawa Barat VI misalnya. Jika hanya mendapat dua kursi, Nurul Q Arifin dengan nomor urut tiga yang meraup 52.626 suara akan terlibas Ade Komarudin nomor urut satu yang hanya meraih 42.011 suara. Untuk PDI-P di Jawa Barat II juga demikian. Jika hanya satu kursi yang berhasil diperoleh PDI-P, Marissa Haque dengan nomor urut dua dan meraih 28.344 suara akan dilibas Taufiq Kiemas dengan nomor urut satu dan suara hanya 22.289 suara.
Hal yang sama juga terjadi di Pemilu 2004 di daerah pemilihan Jatim III. Caleg PKB nomor urut 4 Abdullah Azwar Annas memperoleh suara terbanyak, 126.068 suara, sementara Irfan Zidny caleg nomor urut 1 memperoleh 39.329, Amin Said Husni nomor urut 2 meraup 79.794 suara, dan Ahmad Anas Yahya mampu menggaet 41.156. Dengan perolehan suara itu, jika misalnya hanya satu kursi yang didapat PKB di Jatim III (mungkin akan lebih), Irfan Zidny yang akan terpilih. Itu tentu akan merugikan Abdullah Azwar Anas jika perolehan suaranya tak mampu melewati BPP.
Karena itu, mari bersiap-siap kecewa menunggu kucing-kucing dikeluarkan dari dalam karung....
inu
Monday, March 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment