SELAIN Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat, yang juga cukup fenomenal muncul ke permukaan selama penghitungan suara hasil pemilihan umum 5 April 2004 adalah Lembaga Survei Indonesia. Karena kedekatan analisisnya dengan kenyataan yang saat ini terjadi mengenai perolehan suara partai politik peserta Pemilu 2004, beberapa orang berkelakar, LSI tidak melakukan survei tetapi melakukan praktik paranormal.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) memang tidak satu-satunya lembaga yang memprediksi hal tersebut. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bersama National Democratic Institute (NDI) juga mengeluarkan prediksi yang sama. Pada bulan Agustus 2003, LSI mengeluarkan analisisnya bahwa Partai Golongan Karya (Golkar) akan memimpin perolehan suara hingga saat ini belum terbantahkan.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dianalisis akan merosot perolehan suaranya ternyata betul terbukti. Melejitnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat sebagai pendatang baru juga telah dianalisis sebelum pemungutan suara yang berlangsung damai, aman, dan relatif demokratis.
Sejumlah nama berada di balik LSI yang didirikan atas bantuan dana Pemerintah Jepang melalui JICA. Terdapat tiga peneliti muda di LSI, yaitu Direktur Eksekutif Denny JA, dan dua direktur lainnya, Saiful Mujani dan Muhammad Qodari. Di antara ketiga peneliti yang kini identik dengan LSI adalah Qodari, yang dalam kegelisahannya sebagai orang muda menemukan LSI sebagai medan untuk mengamati, meneliti, dan menganalisis perilaku politik masyarakat Indonesia.
Dalam sebuah wawancaranya mengenai dampak kemenangan Golkar yang paling dikhawatirkannya adalah merebaknya kembali korupsi, kolusi dan nepotisme, yang pada era PDI-P juga merebak. "Akan tetapi, kita tak boleh menolak kehendak masyarakat. Karena itu, Golkar harus kita kontrol supaya jangan kembali ke zaman Orba. Kita harus mengawasinya habis-habisan," ujarnya.
Latar belakang pendidikan bidang Political Behaviour dari University of Essex, Inggris (2003) dan sarjana Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia (1997) mengantarnya merasa nyaman bekerja sebagai peneliti politik.
Sebelumnya, peneliti muda kelahiran 15 Oktober 1973 ini menjadi peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Institut Studi Arus Informasi.
Bagaimana keterlibatan Anda pada penelitian politik?
Tahun kedua kuliah psikologi di UI saya merasa bahwa minat saya adalah politik. Untuk mengembangkan minat politik, saya belajar politik secara bersama teman-teman di kelompok studi. Saya mengembangkan minat politik di luar studi saya. Karena ingin menyelesaikan sarjana psikologi, saya pilih bidang yang sesuai minat saya, yaitu psikologi sosial.
Memelihara minat saya dalam politik, saya berjanji pada diri sendiri kalau dapat kesempatan sekolah lagi saya akan mengambil bidang politik. Dan kesempatan itu terbuka saat saya mendapat beasiswa ke Inggris. Saya ambil pokok political behaviour (perilaku politik).
SEBELUM bergabung LSI, Qodari ada di ISAI (1999-2001). Ketika itu sebenarnya sudah akan masuk CSIS. Tetapi karena mendapat beasiswa dan mau sekolah, CSIS dilupakan dulu. Begitu pulang dari Essex University, Qodari begabung ke CSIS dan hanya sempat tujuh bulan di situ.
Di LSI memenuhi minat semula pada politik?
Ya, betul. Bekerja tidak lain bagi saya adalah mengerjakan hobi. Itu akan membuat kerja menjadi nikmat. Minat saya di politik berkembang saat terlibat dalam kelompok studi di UI. Kelompok studi itu namanya Eka Prasetya. Jangan heran karena yang kasih nama itu Nugroho Notosusanto (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Oleh Nugroho, semua UKM di UI itu diberi nama sansekerta. Di sana saya mengembangkan minat di bidang politik. Di situ saya banyak bergaul dan mengembangkan minat pada ilmu sosial. Di situ pula timbul cita-cita untuk menjadi peneliti.
Bertahun-tahun ilmu politik di Indonesia itu hanya bertumpu pada ilmu politik normatif dan bersifat kualitatif yang berupa observasi dan wacana. Ilmu politik yang tingkat generalisasinya terbatas. Hanya penelitian berdasarkan survei yang bisa dipakai untuk generalisasi. Dalam masyarakat politik modern, survei adalah pilar kelima demokrasi.
Sejauh mana pemberi dana mempengaruhi penelitian?
Tidak. Kami melihat situasi dan kebutuhan juga. Saat ini yang menjadi pembicaraan pemilu maka kami banyak mengangkat pemilu seperti pilihan partai politik masyarakat, pilihan presiden dan wakil presiden. Sebelumnya, tema survei kami sangat luas. Untuk survei bulan Maret, kami pangkas hanya mengangkat tema demokratisasi agar kualitas respons dari responden bagus.
Anda pendapat survei-survei itu untuk mengondisikan masyarakat?
Kita masih berdebat soal pengaruh publikasi survei terhadap perilaku masyarakat. Ada yang bilang berpengaruh ada yang bilang tidak berpengaruh. Akan tetapi, reaksi atas analisis survei sudah terbukti di Indonesia saat kami mengumumkan bahwa partai-partai Islam tidak akan berkembang perolehan suaranya dalam Pemilu 2004. Ada reaksi dari Partai Bulan Bintang yang meminta agar tidak mempercayai survei LSI. Kami dinilai melakukan usaha-usaha delegitimasi. Kami tegaskan, tidak ada pretensi seperti itu. Ketika itu kami tunjukan kepada partai Islam agar jangan jualan Syariat Islam karena menurut survei tidak akan laku. Yang akan laku adalah isu ekonomi dan keamanan. Isu itu kemudian diambil oleh PKS. Persis sekali apa yang dialami PKS itu seperti yang kami katakan. Sebelum pemilu, kami pernah presentasi ke PKS beberapa kali untuk itu.
Ada yang mencurigai LSI ada di belakang Partai Golkar dan Yudhoyono karena dua pihak itu yang selalu diuntungkan?
Yang penting bukan datanya. Tetapi bagaimana respons atas data yang kami temukan. Kalau ditemukan bahwa 70 persen masyarakat tidak ingin Megawati Soekarnoputri kembali memimpin, Mega dan timnya harus melakukan restorasi dan bekerja sungguh-sungguh. Jika respons atas data tepat, persepsi masyarakat bisa berubah.
Artinya, hasil survei itu hanya merupakan peringatan saja?
Survei itu denyut demokrasi. Kalau denyut itu turun, kebijakan pemerintah berarti salah. Kalau naik, kebijakan harus dipertahankan karena betul. Sama dengan data prediksi keunggulan Partai Golkar dan merosotnya suara PDI-P yang kami presentasikan Agustus 2003. Sayang, PDI-P keliru menanggapi data kami. Prinsip kami adalah setia pada data. Doktrin kami, data itu suci dan tidak boleh diutak-atik.
Ada pertaruhan kredibilitas?
Ya. Kami tidak kalah deg-degannya dengan pemimpin partai politik sekarang ini. Kalau kita kami gagal melakukan prediksi, yang tidak akan lolos 2009 bukan hanya partai politik gurem, tetapi juga LSI. Jika tidak lolos lantaran datanya tidak dapat dipercaya, kalau mau ikut lagi harus ganti nama LSI reformasi. Saya tidak bisa lagi nulis dengan mengutip data LSI karena sudah dinilai salah.
Kekuatan politik makin terfragmentasi, bagaimana politik Indonesia ke depan?
Akan tergantung pada keterampilan presiden dan wakil presiden mendatang. Respons parlemen akan sangat tergantung pada kebijakan dan gaya kepemimpinan presiden dan wakil presiden. Dari hasil perolehan suara saat ini, semua harus sadar bahwa demokrasi itu tidak datang dari langit. Demokrasi itu harus memenuhi harapan masyarakat. Apa itu harapan masyarakat, berdasarkan survei kami adalah perbaikan ekonomi.
Bagaimana mengantisipasi tidak efektifnya kepemimpinan ke depan dengan fragmentasi politik itu?
Pertama, calon presiden yang populer namun dukungannya di parlemen relatif kecil harus berkoalisi dengan partai besar. Yudhoyono, misalnya, perlu berkoalisi dengan Partai Golkar atau Partai Kebangkitan Bangsa. Tetapi itu hampir tidak mungkin karena Golkar dan PKB lebih besar dan pasti akan meminta jatah sebagai presiden. Tetapi masih terbuka kemungkinan dengan mengupayakan koalisi itu asal ada konsesi kursi yang besar di kabinet.
Kembalinya pemilih pada Partai Golkar dan sosok militer merupakan tanda kegagalan gerakan prodemokrasi yang meminta perubahan?
Hasil pemilu memberi pesan, partai politik harus bisa memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat agar mendapat dukungan. Pesan kedua, organisasi itu sangat penting dalam partai politik. Kemenangan Partai Golkar menunjukkan kematangan partai ini dalam berorganisasi. Berbeda dengan PDI-P yang merosot perolehan beriringan dengan merosotnya kepemimpinan Mega.
Menonjolnya Yudhoyono di Partai Demokrat akan menjadi bom waktu bagi partai ini mendatang?
Apa yang dialami Partai Demokrat dan Yudhoyono mirip dengan apa yang dialami PDI-P dan Mega lima tahun lalu. Nyawa Partai Demokrat akan tergantung pada kinerja Yudhoyono jika terpilih menjadi presiden. Jika buruk, publik akan meninggalkannya.
inu
Monday, March 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment