Monday, March 10, 2008

koalisi kucing

SETELAH sebelumnya para politisi malu-malu mengungkapkan siapa mitra koalisinya untuk berkompetisi memperebutkan posisi presiden dan wakil presiden periode 2004-2009, kini peta koalisi makin jelas. Ada empat pasangan yang akan bertarung pada 5 Juli 2004, yaitu Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, dan Wiranto-Salahuddin Wahid.

Oleh keempat pasangan calon presiden (capres) yang belakangan ini makin intens melakukan sosialisasi ke sejumlah kalangan dengan berbagai cara, masalah bangsa yang membentang di depan dirinci dan ternyata tidak sedikit. Empat pasangan capres dalam berbagai kesempatan menyebut-nyebut berbagai masalah yang umumnya seragam.

Tanpa rincian yang jelas mengenai bagaimana mengatasi segunung masalah bangsa itu, yang membedakan identifikasi masalah di antara pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres) hanyalah soal urutan penyebutan. Segunung masalah yang dibolak-balik penyebutannya itu adalah menciptakan keamanan, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, penegakan hukum, mengevaluasi dan melanjutkan reformasi, menciptakan kesejahteraan rakyat dengan menggerakkan ekonomi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Yudhoyono dan Jusuf yang kemarin didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh tiga partai politik, yaitu Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Bulan Bintang (PBB), tidak beranjak dari beberapa rincian masalah di atas. "Jika rakyat memberi kepercayaan, kami bertekad mewujudkan Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis, dan sejahtera," ujar Yudhoyono.

Amien dan Siswono yang mendeklarasikan pencalonan mereka hari Minggu lalu menyebut-nyebut akan menuntaskan reformasi yang telah dituntut Amien sejak akhir masa pemerintahan Soeharto. Seperti pasangan Yudhoyono-Jusuf, yang mengaku telah menyamakan platform, Amien-Siswono juga mengaku demikian. Dalam misinya, Amien-Siswono bertekad melakukan penyempurnaan reformasi politik dan menyelesaikan reformasi hukum, pertahanan, keamanan dan ketertiban, kelembagaan birokrasi, sosial, dan ekonomi yang saat ini relatif tersendat.

Megawati-Hasyim yang pertama kali secara terbuka mendeklarasikan pencalonan mereka di Tugu Proklamasi, Kamis pekan lalu, mengungkapkan sejumlah besar masalah seperti diungkapkan pasangan capres dan cawapres lainnya. Selain berambisi mengatasi segunung masalah, dalam sambutannya, Hasyim mengungkapkan duetnya dengan Megawati dimaksudkan untuk memperkokoh persatuan rakyat. Bagaimana cara agar persatuan rakyat itu menjadi kokoh, tidak lebih rinci dijelaskan. Pasangan dua pemimpin kelompok massa ini tampaknya diandaikan secara otomatis menyatukan dan memperkokoh massa di bawah.

Wiranto yang saat ini hanya ingin menjadi presiden satu periode saja, dan telah mendapatkan pasangan Salahuddin, dalam beberapa kesempatan menyebut-nyebut segunung masalah di atas untuk diatasi jika akhirnya terpilih menjadi presiden. Sebagai capres dengan latar belakang militer, seperti Yudhoyono, Wiranto menjanjikan keamanan dan penegakan keteraturan dengan menjadikan hukum sebagai panglimanya.

Mengenai bagaimana cita-cita dan harapan akan kehidupan rakyat dan bangsa yang lebih baik itu diwujudkan dalam pemerintahan oleh orang-orang yang kompeten, profesional, dan bersedia bekerja keras, sejauh ini belum ada satu pun dari pasangan capres dan cawapres itu yang bersedia merincinya. Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Umum PKP Indonesia Edi Sudradjat yang telah secara tegas mendukung pencalonan Yudhoyono- Kalla, mengaku tidak membicarakan mengenai bagaimana mengatasi segunung masalah bangsa lewat pembentukan pemerintahan yang efektif di masa mendatang. "Itu dagang sapi namanya," ujar Edi.

Seperti diakui oleh Ketua Umum Partai Demokrat Subur Budhisantoso, apa yang ada di benak pasangan capres bersama sejumlah tim sukesnya adalah bagaimana dapat memenangi kompetisi dalam pemilihan umum (pemilu) presiden 5 Juli 2004 mendatang. Karenanya, apa yang akan diperbuat oleh presiden dan wapres setelah nanti ternyata terpilih, bisa diatur kemudian. "Yang paling penting saat ini adalah bagaimana memenangi pemilu presiden. Yang lain, urusan belakangan," ujar Budhisantoso.

Konsentrasi untuk memenangi kompetisi pemilu presiden yang pertama kali dilaksanakan secara langsung dan melibatkan sekitar 150 juta pemilih ini membuat pasangan capres dan cawapres melupakan bagaimana nanti akan memerintah dan akan ditopang siapa saja pemerintahannya yang mendapat legitimasi sangat kuat dari rakyat. Keengganan menerapkan sistem presidensial secara tegas lantaran kenyataan fragmentasi politik yang meluas di parlemen membuat ketidaktegasan mengenai bagaimana segunung masalah bangsa itu diatasi oleh siapa. Sejauh ini tidak ada keterusterangan yang memungkinkan rakyat mantap menentukan pilihan serta membuat kontrak politik.

Ketidaktegasan soal sistem pemerintahan presidensial telah membuat bongkar pasang kabinet sebagaimana terjadi pada era pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid.

Selain itu, tidak ada kejelasan mengenai bagaimana mimpi- mimpi tentang Indonesia yang lebih baik itu diwujudkan oleh para capres dan cawapres. Rakyat hanya diberi pesona semu capres dan cawapres yang cenderung manipulatif. Simbol- simbol, ikatan primitif, dan ingatan masyarakat akan mimpi-mimpi, lantas dieksploitasi untuk meraih kekuasaan. Wacana menyamakan platform menjadi nomor sekian untuk dipertimbangkan dalam manuver elite politik akhir-akhir ini. Yang pertama dan utama adalah bagaimana mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya untuk kemudian menang dan berkuasa.

Oleh Karena itu, meskipun telah mendapat izin dari Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) KH Abdurrahman Wahid, Partai Golkar yang mencalonkan Wiranto untuk berkompetisi masih membutuhkan dukungan formal, hitam di atas putih, dari PKB. Kepastian dukungan itu menjadi penting bagi Wiranto yang harus berebut suara sekitar 40 juta nahdiyin dengan Megawati yang telah lebih awal menggandeng Hasyim.

Karena orientasinya adalah memperoleh kekuasaan, tidak heran jika bertolak belakang latar belakangnya pasangan, lantas diabaikan atau dengan bahasa politik oleh para politisi disebut sebagai yang memperkaya dan melengkapi sesuai dengan kemajemukan bangsa. Untuk sebagian kalangan yang ingatan politiknya tidak pendek, sulit membayangkan munculnya pasangan Wiranto-yang dituduh melanggar hak asasi manusia (HAM)-dengan Salahuddin, pejuang HAM yang pernah berkehendak memeriksa Wiranto. Sebuah koalisi yang absurd.

Karena ingin semata-mata meraih kuasa, idealisasi yang semula digembar-gemborkan oleh masing-masing calon dapat diputar balik. Pembenaran atas perubahan ini disebut sebagai bagian dari dinamika politik yang dicitrakan seperti Tuhan, di mana tidak ada yang tidak mungkin di dalamnya.

Dalam kerangka ini, kemudian dapat dipahami kenapa Amien yang semula begitu kepincut dengan politisi berlatar belakang militer, memilih Siswono. Siswono pun menyambut. Keinginannya semula untuk maju sebagai capres lewat beberapa partai politik kemudian batal setelah melihat realitas perolehan suara partai yang diharapkannya. Berpasangan dengan Amien, menurut Siswono, dilihat sebagai pilihan yang mungkin dari keinginannya untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara.

Dengan pendekatan ini, pertanyaannya ialah bagaimana secara rinci hal terbaik untuk bangsa, dilakukan oleh siapa saja, menjadi mengawang lagi. Berpikir mengenai hal yang lebih konkret dalam ketidakpastian, ditakutkan politisi justru menjebak dan membuat peluang diraihnya kekuasaan hilang. Lebih aman memang mengambangkan keputusan dan baru menetapkan hal-hal yang lebih konkret ketika kepastian mulai bisa diprediksi.

Tidak adanya keterusterangan ini membuat pemilihan presiden 5 Juli dan 20 September 2004 tidak lebih dari sekadar memilih dua kucing pembawa karung berisi kucing-kucing.

inu

No comments: