Friday, February 29, 2008

kumis

KEBANYAKAN orang tidak lagi meragukan popularitas Andi Mallarangeng. Selain telanjur ngetop dengan label pengamat politik, sosok lelaki Bugis belakangan juga mejeng sebagai bintang iklan produk perbankan.

Namun, bekal popularitas dan terutama ikatan kesukuannya sebagai orang Bugis dikesampingkannya untuk menggapai cita-cita menjadi anggota anggota legislatif (caleg). Banyak tawaran dari teman-teman dekatnya untuk maju sebagai caleg di Sulawesi Selatan (Sulsel).

"Saya membuat pertimbangan yang keras untuk mengambil keputusan untuk maju dari mana, dari Sulsel atau dari Jakarta. Keputusan saya jatuhkan. Jakarta menjadi pilihan saya karena besarnya tantangan," ujarnya, Jumat (27/2) malam.

Ketua Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK) ini menjelaskan, keinginannya untuk menjadi anggota legislator bukan sekadar cari enak atau cari kekuasaan. Karena itu, ia memilih daerah yang paling menantang yaitu Jakarta. "Penduduk Jakarta sangat kritis karena tingginya pendidikan, kemudahan untuk mengakses informasi, dan kosmopolitan. Lawan saya dari partai-partai lain pasti juga yang terbaik. Karena itu, kalau bisa menang di Jakarta, ada nilai plusnya," paparnya bersemangat.

Keinginannya menjadi caleg dari Jakarta (Daerah Pemilihan I) yang jauh dari kampung halamannya sekaligus untuk membuktikan keyakinannya bahwa generasi muda dapat melampaui batas-batas etnis. "Saya sungguh ingin membuktikan hal ini dan menegaskan bahwa saya juga bisa melampaui batas-batas etnis. Ini sangat penting untuk menegaskan bahwa politik komunal tidak selalu menjadi resep mujarab untuk memenangi pemilu," jelasnya.

Meskipun berat dengan melihat para pesaing dari partai lain, Andi yang murah senyum ini optimistis dapat meraih dukungan di Jakarta. Kepercayaan dirinya muncul dari apa yang telah dilakukannya dan mendapat apresiasi positif dari masyarakat dari etnis dan agama mana pun.

"Jakarta itu merupakan mini Indonesia. Kalau saya bisa menang di Jakarta karena track record, pikiran, dan perbuatan saya, mudah-mudahan hal ini bisa menjadi simbol bahwa saya diterima di Indonesia. Tantangan di Jakarta saya ambil demi keinginan saya membuktikan penerimaan atas diri saya sendiri," ujarnya.

Guna memperbesar dukungan, selama banjir mengepung Jakarta beberapa waktu lalu, Andi mengaku telah keluar masuk lorong di kampung-kampung. Wilayah yang telah dikunjunginya untuk bertemu dengan calon pemilihnya adalah Kampung Sawah, Kwitang, Semper, Koja, Jatinegara Kaum, Johar Baru, dan Kemayoran.

Kunjungan untuk bertemu langsung dengan calon pemilih membuat Andi makin antusias. Ia yakin kepopulerannya juga berarti banyak mendapat dukungan dari warga masyarakat.

inu

kampanye

PELUIT tanda dimulainya acara gerak jalan di Lapangan Gajayana, Malang, Jawa Timur, telah ditiup Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional Amien Rais dari atas panggung. Meski demikian, sejumlah ibu dan remaja putri tetap berkerumun di sekitar panggung. Bunyi peluit tidak menggerakkan ibu-ibu dan remaja putri itu untuk memulai gerak jalan. Mereka tidak mau beranjak sebelum mendapat giliran bersalaman dengan Amien Rais.

Di antara kerumunan ibu-ibu dan remaja putri itu, tampak seorang ibu hamil. Sambil meletakkan tangan kirinya di perutnya yang membesar, ia meraih tangan Amien Rais untuk dicium. Sebelum memulai gerak jalan, ia meminta nama kepada Amien Rais untuk anak yang dikandungnya. Karena tergesa-gesa, Amien Rais menyebut nama salah seorang anaknya. Karena kerap terjadi, protes dari anaknya lantas muncul karena namanya dibagi-bagikan begitu saja.

Protes anak calon presiden tersebut dapat disimak di website resmi Amien Rais yang telah dipersiapkan matang dan cukup lama untuk kampanye pencalonan dirinya sebagai presiden dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2004. Banyak cerita unik dan lebih manusiawi mengenai sosok Amien Rais yang dikenal serius di website tersebut.

Menurut Edy Kuscahyanto, koordinator redaksi di The Amien Rais Center yang mengelola website tersebut, website yang diluncurkan pada 9 April 2000 tersebut terutama dimaksudkan untuk kepentingan pencalonan dan pemenangan Amien Rais sebagai presiden. "Fokus website ini adalah untuk pemenangan Amien Rais sebagai presiden dalam Pemilu 2004," ujarnya.

Calon presiden lain yang memanfaatkan jaringan Internet untuk sarana kampanye pemenangan pemilunya adalah Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdurrahman Wahid. Website resmi yang digarap serius sejak tahun 2002 ini menampilkan sosok Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid, secara lebih intens dan menyeluruh.

Dalam paparan mengenai biografi, misalnya, dipaparkan sejumlah hal yang selama ini tidak diketahui khalayak secara umum. Setelah membaca paparan dalam website dengan dominasi warna hijau tersebut, orang mungkin baru tahu bahwa nama lengkap Gus Dur adalah Abdurrahman Addakhil. Dalam website itu dijelaskan nama Addakhil yang merupakan pilihan KH Wahid Hasyim, ayahnya. Nama itu diambil Wahid Hasyim dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol.

Membutuhkan humor-humor segar khas Gus Dur, website ini juga menampilkannya dalam kumpulan anekdot. Kumpulan anekdot pernah diujarkan Gus Dur ketika menjabat sebagai Presiden RI dan mampu mengocok perut pendengarnya.

Tidak hanya sejumlah calon presiden yang ramai-ramai memanfaatkan jaringan Internet untuk melakukan kampanye dan pendekatan kepada calon pemilih. Sejumlah partai politik peserta Pemilu 2004 juga menggunakan media yang dapat diakses sepanjang hari ini sebagai medium. Akhir tahun lalu Partai Golongan Karya (Golkar) meluncurkan website resmi mereka yang, tentu saja, dominan dengan warna kuning.

Foto Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung sedang berkampanye di atas mobil tampil dominan begitu website dibuka. Di ujung bawah tampilan muka website ini terpampang banner bertuliskan "Siap Menghadapi Pemilu 2004 dengan Dukungan Teknologi Informasi".

Langkah memanfaatkan jaringan Internet juga dilakukan partai politik lain. Tidak hanya membangun website, beberapa partai politik seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang umumnya beranggotakan kalangan muda memanfaatkan mailing list (milis) untuk berkomunikasi dan menyosialisasikan kegiatan dan program partai. MEREKA yang berupaya berkampanye melalui jaringan Internet sadar betul bahwa populasi pengguna Internet di Indonesia masih sangat kecil.

Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2004, hanya sekitar delapan juta pengguna Internet. "Ini artinya hanya empat persen dari total penduduk Indonesia yang sekitar 200 jutaan orang," ujar JH Wenas, calon anggota legislator PKB, yang memilih strategi kampanye melalui jaringan Internet.

Pilihan Wenas menggunakan jaringan Internet untuk kampanye didasarkan pada sebaran pengguna Internet yang terkonsentrasi pada titik-titik di mana infrastruktur telekomunikasi relatif memadai, yaitu di kota besar seperti Jakarta. "Dari titik pandang konteks daerah pemilihan (DP) saya, yaitu DP I DKI Jakarta, pilihan strategi kampanye saya menggunakan jaringan Internet menjadi relevan," ujar Wenas yang mengaku tidak memiliki cukup "gizi" untuk berkampanye secara konvensional.

Namun, terlepas dari hal itu, kampanye menggunakan jaringan Internet, apakah melalui website, milis, maupun distribusi e-mail one-to-many seperti yang dilakukan Wenas, tidak bisa dipisahkan dari fakta adanya segmentasi publik sasaran. "Harus diakui memang terbatas publik pengguna Internet. Boleh dikatakan bahwa Internet di Indonesia hanya diakses oleh kelas menengah seperti profesional, karyawan, politisi, pelajar, mahasiswa, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat," paparnya.

Meski kecil, Wenas yakin, kampanye yang dilakukan melalui e-mail seperti yang ditempuhnya akan berdampak kepada publik. Ada harapan bahwa trickle down effect-nya bisa meluas ke kalangan yang belum memiliki kemewahan mengakses Internet secara rutin.

"Saya masih ingat, satu atau dua tahun sebelum Soeharto turun, banyak sekali e-mail maupun milis underground bermunculan untuk saling bertukar informasi mengenai banyak hal di negeri ini. Pengalaman ini menunjukkan bahwa Internet secara umum memberikan kontribusi bagi penciptaan sebuah momentum. Satu hal yang perlu diingat, kekuatan Internet terletak pada daya jangkaunya ke ruang pribadi orang per orang," jelas Wenas.

Calon legislator "nomor sepatu" dari PKB ini yakin, melalui e-mail one-to-many yang ia lakukan, metode direct selling seperti dalam dunia pemasaran dapat diterapkan. Dalam metode itu, siapa yang memberi referensi menjadi sangat penting. Orang akan cenderung percaya akan suatu informasi bila direferensikan oleh orang yang dikenal atau dipercayainya.

Untuk kepentingan kampanyenya sebagai calon anggota DPR, Wenas menyiapkan empat seri e-mail yang di atasnya bertuliskan permohonan untuk mem-forward e-mail itu kepada siapa saja. Dalam salah satu seri kampanyenya, meminjam kata-kata Prof Dr Franz Magnis-Suseno, Wenas menulis, "Harus dibedakan golput di masa Orde Baru dan sekarang. Di masa Soeharto, golput adalah bentuk perlawanan karena kita tidak diberikan pilihan. Kini, di era reformasi, kita bisa memilih yang terbaik di antara yang jelek. Tidak memilih sama saja memberi peluang kepada mereka yang tidak layak dipercaya".

Di sisi kiri seri kampanye ini terpampang foto Wenas dan di bawah kutipan tersebut terdapat logo PKB dan logo nomor urutnya sebagai calon anggota DPR di DP I DKI Jakarta. "Terhadap media lain, Internet bukannya substitutif, namun alternatif. Internet hanyalah salah satu pilihan media dari banyaknya media komunikasi lainnya," ujarnya.

JARINGAN Internet dipilih sebagai media kampanye terutama karena alasan minimnya biaya yang diperlukan jika dibandingkan dengan kampanye di media lain seperti media cetak atau elektronik. Untuk membangun website resmi Amien Rais, dibutuhkan dana awal Rp 400 juta. Sementara untuk operasional per bulan diperlukan dana Rp 20 juta, termasuk untuk menggaji empat orang staf.

"Internet merupakan media yang paling murah cost-nya dengan keuntungan cepat, tampil setiap saat, dan dapat diakses dari mana saja. Inti pemanfaatan jaringan Internet adalah kecepatan, baik kecepatan akses maupun kemutakhiran berita-beritanya. Tanpa itu, akan ditinggalkan orang," ujar Edy.

Bagi The Amien Rais Center, kampanye melalui jaringan Internet merupakan pilihan yang sifatnya substitutif di samping kampanye lainnya. Selain mengelola website, The Amien Rais Center juga menerbitkan tabloid dua mingguan MAR dan Rakyat Pos. Jaringan Internet dipilih karena kecepatan dan sebarannya.

Meskipun sadar akan keunggulan jaringan Internet, yaitu kecepatannya, hampir semua website calon presiden, partai politik, atau calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lambat dalam meng-update berita. Berita terkini di website Amien Rais merupakan berita hari sebelumnya yang sudah tersebar luas melalui media cetak atau elektronik yang dituduh "lambat".

Di website Partai Golkar, di halaman muka masih menampilkan "berita basi" bantahan Akbar Tandjung mengenai kesediaannya menjadi calon wakil presiden.

Kalaupun kemudian agak cepat, umumnya website yang digunakan untuk kampanye itu mengambil berita dari media Internet lain atau media cetak. Website Sarwono Kusumaatmadja, misalnya, isi beritanya merupakan kompilasi berita dari sejumlah media.

Kembali pada keunggulan jaringan Internet, yaitu pada kecepatan akses dan kemutakhiran beritanya, apa yang dikerjakan melalui sejumlah website peserta Pemilu 2004 untuk kampanye kemudian dapat diukur. Tampilan dan fasilitas yang ditawarkan sejumlah website tidak cukup atraktif dan tidak cukup memberi peran kepada pengakses untuk terlibat. Ditambah kelambatan akses dan updating beritanya membuat website para pengadu nasib dalam Pemilu 2004 ini semakin tidak menarik.

Berkaca pada minimnya pengguna jaringan Internet yang sebarannya terkonsentarasi di kota-kota besar di mana terdapat infrastruktur telekomunikasi yang memadai, strategi pemanfaatan jaringan Internet harus diubah agar efektif. Keunggulan Internet pada daya jangkaunya ke ruang pribadi orang per orang harus digarap.

Sayangnya, di sejumlah website peserta Pemilu 2004 tidak dibuat milis atau forum yang dapat menjangkau ruang pribadi masing-masing orang untuk memperluas jaringan dan meningkatkan intensitas komunikasi. Pengakses tidak diajak terlibat aktif dan hanya disuguhi "makanan" yang tidak disuguhkan.

inu

syafii maarif

KERUSAKAN bangsa ini sudah hampir sempurna! Mendengar kalimat ini, orang langsung mengaitkan dengan Prof Dr Achmad Syafii Ma'arif (69).

Menggambarkan parahnya kerusakan bangsa, Syafii yang lahir di Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935, berujar: "Secara sederhana, tengok tiga departemen sebagai contoh. Departemen Kesehatan yang mengurusi fisik, Departemen Pendidikan Nasional yang mengurusi otak, dan Departemen Agama yang mengurusi mental-spiritual manusia Indonesia. Semua bermasalah dan parah. Kerusakan bangsa ini sudah hampir sempurna."

MENJADI pejabat Ketua PP Muhammadiyah ketika reformasi lahir tahun 1998 dan kemudian menjadi Ketua PP Muhammadiyah sejak 1999 sampai sekarang membuat Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini banyak mengambil peran dalam perjalanan bangsa.

Oleh banyak kalangan, sosok sederhana yang lantang berbicara ini ditempatkan sebagai salah satu penjaga proses transisi menuju demokrasi. Dengan terbuka dan ramah, pria berjenggot putih yang kerap bolak-balik Yogyakarta-Jakarta ini menerima Kompas di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Sabtu (7/2).

Sesaat sebelum wawancara, Syafii menerima kunjungan mantan Perdana Menteri Malaysia Dr Mahatir Mohamad yang mengunjungi sejumlah tokoh Indonesia.

Separah apa kerusakan bangsa ini?
Kalangan awam tidak bisa melihat kegentingan itu. Tetapi, untuk orang yang mengerti, bangsa ini sudah menjadi bangsa yang tidak bermartabat. Di forum-forum dunia, kita sudah tidak punya nyali. Kenapa? Karena negeri ini digerogoti korupsi, utang yang tinggi, dan jadi importir terbesar.

Martabat bangsa hancur, tanpa ada kebanggaan. Indonesia hanya mampu mengekspor TKI (tenaga kerja Indonesia) tanpa keahlian. Itu mempermalukan kita. Sekarang kita sulit mengatasi masalah kompleks ini. Mau diapakan? Di semua bidang, kerusakan bangsa hampir sempurna. Masuk sekolah bayar mahal. Mau jadi pegawai negeri, menyuap. Saya ngeri dengan kondisi bangsa ini. Tapi, bagaimanapun, kita tak bisa lari dari kenyataan ini. Inilah bangsa kita.

Di tengah kondisi ini, Anda mengambil posisi apa?
Saya memposisikan diri sebagai pelayan. Seperti ketika saya ada di Jakarta sekarang. Tamu terus datang. Mereka menumpahkan unek-unek. Saya memberi komentar. Mereka tenang, meskipun kadang saya tidak bisa memberikan solusi apa-apa. Dengan menjadi pelayan, saya berusaha mencerahkan masyarakat dan berjuang untuk membela bangsa. Mudah-mudahan saya tidak tergoda masuk ke dunia politik. Godaan itu ada, tetapi sudah saya tolak jauh-jauh hari.

Masyarakat umum membandingkan kondisi saat ini dengan Orde Baru dan ingin kembali...

Beberapa hasil survei memang menunjukkan keinginan itu. Rakyat kita umumnya merasakan keadaan sekarang tambah sulit. Mereka tidak terlalu peduli dengan demokrasi, penegakan hukum, atau HAM (hak asasi manusia). Yang mereka pedulikan adalah sembako (sembilan bahan pokok), lapangan kerja, dan keamanan. Tanya sopir-sopir angkutan itu. Kalau ada demo, mereka menderita. Itu riil di lapangan dan terpenuhi ketika Orde Baru.

Pemerintah sekarang tidak efektif. Seandainya pemerintah tidur nyenyak selama 24 jam, ekonomi akan tetap tumbuh seperti sekarang. Apalagi, kalau pemerintah bangun, berpikir terus, dan memberi fasilitas sehingga sektor riil ini berfungsi. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan. Pemerintah juga tidak pernah memiliki satu bahasa. Sementara petunjuk "ibu" juga tak kunjung datang.

Ini yang membuat krisis bangsa berlarut-larut?
Faktor utamanya adalah kegagalan kepemimpinan. Kerja sama Bung Karno dengan Bung Hatta tidak berlangsung lama. Bung Hatta tidak mencoba mendekati Bung Karno melalui pintu subkultur Jawa yang canggih dan kemudian berpisah. Usaha nation and character building itu gagal.

Saat ini, tidak ada pemimpin yang terlatih. Kebanyakan dari mereka adalah politisi instan. Akademisi yang terjun ke dunia politik miskin pengalaman lapangan. Mereka sarat teori, tetapi tidak mampu memadukan teori di buku dan kenyataan di lapangan yang jauh berbeda.

Krisis berlarut-larut karena tidak adanya kepemimpinan...
Ya. Presiden Soeharto itu luar biasa, punya kharisma, dan berhasil menyulap bangsa ini. Pertumbuhan ekonomi saat itu luar biasa. Tetapi, lalu disadari bahwa pencapaian itu semu karena disokong utang luar negeri. Fundamental ekonomi Indonesia tidak pernah kuat. Tetapi, jangan dilupakan jasanya.

Hukum kita juga sudah sangat parah. Memang, ada penegakan hukum bagi yang kecil-kecil. Tetapi, tidak ada penegakan hukum untuk kasus-kasus besar. Sebagai bangsa paling korup, tidak pernah ditahan siapa koruptornya. Bangsa ini asyik untuk ditonton.

Saat ini, kita hidup dalam kegalauan sistem nilai. Kita susah membedakan mana hitam, putih, merah, atau biru. Semuanya bercampur aduk. Dalam kehidupan politik, "penyakit" orang Arab menular ke sini.

Gambarannya begini, kalau ada dua orang Arab berjalan, maka tiga orang yang mau jadi pemimpin. Sekarang, banyak orang yang ingin jadi presiden. Pemimpin partai kecil juga ingin jadi presiden. Bahkan, ketiga anak Soekarno ingin jadi presiden. Rakyat kita tidak protes. Tenang saja karena sudah lelah, sudah lama menderita sehingga stamina spiritualnya terkuras. Kalau kegalauan sistem nilai ini terjadi terus, bangsa ini mungkin tidak cepat ambruk. Tetapi, risikonya, bangsa ini tidak punya martabat.

Indonesia bangsa besar. Kalau ada pemimpin yang kuat dan adil, bangsa ini masih bisa dibangun. Masih bisa! Bagaimanapun, di ujung lorong sana, masih tampak cahaya. Cahaya itu dapat diperbesar dengan lahirnya pemimpin yang mau berjibaku membela bangsa.

Bagaimana masa sulit ini diatasi dan diakhiri? Mencari pemimpin melalui pemilu. Jika 60 persen hasil Pemilu 2004 berkualitas baik, akan ada harapan perbaikan. Pemerintahan yang akan datang akan dikendalikan mereka-mereka yang tercerahkan, punya komitmen, dan visi jauh ke depan. Walaupun di kabinet ada juga orang-orang yang memiliki mental lama, tetapi mereka jangan diberi posisi penting. Begitu juga di legislatif. Kita berharap yang menjadi anggota DPR dan DPRD adalah orang-orang yang cerah dan wawasannya luas.

Sekarang banyak politisi yang visinya hanya sebatas halaman rumahnya. Bagi mereka, politik menjadi mata pencaharian. Proses demokratisasi berhadapan dengan orang-orang semacam itu. Tapi, proses ini harus kita lalui. Saya tidak setuju pendapat yang kelewat pesimis bahwa proses demokrasi harus melewati ratusan tahun.

Mungkinkah dipercepat...
Ya. Sangat mungkin, bahkan it's a must. Tetapi, itu tergantung hasil pemilu nanti. Kalau secara kualitatif berhasil menempatkan orang yang tercerahkan sebanyak 60 persen saja di kursi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tentu akan bagus. Pencapaian 60 persen itu penting untuk membangun bangsa yang carut-marut ini.

Saat ini tidak ada penegakan hukum. Aparat penegak hukum, polisi, hakim, jaksa, sampai pengacara tidak menampilkan sosok yang meyakinkan sebagai penegak hukum karena faktor uang. Di mana-mana, hukum bisa diperjualbelikan, jabatan bisa diperjualbelikan.

Upaya apa untuk mendapat 60 persen wakil rakyat yang berkualitas tadi?
Media massa baik cetak dan elektronik sangat berguna untuk memberi pendidikan politik kepada masyarakat secara terus-menerus. Itu harus ditekankan. Tentukan pilihan dengan cerdas.

Jika harapan 60 persen itu tidak tercapai, bagaimana?
Jangan disebarkan ketakutan pemilu gagal sehingga harus diantisipasi. Kita antisipasi saja. Jika pemilu benar-benar gagal, risikonya masa transisi berkepanjangan, kesabaran masyarakat habis. Jika begitu, akibatnya tak terbayangkan.

Mungkin akan lahir chaos. Kalau Pemilu 2004 gagal, bisa dibuat skenario lain. Tapi, jangan diumumkan. Kesalahan Susilo Bambang Yudhoyono adalah mengumumkan kemungkinan gagal. Saya sudah membantahnya secara keras. Negeri ini masih memiliki sisa-sisa kekayaan alam. Memang, hutan sudah gundul dan laut sudah diserobot, tetapi masih tersisa kekayaan. Ikan masih banyak. Tanah Air di sini sangat subur. Inilah surga dunia.

Untuk membangun bangsa yang betul-betul bermartabat, berdaulat, bangsa ini butuh kepemimpinan kuat, adil, dan punya visi yang jelas. Kalau partai-partai tidak bisa menawarkan, di luar partai masih banyak pemimpin. Tergantung rakyat yang akan memilih mereka.

Demokrasi memang melelahkan, lamban, dan penuh ketidakpastian. Meski bukan sistem politik yang ideal, demokrasi merupakan sistem terbaik di antara sistem yang buruk.

Bagaimana perjuangan lewat partai politik?
Karena kita memilih demokrasi, tidak ada jalan lain kecuali lewat partai politik. Tugas masyarakat mengkritik partai dan pemimpinnya. Masalahnya, politik kini dilihat sebagai mata pencaharian. Itu tak bisa disalahkan. Politik menjadi jalan pintas untuk memperbaiki asap dapur. Ini bukan rahasia lagi.

Jangan mereka yang terlalu miskin jadi politikus. Kalau miskin, politik akan dijadikan mata pencaharian. Mereka akan melakukan segala-galanya untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Kalau perlu dengan membajak Tuhan. Mereka berperang dalil untuk membenarkan proses pembajakan itu.

Politisi ideal itu seperti apa?
Boleh berlaku sambil menyelam minum air, tetapi idealisme untuk berjuang demi keutuhan bangsa jangan hilang. Kiblat geraknya harus ke sana. Bangsa ini harus dijaga karena sudah terancam. Disintegrasi terjadi secara politik dan sosial. Sedikit ada masalah, beberapa daerah terbakar. Karena itulah Pemilu 2004 menjadi sangat penting. Melalui pemilu, bangsa ini bisa diperbaiki. Kita membangun demokrasi lewat partai-partai. Lewat pemilu, pertai-partai mendapat legitimasi secara politik. Sayangnya, moral mereka makin merosot.

Apa peran civil society seperti Muhammadiyah?
Ya. Sekarang, orang berpaling pada kekuatan civil society, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan lembaga keagamaan lain untuk memperbaiki keadaan. Tetapi, kita juga memiliki batas. Kalau masuk politik praktis, kita menjadi partai politik. Banyak orang yang akan menghantam kita. Itu dilemanya. Di antara celah-celah yang sulit itulah, kita masuk dengan niat baik

Andaikata Pemilu 2004 ini menghasilkan 60 persen saja, harapan perbaikan akan terwujud. NU dan Muhammadiyah terus berusaha mendidik masyarakat untuk memilih wakil-wakil rakyat yang tercerahkan itu. Kita berjuang dari akar rumput. Kita bekerja dalam kapasitas masing-masing. Terus saja bergerak. Jangan diam. Berbuatlah, dalam batas kemampuan kita. Kalau bisa, berbuatlah semaksimal mungkin untuk kepentingan bangsa ini.

Cukup efektifkah gerakan moral ini?
Paling tidak kita terus menyuarakan penyakit bangsa dan bagaimana keadaan moralnya. Masyarakat berharap pada NU dan Muhammadiyah agar lebih berperan mendidik rakyat menjadi pemilih yang cerdas dan kritis. Kita berperan di situ. Kita sedang merumuskan sambil berlomba dengan hari yang mepet. Saya telah bertemu dengan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi. Mudah-mudahan kita tidak tergoda. Demokrasi memang melelahkan dan membutuhkan napas panjang. Yang penting jangan tinggal diam.

inu/iam

soeharto

BAIK-baik sama rakyat! Begitu kerap ditegaskan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu dalam setiap kali bertemu dengan prajuritnya. Menurut dia, hanya dengan "baik- baik sama rakyat", TNI sebagai kekuatan pertahanan akan tetap eksis. Dengan "baik-baik sama rakyat", kemanunggalan TNI dengan rakyat terjaga.

RYAMIZARD sadar betul, dengan sejumlah kelemahan dan kekurangan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI AD, kedekatan dan kemanunggalan dengan rakyat merupakan kekuatan pertahanan paling andal. Sejarah membuktikan hal itu berulang-ulang sejak zaman penjajahan Belanda hingga upaya mempertahankan kemerdekaan dari sejumlah pemberontakan. Sejarah negara lain juga menegaskan hal itu.

Seruan "baik-baik sama rakyat" merupakan salah satu refleksi dan upaya perbaikan kesalahan masa lalu, khususnya pada masa rezim Soeharto berkuasa. Organisasi teritorial yang berfungsi menjaga kemanunggalan TNI dengan rakyat disalahgunakan rezim Soeharto untuk kepentingan politiknya.

"Oleh rakyat, organisasi teritorial pada masa lalu dirasakan bukan sebagai pelindung dan pendamping, tetapi sebagai penegak kekuasaan dengan menggunakan kekuatan senjata untuk memaksakan kehendaknya kepada masyarakat," ujar Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo pada peringatan wafatnya Jenderal Besar Soedirman beberapa waktu lalu.

Karena diabdikan untuk menyangga kekuasaan Soeharto, kekuatan pertahanan dan keamanan Indonesia yang pernah dinilai paling efektif dan bahkan paling kuat di Asia terus merosot kekuatannya. Terjadi kesalahan pandangan rezim Soeharto untuk tidak mengembangkan kemampuan profesional TNI.

"Rezim Soeharto lebih banyak menggunakan TNI untuk kepentingan politiknya sehingga faktor politik lebih banyak mempengaruhi cara berpikir sebagian besar korps perwira TNI. Malahan pernah terjadi kalangan Taruna Akademi Militer Magelang diliputi keinginan kuat menjadi bupati kepala daerah ketimbang menjadi komandan batalyon yang unggul di medan laga," ujarnya.

Kurangnya dorongan untuk membina TNI menjadi kekuatan militer profesional yang andal berakibat kurangnya usaha untuk melengkapi TNI dengan kemampuan keuangan, kurangnnya penghasilan, dan jaminan sosial. Hal ini dinilai merugikan TNI karena memaksa TNI menyelenggarakan bidang usaha sendiri untuk memperoleh kemampuan yang diperlukan. "Masalah percukongan yang membuat reputasi TNI cemar berawal dari sini," ungkap Sayidiman.

Menurut dia, semua penyelewengan yang membuat TNI terjerumus dengan kekuatan pertahanan dan keamanan yang sangat lemah ini disebabkan oleh rezim Soeharto. Ironisnya, menjelang masa pemerintahannya runtuh, Soeharto menggelari dirinya dengan pangkat Jenderal Besar (bintang lima) bersama-sama dengan Jenderal Soedirman, dan AH Nasution.

MESKIPUN dihujat hampir di setiap aksi unjuk rasa mahasiswa yang menggulirkan tuntutan reformasi pada tahun 1998 dan tahun-tahun berikutnya, TNI (waktu itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) bersyukur karenanya. Berkat tuntutan reformasi di tubuh ABRI yang antara lain desakan untuk menanggalkan doktrin dwifungsi dan pemisahan Kepolisian RI, TNI kini berbenah.

Secara bertahap sejak 1998, TNI mencanangkan pembenahan dan perombakan penyimpangan yang selama ini terjadi dan dibiarkan terjadi di dalam tubuhnya dengan label reformasi internal. Menurut Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, salah satu bagian yang ingin diwujudkan dalam reformasi internal TNI adalah ketegasannya untuk hengkang dari gelanggang politik dengan tetap netral pada Pemilu 2004.

"Tahun 2004 merupakan tahun terakhir TNI untuk memiliki wakil-wakil di DPR dan DPRD. Ini berarti TNI akan konsentrasi hanya di bidang pertahanan. Untuk itu, tahun 2004 sangat penting bagi TNI untuk menunjukkan kepada bangsa bahwa selama ini TNI memiliki tekad yang sungguh- sungguh untuk meninggalkan gelanggang politik praktis dan bukan hanya sebagai semboyan," ujarnya seusai Rapat Pimpinan TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.

Ketegasan kebijakan TNI untuk meninggalkan masa lalunya yang memperdaya dan membuat TNI terlena disambut gembira oleh prajurit yang sungguh-sungguh ingin profesional sebagai alat utama pertahanan negara. Namun, diakui oleh sejumlah prajurit, kebijakan yang seolah tanpa kompromi itu ditanggapi dengan bersunggut- sunggut atau menggerutu.

Yang bersunggut-sunggut adalah mereka yang menjalani pendidikan di akademi militer dengan keinginan kuat untuk nantinya menjadi kepala daerah, seperti bupati, wali kota, dan gubernur, ketimbang menjadi komandan batalyon. Melihat peluang ini, beberapa parpol diam-diam mendekati mereka dengan iming-iming sesuai harapan mereka.

Namun, Endriartono berkali-kali mengulang ketegasan sikap TNI untuk netral. Memberi gigi pada ketegasan sikap netral itu, perangkat yang bermuara pada pemberian sanksi kepada pelanggar disiapkan. Sosialisasi sampai hal-hal teknis ke jajaran terendah terus dilakukan. "Pasti ada pelanggar perintah Panglima TNI. Untuk itu, kami menyiapkan mekanisme penjerannya dengan sanksi hukuman penjara," ujar Komandan Polisi Militer Mayjen Sulaiman AB.

TAHUN 2004 merupakan persimpangan jalan bagi TNI yang sejak 1998 mencanangkan reformasi internal. Reformasi internal itu dicanangkan hingga 2010 dan terus dievaluasi dari tahun ke tahun. Tahun 2004 merupakan tahun pertaruhan bagi TNI. Ingin menjadi tentara profesional atau menjadi tentara yang mengabdikan moncong senapannya untuk menyangga kekuasaan.

Pengalaman 32 tahun berada dalam rangkulan kepentingan politik rezim Soeharto seharusnya sungguh-sungguh menyadarkan TNI untuk melakukan reformasi internal menjadi tentara yang profesional. Tantangan di bidang pertahanan dan keamanan pada masa mendatang terus meningkat.

Selain harus didukung kekuatan militer yang profesional dan teknologi militer yang makin maju, TNI harus selalu dekat hatinya pada rakyat. Tiga hal ini dirampas dari TNI ketika rezim Soeharto berkuasa. Betul memang ada perhatian yang intens dan luar biasa kepada Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Namun, kekuatan pertahanan dan keamanan yang andal tidak cukup hanya memberi perhatian luar biasa kepada Kopassus.

Kesadaran akan kebutuhan pembentukan tentara yang profesional membuat masing-masing angkatan berpikir keras untuk mewujudkannya. Masing-masing angkatan, baik TNI AD, TNI AL, dan TNI AU, telah menyusun blue print pertahanan setidaknya untuk sepuluh tahun ke depan.

Secara bertahap dan setelah dilihat urgensinya, kebutuhan akan peralatan untuk mendukung perwujudan profesionalitas TNI direspons pemerintah. Masing-masing angkatan akan segera memperbarui peralatan perangnya yang telah usang karena telah berusia puluhan tahun.

TNI AD, misalnya, telah mendapat persetujuan realisasi pengadaan skuadron helikopter angkut personel Mi-17 dan skuadron helikopter serbu Mi-35 buatan Rusia. Meskipun realisasi peralatan militer ini saat ini tersendat di Departemen Pertahanan, TNI AD optimistis keinginannya memiliki peralatan militer modern terwujud.

TNI AL demikian juga. Secara bertahap, keinginan untuk memiliki empat kapal jenis korvet buatan Belanda dan empat kapal jenis Landing Platform Deck (LPD) buatan Korea Selatan akan segera terwujud. Untuk efektivitas pemeliharaan dan pergerakan pasukan, Kepala Staf TNI AL Laksamana Bernard Kent Sondakh sedang memikirkan secara mendalam rencana penggabungan Armada RI Kawasan Timur (Armatim) dan Armada RI Kawasan Barat (Armabar).

Meskipun sempat mengundang kontroversi yang tidak produktif, TNI AU juga akan memiliki satu skuadron pesawat tempur jenis Sukhoi buatan Rusia. Anggaran untuk pengadaan Sukhoi telah disetujui pemerintah.

"Untuk pengadaan peralatan militer tersebut, saat ini tinggal mengisi DIP (daftar isian proyek) saja," ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Pertahanan Marsekal Pertama Abdul Aziz Manaf.

Adanya "mainan" baru dan terus ditingkatkannya kesejahteraan prajurit diharapkan mampu membuat TNI berjalan lurus menatap masa depannya sebagai tentara profesional. Tidak perlu menengok ke belakang selain untuk meneguhkan keinginan berjalan ke depan.

inu

pemilu 2004

HARAP-harap Cemas! Nama acara reality show di salah satu stasiun televisi itu kini hinggap di sebagian besar benak rakyat Indonesia. Bukan ingin membuktikan kesetiaan atau ketidaksetiaan pasangan masing-masing, seperti dieksploitasi televisi. Rakyat berharap-harap cemas terkait dengan pelaksanaan Pemilihan Umum 2004 yang serba baru, berlangsung lama hampir sepanjang tahun, namun dengan waktu persiapan yang sangat minimal.

HARAP cemas disertai perasaan khawatir yang diakhiri kekecewaan atau kepuasan telah menjadi drama harian di setiap kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kantor 24 partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004, baik tingkat pusat maupun daerah. Satu bulan terakhir, untuk urusan penyusunan daftar calon anggota legislatif (caleg) dan kelengkapan administrasinya, drama harap-harap cemas caleg terekam di dua kantor itu.

Drama harap-harap cemas para caleg tahap awal berakhir hari Rabu (28/1) lalu. Berdasarkan penelitian KPU, dari 8.441 caleg yang diajukan 24 partai peserta Pemilu 2004, sebanyak 7.756 caleg dinyatakan memenuhi syarat untuk berkompetisi memperebutkan 550 kursi DPR di 69 daerah pemilihan. Kepuasan terpancar dari wajah ribuan caleg yang diperbolehkan KPU maju bersaing.

Sementara itu, harap-harap cemas 685 caleg berakhir dengan kekecewaan. Oleh KPU yang kerap menampilkan diri sebagai "pihak yang selalu benar", 685 caleg dinyatakan tidak memenuhi syarat. Ambisi dan bayangan mereka menjadi politisi yang penuh gengsi dan harta duniawi musnah. Setelah ambisi musnah, kekecewaan makin menjadi karena perasaan malu. Sebagian caleg tidak lolos karena perbuatan tercela, seperti memalsukan ijazah.

Kondisi psikologis semacam itu dipetakan sejumlah pihak sebagai salah satu titik rawan dalam Pemilu 2004. Tidak hanya saat pengumuman caleg oleh KPU, titik rawan juga dipetakan pada tahapan sebelumnya, yaitu ketika pengumuman hasil verifikasi administratif dan faktual parpol diumumkan KPU dan sebelumnya Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Ermaya Suriadinata memetakan titik rawan sepanjang Pemilu 2004 menjadi 28 titik. Titik rawan tersebut mulai muncul sejak KPU bekerja menyiapkan sarana dan prasarana pemilu, penghitungan suara, dan saat presiden serta wakil presiden terpilih ditetapkan.

"Kotak suara memiliki kerawanan, baik saat distribusi oleh KPU ke daerah-daerah, gangguan hacker pada sistem informasi teknologi penghitungan suara, maupun proses penghitungan suara itu sendiri," ujar Ermaya. Lemhannas juga memetakan titik rawan pada saat pengumuman hasil verifikasi parpol oleh Depkeh dan HAM serta KPU. Namun, sejauh ini, kerawanan tersebut tidak mengganggu keseluruhan proses Pemilu 2004. Memang muncul sejumlah protes dan gugatan dari parpol yang kecewa. Akan tetapi, ketegasan dengan dasar aturan perundang-undangan membuat KPU percaya diri untuk melaju.

Sebagai penyelenggara dan penanggung jawab Pemilu 2004, KPU juga telah memetakan titik-titik rawan pemilu jauh-jauh hari sehingga terlihat percaya diri. Anggota KPU Mulyana W Kusumah mengatakan, ada 14 kerawanan sepanjang proses demokrasi lima tahunan itu. Jika dikelompokkan, ada tiga kerawanan sepanjang waktu tersebut, yaitu reaksi dan protes massa, bentrok antarmassa pendukung, dan aktivitas massa menyikapi hasil pemilu.

Berdasarkan pemetaannya, akan ada reaksi, protes, dan bentrok antarmassa pendukung yang sifatnya lokal dan nasional sesuai dengan sistem Pemilu 2004. Adanya institusi baru bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD), misalnya, akan memunculkan reaksi, protes, dan bentrok antarmassa pendukung yang sifatnya lokal dan dapat serentak terjadi di seluruh wilayah Indonesia.

Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Ray Rangkuti memprediksi, kegemaran elite politik mengerahkan massa pendukungnya berpotensi menimbulkan kekacauan. "Konflik internal parpol kemungkinan akan berimbas ke luar partai politik dengan pemicu kepentingan kelompok kepentingan di dalam partai politik," ujarnya.

Selain itu, menurut dia, lamanya proses Pemilu 2004, minimnya sosialisasi pelaksanaan pemilu, dan rendahnya pemahaman berpolitik masyarakat diduga akan menimbulkan konflik atau bentrokan dalam Pemilu 2004. Mendapati kerawanan yang memunculkan kekhawatiran mengenai Pemilu 2004 ini, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto di hadapan Komisi I DPR mengungkapkan kemungkinan sabotase menggagalkan pemilu. Sabotase itu salah satunya berupa praktik politik uang yang diarahkan kepada petugas penghitung suara dengan harapan bisa memaksa agar pemilu diulang.

Pernyataan Endriartono dengan dasar data intelijen itu memunculkan kegemparan dan reaksi beragam. Tidak lama kemudian, dalam amanatnya pada peringatan Hari Juang Kartika 2003, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu memunculkan kegemparan baru. Ia melihat kemungkinan pemilu berdarah- darah karena bentrokan antarmassa pendukung parpol. "Jika itu sampai terjadi, TNI AD tidak akan tinggal diam," katanya.

Setelah pernyataan Ryamizard, Presiden Megawati Soekarnoputri yang "pendiam" tergugah angkat bicara menantang mereka yang berkonspirasi ingin menggagalkan pemilu. Seusai tantangan yang disampaikan secara lantang dan terbuka itu, pernyataan kekhawatiran pelaksanaan Pemilu 2004 reda.

BENARKAH tidak lagi ada kekhawatiran mengenai pelaksanaan Pemilu 2004? Meskipun tidak ada pernyataan-pernyataan yang membuat yang berkepentingan dengan pemilu merah kupingnya, kekhawatiran semakin bertambah bersamaan dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan pemilu legislatif pada 5 April 2004. Ketidakpastian mengenai pengadaan seluruh kebutuhan logistik Pemilu 2004, seperti kotak suara, membuat sejumlah kalangan mendesak DPR untuk menyiapkan contingency plan (rencana cadangan) jika pemilu terpaksa ditunda. Permintaan itu disampaikan Government Watch (Gowa) dan diterima Komisi II DPR.

Jika terus dirunut, kerawanan yang memunculkan kekhawatiran akan terus berlanjut saat penghitungan suara dan sesudahnya. Proses penetapan perolehan jumlah kursi dan penetapan calon terpilih merupakan bagian yang harus diantisipasi sejak dini. Konsekuensi tersebut semestinya diperhitungkan sejak awal, sebelum proses pemungutan dan penghitungan suara dilakukan.

Dewan Pengurus Watch Indonesia Pipit R Kartawidjaja mengatakan, tanpa sosialisasi mengenai "matematika pemilu", sulit diharapkan proses penetapan perolehan kursi dan penetapan calon terpilih terbebas dari konflik. Bisa jadi pertentangan tidak hanya sekadar internal parpol, tetapi melebar antara parpol dan KPU sebagai penyelenggara pemilu.

"Yang menyedihkan, sejumlah KPU daerah bahkan belum paham cara menghitung perolehan kursi dan penetapan calon terpilih. Bagaimana mereka nanti menghadapi kader partai yang marah karena tidak terpilih?" ujar Pipit. Pipit mencontohkan, konsep daerah pemilihan yang dipergunakan pada Pemilu 2004 jelas berbeda dengan pemilu sebelumnya. Seluruh kursi dibagi habis di sebuah daerah pemilihan berdasarkan hasil pemungutan suara dan tidak diperbolehkan terjadi kesepakatan penggabungan suara (stembus accoord).

Akibatnya, jumlah sisa suara pada daerah pemilihan yang berbeda bisa menarik "garis nasib" yang berbeda. Sisa suara parpol di sebuah daerah pemilihan bisa jadi terkonversi menjadi sebuah kursi. Sementara itu, sisa suara parpol yang daerah pemilihannya berbeda tidak bisa ditukar menjadi satu kursi saja.

Akibatnya, akhirnya tidak paralel antara perolehan suara dan perolehan kursi legislatif sebuah parpol peserta pemilu. Ada sisa suara yang bisa dikonversi menjadi sebuah kursi, sementara ada sisa suara yang benar-benar terbuang.

Soal penetapan calon terpilih pun bisa memantik masalah. Distribusi kursi berdasarkan nomor urut menjadi sangat kontroversial karena berpotensi memancing konflik internal parpol pascapemilu.

Calon yang berada di urutan bawah dan perolehan suaranya hanya tipis di bawah bilangan pembagi pemilih (BPP) bisa saja tidak terpilih, sementara kursi yang diraih parpolnya menjadi hak calon yang berada di urutan atas. "Tanpa sosialisasi yang benar, bisa-bisa kantor KPU di daerah-daerah itu dimercon orang sehabis pemilu," kata Pipit.

PIHAK Kepolisian Negara RI (Polri) sebagai penanggung jawab keamanan telah jauh-jauh hari mengantisipasi semua kekhawatiran yang menimbulkan kerawanan selama Pemilu 2004. Seusai rapat koordinasi bidang politik dan keamanan, Rabu lalu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar mengaku telah membuat persiapan pengamanan secara menyeluruh. "Ada sejumlah kerawanan dan sudah kami antisipasi. Protes dan ketidakpuasan kita lihat sebagai hal yang wajar. Insya Allah kesadaran kita tinggi untuk menghindari gangguan," ujar Da'i.

Untuk keperluan pengamanan Pemilu 2004, Polri mengerahkan 2/3 kekuatannya yang berjumlah kira-kira 200.000 personel dan didukung 1,1 juta personel pertahanan sipil (hansip) dan perlindungan masyarakat (linmas) di seluruh wilayah Indonesia. Untuk empat provinsi rawan konflik-seperti dipetakan Panitia Pengawas Pemilu (Panwas)-yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, Sulawesi Tengah, dan Maluku, konsentrasi pasukan dilipatgandakan.

Kerja sama Polri dan TNI telah dilakukan demi suksesnya Pemilu 2004, yang dalam bahasa Endriartono dilihat sebagai sebuah keniscayaan. Bentuk dukungan TNI kepada Polri dan politisi sipil dituangkan dalam kebijakan netralitasnya. TNI juga siap dengan skenario terburuk yang mungkin muncul.

Jaminan keamanan, komitmen KPU, Panwas, dan peserta Pemilu 2004 sedikit menepis kekhawatiran yang hingga kini belum sepenuhnya hilang. Kita semua berharap pesta demokrasi lima tahunan dapat berjalan sesuai dengan rencana.

Mengenai kualitas hasil Pemilu 2004? Dengan sistem baru tanpa kesiapan pemilih, ditambah muka lama politisi yang nyata-nyata telah gagal serta akal-akalan yang diterapkan parpol, kualitas hasil Pemilu 2004 dipastikan tidak akan memuaskan.

Sejumlah kalangan jauh-jauh hari sudah tidak lagi khawatir dengan kualitas hasil Pemilu 2004 karena sudah diyakini tidak akan membawa hasil yang memuaskan. Dengan segala kekurangannya, sejumlah kalangan sudah mulai menyiapkan penghibur untuk menutupi kekecewaan yang telah terbayang nyata. Semoga proses belajar kita dalam berdemokrasi melalui Pemilu 2004 membuahkan hasil yang lebih baik dalam pemilu-pemilu mendatang.

inu/dik

Thursday, February 28, 2008

kapal perang

"KAPAL perang kita sudah usang dan satu peluru kendali saja kita tidak punya! "kata Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Laksamana Bernard Kent Sondakh seusai rapat pimpinan TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, Rabu (21/1). Ungkapan itu disampaikannya untuk menggambarkan bagaimana kondisi kekuatan tempur TNI AL.

MENYADARI kelemahan tersebut, melalui kajian komprehensif untuk mengamankan seluruh perairan Indonesia, idealnya TNI AL memiliki sekitar 190 KRI. Apabila jumlah ideal itu tidak dapat dicapai, kebutuhan standar adalah 171 KRI, dengan catatan terdapat faktor risiko yang harus dihadapi. Apabila jumlah itu pun belum dapat dipenuhi, kebutuhan minimalnya adalah 138 KRI dengan tingkat risiko yang lebih tinggi.

Saat ini, untuk jumlah minimal sekali pun tidak terpenuhi karena TNI AL hanya memiliki 120 KRI yang telah berusia di atas 20 tahun dengan persenjataan yang ketinggalan zaman. Dari 120 KRI tersebut, enam KRI dalam status konservasi, proses penghapusan, dan cadangan. Artinya, jumlah riil KRI yang dapat dioperasikan adalah 114 KRI terbagi dalam tiga susunan tempur.

Mendapati potensi ancaman dan tantangan pertahanan ke depan dan potensi kemampuan minimal, Sondakh dalam berbagai kesempatan mengutarakan mimpi besar untuk menjadikan TNI AL yang besar, kuat, dan profesional. "Tinggalkan kebijakan strategis berdasarkan konsep kekuatan yang kecil, efektif, dan efisien. Saatnya kita mengubah konsep membangun TNI AL yang besar, kuat, dan profesional. Ini sebuah kebutuhan," ujarnya.

Untuk mewujudkan mimpi tersebut, TNI AL membuat rencana panjang 10 tahun ke depan. Dalam 10 tahun ke depan, TNI AL memfokuskan kebutuhan kekuatan armadanya pada jenis kapal tempur sebagai kekuatan pemukul. Menurut Asisten KSAL Bidang Logistik Laksamana Muda Sudaryanto, untuk keperluan itu, TNI AL telah mengajukan permohonan pembelian 15 kapal tempur.

Secara bertahap permohonan TNI AL direspons pemerintah. Dari 15 kapal tempur yang akan dibeli, TNI AL telah mengajukan pembelian delapan kapal di antaranya. Delapan kapal tempur itu adalah empat kapal jenis korvet buatan Belanda dan empat kapal jenis Landing Platform Dock (LPD) buatan Korea Selatan. Satu korvet buatan Belanda berharga 167 juta dollar AS. Sementara empat LPD berharga 151 juta dollar AS.

Negosiasi dengan departemen terkait dilakukan dan telah ada kesepakatan untuk pengadaan kapal tersebut. Setelah mendapatkan kepastian dukungan anggaran dari Departemen Keuangan untuk pembelian empat korvet, kontrak pembelian korvet ditandatangani pekan lalu antara pihak Belanda dan Sondakh mewakili Menteri Pertahanan. Meskipun kemudian ada ganjalan mengenai rencana pembelian itu, Sondakh yakin proses pembelian terus dapat berjalan sesuai rencana.

Dari empat korvet yang akan dibeli, dua korvet akan dibangun di Belanda sementara dua lainnya dibangun di PT PAL, Surabaya. Dalam penandatanganan kontrak itu, pemerintah telah mengucurkan dana 50 juta dollar AS untuk pembayaran tahap pertama. "Proses jalan terus. Tetapi, kalau pemerintah tidak punya uang, pembelian kami tunda," ujar Sondakh.

Selain membeli empat korvet buatan Belanda dan empat LPD buatan Korea Selatan, dalam waktu dekat ini, TNI AL juga merencanakan membeli 11 buah pesawat intai maritim M28 Skytruck buatan Polandia.

Jalan untuk mewujudkan mimpi TNI AL telah dimulai dengan peresmian dua KRI Tanjung Dalpele-972 dan KRI Patola-869, peresmian pangkalan utama TNI AL VII dan Batalyon Infanteri-7 Marinir, pengadaan beberapa pesawat udara CN-212, Nomad N-22, Helikopter Colibri, Helikopter Mi-2, dan peresmian empat KRI jenis patroli cepat tipe 36.

"Tidak ada lagi kata jalan di tempat, apalagi mundur. Gelorakan terus semangat untuk maju, maju, dan maju; besar, besar, dan besar; kuat, kuat, dan kuat!" tegas Sondakh saat peresmian KRI Patola-869 dan Dalpele-972 di Dermaga Ujung, Surabaya, Oktober tahun lalu.

UPAYA mewujudkan mimpi TNI AL yang besar, kuat, dan profesional tidak cukup didukung dengan kuatnya unsur sistem senjata armada terpadu. Postur TNI AL yang diimpikan tersebut dapat optimal beroperasi jika ditunjang sistem yang dapat menyokongnya. Validasi organisasi merupakan salah satu langkah.

Secara garis besar, rencana validasi organisasi TNI AL mencakup dua hal, yaitu validasi organisasi di tingkat Komando Pertahanan Utama dan di tingkat Markas Besar TNI AL. Saat ini, terdapat dua Komando Armada RI Kawasan Barat (Jakarta) dan Timur (Surabaya). Pembinaan dilakukan terpisah.

"Kondisi ini berdampak pada terjadinya perbedaan warna pembinaan, tidak efisiennya pendayagunaan anggaran, dan adanya kebutuhan personel yang besar. Di sisi lain, dengan dua komando armada kawasan ini, rentang kendali Panglima TNI menjadi melebar. Berdasarkan kondisi itu, kedua komando armada kawasan akan di-regroup menjadi satu Komando Armada RI," ujar Sondakh.

Komando Armada RI ini merupakan satu-satunya komando yang memiliki tanggung jawab bidang operasional dan pembinaan seluruh kekuatan armada. Hal ini dimaksudkan untuk memperpendek rentang kendali dan menajamkan fungsi pembinaan dan operasional.

Dalam upaya menyiapkan sistem ini dengan mengingat perairan yurisdiksi Indonesia yang luas dan memiliki trouble spot yang banyak serta terdapat tiga ALKI, TNI AL membentuk tiga Armada Bernomor yang bertanggung jawab mengamankan tiga kawasan laut dengan ALKI sebagai axis-nya. Tiap Armada Bernomor didukung satu Gugus Tempur Laut dan satu Gugus Tugas Keamanan Laut.

Armada Bernomor merupakan armada operasional yang bertanggung jawab penuh terhadap mandala operasi yang menjadi tanggung jawabnya serta mengoordinir pelaksanaan tugas gugus tempur laut dan gugus keamanan laut.

"TNI AL telah lama siap dengan rencana validasi untuk menyiapkan sistem pendukung ini. Akan tetapi, persetujuan belum keluar karena terganjal di Departemen Pertahanan. Menterinya sakit sampai saat ini," ujar Sondakh. Komando Armada RI akan bermarkas di Surabaya menempati Markas Komando Armatim. Armada-I akan bermarkas di Jakarta menempati Mako Armabar, Armada-II akan bermarkas di Makassar menggunakan fasilitas Mako Lantamal-IV, dan Armada-III akan bermarkas di Ambon menempati Mako Guskamlatim.

Selain membentuk satu Komando Armada dan tiga Armada Bernomor, sebutan Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) akan diubah menjadi Komando Daerah Maritim (Kodamar).

Di lingkungan korps Marinir, untuk efektivitas manajemen pembinaan, akan dibentuk Pasukan Marinir-2 di Jakarta sebagaimana Pasmar-1 di Surabaya. Pasmar-2 merupakan regrouping dari brigade Marinir BS, beberapa datasemen Marinir di wilayah barat dan Brigif 3.

Untuk meningkatkan efisiensi dalam penggunaan biaya pemeliharaan serta untuk meningkatkan efektivitas pengoperasiannya, kapal yang ada dan yang diimpikan dimiliki TNI AL dibagi menjadi tiga susunan tempur, yaitu susunan tempur pemukul, susunan tempur patroli, dan susunan tempur pendukung (supporting force).

TNI AL memetakan, ancaman potensial bagi kehormatan dan keselamatan bangsa meliputi tiga hal, yaitu hadirnya kekuatan asing di perairan Indonesia dengan alasan pengamanan jalur perdagangan dunia Sea Lanes of Communication (SLOC), peningkatan frekuensi lintas ALKI kapal-kapal perang asing ke daerah-daerah konflik yang tidak mengindahkan prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan Indonesia, dan aksi terorisme maritim yang melakukan ancaman terhadap obyek vital dan instalasi penting lepas pantai.

"Untuk menghindarkan ancaman potensial itu, perlu kehadiran TNI AL yang dapat memberikan penangkalan sehingga musuh mengurungkan niatnya. Untuk menjalankan aksinya, mau tidak mau diperlukan suatu kekuatan tempur pemukul strategis yang berimbang atau kekuatan yang besar, kuat, dan profesional sehingga disegani musuh," ujar Sondakh.

inu

ruko pemilu

SAH-sah saja pesimisme dan keengganan sebagian anggota masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya, alias memilih untuk tidak memilih dan menjadi golongan putih dalam Pemilihan Umum 2004 mendatang. Habis yang akan dipilih juga orangnya itu-itu juga, cuma ganti baju. Para jagoan Orde Baru maupun orde lainnya, termasuk para koruptor pun, ikut-ikut meminta dipilih. Itu biasanya alasan yang mengemuka.

Akan tetapi, tengoklah antusiasme sekelompok masyarakat lain dalam menyiapkan diri untuk turut andil dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Di sebuah rumah toko (ruko) yang beralamat di Jalan Roa Malaka Utara, Jakarta Barat, puluhan warga keturunan Tionghoa duduk memadati ruangan di lantai dua yang memang kecil ukurannya.

Mereka datang tidak untuk membicarakan urusan dagang atau bisnis cari untung lainnya. Peserta diskusi terbuka yang diselenggarakan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti) itu memadati ruko di belakang Hotel Omni Batavia tersebut, untuk mengobrol "urusan negara", yakni Pemilu 2004.

Tidak mudah mencari ruko yang menjadi tempat diskusi terbuka dengan tema "Antisipasi Pemilu 2004" tersebut. Padatnya Jalan Roa Malaka Utara oleh pedagang kaki lima dan kendaraan yang sembarangan diparkir di jalan penuh ruko tersebut menambah kesulitan menemukan tempat itu. Beberapa peserta bahkan mengaku sempat nyasar.

Namun, dikusi yang menghadirkan sejumlah narasumber Bara Hasibuan, Romo Beny Susetyo Pr, Frans Tshai, Franky Sahilatua, Rieke Diah Pitaloka, AB Susanto, dan Faisol Reza itu berlangsung hangat. Tingginya apresiasi dan kritisnya peserta tampak sejak narasumber berbicara. Saat ada yang menyimpang dari kesepakatan, interupsi lantas mengemuka.

Untuk menertibkan jalannya diskusi, Benny G Setiono dari Perhimpunan Inti yang menjadi moderator diskusi membuat peraturan yang kemudian disepakati bersama. Untuk narasumber, diberi waktu 15 menit. Untuk penanya dibatasi waktunya hanya satu menit. Bel menjadi tanda jika waktu yang disepakati telah terlewati. "Kita harus mulai tertib dan teratur menaati aturan mulai dari diri kita sendiri," ujarnya.

Lantaran tempat penyelenggaraan diskusi di ruko yang padat dan ramai, pada 30 menit awal, pengumuman untuk memindahkan kendaraan turut menjadi interuptor.

Perhimpunan Inti menyelenggarakan diskusi terbuka untuk melepaskan diri dari bayang-bayang marjinalisasi Orde Baru terhadap warga keturunan Tionghoa. Selama Orde Baru, tabu bagi warga keturunan Tionghoa untuk terlibat dalam percaturan politik mengurus negara. Warga keturunan Tionghoa disisihkan hanya untuk berkutat pada persoalan perdagangan dan ekonomi.

Penyisihan dan pengotak-ngotakan ini masih kental terasa hingga saat ini. Tengok saja misalnya kawasan Glodok, Mangga Dua, Kelapa Gading, dan sekitar lokasi dilangsungkannya diskusi. Keinginan untuk melawan pengotak-ngotakan tersebut tercermin dalam diskusi.

"Kita harus mengikis pengotak-ngotakan dan stereotip yang terhadap warga keturunan Tionghoa. Kita tunjukkan bahwa kita juga mau berperan dalam kehidupan berbangsa," ujar AB Susanto yang menjadi calon anggota legislatif urutan pertama Provinsi DKI Jakarta dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Menyikapi sistem Pemilu 2004 yang berbeda, yang mana calon pemilih dapat berperan dengan memilih langsung calon yang dikehendakinya, kalkulasi untung dan rugi seperti layaknya dalam dunia dagang menjadi acuan. Kalkulasi untung dan rugi tampaknya efektif untuk mendapatkan anggota DPR/DPRD, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden.

"Jangan lagi dipilih mereka yang nyata-nyata saat ini membawa kesengsaraan. Yang melakukan korupsi tanpa diberi sanksi. Yang punya catatan hitam di masa lalu. Pilih orang-orang baru yang menjanjikan dan relatif bersih dalam Pemilu 2004. Pilihlah mereka yang akan memperjuangkan aspirasi dan membawa keuntungan untuk Anda," ujar Benny Susetyo, disambut tepuk tangan riuh peserta diskusi terbuka.

Masalahnya, masih adakan orang-orang seperti itu...?

inu

papua

Satu suku bangsa, satu budaya, namun terpisahkan di dua negara. Kenyataan ini membingkai permasalahan yang muncul di perbatasan darat antara Indonesia, dalam hal ini Provinsi Papua, dan Papua Niugini (PNG).

Kesamaan suku bangsa dan budaya, yang tertanam sangat dalam sejak ratusan tahun sebelumnya di antara orang Papua di dua negara ini, membuat warga dua negara tidak sadar bahwa secara yuridis mereka harus berbeda.

Kesatuan suku bangsa dan budaya Melanesia inilah yang membuat pemerintah kesulitan bertindak tegas terkait, misalnya, dengan hak tanah ulayat. Garis lurus perbatasan pada 141 derajat bujur timur (BT) di atas kertas memang membagi pulau berbentuk burung tersebut menjadi dua. Namun, penduduk pulau yang memiliki kesamaan kebiasaan dan budaya serta saling bersaudara tersebut sulit dipisah. Mereka yang tinggal di perbatasan bahkan tidak menyadari bahwa mereka berbeda negara.

"Sebagai contoh, banyak dari warga PNG yang memiliki hak tanah ulayat di sekitar Sungai Tami (Papua) yang jaraknya sekitar lima kilometer dari pos perbatasan Wutung. Sebaliknya, hal itu juga terjadi untuk warga Papua. Mereka juga memiliki hak tanah ulayat di PNG," jelas Kepala Badan Perbatasan dan Kerja Sama Daerah Provinsi Papua Suryanto SW.

Oleh Pemerintah Indonesia, kelompok warga dengan hak tanah ulayat lintas negara ini dikategorikan dalam pelintas batas tradisional. Mereka memiliki hak untuk melintas dan mengurus tanah ulayatnya dengan dibekali kartu lintas batas. Pelintas batas tradisional ini kerap melintasi pos perbatasan karena ingin menggarap tanah ulayat mereka. Umumnya, mereka berkebun di tanah ulayat tersebut dan kemudian pulang.

Namun, tidak sedikit dari pelintas batas tradisional ini yang tidak memiliki kartu lintas batas. Kartu lintas batas tersebut tidak diurus lantaran warga Papua dan PNG yang sangat sederhana tidak sadar akan perbedaan negara yang diputuskan secara politis di antara kedua negara.

Kesamaan suku bangsa dan budaya di antara dua negara ini oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilihat sebagai hambatan dalam urusan pertahanan. Bersamaan dengan lemahnya pengawasan perbatasan yang seperti dibiarkan menganga, kelompok separatis bersenjata dengan sangat leluasa bersembunyi di PNG seusai melakukan aksinya di Papua dan diburu aparat TNI.

Departemen Pertahanan (Dephan) mendeteksi di kawasan perbatasan setidaknya ada tiga kelompok separatis bersenjata, yaitu kelompok Mathias Wenda, Hans Bomay, dan Paulus Kaladana. "Tiga kelompok separatis bersenjata ini berbasis di PNG, yaitu di Provinsi Sandaun dan Western, dan kerap melakukan aksi di Papua," ujar Kolonel AM Johannes Pessy, salah seorang pejabat Dephan.

Tiga kelompok separatis bersenjata ini memanfaatkan kamp pengungsi warga eks Papua sebagai daerah penyelaman dan logistik wilayah. "PNG tidak mempunyai komitmen yang konkret untuk memberantas kamp pengungsi dan tiga kelompok separatis bersenjata tersebut," ujar Panglima Komado Daerah Militer (Kodam) XVII Trikora Mayjen N Zainal.

Pemerintah Indonesia telah memberi tahu keberadaan tiga kelompok separatis bersenjata tersebut ke PNG. Namun, karena alasan keterbatasan personel dan dana, PNG lepas tangan dengan tetap membiarkan tiga kelompok separatis bersenjata ini beroperasi.

"Saya tidak khawatir Papua akan lepas hanya lewat aksi kelompok separatis bersenjata tersebut. Kekuatan mereka semakin melemah karena lambatnya kaderisasi dan tidak adanya pasokan persenjataan. Namun, keberadaan mereka tetap harus ditumpas dan dibersihkan dari Papua," ujar Zainal.

Kesulitan lantaran kesamaan suku bangsa, budaya, dan lemahnya penjagaan di kawasan perbatasan sebetulnya menyimpan potensi ekonomi. PNG yang relatif lebih tertinggal dari Indonesia tergoda untuk menjadikan Indonesia, khususnya Papua, sebagai tempat berbelanja.

"Harga barang-barang kebutuhan lebih murah di Abepura dibandingkan dengan di PNG. Untuk minyak goreng kemasan lima liter, di Abepura harganya Rp 24.000. Sementara untuk barang yang sama di PNG, harganya mencapai Rp 40.000," ujar Steward warga PNG seusai berbelanja di Abepura bersama istri dan anaknya.

Bersama rombongannya sekitar delapan orang, Steward secara berkala berbelanja di Abepura. Selain minyak goreng, mereka juga membeli berkarung-karung beras. "Bisa satu minggu satu kali, bisa juga satu bulan sekali. Bergantung pada kebutuhan dan uang yang ada," ujarnya.

Karena tingginya frekuensi warga PNG yang datang berbelanja ke Abepura, Pemerintah Provinsi Papua akan membuka hubungan langsung dengan Provinsi Vanimo di PNG. "Rencananya, Juni 2004, hubungan langsung itu dapat diwujudkan bersamaan dengan program perbaikan dan pelebaran jalan dari pos perbatasan ke Jayapura," ujar Suryanto.

inu

wutung

Dikawal satu regu anggota Tentara Nasional Indonesia bersenjata lengkap, rombongan Departemen Pertahanan bersama wartawan media cetak dan elektronik berarak menyusuri jalan menanjak, berliku, terjal, dan mulai terkelupas lapisan aspalnya menuju pos perbatasan Indonesia (Provinsi Papua) dengan Papua Niugini. Pos perbatasan terletak di kawasan Wutung, batas darat paling utara antara Indonesia dan PNG.

Dengan perjalanan darat menembus hutan yang masih terjaga kelestariannya, kawasan Wutung dapat dicapai selama sekitar tiga jam dari Kota Jayapura. Perjalanan darat menjadi terlalu lama lantaran jalan aspal satu-satunya tersebut telah terkelupas dan berlubang hampir di sepanjang perjalanan.

"Pos perbatasan di kawasan Wutung merupakan pos perbatasan darat terbaik Indonesia dan PNG (Papua Niugini) yang kita miliki. Di sana sudah ada penggabungan sejumlah instansi terkait dan aparat keamanan," kata Kepala Badan Perbatasan dan Kerja Sama Daerah Provinsi Papua Suryanto SW, sesaat sebelum rombongan berangkat ke perbatasan.

Sebelum tiba di pos perbatasan, penjelasan Suryanto sangat melegakan. Di tengah lelahnya menempuh perjalanan darat berkelok-kelok dan menanjak serta menerobos hutan, rombongan berharap dapat beristirahat sejenak menikmati sejuknya angin yang menyusup dedaunan hijau hutan tropis. Meneguk sejuknya air pegunungan pasti akan menghilangkan penat dan lelahnya perjalanan.

Begitu tiba di pos perbatasan di kawasan Wutung, harapan mendapatkan kelegaan setelah penatnya perjalanan berubah menjadi keprihatinan. Bangunan pos perbatasan yang dioperasikan bersama-sama antara aparat imigrasi, bea cukai, karantina, polisi, dan TNI sejak tahun 1998 ini memang terawat dan terlihat masih kokoh berdiri di atas batu karang. Akan tetapi, tidak ada jaringan listrik dan saluran air.

"Jika butuh air minum dan untuk kebutuhan lainnya, kami mengandalkan hujan turun atau menunggu ada pergantian petugas penjaga pos yang datang dari Jayapura. Pergantian petugas sekaligus digunakan sebagai saat untuk pengisian kebutuhan akan air dan kebutuhan lainnya," ujar seorang petugas jaga seusai memeriksa kendaraan penuh berisi penumpang yang akan melintas dari PNG ke Papua.

Pihak Pemerintah Provinsi Papua telah lama menyadari pentingnya jaringan listrik dan air di pos perbatasan ini. Namun, tidak ada yang dapat dilakukan sejak pos ini didirikan. Pernah diupayakan untuk mengebor batu karang di kawasan Wutung untuk mendapatkan sumber air. Akan tetapi, kedalamannya yang diperkirakan mencapai lebih dari 150 meter tidak memungkinkan untuk pengeboran. Selain itu, tidak ada jaminan jika pengeboran dilakukan air yang didapat adalah air yang bersih mengingat kawasan Wutung tepat berada di tepi Samudra Pasifik.

Karena itu, lebih menjanjikan jika membuat pipa saluran air bersih dari sumber mata air di Pegunungan Pawa yang berjarak lima kilometer dari pos perbatasan. "Itu salah satu kendala yang kami hadapi di perbatasan. Mengenai jaringan listrik, kami belum dapat membayangkan kapan akan dapat tersambung," ujar Suryanto.

KENDALA di pos perbatasan sepanjang sekitar 770 kilometer yang membentang antara Jayapura di ujung utara hingga Merauke di ujung selatan memotret kendala yang lebih besar dan lebih kompleks di perbatasan darat Indonesia dan PNG. Di pos perbatasan terbaik saja, kendala yang muncul tidak sedikit dan sangat prinsipiil. Dapat dibayangkan kendala dan permasalahan di pos lain atau di perbatasan lain yang tidak ada pos perbatasannya.

Antara Indonesia dan PNG, meskipun terdapat ratusan jalan yang dapat dilintasi oleh siapa pun yang ingin melintas, hanya terdapat dua pos perbatasan. Pos pertama di Wutung yang merupakan pos terbaik dan pos kedua ada di Sota, Merauke. Pos perbatasan di Sota direncanakan menjadi pos gabungan sejumlah instansi, seperti di Wutung. Namun, karena kendala yang lebih kompleks, hingga sekarang rencana itu belum terlaksana. Petugas perbatasan hanya datang ketika siang. Menjelang sore, mereka kembali ke rumah mereka dan membiarkan perbatasan tersebut tidak terjaga.

Karena minimnya penjagaan di ratusan perlintasan dua negara satu suku bangsa ini juga di pos perbatasan yang disiapkan, Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) XII Trikora Mayor Jenderal N Zainal mengatakan, wilayah perbatasan Indonesia dan PNG sangat terbuka. "Perbatasan kita dengan PNG sangat bolong. Karena itu, wilayah perbatasan menjadi tempat paling nyaman bagi kelompok separatis bersenjata untuk keluar masuk Indonesia dan PNG. Seusai melakukan gerakannya di Papua, dengan mudah kelompok separatis bersenjata ini lari ke PNG dan bersembunyi di sana," ujar Zainal.

Di sepanjang perbatasan yang tidak kasatmata letaknya karena tanpa pagar tersebut, Kodam XVII Trikora mendirikan 21 pos penjagaan di wilayah- wilayah yang dinilai rawan. Aparat TNI yang ditugaskan di 21 pos tersebut berjumlah tiga peleton. Meskipun Kodam XVII Trikora tidak melihat kelompok separatis bersenjata sebagai ancaman bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penjagaan wilayah perbatasan tetap penting karena kerap terjadi perpindahan warga PNG ke wilayah Indonesia (Papua).

Untuk kasus perpindahan warga PNG ke wilayah Papua terjadi di wilayah Warasmal yang luasnya mencapai sekitar 160 kilometer persegi dan terbagi dalam sembilan desa. Dari sembilan desa tersebut, tiga desa diantaranya mengibarkan bendera PNG dan menerapkan sistem pemerintahan PNG. Warga PNG tersebut berpindah ke Warasmal karena kalah perang dari suku Telefomen. Kepindahan mereka tidak terdeteksi lantaran tidak terjaganya perbatasan Indonesia dan PNG.

"Sementara ini kami hanya bisa mendeteksi saja tanpa mampu berbuat apa-apa. Jika hal ini terus dibiarkan, kawasan Warasmal yang terletak di wilayah Indonesia ini bisa-bisa lepas karena sudah ada warga PNG yang menetap di sana sejak beberapa tahun yang lalu," ujar Zainal.

Selain tempat perlintasan kelompok separatis bersenjata dan kepindahan warga PNG tanpa terdeteksi, lemahnya pengawasan di perbatasan menimbulkan kerawanan lain, seperti penyelundupan ganja dari PNG ke Papua dan penyelundupan hasil bumi, utamanya vanili. Untuk penyelundupan tersebut, aparat kepolisian beberapa kali mampu menangkap pelaku dalam sejumlah operasi. Namun, karena banyak wilayah perbatasan yang bolong, penyelundupan dipastikan lebih banyak terjadi tanpa pemantauan dan penindakan.

Selain kendala tersebut, sejumlah pelaku kriminal di Papua yang dengan mudah dapat melarikan diri ke PNG melintasi perbatasan tidak dapat dikejar atau ditangkap. "Antara Indonesia dan PNG belum ada perjanjian ekstradisi. Kami tidak bisa berbuat apa-apa kalau ada pelaku kriminal yang lari ke PNG," ujar Wakil Kepala Kepolisian Daerah Papua Komisaris Besar Tommy Jacobus.

PERBATASAN Indonesia dan PNG terletak lurus dari utara ke selatan pada 141 derajat bujur timur (BT). Di perbatasan sepanjang sekitar 770 kilometer tersebut tertanam 52 tugu penanda perbatasan yang terletak di antara 14 Meridian Monumen (MM). Tugu yang terletak di antara 14 MM tersebut merupakan kekuatan hukum wilayah perbatasan.

Sebanyak 14 MM penanda batas tersebut dibangun pada tahun 1966. Pembinaan kerja sama perbatasan dengan PNG telah dilakukan sejak tahun 1973 pada saat PNG masih dalam kekuasaan Australia. Saat PNG merdeka tahun 1975, kerja sama tersebut lantas diperbarui.

"Di atas kertas perbatasan tersebut sangat jelas terlihat. Akan tetapi, di lapangan yang merupakan wilayah lembah dan perbukitan, batas tersebut nyaris tidak terlihat oleh mata telanjang," papar Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Pertahanan Marsekal Pertama Abdl Aziz Manaf seusai meninjau pos perbatasan di Wutung.

Selain itu, penegasan perbatasan di antara warga Papua dan PNG sulit dilakukan karena adanya hak tanah ulayat. Warga kedua negara yang berada di sekitar perbatasan yang memiliki kesatuan budaya umumnya tidak menyadari bahwa mereka terpisahkan. "Banyak dari warga PNG yang memiliki tanah ulayat di Papua. Mereka tinggal di PNG, tetapi menggarap kebun di wilayah Papua," ujar Suryanto.

Perbatasan darat Provinsi Papua memang hanya dengan PNG. Akan tetapi, Papua berbatasan dengan dua negara lain, yaitu Australia di laut sebelah selatan Merauke dan Republik Palau di Pulau Mapia, Biak Numfor. Sama seperti menganganya perbatasan darat, perbatasan laut dengan dua negara tersebut juga menganga. Karena itu, di wilayah sekitar perbatasan itu kerap terjadi pencurian ikan besar-besaran tanpa penindakan tegas lantaran minimnya kemampuan penegakan hukum di laut.

"Dengan wewenang dan kekuatan yang ada, kami tidak punya kemampuan untuk mengejar para pelanggar perbatasan di laut yang menguras kekayaan luat. Wilayah kita dan wilayah perbatasan sangat rawan terhadap pencurian ikan," ujar Wakil Komandan Lantamal V Kolonel Laut Anthony Noorbandy.

Bagaimana pelanggaran perbatasan di udara? Lebih buruk penanganannya dibandingkan dengan yang tejadi di darat dan laut. Untuk memantau ada atau tidaknya pelintas batas di provinsi paling timur ini melalui udara, Indonesia tidak memiliki kemampuan. "Memantau melalui apa? Kita tidak memiliki radar untuk memantau. Penerbangan sipil di Papua tidak menggunakan bantuan radar," ujar Komandan Pangkalan Udara Jayapura Kolonel Penerbang Sunaryo.

Di darat, laut, dan udara. Perbatasan kita dibiarkan sekian lama menganga dan nyaris tanpa penjaga....

inu

pahlawan nestapa

LEBIH dari enam bulan penerapan status darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan misi utama "mempertobatkan" anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), berjalan. Banyak klaim dari kedua belah pihak yang kerap bertentangan satu sama lain. Namun, tidak dapat dibantah, konflik di Aceh lebih menonjol melahirkan nestapa dibandingkan pahlawan.

Air mata para istri dan keluarga delapan prajurit Detasemen 81 Antiteror Komando Pasukan Khusus (Kopassus) belum kering meratapi kepergian orang yang mereka kasihi, yang tewas karena jatuh ke laut di Lhok Seumawe saat latihan manuver stabo (stabilized tactical airborne operation), 4 Oktober 2003.

Delapan prajurit tangguh itu tewas tidak dalam konflik bersenjata. Mereka mendapat musibah saat latihan menyiapkan peringatan Hari Tentara Nasional Indonesia, 5 Oktober.

Angin kencang berembus saat delapan prajurit ini bergelantungan di helikopter jenis Bell. Untuk menghindari lebih banyak korban, tali diputus.

"Andai tidak diputus, awak beserta helikopter bisa jatuh. Menurut ketentuan yang berlaku dan briefing yang dilakukan sebelumnya, dalam kondisi seperti itu, tali harus segera diputus," kata Panglima Komando Operasi TNI Mayor Jenderal Bambang Darmono waktu itu.

Tidak ada pertanggungjawaban secara terbuka mengenai musibah ini. Kepala Staf TNI AD Jenderal Ryamizard Ryacudu mengungkap, penanggung jawab musibah ini mengarah kepada pilot dan tua rentanya helikopter yang dipakai.

Pekan lalu, nestapa baru di Aceh kembali muncul. Juga tidak dalam rangka operasi militer menumpas GAM. Panser jenis Saracen buatan Inggris berisi dua wartawan Indosiar dan lima prajurit TNI AD tergelincir dan terguling. Kamerawan Indosiar, Arie Wailan Orah atau akrab disapa Awo, tewas dan reporter Indosiar, Sisca T Gurning, luka parah. Lima prajurit di dalam panser itu juga terluka.

Tidak ada yang dapat menolak jika musibah datang. Namun, perasaan tidak terima dari banyak kalangan masih menyelimuti musibah tersebut.

Sementara ini, pihak TNI AD menyimpulkan, musibah terjadi karena panser Saracen sudah sangat tua, para penumpangnya juga tak mengenakan sabuk pengaman dan helm.

Nestapa lain konflik bersenjata di Aceh terjadi pada fajar pertama penerapan status darurat militer di Pantai Samalanga, Kabupaten Bireuen, 19 Mei 2003. Begitu taklimat dikumandangkan, tank amfibi (PT-76) keluar dari KRI Teluk Langsa. Belum semua kendaraan tempur dan personel keluar dari kapal perang produksi tahun 1945 tersebut, engsel rampa KRI Teluk Langsa yang juga telah renta usianya jebol.

Akibatnya, KRI Teluk Langsa mundur. Sekitar 200 prajurit Marinir asal Surabaya yang siap mendarat dalam kendaraan tempur didaratkan dengan perahu karet dan sekoci darurat. Ketidaksiapan peralatan tempur ini memunculkan musibah di awal penerapan status darurat militer di Aceh.

Sersan Satu (Sertu) Kartono pingsan dan tidak tertolong saat hendak mendarat dengan perahu karet darurat. Tingginya gelombang laut Pantai Samalanga menggulung perahu yang ditumpanginya.

Di tempat yang sama, tidak lama kemudian kendaraan amfibi pengangkut artileri (KAPA) berisi puluhan anggota Marinir dari KRI Teluk Ende terbalik karena gagal menyentuh garis pantai. Sertu Ramli dari Batalyon Howitzer Satuan Resimen Artileri Surabaya tewas tergulung gelombang. Juga sama sekali tidak ada gangguan atau serangan GAM, saat pendaratan yang memakan waktu empat jam itu berlangsung.

PERPANJANGAN status darurat militer di Aceh yang diputuskan pemerintah mendapat kritik tajam dari sejumlah kalangan. Tim Ad Hoc Aceh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai, perpanjangan darurat militer justru akan memperpanjang kesengsaraan rakyat Aceh.

Menurut catatan Tim Ad Hoc Komnas HAM, tercatat 319 warga sipil tewas, 117 orang luka-luka, 108 orang hilang, dan puluhan ribu orang mengungsi. Ini juga diakui Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Menurut catatan TNI selama empat bulan operasi militer, 304 warga sipil tewas dan 140 orang lainnya luka-luka.

Apalagi dari penerapan status darurat militer di Aceh, tidak muncul kepermukaan cerita kepahlawanan prajurit TNI melumpuhkan GAM dan menangkap petingginya.

Kelayakan perpanjangan status darurat militer lalu dipertanyakan. Pemerintah terkesan tidak punya alternatif penyelesaian masalah, kecuali memperpanjang darurat militer.

Kelemahan peralatan tempur, tidak jelasnya strategi dan taktik melumpuhkan GAM, serta jatuhnya korban di luar "medan pertempuran", lalu seperti memperkuat argumentasi mereka yang menolak darurat militer. Mereka tak ingin air mata harus terus mengalir hanya untuk kesia-siaan.

inu

saracen ii

Tewasnya kamerawan Indosiar, Arie Wailan Orah (43) atau akrab disapa Awo-dalam musibah patahnya as belakang panser jenis Saracen buatan Inggris pasca-Perang Dunia Kedua di daerah konflik bersenjata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam-menghentakkan banyak kalangan. Ini menunjukkan, sistem pertahanan Indonesia-terutama dalam hal dukungan persenjataan dan peralatan militer-sangat lemah.

Kopral Dua Sukmana, pengemudi panser Saracen yang juga menjadi korban musibah tersebut mengungkapkan, sebagai pengemudi, dia sudah tidak dapat mengenali mesin yang dipakai untuk menjalankan Saracen tersebut.

"Saya tidak tahu persis merek mesinnya dan apakah sudah pernah diganti atau belum. Yang jelas, mesin panser itu sudah sangat tua. Sejak saya pegang, mesinnya hanya dirawat, tapi tidak pernah diganti," ujar prajurit dari Yonkav 7/Panser Khusus (Sersus) tersebut saat ditemui di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (28/11).

Ketika as belakang panser yang dikemudikannya patah di jalan menurun, Sukmana tidak dapat mengendalikan panser itu sama sekali, sehingga kendaraan lapis baja berusia tua tersebut tergelincir dari tebing.

"Saya sempat tidak sadarkan diri dan baru sadar setelah ditolong sejumlah warga yang lewat menggunakan angkutan umum," ujar Sukmana sambil mengeluh sakit karena musibah yang terjadi di hari Lebaran kedua tersebut.

Terkait dengan musibah panser Saracen yang menyebabkan Awo tewas dan enam orang lainnya luka-luka, anggota Dewan Maritim dan pengamat militer, Juanda, mengatakan, "Musibah yang terjadi dan beberapa kali terjadi di Aceh yang terlihat konyol merupakan refleksi dari profesionalitas tentara kita."

Musibah panser Saracen, musibah manuver stabo yang menewaskan delapan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus), dan musibah pendaratan Batalyon Tim Pendarat (BTP) I di Pantai Samalanga pada 19 Mei 2003 menunjukkan dengan sangat tegas betapa TNI kurang profesional. Kondisi peralatan tempur yang sudah sangat tua tanpa perawatan maksimal membuat kurangnya profesionalitas tersebut.

"Kelemahan tentara yang menjadi sendi utama pertahanan nasional merupakan cerminan dari lemahnya sistem pertahanan kita secara keseluruhan. Dalam sistem pertahanan itu, yang harus berbenah dan dibenahi tidak hanya tentara, tetapi juga rakyat sebagai pendukung utama sistem pertahanan," ujar Juanda yang ketika dihubungi sedang berada di Belanda.

Sebagai pengamat militer, Juanda mengaku sangat prihatin dengan minimnya pemahaman anggota DPR mengenai sistem pertahanan. Karena itu, setiap ada upaya memperkuat sistem pertahanan, tidak ada tanggapan positif dan keseriusan dari anggota DPR yang mengklaim sebagai wakil rakyat.

"Tentara dan kita semua harus melakukan refleksi dari musibah ini. Tentara mungkin salah dalam musibah ini. Namun jangan membabi buta melakukan kritik kepada tentara. Ada banyak pihak yang bertepuk tangan saat tentara dipojokkan dan dituding kelemahannya dalam sistem pertahanan," katanya.

Kini saatnya menata dan mengkaji ulang sistem pertahanan negara ini bersama-sama. Harus diakui, sistem pertahanan Indonesia sangat lemah, terbukti dengan munculnya sejumlah musibah yang tidak perlu. "Kini saatnya bagi semua untuk berbenah," ujar Juanda.

inu

saracen

PANSER Saracen adalah kendaraan tempur enam roda buatan Inggris dan merupakan bagian dari panser seri FV600. Panser yang masuk ke Indonesia pada awal tahun 1960 ini mulai diproduksi seusai Perang Dunia Kedua. Panser Saracen mampu membawa dua awak dan sepuluh penumpang. Dalam kondisi prima, kecepatan maksimal panser Saracen dapat mencapai 72 kilometer per jam di jalan raya.

Namun, kondisi seperti dimaksudkan ketika diproduksi tidak lagi terdapat pada panser yang mengalami musibah yang menewaskan kamerawan Indosiar, Arie Wailan Orah, Rabu lalu. Sejumlah modifikasi mesin dan interior telah dilakukan karena minimnya anggaran untuk pembelian peralatan tempur baru.

Markas Besar (Mabes) TNI Angkatan Darat (AD) menyiasatinya dengan perawatan rutin dan repowering sebelum diterjunkan untuk operasi militer di Aceh. "Dari peralatan tempur yang kami punya, seperti panser, yang tidak bisa kami deteksi adalah metal aging process (proses penuaan logam). Itu di luar kemampuan kami," ujar Kepala Dinas Penerangan Mabes TNI AD Brigadir Jenderal Ratyono.

Kondisi panser Saracen yang mengalami musibah merupakan cermin dari kondisi peralatan tempur yang saat ini dimiliki TNI. "Anggota DPR seharusnya memahami kondisi peralatan tempur kita yang sangat tua. Kita tidak bisa berbuat banyak. Yang bisa kita perbuat adalah melakukan sejumlah perbaikan dari peralatan yang sudah tua tanpa mampu membeli yang baru. Kita tidak punya uang. Anggaran untuk peralatan tempur sangat kecil. Musibah ini adalah cerminan dari kondisi peralatan tempur yang kita miliki," ujar Ratyono.

Ia mengakui, beberapa tahun terakhir memang ada pembelian peralatan tempur modern, seperti tank jenis Scorpion buatan Inggris. Namun, persentasenya sangat kecil dari total peralatan tempur TNI AD. Untuk angkatan lain, sejumlah peralatan tempur dikanibalisasi guna mendukung peralatan tempur yang lain agar bisa digunakan.

Selama ini, pihak TNI tidak dapat berbuat banyak mengenai perawatan peralatan tempur. Dukungan dana untuk perawatan sangat minim. "Saya tidak ingat angka persisnya. Tetapi, sebagai gambaran, jika sebuah kendaraan memiliki empat roda untuk operasional, dukungan pendanaan pemerintah hanya untuk satu roda," kata Ratyono lagi.

inu

wong cilik

DENGAN sistem yang sederhana seperti dalam Pemilihan Umum Tahun 1999 saja banyak masyarakat kecil tidak tahu-menahu substansi pemilu, apalagi sekarang dengan sistem pemilu yang lebih rumit dengan tiga jenis pemilihan. Di tengah kebingungan ini, masyarakat kecil sangat rentan dimanfaatkan dan dimanipulasi suaranya," ujar Sukatma, buruh sebuah pabrik di Tangerang, Banten.

Kekhawatiran Sukatma dan puluhan masyarakat kecil yang terdiri atas buruh pabrik, sopir angkutan umum, anak jalanan, dan pengayuh becak ini mengemuka dalam "Obrolan Wong Cilik tentang Pemilu 2004" yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) di Jakarta, Sabtu (25/10). Obrolan ringan ini didampingi Koordinator Masyarakat Miskin Kota Wardah Hafidz.

Oleh peserta diskusi, Pemilu 2004 yang menurut mereka menggunakan "sistem proporsional setengah terbuka setengah tertutup" memang menumbuhkan harapan akan adanya perubahan dan perbaikan nasib. Dalam Pemilu 2004 yang dimulai 5 April 2004 dengan pemilihan anggota legislatif, masyarakat tidak lagi memilih "kucing dalam karung" dengan diredusirnya peran partai politik peserta pemilu.

Mereka bisa memilih atau mencoblos orang melalui nama dan atau foto baik dalam pemilihan anggota legislatif, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun presiden dan wakil presiden.

Tetapi, sistem yang telah ditetapkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang merupakan hasil kompromi elite politik di DPR memungkinkan sistem tidak berjalan.

"Indikasi akal-akalan partai politik yang masih ingin berperan banyak terlihat dalam sejumlah kampanye awal belakangan ini. Mereka menekankan tidak perlu pusing-pusing memilih orang. Coblos saja partai politiknya," kata peneliti pada Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Tommy A Legowo.

MENDENGAR paparan tiga jenis Pemilu 2004, masyarakat kecil tampak bingung meskipun berupaya keras memahami. "Kita yang tinggal di Jakarta saja kesulitan memahami rumitnya sistem Pemilu 2004, apalagi tetangga-tetangga saya yang ada di desa-desa terpencil di Purworejo, Jawa Tengah. Kalau sudah begitu, manipulasi suara akan sangat mungkin terjadi," ujar Taufiqurrahman, buruh pabrik di Tangerang yang berasal dari Purworejo.

Melihat lima tahun reformasi berjalan tanpa kemajuan sedikit pun, masyarakat kecil dalam obrolan tersebut cenderung tidak peduli dengan siapa yang akan memimpin negeri ini atau yang akan mewakili mereka di parlemen.

"Kami sampai pada tahap tidak peduli dengan pemilu. Tetapi dengan terbukanya sistem di mana kami dapat terlibat langsung, ada panggilan tanggung jawab. Tetapi bagaimana ya. Di tengah ketegangan itu, kami tetap tidak tahu apakah keterlibatan kami secara langsung sungguh-sungguh dapat berperan membawa perubahan," ujar Nurhasanah.

Bahkan Sukatma, misalnya, mengaku serius ingin tahu seperti apa latar belakang calon yang akan dipilihnya. "Kami ingin mengetahui riwayat hidup atau apa yang telah dilakukan oleh para calon anggota legislatif, DPD, serta presiden dan wakil presiden," katanya.

inu

Wednesday, February 27, 2008

nu-muhammadiyah

LUPAKAN sejenak perbedaan interpretasi fikih di antara kalangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Lupakan juga perseteruan yang muncul medio 2001, saat Presiden KH Abdurrahman Wahid berada dalam ancaman hendak dilengserkan melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI-MPR) yang dipimpin Amien Rais.

Menghadapi korupsi yang membuat kerusakan bangsa Indonesia hampir sempurna dan tinggal menunggu waktu masuk jurang, NU dan Muhammadiyah satu kata: Perangi!

DIFASILITASI Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Partnership (Kemitraan) melalui pendanaan, keahlian, dan referensi, NU dan Muhammadiyah menandatangani nota kesepahaman (MOU) untuk bersama-sama memerangi korupsi. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah HA Syafii Maarif, dan Direktur Eksekutif Kemitraan HS Dillon menandatangani nota kesepahaman tersebut di Jakarta, 15 Oktober 2002.

Banyak harapan pemberantasan korupsi diletakkan kepada dua organisasi massa yang memiliki basis pendukung sekitar 80 juta jiwa ini. Terlibatnya dua organisasi massa keagamaan untuk memerangi korupsi dilihat pakar etika dan filsafat politik Prof Dr Franz Magnis Suseno sebagai harapan terakhir di tengah larutnya hampir semua elite politik dalam praktik-praktik korupsi.

"Dengan gerakan moral ini, masyarakat yang selama ini terlihat putus asa dan menyerah karena melihat luasnya praktik korupsi mudah-mudahan dapat dibangungkan kemarahannya. Kemarahan itu dapat menjadi tekanan kepada pemerintah untuk melakukan perubahan dan penindakkan terhadap mereka yang melakukan korupsi," ujar Magnis.

Mencuatnya harapan di tengah kebuntuan dan gelapnya setiap langkah pemberantasan korupsi mengemuka juga sehari sebelumnya saat kelompok muda NU dan Muhammadiyah mempresentasikan kesepahaman mereka untuk memerangi korupsi di Kantor Kemitraan di Jakarta. Hadir mewakili NU, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Syaiful Bahri Ashari sementara dari Muhammadiyah hadir Sekretaris Bidang Luar Negeri PP Muhammadiyah Rizal Sukma.

Di samping optimisme dengan mencuatnya secercah harapan dari berbagai kalangan, MOU antara NU dan Muhammadiyah untuk memerangi korupsi memunculkan juga nada pesimisme. Seperti diakui Rizal Sukma, seusai muncul pemberitaan mengenai upaya NU dan Muhammadiyah memerangi korupsi, layanan pesan singkat (short message service/SMS) pertama yang diterimanya adalah: Selamat atas kerja sama NU dan Muhammadiyah untuk memerangi korupsi. Mohon gerakan dimulai di Departemen Agama di mana orang NU dan Muhammadiyah bercokol. Departemen itu merupakan departemen yang paling korup di Indonesia.

"Banyak muncul pesimisme dan juga sinisme seusai penandatanganan MOU. Tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam NU dan Muhammadiyah sendiri. Berbagai kecurigaan juga muncul. Tetapi kami menilai apa yang sedang kami upayakan untuk memerangi korupsi ini lebih baik dibandingkan hanya bekerja pada tataran retorika saja," ujar Rizal yang juga menjadi Direktur Studi Center for Information and Development Studies (CSIS).

Rizal mengakui, harapan khalayak ramai terhadap NU dan Muhammadiyah untuk mampu melakukan perang terhadap korupsi sangat tinggi. Tanpa ingin mengesampingkan tingginya harapan tersebut, Rizal mengungkapkan bahwa NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi massa tidak dapat berbuat banyak selain di luar massa pendukungnya.

"NU dan Muhammadiyah adalah organisasi di luar state (negara) yang hanya punya kemampuan besar membangun dan menggunakan jaringannya. Tekanan politik untuk memaksa agar pemerintah mengambil tindakan hukum kepada para koruptor tidak dapat kami lakukan. Mandat kami sebagai organisasi massa memang tidak masuk ke wilayah politik. Perlu dukungan elemen lain yang memiliki keprihatinan sama untuk memenuhi harapan dari gerakan ini," ujarnya.

Keterbatasan gerakan ini disadari juga Syaiful Bahri Ashari. Di tengah keterbatasan ini, perang terhadap korupsi akan dimulai dari masing-masing organisasi yang tidak bersih juga dari praktik-praktik korupsi. "Kami tidak menutup mata bahwa di NU rawan akan praktik korupsi, khususnya di lembaga yang memungkinkan dana keluar dan masuk. Gerakan ini kami mulai dari NU dan Muhammadiyah untuk menjadi gerakan besar secara nasional untuk memerangi korupsi," paparnya.

Untuk memunculkan dan menjaga kesadaran publik akan bahaya korupsi dan memunculkan keinginan untuk melakukan perubahan, selama dua tahun ke depan direncanakan kegiatan bersama antara NU dan Muhammadiyah yang sifatnya lebih simbolik. Secara bergantian, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dan Ketua Umum PP Muhammadiyah HA Syafii Maarif akan saling berkunjung ke Yogyakarta dan Malang selama Ramadhan.

Kegiatan saling kunjung dengan public gathering ini diharapkan diikuti pemimpin NU dan Muhammadiyah di bawahnya.

"Akan ada ceramah dalam kesempatan pertemuan pimpinan NU dan Muhammadiyah tersebut dengan tujuan to keep the issue alive. Kami ingin agar masalah korupsi dengan akibatnya tetap hidup dan diingat orang," jelas Rizal. Ketua PBNU HM Rozy Munir juga mengungkapkan rencana road show simbolik dua pemimpin ini.

KORUPSI dan pemberantasannya di Indonesia memang ruwet. Lilitannya tidak hanya merentang di pemerintah pusat, tetapi juga menjalar ke daerah-daerah. Lima tahun reformasi dengan salah satu agenda memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tidak membuahkan banyak hasil.

Menggambarkan meluasnya praktik korupsi ini, terkait penilaian Transparency International Indonesia melalui berbagai survei independen yang menempatkan Indonesia sebagai negara keenam paling korup di antara 133 negara muncul lelucon sinis. Dalam survei tersebut, Indonesia sebenarnya berada pada urutan kedua paling korup.

Namun, karena mampu menyuap lembaga yang melakukan survei, Indonesia mampu berada di urutan keenam negara paling korup. Mengenaskan!

Karena korupsi yang telah menjalar dan hampir merata di semua lapisan ini bangsa Indonesia telah rusak. Dalam beberapa kesempatan, Syafii Maarif mengatakan, kerusakan bangsa Indonesia akibat korupsi sudah hampir sempurna. Karena korupsi yang sama dengan tidak terlihatnya komitmen serius pemberantasannya, Franz Magnis Suseno mengungkapkan, Indonesia tinggal menunggu waktu tergelincir dan masuk jurang.

Di tengah keruwetan dan tidak adanya komitmen pemerintah yang keras, tegas, dan sungguh-sungguh untuk memberantas korupsi, masyarakat putus asa dan menyerah pada keadaan. Cermin keputusasaan dan menyerahnya masyarakat tampak dalam sejumlah survei. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mempublikasikan, hanya sekitar empat persen dari responden yang melihat korupsi sebagai masalah yang membutuhkan penanganan serius.

"Korupsi memang ruwet dan sangat berbahaya. Lebih berbahaya lagi karena kesadaran publik akan bahaya korupsi itu tidak ada," ujar Rizal. Minimnya kesadaran masyarakat merupakan cermin keputusasaan tersebut. Menurut Rizal, bagi masyarakat, negara dinilai sudah pasti korup. "Tetapi sekarang, bagaimana caranya elu korup, tetapi gua juga makan," ujar Rizal memotret kecenderungan masyarakat saat ini melihat korupsi.

Selain sudah putus asa, minimnya kesadaran akan bahaya korupsi disebabkan karena masyarakat tidak bisa melihat keterkaitan antara korupsi dengan kesengsaraan hidup yang dialami sehari-hari. "Membuat keterkaitan korupsi dan kesengsaraan hidup inilah yang menjadi tugas NU dan Muhammadiyah dalam kerja sama ini. Kami berharap mampu menumbuhkan kegeraman dan kemarahan masyarakat secara nasional karena korupsi," ujar Rizal.

KEGAGALAN menumbuhkan kegeraman dan kemarahan masyarakat secara nasional diakui menjadi salah satu titik lemah ratusan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini. Karena tidak ada kegeraman masyarakat tersebut, tekanan masyarakat kepada pemerintah yang memegang peran kunci untuk pemberantasan korupsi tidak muncul. Akibatnya, pemerintah lembek menyikapi korupsi.

"Harus diakui, dalam upaya yang selama ini dilakukan untuk memerangi korupsi, kita kurang pandai memformulasikan dampak korupsi sehingga kegeraman dan kemarahan masyarakat terhadap korupsi tidak muncul ke permukaan dan tidak mampu memberi tekanan kepada pemerintah," ujar Bambang Widjojanto, salah satu penasihat Kemitraan.

Kegeraman kepada korupsi yang hendak ditumbuhkan NU dan Muhammadiyah diharapkan dapat menjadi semacam obor di lorong panjang dan gelap bangsa Indonesia, karena korupsi seperti tidak tersentuh.

"Dalam lorong panjang dan gelap karena korupsi, biasanya kita menunggu dan berharap munculnya the light at the end of the tunnel. Gerakan ini tidak dalam upaya menunggu cahaya itu, tetapi berupaya membuat obor sendiri di dalam lorong tersebut. Dengan obor itu, kita berharap bisa berjalan, tanpa terkungkung oleh kekhawatiran tidak adanya cahaya di ujung lorong," papar Rizal menganalogikan upaya gerakan ini.

Agar obor menyala, tugas NU dan Muhammadiyah yang memiliki jaringan hingga masyarakat akar rumput adalah mencari kaitan antara korupsi dan kesengsaraan masyarakat. Karena itu, akan dibuat sejumlah tafsir tematik atas teks dan ajaran Islam yang kontekstual dan menyentuh langsung kehidupan masyarakat.

"Kami akan angkat kasus-kasus konkret keseharian masyarakat yang makin sulit karena korupsi. Seorang murid tidak perlu bunuh diri hanya karena tidak mampu membayar uang ekstrakurikuler. Jika si pejabat A tidak melakukan korupsi, anak-anak dapat gratis sekolah. Jika keterkaitan ini dapat dibuat, kegeraman masyarakat akan muncul," jelas Rizal.

Kegeraman yang diharapkan muncul melalui upaya penyadaran yang dilakukan kelompok muda NU dan Muhammadiyah akan dipakai juga sebagai penghukuman langsung oleh rakyat kepada pejabat publik yang melakukan korupsi. Pemilihan Umum 2004 untuk memilih anggota legislatif dan presiden menjadi tujuan antara gerakan ini.

Sebuah political tracking akan segera dibuat oleh NU dan Muhammadiyah bekerja sama dengan sejumlah LSM yang telah lebih berpengalaman dalam upaya pemberantasan korupsi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW). "Kepada para pemilih, kami akan membekali mereka agar berani memilih calon pejabat yang bersih dan bebas dari korupsi," ujar Rozy Munir.

Melalui pemilihan langsunglah, secara ideal kegeraman dan kemarahan masyarakat karena korupsi harus disalurkan. Untuk memunculkan calon pejabat yang dikehendaki masyarakat, sistem pemilihan umum harus diubah menuju sistem distrik secara langsung.

Kegeraman dan kemarahan yang tersalurkan inilah yang diharapkan menjadi obor. Selain dapat menerangi lorong gelap dan panjang, obor tersebut diharapkan dapat membakar semangat aparat pemerintah sungguh-sungguh dan keras melakukan perang terhadap korupsi. Semoga panas obor itu "membakar" koruptor.

inu

amrozi ii

"TENG Sabin nandur kacang (ke sawah menanam kacang)," ujar Tarmiyem (70) berusaha tegar menghadapi apa yang menimpa Amrozi, anak kandung keenamnya. Pernyataan itu diungkapkan Tarmiyem setelah sepanjang hari ia dicari puluhan wartawan untuk dimintai komentarnya berkaitan dengan vonis mati yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, terhadap Amrozi, Kamis (7/8) kemarin.

Meskipun berusaha tegar menerima vonis mati majelis hakim, duka tidak bisa beranjak dari wajahnya yang mulai keriput karena usianya yang senja. Saat ditanya bagaimana perasaannya, sambil sesekali mengusap tangan Nurhasyim, suaminya, yang terbaring tidak berdaya karena sakit, Tarmiyem berujar, "Perasaan kulo mboten karuan (perasaan saya tidak karuan)."

Atas apa yang telah menimpa Amrozi dan akan menimpa dua anak kandungnya yang lain, yaitu Ali Gufron dan Ali Imron, terkait peledakan bom di Bali, Tarmiyem mengaku tidak dapat menerima kenyataan. "Ngantos sak niki, kulo mboten nerimo (sampai sekarang, saya tidak dapat menerima)," ujarnya dengan suara tertahan menahan duka dan isak tangis.

Tarmiyem mengaku ingin sekali dapat kembali berkumpul dengan delapan anak kandungnya, termasuk tiga anak laki-lakinya yang saat ini ditahan dan diadili di Bali. Keinginannya untuk berkumpul kembali itu muncul di tengah kesepiannya di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur.

Sehari-hari Tarmiyem hanya menyibukkan diri dengan pergi ke sawah merawat kacang atau jagung yang ditanamnya, untuk kemudian kembali merawat suaminya yang tergolek sakit tidak berdaya di lantai semen rumahnya yang sangat sederhana. Karena sudah terbiasa dengan pola hidup seperti itu, saat vonis mati dijatuhkan majelis hakim kepada Amrozi, Tarmiyem mengaku tidak menyempatkan diri duduk di depan pesawat televisi.

Selain tidak memiliki pesawat televisi di rumah kayunya yang mulai pudar catnya, Tarmiyem mengaku perasaannya bertambah tidak karuan jika menyaksikan anak kandung yang sangat dirindukannya duduk diadili di kursi persidangan. Mengobati rasa penasarannya, saat sejenak istirahat dari aktivitasnya di sawah, Tarmiyem pergi ke rumah anak keduanya, Afiah, untuk menonton sidang Amrozi.

"Cuma sebentar, setelah itu saya ke sawah dan kembali ke rumah merawat suami. Itulah pekerjaan saya sehari-hari," demikian komentar Tarmiyem menjawab pers, yang dituturkannya dalam bahasa Jawa halus.

KEGUNDAHAN hati atas apa yang terjadi pada Amrozi memang tepat terpotret dari apa yang dilakukan Tarmiyem sepanjang Kamis kemarin di Desa Tenggulun yang gersang karena kemarau yang mulai datang. Wajahnya terus memancarkan kedukaan.

Perasaan pasrah menerima kenyataan apa pun muncul dari saudara kandung Amrozi yang berada di desa itu. Saudara Amrozi itu adalah Alimah, Afiah, Khozin, dan JaÆfar Sodiq. Satu saudara kandung Amrozi, yaitu Amin Jabir, telah meninggal dunia beberapa tahun lalu.

Karena kepasrahan itu, sepanjang Kamis kemarin tidak satu pun anggota keluarga Amrozi yang tampak antusias menyaksikan secara langsung sidang yang digelar di Denpasar tersebut dan ditayangkan di televisi.

"Kami biasa-biasa saja. Sejak awal kami sudah menyerahkan sepenuhnya kepada aparat yang menangani kasus ini. Kami pasrah dan menyerahkan sepenuhnya kepada TPM (Tim Pengacara Muslim)," ujar Khozin yang menjadi juru bicara keluarga di rumahnya.

Khozin yang adalah guru agama di Sekolah Dasar (SD) Negeri Tenggulun menyempatkan diri pulang ke rumah karena kebetulan ada jam pelajaran yang kosong. Kalau ada acara lain di luar, saya tetap akan pergi dan meninggalkan siaran sidang ini," ujar Khozin sambil sesekali memalingkan pandang ke televisi di rumahnya.

Sikap pasrah atas apa pun yang akan menimpa Amrozi dikemukakan juga oleh JaÆfar Sodiq, pendiri Pondok Pesantren Al Islam yang cukup dekat dengan Amrozi. Sepanjang siang kemarin, JaÆfar sibuk membaca Al Quran di teras rumahnya yang berhadapan dengan rumah Khozin.

Di Pondok Pesantren Al Islam, tempat favorit Amrozi cangkruk (bermain), kegiatan belajar-mengajar berjalan seperti biasanya. Di Desa Tenggulun yang berpendukuk sekitar 2.600 orang pun tidak ada aktivitas berarti terkait dengan pembacaan vonis Amrozi. Warga desa yang sebagian besar pemudanya pergi merantau ke Malaysia ini sibuk dengan aktivitas harian mereka.

Kepada para santri Pondok Pesantren Al Islam yang kagum dengan Amrozi, yang dikenal cerdas dan ramah, pemimpin Al Islam Ustadz Zakaria memberi tahu bahwa kemarin dibacakan vonis atas Amrozi. "Kepada mereka, saya hanya meminta agar berdoa bagi Amrozi dan perjuangannya," papar Zakaria yang lulusan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo, Jawa Tengah.

Namun, di balik misteri yang masih menyelimuti vonis mati atas Amrozi, keluarga dan kerabatnya mengaku tetap akan pasrah karena keterbatasan mereka. "Kami memang tidak dapat menerima vonis mati atas Amrozi. Tetapi, hal itu tidak berarti bahwa kami akan aktif melakukan tindakan. Semoga semua yang telah terjadi membawa hikmah bagi keluarga kami, bagi bangsa Indonesia, dan bagi dunia internasional. Soal mati, itu urusan Allah SWT," ujar Khozin tegar.

inu