Wednesday, February 27, 2008

nu-muhammadiyah

LUPAKAN sejenak perbedaan interpretasi fikih di antara kalangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Lupakan juga perseteruan yang muncul medio 2001, saat Presiden KH Abdurrahman Wahid berada dalam ancaman hendak dilengserkan melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI-MPR) yang dipimpin Amien Rais.

Menghadapi korupsi yang membuat kerusakan bangsa Indonesia hampir sempurna dan tinggal menunggu waktu masuk jurang, NU dan Muhammadiyah satu kata: Perangi!

DIFASILITASI Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Partnership (Kemitraan) melalui pendanaan, keahlian, dan referensi, NU dan Muhammadiyah menandatangani nota kesepahaman (MOU) untuk bersama-sama memerangi korupsi. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah HA Syafii Maarif, dan Direktur Eksekutif Kemitraan HS Dillon menandatangani nota kesepahaman tersebut di Jakarta, 15 Oktober 2002.

Banyak harapan pemberantasan korupsi diletakkan kepada dua organisasi massa yang memiliki basis pendukung sekitar 80 juta jiwa ini. Terlibatnya dua organisasi massa keagamaan untuk memerangi korupsi dilihat pakar etika dan filsafat politik Prof Dr Franz Magnis Suseno sebagai harapan terakhir di tengah larutnya hampir semua elite politik dalam praktik-praktik korupsi.

"Dengan gerakan moral ini, masyarakat yang selama ini terlihat putus asa dan menyerah karena melihat luasnya praktik korupsi mudah-mudahan dapat dibangungkan kemarahannya. Kemarahan itu dapat menjadi tekanan kepada pemerintah untuk melakukan perubahan dan penindakkan terhadap mereka yang melakukan korupsi," ujar Magnis.

Mencuatnya harapan di tengah kebuntuan dan gelapnya setiap langkah pemberantasan korupsi mengemuka juga sehari sebelumnya saat kelompok muda NU dan Muhammadiyah mempresentasikan kesepahaman mereka untuk memerangi korupsi di Kantor Kemitraan di Jakarta. Hadir mewakili NU, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Syaiful Bahri Ashari sementara dari Muhammadiyah hadir Sekretaris Bidang Luar Negeri PP Muhammadiyah Rizal Sukma.

Di samping optimisme dengan mencuatnya secercah harapan dari berbagai kalangan, MOU antara NU dan Muhammadiyah untuk memerangi korupsi memunculkan juga nada pesimisme. Seperti diakui Rizal Sukma, seusai muncul pemberitaan mengenai upaya NU dan Muhammadiyah memerangi korupsi, layanan pesan singkat (short message service/SMS) pertama yang diterimanya adalah: Selamat atas kerja sama NU dan Muhammadiyah untuk memerangi korupsi. Mohon gerakan dimulai di Departemen Agama di mana orang NU dan Muhammadiyah bercokol. Departemen itu merupakan departemen yang paling korup di Indonesia.

"Banyak muncul pesimisme dan juga sinisme seusai penandatanganan MOU. Tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam NU dan Muhammadiyah sendiri. Berbagai kecurigaan juga muncul. Tetapi kami menilai apa yang sedang kami upayakan untuk memerangi korupsi ini lebih baik dibandingkan hanya bekerja pada tataran retorika saja," ujar Rizal yang juga menjadi Direktur Studi Center for Information and Development Studies (CSIS).

Rizal mengakui, harapan khalayak ramai terhadap NU dan Muhammadiyah untuk mampu melakukan perang terhadap korupsi sangat tinggi. Tanpa ingin mengesampingkan tingginya harapan tersebut, Rizal mengungkapkan bahwa NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi massa tidak dapat berbuat banyak selain di luar massa pendukungnya.

"NU dan Muhammadiyah adalah organisasi di luar state (negara) yang hanya punya kemampuan besar membangun dan menggunakan jaringannya. Tekanan politik untuk memaksa agar pemerintah mengambil tindakan hukum kepada para koruptor tidak dapat kami lakukan. Mandat kami sebagai organisasi massa memang tidak masuk ke wilayah politik. Perlu dukungan elemen lain yang memiliki keprihatinan sama untuk memenuhi harapan dari gerakan ini," ujarnya.

Keterbatasan gerakan ini disadari juga Syaiful Bahri Ashari. Di tengah keterbatasan ini, perang terhadap korupsi akan dimulai dari masing-masing organisasi yang tidak bersih juga dari praktik-praktik korupsi. "Kami tidak menutup mata bahwa di NU rawan akan praktik korupsi, khususnya di lembaga yang memungkinkan dana keluar dan masuk. Gerakan ini kami mulai dari NU dan Muhammadiyah untuk menjadi gerakan besar secara nasional untuk memerangi korupsi," paparnya.

Untuk memunculkan dan menjaga kesadaran publik akan bahaya korupsi dan memunculkan keinginan untuk melakukan perubahan, selama dua tahun ke depan direncanakan kegiatan bersama antara NU dan Muhammadiyah yang sifatnya lebih simbolik. Secara bergantian, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dan Ketua Umum PP Muhammadiyah HA Syafii Maarif akan saling berkunjung ke Yogyakarta dan Malang selama Ramadhan.

Kegiatan saling kunjung dengan public gathering ini diharapkan diikuti pemimpin NU dan Muhammadiyah di bawahnya.

"Akan ada ceramah dalam kesempatan pertemuan pimpinan NU dan Muhammadiyah tersebut dengan tujuan to keep the issue alive. Kami ingin agar masalah korupsi dengan akibatnya tetap hidup dan diingat orang," jelas Rizal. Ketua PBNU HM Rozy Munir juga mengungkapkan rencana road show simbolik dua pemimpin ini.

KORUPSI dan pemberantasannya di Indonesia memang ruwet. Lilitannya tidak hanya merentang di pemerintah pusat, tetapi juga menjalar ke daerah-daerah. Lima tahun reformasi dengan salah satu agenda memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tidak membuahkan banyak hasil.

Menggambarkan meluasnya praktik korupsi ini, terkait penilaian Transparency International Indonesia melalui berbagai survei independen yang menempatkan Indonesia sebagai negara keenam paling korup di antara 133 negara muncul lelucon sinis. Dalam survei tersebut, Indonesia sebenarnya berada pada urutan kedua paling korup.

Namun, karena mampu menyuap lembaga yang melakukan survei, Indonesia mampu berada di urutan keenam negara paling korup. Mengenaskan!

Karena korupsi yang telah menjalar dan hampir merata di semua lapisan ini bangsa Indonesia telah rusak. Dalam beberapa kesempatan, Syafii Maarif mengatakan, kerusakan bangsa Indonesia akibat korupsi sudah hampir sempurna. Karena korupsi yang sama dengan tidak terlihatnya komitmen serius pemberantasannya, Franz Magnis Suseno mengungkapkan, Indonesia tinggal menunggu waktu tergelincir dan masuk jurang.

Di tengah keruwetan dan tidak adanya komitmen pemerintah yang keras, tegas, dan sungguh-sungguh untuk memberantas korupsi, masyarakat putus asa dan menyerah pada keadaan. Cermin keputusasaan dan menyerahnya masyarakat tampak dalam sejumlah survei. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mempublikasikan, hanya sekitar empat persen dari responden yang melihat korupsi sebagai masalah yang membutuhkan penanganan serius.

"Korupsi memang ruwet dan sangat berbahaya. Lebih berbahaya lagi karena kesadaran publik akan bahaya korupsi itu tidak ada," ujar Rizal. Minimnya kesadaran masyarakat merupakan cermin keputusasaan tersebut. Menurut Rizal, bagi masyarakat, negara dinilai sudah pasti korup. "Tetapi sekarang, bagaimana caranya elu korup, tetapi gua juga makan," ujar Rizal memotret kecenderungan masyarakat saat ini melihat korupsi.

Selain sudah putus asa, minimnya kesadaran akan bahaya korupsi disebabkan karena masyarakat tidak bisa melihat keterkaitan antara korupsi dengan kesengsaraan hidup yang dialami sehari-hari. "Membuat keterkaitan korupsi dan kesengsaraan hidup inilah yang menjadi tugas NU dan Muhammadiyah dalam kerja sama ini. Kami berharap mampu menumbuhkan kegeraman dan kemarahan masyarakat secara nasional karena korupsi," ujar Rizal.

KEGAGALAN menumbuhkan kegeraman dan kemarahan masyarakat secara nasional diakui menjadi salah satu titik lemah ratusan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini. Karena tidak ada kegeraman masyarakat tersebut, tekanan masyarakat kepada pemerintah yang memegang peran kunci untuk pemberantasan korupsi tidak muncul. Akibatnya, pemerintah lembek menyikapi korupsi.

"Harus diakui, dalam upaya yang selama ini dilakukan untuk memerangi korupsi, kita kurang pandai memformulasikan dampak korupsi sehingga kegeraman dan kemarahan masyarakat terhadap korupsi tidak muncul ke permukaan dan tidak mampu memberi tekanan kepada pemerintah," ujar Bambang Widjojanto, salah satu penasihat Kemitraan.

Kegeraman kepada korupsi yang hendak ditumbuhkan NU dan Muhammadiyah diharapkan dapat menjadi semacam obor di lorong panjang dan gelap bangsa Indonesia, karena korupsi seperti tidak tersentuh.

"Dalam lorong panjang dan gelap karena korupsi, biasanya kita menunggu dan berharap munculnya the light at the end of the tunnel. Gerakan ini tidak dalam upaya menunggu cahaya itu, tetapi berupaya membuat obor sendiri di dalam lorong tersebut. Dengan obor itu, kita berharap bisa berjalan, tanpa terkungkung oleh kekhawatiran tidak adanya cahaya di ujung lorong," papar Rizal menganalogikan upaya gerakan ini.

Agar obor menyala, tugas NU dan Muhammadiyah yang memiliki jaringan hingga masyarakat akar rumput adalah mencari kaitan antara korupsi dan kesengsaraan masyarakat. Karena itu, akan dibuat sejumlah tafsir tematik atas teks dan ajaran Islam yang kontekstual dan menyentuh langsung kehidupan masyarakat.

"Kami akan angkat kasus-kasus konkret keseharian masyarakat yang makin sulit karena korupsi. Seorang murid tidak perlu bunuh diri hanya karena tidak mampu membayar uang ekstrakurikuler. Jika si pejabat A tidak melakukan korupsi, anak-anak dapat gratis sekolah. Jika keterkaitan ini dapat dibuat, kegeraman masyarakat akan muncul," jelas Rizal.

Kegeraman yang diharapkan muncul melalui upaya penyadaran yang dilakukan kelompok muda NU dan Muhammadiyah akan dipakai juga sebagai penghukuman langsung oleh rakyat kepada pejabat publik yang melakukan korupsi. Pemilihan Umum 2004 untuk memilih anggota legislatif dan presiden menjadi tujuan antara gerakan ini.

Sebuah political tracking akan segera dibuat oleh NU dan Muhammadiyah bekerja sama dengan sejumlah LSM yang telah lebih berpengalaman dalam upaya pemberantasan korupsi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW). "Kepada para pemilih, kami akan membekali mereka agar berani memilih calon pejabat yang bersih dan bebas dari korupsi," ujar Rozy Munir.

Melalui pemilihan langsunglah, secara ideal kegeraman dan kemarahan masyarakat karena korupsi harus disalurkan. Untuk memunculkan calon pejabat yang dikehendaki masyarakat, sistem pemilihan umum harus diubah menuju sistem distrik secara langsung.

Kegeraman dan kemarahan yang tersalurkan inilah yang diharapkan menjadi obor. Selain dapat menerangi lorong gelap dan panjang, obor tersebut diharapkan dapat membakar semangat aparat pemerintah sungguh-sungguh dan keras melakukan perang terhadap korupsi. Semoga panas obor itu "membakar" koruptor.

inu

amrozi ii

"TENG Sabin nandur kacang (ke sawah menanam kacang)," ujar Tarmiyem (70) berusaha tegar menghadapi apa yang menimpa Amrozi, anak kandung keenamnya. Pernyataan itu diungkapkan Tarmiyem setelah sepanjang hari ia dicari puluhan wartawan untuk dimintai komentarnya berkaitan dengan vonis mati yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, terhadap Amrozi, Kamis (7/8) kemarin.

Meskipun berusaha tegar menerima vonis mati majelis hakim, duka tidak bisa beranjak dari wajahnya yang mulai keriput karena usianya yang senja. Saat ditanya bagaimana perasaannya, sambil sesekali mengusap tangan Nurhasyim, suaminya, yang terbaring tidak berdaya karena sakit, Tarmiyem berujar, "Perasaan kulo mboten karuan (perasaan saya tidak karuan)."

Atas apa yang telah menimpa Amrozi dan akan menimpa dua anak kandungnya yang lain, yaitu Ali Gufron dan Ali Imron, terkait peledakan bom di Bali, Tarmiyem mengaku tidak dapat menerima kenyataan. "Ngantos sak niki, kulo mboten nerimo (sampai sekarang, saya tidak dapat menerima)," ujarnya dengan suara tertahan menahan duka dan isak tangis.

Tarmiyem mengaku ingin sekali dapat kembali berkumpul dengan delapan anak kandungnya, termasuk tiga anak laki-lakinya yang saat ini ditahan dan diadili di Bali. Keinginannya untuk berkumpul kembali itu muncul di tengah kesepiannya di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur.

Sehari-hari Tarmiyem hanya menyibukkan diri dengan pergi ke sawah merawat kacang atau jagung yang ditanamnya, untuk kemudian kembali merawat suaminya yang tergolek sakit tidak berdaya di lantai semen rumahnya yang sangat sederhana. Karena sudah terbiasa dengan pola hidup seperti itu, saat vonis mati dijatuhkan majelis hakim kepada Amrozi, Tarmiyem mengaku tidak menyempatkan diri duduk di depan pesawat televisi.

Selain tidak memiliki pesawat televisi di rumah kayunya yang mulai pudar catnya, Tarmiyem mengaku perasaannya bertambah tidak karuan jika menyaksikan anak kandung yang sangat dirindukannya duduk diadili di kursi persidangan. Mengobati rasa penasarannya, saat sejenak istirahat dari aktivitasnya di sawah, Tarmiyem pergi ke rumah anak keduanya, Afiah, untuk menonton sidang Amrozi.

"Cuma sebentar, setelah itu saya ke sawah dan kembali ke rumah merawat suami. Itulah pekerjaan saya sehari-hari," demikian komentar Tarmiyem menjawab pers, yang dituturkannya dalam bahasa Jawa halus.

KEGUNDAHAN hati atas apa yang terjadi pada Amrozi memang tepat terpotret dari apa yang dilakukan Tarmiyem sepanjang Kamis kemarin di Desa Tenggulun yang gersang karena kemarau yang mulai datang. Wajahnya terus memancarkan kedukaan.

Perasaan pasrah menerima kenyataan apa pun muncul dari saudara kandung Amrozi yang berada di desa itu. Saudara Amrozi itu adalah Alimah, Afiah, Khozin, dan JaÆfar Sodiq. Satu saudara kandung Amrozi, yaitu Amin Jabir, telah meninggal dunia beberapa tahun lalu.

Karena kepasrahan itu, sepanjang Kamis kemarin tidak satu pun anggota keluarga Amrozi yang tampak antusias menyaksikan secara langsung sidang yang digelar di Denpasar tersebut dan ditayangkan di televisi.

"Kami biasa-biasa saja. Sejak awal kami sudah menyerahkan sepenuhnya kepada aparat yang menangani kasus ini. Kami pasrah dan menyerahkan sepenuhnya kepada TPM (Tim Pengacara Muslim)," ujar Khozin yang menjadi juru bicara keluarga di rumahnya.

Khozin yang adalah guru agama di Sekolah Dasar (SD) Negeri Tenggulun menyempatkan diri pulang ke rumah karena kebetulan ada jam pelajaran yang kosong. Kalau ada acara lain di luar, saya tetap akan pergi dan meninggalkan siaran sidang ini," ujar Khozin sambil sesekali memalingkan pandang ke televisi di rumahnya.

Sikap pasrah atas apa pun yang akan menimpa Amrozi dikemukakan juga oleh JaÆfar Sodiq, pendiri Pondok Pesantren Al Islam yang cukup dekat dengan Amrozi. Sepanjang siang kemarin, JaÆfar sibuk membaca Al Quran di teras rumahnya yang berhadapan dengan rumah Khozin.

Di Pondok Pesantren Al Islam, tempat favorit Amrozi cangkruk (bermain), kegiatan belajar-mengajar berjalan seperti biasanya. Di Desa Tenggulun yang berpendukuk sekitar 2.600 orang pun tidak ada aktivitas berarti terkait dengan pembacaan vonis Amrozi. Warga desa yang sebagian besar pemudanya pergi merantau ke Malaysia ini sibuk dengan aktivitas harian mereka.

Kepada para santri Pondok Pesantren Al Islam yang kagum dengan Amrozi, yang dikenal cerdas dan ramah, pemimpin Al Islam Ustadz Zakaria memberi tahu bahwa kemarin dibacakan vonis atas Amrozi. "Kepada mereka, saya hanya meminta agar berdoa bagi Amrozi dan perjuangannya," papar Zakaria yang lulusan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo, Jawa Tengah.

Namun, di balik misteri yang masih menyelimuti vonis mati atas Amrozi, keluarga dan kerabatnya mengaku tetap akan pasrah karena keterbatasan mereka. "Kami memang tidak dapat menerima vonis mati atas Amrozi. Tetapi, hal itu tidak berarti bahwa kami akan aktif melakukan tindakan. Semoga semua yang telah terjadi membawa hikmah bagi keluarga kami, bagi bangsa Indonesia, dan bagi dunia internasional. Soal mati, itu urusan Allah SWT," ujar Khozin tegar.

inu