Friday, February 29, 2008

kumis

KEBANYAKAN orang tidak lagi meragukan popularitas Andi Mallarangeng. Selain telanjur ngetop dengan label pengamat politik, sosok lelaki Bugis belakangan juga mejeng sebagai bintang iklan produk perbankan.

Namun, bekal popularitas dan terutama ikatan kesukuannya sebagai orang Bugis dikesampingkannya untuk menggapai cita-cita menjadi anggota anggota legislatif (caleg). Banyak tawaran dari teman-teman dekatnya untuk maju sebagai caleg di Sulawesi Selatan (Sulsel).

"Saya membuat pertimbangan yang keras untuk mengambil keputusan untuk maju dari mana, dari Sulsel atau dari Jakarta. Keputusan saya jatuhkan. Jakarta menjadi pilihan saya karena besarnya tantangan," ujarnya, Jumat (27/2) malam.

Ketua Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK) ini menjelaskan, keinginannya untuk menjadi anggota legislator bukan sekadar cari enak atau cari kekuasaan. Karena itu, ia memilih daerah yang paling menantang yaitu Jakarta. "Penduduk Jakarta sangat kritis karena tingginya pendidikan, kemudahan untuk mengakses informasi, dan kosmopolitan. Lawan saya dari partai-partai lain pasti juga yang terbaik. Karena itu, kalau bisa menang di Jakarta, ada nilai plusnya," paparnya bersemangat.

Keinginannya menjadi caleg dari Jakarta (Daerah Pemilihan I) yang jauh dari kampung halamannya sekaligus untuk membuktikan keyakinannya bahwa generasi muda dapat melampaui batas-batas etnis. "Saya sungguh ingin membuktikan hal ini dan menegaskan bahwa saya juga bisa melampaui batas-batas etnis. Ini sangat penting untuk menegaskan bahwa politik komunal tidak selalu menjadi resep mujarab untuk memenangi pemilu," jelasnya.

Meskipun berat dengan melihat para pesaing dari partai lain, Andi yang murah senyum ini optimistis dapat meraih dukungan di Jakarta. Kepercayaan dirinya muncul dari apa yang telah dilakukannya dan mendapat apresiasi positif dari masyarakat dari etnis dan agama mana pun.

"Jakarta itu merupakan mini Indonesia. Kalau saya bisa menang di Jakarta karena track record, pikiran, dan perbuatan saya, mudah-mudahan hal ini bisa menjadi simbol bahwa saya diterima di Indonesia. Tantangan di Jakarta saya ambil demi keinginan saya membuktikan penerimaan atas diri saya sendiri," ujarnya.

Guna memperbesar dukungan, selama banjir mengepung Jakarta beberapa waktu lalu, Andi mengaku telah keluar masuk lorong di kampung-kampung. Wilayah yang telah dikunjunginya untuk bertemu dengan calon pemilihnya adalah Kampung Sawah, Kwitang, Semper, Koja, Jatinegara Kaum, Johar Baru, dan Kemayoran.

Kunjungan untuk bertemu langsung dengan calon pemilih membuat Andi makin antusias. Ia yakin kepopulerannya juga berarti banyak mendapat dukungan dari warga masyarakat.

inu

kampanye

PELUIT tanda dimulainya acara gerak jalan di Lapangan Gajayana, Malang, Jawa Timur, telah ditiup Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional Amien Rais dari atas panggung. Meski demikian, sejumlah ibu dan remaja putri tetap berkerumun di sekitar panggung. Bunyi peluit tidak menggerakkan ibu-ibu dan remaja putri itu untuk memulai gerak jalan. Mereka tidak mau beranjak sebelum mendapat giliran bersalaman dengan Amien Rais.

Di antara kerumunan ibu-ibu dan remaja putri itu, tampak seorang ibu hamil. Sambil meletakkan tangan kirinya di perutnya yang membesar, ia meraih tangan Amien Rais untuk dicium. Sebelum memulai gerak jalan, ia meminta nama kepada Amien Rais untuk anak yang dikandungnya. Karena tergesa-gesa, Amien Rais menyebut nama salah seorang anaknya. Karena kerap terjadi, protes dari anaknya lantas muncul karena namanya dibagi-bagikan begitu saja.

Protes anak calon presiden tersebut dapat disimak di website resmi Amien Rais yang telah dipersiapkan matang dan cukup lama untuk kampanye pencalonan dirinya sebagai presiden dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2004. Banyak cerita unik dan lebih manusiawi mengenai sosok Amien Rais yang dikenal serius di website tersebut.

Menurut Edy Kuscahyanto, koordinator redaksi di The Amien Rais Center yang mengelola website tersebut, website yang diluncurkan pada 9 April 2000 tersebut terutama dimaksudkan untuk kepentingan pencalonan dan pemenangan Amien Rais sebagai presiden. "Fokus website ini adalah untuk pemenangan Amien Rais sebagai presiden dalam Pemilu 2004," ujarnya.

Calon presiden lain yang memanfaatkan jaringan Internet untuk sarana kampanye pemenangan pemilunya adalah Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdurrahman Wahid. Website resmi yang digarap serius sejak tahun 2002 ini menampilkan sosok Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid, secara lebih intens dan menyeluruh.

Dalam paparan mengenai biografi, misalnya, dipaparkan sejumlah hal yang selama ini tidak diketahui khalayak secara umum. Setelah membaca paparan dalam website dengan dominasi warna hijau tersebut, orang mungkin baru tahu bahwa nama lengkap Gus Dur adalah Abdurrahman Addakhil. Dalam website itu dijelaskan nama Addakhil yang merupakan pilihan KH Wahid Hasyim, ayahnya. Nama itu diambil Wahid Hasyim dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol.

Membutuhkan humor-humor segar khas Gus Dur, website ini juga menampilkannya dalam kumpulan anekdot. Kumpulan anekdot pernah diujarkan Gus Dur ketika menjabat sebagai Presiden RI dan mampu mengocok perut pendengarnya.

Tidak hanya sejumlah calon presiden yang ramai-ramai memanfaatkan jaringan Internet untuk melakukan kampanye dan pendekatan kepada calon pemilih. Sejumlah partai politik peserta Pemilu 2004 juga menggunakan media yang dapat diakses sepanjang hari ini sebagai medium. Akhir tahun lalu Partai Golongan Karya (Golkar) meluncurkan website resmi mereka yang, tentu saja, dominan dengan warna kuning.

Foto Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung sedang berkampanye di atas mobil tampil dominan begitu website dibuka. Di ujung bawah tampilan muka website ini terpampang banner bertuliskan "Siap Menghadapi Pemilu 2004 dengan Dukungan Teknologi Informasi".

Langkah memanfaatkan jaringan Internet juga dilakukan partai politik lain. Tidak hanya membangun website, beberapa partai politik seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang umumnya beranggotakan kalangan muda memanfaatkan mailing list (milis) untuk berkomunikasi dan menyosialisasikan kegiatan dan program partai. MEREKA yang berupaya berkampanye melalui jaringan Internet sadar betul bahwa populasi pengguna Internet di Indonesia masih sangat kecil.

Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2004, hanya sekitar delapan juta pengguna Internet. "Ini artinya hanya empat persen dari total penduduk Indonesia yang sekitar 200 jutaan orang," ujar JH Wenas, calon anggota legislator PKB, yang memilih strategi kampanye melalui jaringan Internet.

Pilihan Wenas menggunakan jaringan Internet untuk kampanye didasarkan pada sebaran pengguna Internet yang terkonsentrasi pada titik-titik di mana infrastruktur telekomunikasi relatif memadai, yaitu di kota besar seperti Jakarta. "Dari titik pandang konteks daerah pemilihan (DP) saya, yaitu DP I DKI Jakarta, pilihan strategi kampanye saya menggunakan jaringan Internet menjadi relevan," ujar Wenas yang mengaku tidak memiliki cukup "gizi" untuk berkampanye secara konvensional.

Namun, terlepas dari hal itu, kampanye menggunakan jaringan Internet, apakah melalui website, milis, maupun distribusi e-mail one-to-many seperti yang dilakukan Wenas, tidak bisa dipisahkan dari fakta adanya segmentasi publik sasaran. "Harus diakui memang terbatas publik pengguna Internet. Boleh dikatakan bahwa Internet di Indonesia hanya diakses oleh kelas menengah seperti profesional, karyawan, politisi, pelajar, mahasiswa, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat," paparnya.

Meski kecil, Wenas yakin, kampanye yang dilakukan melalui e-mail seperti yang ditempuhnya akan berdampak kepada publik. Ada harapan bahwa trickle down effect-nya bisa meluas ke kalangan yang belum memiliki kemewahan mengakses Internet secara rutin.

"Saya masih ingat, satu atau dua tahun sebelum Soeharto turun, banyak sekali e-mail maupun milis underground bermunculan untuk saling bertukar informasi mengenai banyak hal di negeri ini. Pengalaman ini menunjukkan bahwa Internet secara umum memberikan kontribusi bagi penciptaan sebuah momentum. Satu hal yang perlu diingat, kekuatan Internet terletak pada daya jangkaunya ke ruang pribadi orang per orang," jelas Wenas.

Calon legislator "nomor sepatu" dari PKB ini yakin, melalui e-mail one-to-many yang ia lakukan, metode direct selling seperti dalam dunia pemasaran dapat diterapkan. Dalam metode itu, siapa yang memberi referensi menjadi sangat penting. Orang akan cenderung percaya akan suatu informasi bila direferensikan oleh orang yang dikenal atau dipercayainya.

Untuk kepentingan kampanyenya sebagai calon anggota DPR, Wenas menyiapkan empat seri e-mail yang di atasnya bertuliskan permohonan untuk mem-forward e-mail itu kepada siapa saja. Dalam salah satu seri kampanyenya, meminjam kata-kata Prof Dr Franz Magnis-Suseno, Wenas menulis, "Harus dibedakan golput di masa Orde Baru dan sekarang. Di masa Soeharto, golput adalah bentuk perlawanan karena kita tidak diberikan pilihan. Kini, di era reformasi, kita bisa memilih yang terbaik di antara yang jelek. Tidak memilih sama saja memberi peluang kepada mereka yang tidak layak dipercaya".

Di sisi kiri seri kampanye ini terpampang foto Wenas dan di bawah kutipan tersebut terdapat logo PKB dan logo nomor urutnya sebagai calon anggota DPR di DP I DKI Jakarta. "Terhadap media lain, Internet bukannya substitutif, namun alternatif. Internet hanyalah salah satu pilihan media dari banyaknya media komunikasi lainnya," ujarnya.

JARINGAN Internet dipilih sebagai media kampanye terutama karena alasan minimnya biaya yang diperlukan jika dibandingkan dengan kampanye di media lain seperti media cetak atau elektronik. Untuk membangun website resmi Amien Rais, dibutuhkan dana awal Rp 400 juta. Sementara untuk operasional per bulan diperlukan dana Rp 20 juta, termasuk untuk menggaji empat orang staf.

"Internet merupakan media yang paling murah cost-nya dengan keuntungan cepat, tampil setiap saat, dan dapat diakses dari mana saja. Inti pemanfaatan jaringan Internet adalah kecepatan, baik kecepatan akses maupun kemutakhiran berita-beritanya. Tanpa itu, akan ditinggalkan orang," ujar Edy.

Bagi The Amien Rais Center, kampanye melalui jaringan Internet merupakan pilihan yang sifatnya substitutif di samping kampanye lainnya. Selain mengelola website, The Amien Rais Center juga menerbitkan tabloid dua mingguan MAR dan Rakyat Pos. Jaringan Internet dipilih karena kecepatan dan sebarannya.

Meskipun sadar akan keunggulan jaringan Internet, yaitu kecepatannya, hampir semua website calon presiden, partai politik, atau calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lambat dalam meng-update berita. Berita terkini di website Amien Rais merupakan berita hari sebelumnya yang sudah tersebar luas melalui media cetak atau elektronik yang dituduh "lambat".

Di website Partai Golkar, di halaman muka masih menampilkan "berita basi" bantahan Akbar Tandjung mengenai kesediaannya menjadi calon wakil presiden.

Kalaupun kemudian agak cepat, umumnya website yang digunakan untuk kampanye itu mengambil berita dari media Internet lain atau media cetak. Website Sarwono Kusumaatmadja, misalnya, isi beritanya merupakan kompilasi berita dari sejumlah media.

Kembali pada keunggulan jaringan Internet, yaitu pada kecepatan akses dan kemutakhiran beritanya, apa yang dikerjakan melalui sejumlah website peserta Pemilu 2004 untuk kampanye kemudian dapat diukur. Tampilan dan fasilitas yang ditawarkan sejumlah website tidak cukup atraktif dan tidak cukup memberi peran kepada pengakses untuk terlibat. Ditambah kelambatan akses dan updating beritanya membuat website para pengadu nasib dalam Pemilu 2004 ini semakin tidak menarik.

Berkaca pada minimnya pengguna jaringan Internet yang sebarannya terkonsentarasi di kota-kota besar di mana terdapat infrastruktur telekomunikasi yang memadai, strategi pemanfaatan jaringan Internet harus diubah agar efektif. Keunggulan Internet pada daya jangkaunya ke ruang pribadi orang per orang harus digarap.

Sayangnya, di sejumlah website peserta Pemilu 2004 tidak dibuat milis atau forum yang dapat menjangkau ruang pribadi masing-masing orang untuk memperluas jaringan dan meningkatkan intensitas komunikasi. Pengakses tidak diajak terlibat aktif dan hanya disuguhi "makanan" yang tidak disuguhkan.

inu

syafii maarif

KERUSAKAN bangsa ini sudah hampir sempurna! Mendengar kalimat ini, orang langsung mengaitkan dengan Prof Dr Achmad Syafii Ma'arif (69).

Menggambarkan parahnya kerusakan bangsa, Syafii yang lahir di Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935, berujar: "Secara sederhana, tengok tiga departemen sebagai contoh. Departemen Kesehatan yang mengurusi fisik, Departemen Pendidikan Nasional yang mengurusi otak, dan Departemen Agama yang mengurusi mental-spiritual manusia Indonesia. Semua bermasalah dan parah. Kerusakan bangsa ini sudah hampir sempurna."

MENJADI pejabat Ketua PP Muhammadiyah ketika reformasi lahir tahun 1998 dan kemudian menjadi Ketua PP Muhammadiyah sejak 1999 sampai sekarang membuat Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini banyak mengambil peran dalam perjalanan bangsa.

Oleh banyak kalangan, sosok sederhana yang lantang berbicara ini ditempatkan sebagai salah satu penjaga proses transisi menuju demokrasi. Dengan terbuka dan ramah, pria berjenggot putih yang kerap bolak-balik Yogyakarta-Jakarta ini menerima Kompas di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Sabtu (7/2).

Sesaat sebelum wawancara, Syafii menerima kunjungan mantan Perdana Menteri Malaysia Dr Mahatir Mohamad yang mengunjungi sejumlah tokoh Indonesia.

Separah apa kerusakan bangsa ini?
Kalangan awam tidak bisa melihat kegentingan itu. Tetapi, untuk orang yang mengerti, bangsa ini sudah menjadi bangsa yang tidak bermartabat. Di forum-forum dunia, kita sudah tidak punya nyali. Kenapa? Karena negeri ini digerogoti korupsi, utang yang tinggi, dan jadi importir terbesar.

Martabat bangsa hancur, tanpa ada kebanggaan. Indonesia hanya mampu mengekspor TKI (tenaga kerja Indonesia) tanpa keahlian. Itu mempermalukan kita. Sekarang kita sulit mengatasi masalah kompleks ini. Mau diapakan? Di semua bidang, kerusakan bangsa hampir sempurna. Masuk sekolah bayar mahal. Mau jadi pegawai negeri, menyuap. Saya ngeri dengan kondisi bangsa ini. Tapi, bagaimanapun, kita tak bisa lari dari kenyataan ini. Inilah bangsa kita.

Di tengah kondisi ini, Anda mengambil posisi apa?
Saya memposisikan diri sebagai pelayan. Seperti ketika saya ada di Jakarta sekarang. Tamu terus datang. Mereka menumpahkan unek-unek. Saya memberi komentar. Mereka tenang, meskipun kadang saya tidak bisa memberikan solusi apa-apa. Dengan menjadi pelayan, saya berusaha mencerahkan masyarakat dan berjuang untuk membela bangsa. Mudah-mudahan saya tidak tergoda masuk ke dunia politik. Godaan itu ada, tetapi sudah saya tolak jauh-jauh hari.

Masyarakat umum membandingkan kondisi saat ini dengan Orde Baru dan ingin kembali...

Beberapa hasil survei memang menunjukkan keinginan itu. Rakyat kita umumnya merasakan keadaan sekarang tambah sulit. Mereka tidak terlalu peduli dengan demokrasi, penegakan hukum, atau HAM (hak asasi manusia). Yang mereka pedulikan adalah sembako (sembilan bahan pokok), lapangan kerja, dan keamanan. Tanya sopir-sopir angkutan itu. Kalau ada demo, mereka menderita. Itu riil di lapangan dan terpenuhi ketika Orde Baru.

Pemerintah sekarang tidak efektif. Seandainya pemerintah tidur nyenyak selama 24 jam, ekonomi akan tetap tumbuh seperti sekarang. Apalagi, kalau pemerintah bangun, berpikir terus, dan memberi fasilitas sehingga sektor riil ini berfungsi. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan. Pemerintah juga tidak pernah memiliki satu bahasa. Sementara petunjuk "ibu" juga tak kunjung datang.

Ini yang membuat krisis bangsa berlarut-larut?
Faktor utamanya adalah kegagalan kepemimpinan. Kerja sama Bung Karno dengan Bung Hatta tidak berlangsung lama. Bung Hatta tidak mencoba mendekati Bung Karno melalui pintu subkultur Jawa yang canggih dan kemudian berpisah. Usaha nation and character building itu gagal.

Saat ini, tidak ada pemimpin yang terlatih. Kebanyakan dari mereka adalah politisi instan. Akademisi yang terjun ke dunia politik miskin pengalaman lapangan. Mereka sarat teori, tetapi tidak mampu memadukan teori di buku dan kenyataan di lapangan yang jauh berbeda.

Krisis berlarut-larut karena tidak adanya kepemimpinan...
Ya. Presiden Soeharto itu luar biasa, punya kharisma, dan berhasil menyulap bangsa ini. Pertumbuhan ekonomi saat itu luar biasa. Tetapi, lalu disadari bahwa pencapaian itu semu karena disokong utang luar negeri. Fundamental ekonomi Indonesia tidak pernah kuat. Tetapi, jangan dilupakan jasanya.

Hukum kita juga sudah sangat parah. Memang, ada penegakan hukum bagi yang kecil-kecil. Tetapi, tidak ada penegakan hukum untuk kasus-kasus besar. Sebagai bangsa paling korup, tidak pernah ditahan siapa koruptornya. Bangsa ini asyik untuk ditonton.

Saat ini, kita hidup dalam kegalauan sistem nilai. Kita susah membedakan mana hitam, putih, merah, atau biru. Semuanya bercampur aduk. Dalam kehidupan politik, "penyakit" orang Arab menular ke sini.

Gambarannya begini, kalau ada dua orang Arab berjalan, maka tiga orang yang mau jadi pemimpin. Sekarang, banyak orang yang ingin jadi presiden. Pemimpin partai kecil juga ingin jadi presiden. Bahkan, ketiga anak Soekarno ingin jadi presiden. Rakyat kita tidak protes. Tenang saja karena sudah lelah, sudah lama menderita sehingga stamina spiritualnya terkuras. Kalau kegalauan sistem nilai ini terjadi terus, bangsa ini mungkin tidak cepat ambruk. Tetapi, risikonya, bangsa ini tidak punya martabat.

Indonesia bangsa besar. Kalau ada pemimpin yang kuat dan adil, bangsa ini masih bisa dibangun. Masih bisa! Bagaimanapun, di ujung lorong sana, masih tampak cahaya. Cahaya itu dapat diperbesar dengan lahirnya pemimpin yang mau berjibaku membela bangsa.

Bagaimana masa sulit ini diatasi dan diakhiri? Mencari pemimpin melalui pemilu. Jika 60 persen hasil Pemilu 2004 berkualitas baik, akan ada harapan perbaikan. Pemerintahan yang akan datang akan dikendalikan mereka-mereka yang tercerahkan, punya komitmen, dan visi jauh ke depan. Walaupun di kabinet ada juga orang-orang yang memiliki mental lama, tetapi mereka jangan diberi posisi penting. Begitu juga di legislatif. Kita berharap yang menjadi anggota DPR dan DPRD adalah orang-orang yang cerah dan wawasannya luas.

Sekarang banyak politisi yang visinya hanya sebatas halaman rumahnya. Bagi mereka, politik menjadi mata pencaharian. Proses demokratisasi berhadapan dengan orang-orang semacam itu. Tapi, proses ini harus kita lalui. Saya tidak setuju pendapat yang kelewat pesimis bahwa proses demokrasi harus melewati ratusan tahun.

Mungkinkah dipercepat...
Ya. Sangat mungkin, bahkan it's a must. Tetapi, itu tergantung hasil pemilu nanti. Kalau secara kualitatif berhasil menempatkan orang yang tercerahkan sebanyak 60 persen saja di kursi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tentu akan bagus. Pencapaian 60 persen itu penting untuk membangun bangsa yang carut-marut ini.

Saat ini tidak ada penegakan hukum. Aparat penegak hukum, polisi, hakim, jaksa, sampai pengacara tidak menampilkan sosok yang meyakinkan sebagai penegak hukum karena faktor uang. Di mana-mana, hukum bisa diperjualbelikan, jabatan bisa diperjualbelikan.

Upaya apa untuk mendapat 60 persen wakil rakyat yang berkualitas tadi?
Media massa baik cetak dan elektronik sangat berguna untuk memberi pendidikan politik kepada masyarakat secara terus-menerus. Itu harus ditekankan. Tentukan pilihan dengan cerdas.

Jika harapan 60 persen itu tidak tercapai, bagaimana?
Jangan disebarkan ketakutan pemilu gagal sehingga harus diantisipasi. Kita antisipasi saja. Jika pemilu benar-benar gagal, risikonya masa transisi berkepanjangan, kesabaran masyarakat habis. Jika begitu, akibatnya tak terbayangkan.

Mungkin akan lahir chaos. Kalau Pemilu 2004 gagal, bisa dibuat skenario lain. Tapi, jangan diumumkan. Kesalahan Susilo Bambang Yudhoyono adalah mengumumkan kemungkinan gagal. Saya sudah membantahnya secara keras. Negeri ini masih memiliki sisa-sisa kekayaan alam. Memang, hutan sudah gundul dan laut sudah diserobot, tetapi masih tersisa kekayaan. Ikan masih banyak. Tanah Air di sini sangat subur. Inilah surga dunia.

Untuk membangun bangsa yang betul-betul bermartabat, berdaulat, bangsa ini butuh kepemimpinan kuat, adil, dan punya visi yang jelas. Kalau partai-partai tidak bisa menawarkan, di luar partai masih banyak pemimpin. Tergantung rakyat yang akan memilih mereka.

Demokrasi memang melelahkan, lamban, dan penuh ketidakpastian. Meski bukan sistem politik yang ideal, demokrasi merupakan sistem terbaik di antara sistem yang buruk.

Bagaimana perjuangan lewat partai politik?
Karena kita memilih demokrasi, tidak ada jalan lain kecuali lewat partai politik. Tugas masyarakat mengkritik partai dan pemimpinnya. Masalahnya, politik kini dilihat sebagai mata pencaharian. Itu tak bisa disalahkan. Politik menjadi jalan pintas untuk memperbaiki asap dapur. Ini bukan rahasia lagi.

Jangan mereka yang terlalu miskin jadi politikus. Kalau miskin, politik akan dijadikan mata pencaharian. Mereka akan melakukan segala-galanya untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Kalau perlu dengan membajak Tuhan. Mereka berperang dalil untuk membenarkan proses pembajakan itu.

Politisi ideal itu seperti apa?
Boleh berlaku sambil menyelam minum air, tetapi idealisme untuk berjuang demi keutuhan bangsa jangan hilang. Kiblat geraknya harus ke sana. Bangsa ini harus dijaga karena sudah terancam. Disintegrasi terjadi secara politik dan sosial. Sedikit ada masalah, beberapa daerah terbakar. Karena itulah Pemilu 2004 menjadi sangat penting. Melalui pemilu, bangsa ini bisa diperbaiki. Kita membangun demokrasi lewat partai-partai. Lewat pemilu, pertai-partai mendapat legitimasi secara politik. Sayangnya, moral mereka makin merosot.

Apa peran civil society seperti Muhammadiyah?
Ya. Sekarang, orang berpaling pada kekuatan civil society, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan lembaga keagamaan lain untuk memperbaiki keadaan. Tetapi, kita juga memiliki batas. Kalau masuk politik praktis, kita menjadi partai politik. Banyak orang yang akan menghantam kita. Itu dilemanya. Di antara celah-celah yang sulit itulah, kita masuk dengan niat baik

Andaikata Pemilu 2004 ini menghasilkan 60 persen saja, harapan perbaikan akan terwujud. NU dan Muhammadiyah terus berusaha mendidik masyarakat untuk memilih wakil-wakil rakyat yang tercerahkan itu. Kita berjuang dari akar rumput. Kita bekerja dalam kapasitas masing-masing. Terus saja bergerak. Jangan diam. Berbuatlah, dalam batas kemampuan kita. Kalau bisa, berbuatlah semaksimal mungkin untuk kepentingan bangsa ini.

Cukup efektifkah gerakan moral ini?
Paling tidak kita terus menyuarakan penyakit bangsa dan bagaimana keadaan moralnya. Masyarakat berharap pada NU dan Muhammadiyah agar lebih berperan mendidik rakyat menjadi pemilih yang cerdas dan kritis. Kita berperan di situ. Kita sedang merumuskan sambil berlomba dengan hari yang mepet. Saya telah bertemu dengan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi. Mudah-mudahan kita tidak tergoda. Demokrasi memang melelahkan dan membutuhkan napas panjang. Yang penting jangan tinggal diam.

inu/iam

soeharto

BAIK-baik sama rakyat! Begitu kerap ditegaskan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu dalam setiap kali bertemu dengan prajuritnya. Menurut dia, hanya dengan "baik- baik sama rakyat", TNI sebagai kekuatan pertahanan akan tetap eksis. Dengan "baik-baik sama rakyat", kemanunggalan TNI dengan rakyat terjaga.

RYAMIZARD sadar betul, dengan sejumlah kelemahan dan kekurangan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI AD, kedekatan dan kemanunggalan dengan rakyat merupakan kekuatan pertahanan paling andal. Sejarah membuktikan hal itu berulang-ulang sejak zaman penjajahan Belanda hingga upaya mempertahankan kemerdekaan dari sejumlah pemberontakan. Sejarah negara lain juga menegaskan hal itu.

Seruan "baik-baik sama rakyat" merupakan salah satu refleksi dan upaya perbaikan kesalahan masa lalu, khususnya pada masa rezim Soeharto berkuasa. Organisasi teritorial yang berfungsi menjaga kemanunggalan TNI dengan rakyat disalahgunakan rezim Soeharto untuk kepentingan politiknya.

"Oleh rakyat, organisasi teritorial pada masa lalu dirasakan bukan sebagai pelindung dan pendamping, tetapi sebagai penegak kekuasaan dengan menggunakan kekuatan senjata untuk memaksakan kehendaknya kepada masyarakat," ujar Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo pada peringatan wafatnya Jenderal Besar Soedirman beberapa waktu lalu.

Karena diabdikan untuk menyangga kekuasaan Soeharto, kekuatan pertahanan dan keamanan Indonesia yang pernah dinilai paling efektif dan bahkan paling kuat di Asia terus merosot kekuatannya. Terjadi kesalahan pandangan rezim Soeharto untuk tidak mengembangkan kemampuan profesional TNI.

"Rezim Soeharto lebih banyak menggunakan TNI untuk kepentingan politiknya sehingga faktor politik lebih banyak mempengaruhi cara berpikir sebagian besar korps perwira TNI. Malahan pernah terjadi kalangan Taruna Akademi Militer Magelang diliputi keinginan kuat menjadi bupati kepala daerah ketimbang menjadi komandan batalyon yang unggul di medan laga," ujarnya.

Kurangnya dorongan untuk membina TNI menjadi kekuatan militer profesional yang andal berakibat kurangnya usaha untuk melengkapi TNI dengan kemampuan keuangan, kurangnnya penghasilan, dan jaminan sosial. Hal ini dinilai merugikan TNI karena memaksa TNI menyelenggarakan bidang usaha sendiri untuk memperoleh kemampuan yang diperlukan. "Masalah percukongan yang membuat reputasi TNI cemar berawal dari sini," ungkap Sayidiman.

Menurut dia, semua penyelewengan yang membuat TNI terjerumus dengan kekuatan pertahanan dan keamanan yang sangat lemah ini disebabkan oleh rezim Soeharto. Ironisnya, menjelang masa pemerintahannya runtuh, Soeharto menggelari dirinya dengan pangkat Jenderal Besar (bintang lima) bersama-sama dengan Jenderal Soedirman, dan AH Nasution.

MESKIPUN dihujat hampir di setiap aksi unjuk rasa mahasiswa yang menggulirkan tuntutan reformasi pada tahun 1998 dan tahun-tahun berikutnya, TNI (waktu itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) bersyukur karenanya. Berkat tuntutan reformasi di tubuh ABRI yang antara lain desakan untuk menanggalkan doktrin dwifungsi dan pemisahan Kepolisian RI, TNI kini berbenah.

Secara bertahap sejak 1998, TNI mencanangkan pembenahan dan perombakan penyimpangan yang selama ini terjadi dan dibiarkan terjadi di dalam tubuhnya dengan label reformasi internal. Menurut Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, salah satu bagian yang ingin diwujudkan dalam reformasi internal TNI adalah ketegasannya untuk hengkang dari gelanggang politik dengan tetap netral pada Pemilu 2004.

"Tahun 2004 merupakan tahun terakhir TNI untuk memiliki wakil-wakil di DPR dan DPRD. Ini berarti TNI akan konsentrasi hanya di bidang pertahanan. Untuk itu, tahun 2004 sangat penting bagi TNI untuk menunjukkan kepada bangsa bahwa selama ini TNI memiliki tekad yang sungguh- sungguh untuk meninggalkan gelanggang politik praktis dan bukan hanya sebagai semboyan," ujarnya seusai Rapat Pimpinan TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.

Ketegasan kebijakan TNI untuk meninggalkan masa lalunya yang memperdaya dan membuat TNI terlena disambut gembira oleh prajurit yang sungguh-sungguh ingin profesional sebagai alat utama pertahanan negara. Namun, diakui oleh sejumlah prajurit, kebijakan yang seolah tanpa kompromi itu ditanggapi dengan bersunggut- sunggut atau menggerutu.

Yang bersunggut-sunggut adalah mereka yang menjalani pendidikan di akademi militer dengan keinginan kuat untuk nantinya menjadi kepala daerah, seperti bupati, wali kota, dan gubernur, ketimbang menjadi komandan batalyon. Melihat peluang ini, beberapa parpol diam-diam mendekati mereka dengan iming-iming sesuai harapan mereka.

Namun, Endriartono berkali-kali mengulang ketegasan sikap TNI untuk netral. Memberi gigi pada ketegasan sikap netral itu, perangkat yang bermuara pada pemberian sanksi kepada pelanggar disiapkan. Sosialisasi sampai hal-hal teknis ke jajaran terendah terus dilakukan. "Pasti ada pelanggar perintah Panglima TNI. Untuk itu, kami menyiapkan mekanisme penjerannya dengan sanksi hukuman penjara," ujar Komandan Polisi Militer Mayjen Sulaiman AB.

TAHUN 2004 merupakan persimpangan jalan bagi TNI yang sejak 1998 mencanangkan reformasi internal. Reformasi internal itu dicanangkan hingga 2010 dan terus dievaluasi dari tahun ke tahun. Tahun 2004 merupakan tahun pertaruhan bagi TNI. Ingin menjadi tentara profesional atau menjadi tentara yang mengabdikan moncong senapannya untuk menyangga kekuasaan.

Pengalaman 32 tahun berada dalam rangkulan kepentingan politik rezim Soeharto seharusnya sungguh-sungguh menyadarkan TNI untuk melakukan reformasi internal menjadi tentara yang profesional. Tantangan di bidang pertahanan dan keamanan pada masa mendatang terus meningkat.

Selain harus didukung kekuatan militer yang profesional dan teknologi militer yang makin maju, TNI harus selalu dekat hatinya pada rakyat. Tiga hal ini dirampas dari TNI ketika rezim Soeharto berkuasa. Betul memang ada perhatian yang intens dan luar biasa kepada Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Namun, kekuatan pertahanan dan keamanan yang andal tidak cukup hanya memberi perhatian luar biasa kepada Kopassus.

Kesadaran akan kebutuhan pembentukan tentara yang profesional membuat masing-masing angkatan berpikir keras untuk mewujudkannya. Masing-masing angkatan, baik TNI AD, TNI AL, dan TNI AU, telah menyusun blue print pertahanan setidaknya untuk sepuluh tahun ke depan.

Secara bertahap dan setelah dilihat urgensinya, kebutuhan akan peralatan untuk mendukung perwujudan profesionalitas TNI direspons pemerintah. Masing-masing angkatan akan segera memperbarui peralatan perangnya yang telah usang karena telah berusia puluhan tahun.

TNI AD, misalnya, telah mendapat persetujuan realisasi pengadaan skuadron helikopter angkut personel Mi-17 dan skuadron helikopter serbu Mi-35 buatan Rusia. Meskipun realisasi peralatan militer ini saat ini tersendat di Departemen Pertahanan, TNI AD optimistis keinginannya memiliki peralatan militer modern terwujud.

TNI AL demikian juga. Secara bertahap, keinginan untuk memiliki empat kapal jenis korvet buatan Belanda dan empat kapal jenis Landing Platform Deck (LPD) buatan Korea Selatan akan segera terwujud. Untuk efektivitas pemeliharaan dan pergerakan pasukan, Kepala Staf TNI AL Laksamana Bernard Kent Sondakh sedang memikirkan secara mendalam rencana penggabungan Armada RI Kawasan Timur (Armatim) dan Armada RI Kawasan Barat (Armabar).

Meskipun sempat mengundang kontroversi yang tidak produktif, TNI AU juga akan memiliki satu skuadron pesawat tempur jenis Sukhoi buatan Rusia. Anggaran untuk pengadaan Sukhoi telah disetujui pemerintah.

"Untuk pengadaan peralatan militer tersebut, saat ini tinggal mengisi DIP (daftar isian proyek) saja," ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Pertahanan Marsekal Pertama Abdul Aziz Manaf.

Adanya "mainan" baru dan terus ditingkatkannya kesejahteraan prajurit diharapkan mampu membuat TNI berjalan lurus menatap masa depannya sebagai tentara profesional. Tidak perlu menengok ke belakang selain untuk meneguhkan keinginan berjalan ke depan.

inu

pemilu 2004

HARAP-harap Cemas! Nama acara reality show di salah satu stasiun televisi itu kini hinggap di sebagian besar benak rakyat Indonesia. Bukan ingin membuktikan kesetiaan atau ketidaksetiaan pasangan masing-masing, seperti dieksploitasi televisi. Rakyat berharap-harap cemas terkait dengan pelaksanaan Pemilihan Umum 2004 yang serba baru, berlangsung lama hampir sepanjang tahun, namun dengan waktu persiapan yang sangat minimal.

HARAP cemas disertai perasaan khawatir yang diakhiri kekecewaan atau kepuasan telah menjadi drama harian di setiap kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kantor 24 partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004, baik tingkat pusat maupun daerah. Satu bulan terakhir, untuk urusan penyusunan daftar calon anggota legislatif (caleg) dan kelengkapan administrasinya, drama harap-harap cemas caleg terekam di dua kantor itu.

Drama harap-harap cemas para caleg tahap awal berakhir hari Rabu (28/1) lalu. Berdasarkan penelitian KPU, dari 8.441 caleg yang diajukan 24 partai peserta Pemilu 2004, sebanyak 7.756 caleg dinyatakan memenuhi syarat untuk berkompetisi memperebutkan 550 kursi DPR di 69 daerah pemilihan. Kepuasan terpancar dari wajah ribuan caleg yang diperbolehkan KPU maju bersaing.

Sementara itu, harap-harap cemas 685 caleg berakhir dengan kekecewaan. Oleh KPU yang kerap menampilkan diri sebagai "pihak yang selalu benar", 685 caleg dinyatakan tidak memenuhi syarat. Ambisi dan bayangan mereka menjadi politisi yang penuh gengsi dan harta duniawi musnah. Setelah ambisi musnah, kekecewaan makin menjadi karena perasaan malu. Sebagian caleg tidak lolos karena perbuatan tercela, seperti memalsukan ijazah.

Kondisi psikologis semacam itu dipetakan sejumlah pihak sebagai salah satu titik rawan dalam Pemilu 2004. Tidak hanya saat pengumuman caleg oleh KPU, titik rawan juga dipetakan pada tahapan sebelumnya, yaitu ketika pengumuman hasil verifikasi administratif dan faktual parpol diumumkan KPU dan sebelumnya Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Ermaya Suriadinata memetakan titik rawan sepanjang Pemilu 2004 menjadi 28 titik. Titik rawan tersebut mulai muncul sejak KPU bekerja menyiapkan sarana dan prasarana pemilu, penghitungan suara, dan saat presiden serta wakil presiden terpilih ditetapkan.

"Kotak suara memiliki kerawanan, baik saat distribusi oleh KPU ke daerah-daerah, gangguan hacker pada sistem informasi teknologi penghitungan suara, maupun proses penghitungan suara itu sendiri," ujar Ermaya. Lemhannas juga memetakan titik rawan pada saat pengumuman hasil verifikasi parpol oleh Depkeh dan HAM serta KPU. Namun, sejauh ini, kerawanan tersebut tidak mengganggu keseluruhan proses Pemilu 2004. Memang muncul sejumlah protes dan gugatan dari parpol yang kecewa. Akan tetapi, ketegasan dengan dasar aturan perundang-undangan membuat KPU percaya diri untuk melaju.

Sebagai penyelenggara dan penanggung jawab Pemilu 2004, KPU juga telah memetakan titik-titik rawan pemilu jauh-jauh hari sehingga terlihat percaya diri. Anggota KPU Mulyana W Kusumah mengatakan, ada 14 kerawanan sepanjang proses demokrasi lima tahunan itu. Jika dikelompokkan, ada tiga kerawanan sepanjang waktu tersebut, yaitu reaksi dan protes massa, bentrok antarmassa pendukung, dan aktivitas massa menyikapi hasil pemilu.

Berdasarkan pemetaannya, akan ada reaksi, protes, dan bentrok antarmassa pendukung yang sifatnya lokal dan nasional sesuai dengan sistem Pemilu 2004. Adanya institusi baru bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD), misalnya, akan memunculkan reaksi, protes, dan bentrok antarmassa pendukung yang sifatnya lokal dan dapat serentak terjadi di seluruh wilayah Indonesia.

Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Ray Rangkuti memprediksi, kegemaran elite politik mengerahkan massa pendukungnya berpotensi menimbulkan kekacauan. "Konflik internal parpol kemungkinan akan berimbas ke luar partai politik dengan pemicu kepentingan kelompok kepentingan di dalam partai politik," ujarnya.

Selain itu, menurut dia, lamanya proses Pemilu 2004, minimnya sosialisasi pelaksanaan pemilu, dan rendahnya pemahaman berpolitik masyarakat diduga akan menimbulkan konflik atau bentrokan dalam Pemilu 2004. Mendapati kerawanan yang memunculkan kekhawatiran mengenai Pemilu 2004 ini, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto di hadapan Komisi I DPR mengungkapkan kemungkinan sabotase menggagalkan pemilu. Sabotase itu salah satunya berupa praktik politik uang yang diarahkan kepada petugas penghitung suara dengan harapan bisa memaksa agar pemilu diulang.

Pernyataan Endriartono dengan dasar data intelijen itu memunculkan kegemparan dan reaksi beragam. Tidak lama kemudian, dalam amanatnya pada peringatan Hari Juang Kartika 2003, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu memunculkan kegemparan baru. Ia melihat kemungkinan pemilu berdarah- darah karena bentrokan antarmassa pendukung parpol. "Jika itu sampai terjadi, TNI AD tidak akan tinggal diam," katanya.

Setelah pernyataan Ryamizard, Presiden Megawati Soekarnoputri yang "pendiam" tergugah angkat bicara menantang mereka yang berkonspirasi ingin menggagalkan pemilu. Seusai tantangan yang disampaikan secara lantang dan terbuka itu, pernyataan kekhawatiran pelaksanaan Pemilu 2004 reda.

BENARKAH tidak lagi ada kekhawatiran mengenai pelaksanaan Pemilu 2004? Meskipun tidak ada pernyataan-pernyataan yang membuat yang berkepentingan dengan pemilu merah kupingnya, kekhawatiran semakin bertambah bersamaan dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan pemilu legislatif pada 5 April 2004. Ketidakpastian mengenai pengadaan seluruh kebutuhan logistik Pemilu 2004, seperti kotak suara, membuat sejumlah kalangan mendesak DPR untuk menyiapkan contingency plan (rencana cadangan) jika pemilu terpaksa ditunda. Permintaan itu disampaikan Government Watch (Gowa) dan diterima Komisi II DPR.

Jika terus dirunut, kerawanan yang memunculkan kekhawatiran akan terus berlanjut saat penghitungan suara dan sesudahnya. Proses penetapan perolehan jumlah kursi dan penetapan calon terpilih merupakan bagian yang harus diantisipasi sejak dini. Konsekuensi tersebut semestinya diperhitungkan sejak awal, sebelum proses pemungutan dan penghitungan suara dilakukan.

Dewan Pengurus Watch Indonesia Pipit R Kartawidjaja mengatakan, tanpa sosialisasi mengenai "matematika pemilu", sulit diharapkan proses penetapan perolehan kursi dan penetapan calon terpilih terbebas dari konflik. Bisa jadi pertentangan tidak hanya sekadar internal parpol, tetapi melebar antara parpol dan KPU sebagai penyelenggara pemilu.

"Yang menyedihkan, sejumlah KPU daerah bahkan belum paham cara menghitung perolehan kursi dan penetapan calon terpilih. Bagaimana mereka nanti menghadapi kader partai yang marah karena tidak terpilih?" ujar Pipit. Pipit mencontohkan, konsep daerah pemilihan yang dipergunakan pada Pemilu 2004 jelas berbeda dengan pemilu sebelumnya. Seluruh kursi dibagi habis di sebuah daerah pemilihan berdasarkan hasil pemungutan suara dan tidak diperbolehkan terjadi kesepakatan penggabungan suara (stembus accoord).

Akibatnya, jumlah sisa suara pada daerah pemilihan yang berbeda bisa menarik "garis nasib" yang berbeda. Sisa suara parpol di sebuah daerah pemilihan bisa jadi terkonversi menjadi sebuah kursi. Sementara itu, sisa suara parpol yang daerah pemilihannya berbeda tidak bisa ditukar menjadi satu kursi saja.

Akibatnya, akhirnya tidak paralel antara perolehan suara dan perolehan kursi legislatif sebuah parpol peserta pemilu. Ada sisa suara yang bisa dikonversi menjadi sebuah kursi, sementara ada sisa suara yang benar-benar terbuang.

Soal penetapan calon terpilih pun bisa memantik masalah. Distribusi kursi berdasarkan nomor urut menjadi sangat kontroversial karena berpotensi memancing konflik internal parpol pascapemilu.

Calon yang berada di urutan bawah dan perolehan suaranya hanya tipis di bawah bilangan pembagi pemilih (BPP) bisa saja tidak terpilih, sementara kursi yang diraih parpolnya menjadi hak calon yang berada di urutan atas. "Tanpa sosialisasi yang benar, bisa-bisa kantor KPU di daerah-daerah itu dimercon orang sehabis pemilu," kata Pipit.

PIHAK Kepolisian Negara RI (Polri) sebagai penanggung jawab keamanan telah jauh-jauh hari mengantisipasi semua kekhawatiran yang menimbulkan kerawanan selama Pemilu 2004. Seusai rapat koordinasi bidang politik dan keamanan, Rabu lalu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar mengaku telah membuat persiapan pengamanan secara menyeluruh. "Ada sejumlah kerawanan dan sudah kami antisipasi. Protes dan ketidakpuasan kita lihat sebagai hal yang wajar. Insya Allah kesadaran kita tinggi untuk menghindari gangguan," ujar Da'i.

Untuk keperluan pengamanan Pemilu 2004, Polri mengerahkan 2/3 kekuatannya yang berjumlah kira-kira 200.000 personel dan didukung 1,1 juta personel pertahanan sipil (hansip) dan perlindungan masyarakat (linmas) di seluruh wilayah Indonesia. Untuk empat provinsi rawan konflik-seperti dipetakan Panitia Pengawas Pemilu (Panwas)-yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, Sulawesi Tengah, dan Maluku, konsentrasi pasukan dilipatgandakan.

Kerja sama Polri dan TNI telah dilakukan demi suksesnya Pemilu 2004, yang dalam bahasa Endriartono dilihat sebagai sebuah keniscayaan. Bentuk dukungan TNI kepada Polri dan politisi sipil dituangkan dalam kebijakan netralitasnya. TNI juga siap dengan skenario terburuk yang mungkin muncul.

Jaminan keamanan, komitmen KPU, Panwas, dan peserta Pemilu 2004 sedikit menepis kekhawatiran yang hingga kini belum sepenuhnya hilang. Kita semua berharap pesta demokrasi lima tahunan dapat berjalan sesuai dengan rencana.

Mengenai kualitas hasil Pemilu 2004? Dengan sistem baru tanpa kesiapan pemilih, ditambah muka lama politisi yang nyata-nyata telah gagal serta akal-akalan yang diterapkan parpol, kualitas hasil Pemilu 2004 dipastikan tidak akan memuaskan.

Sejumlah kalangan jauh-jauh hari sudah tidak lagi khawatir dengan kualitas hasil Pemilu 2004 karena sudah diyakini tidak akan membawa hasil yang memuaskan. Dengan segala kekurangannya, sejumlah kalangan sudah mulai menyiapkan penghibur untuk menutupi kekecewaan yang telah terbayang nyata. Semoga proses belajar kita dalam berdemokrasi melalui Pemilu 2004 membuahkan hasil yang lebih baik dalam pemilu-pemilu mendatang.

inu/dik