Thursday, March 13, 2008

politik netralitas

DALAM enam bulan terakhir, Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Endriartono Sutarto lebih banyak tampil ke publik untuk menegaskan sikap dan tekad Markas Besar TNI untuk netral dalam Pemilu 2004. Konteks Pemilu 2004 yang memunculkan sejumlah jenderal purnawirawan ke panggung politik seolah "memaksa" Endriartono tampil ke muka.

Beberapa jam sebelum masa kampanye calon presiden dan wakil presiden dimulai, Endriartono masih sempat mengumpulkan seluruh Panglima Komando Utama Mabes TNI untuk diberi pengarahan mengenai netralitas TNI. Agar secara efektif pesan netralitas TNI ditangkap seluruh jajarannya, acara pengarahan tertutup tersebut dibuka dan wartawan media cetak dan elektronik dipersilakan meliput meskipun tidak boleh bertanya.

Banyak kalangan kemudian bertanya, ada apa dengan Mabes TNI yang tampak menjadi sangat intens berujar mengenai netralitasnya? Politik macam apa yang disusupkan di balik tekad untuk hengkang dari panggung politik praktis dengan netralitasnya?

Dalam pengarahan yang dilakukan sambil makan malam dan mendengarkan alunan musik dari penyanyi yang cantik di Jakarta itu, Endriartono memang memberi penafsiran tunggal atas netralitas TNI. Netralitas TNI harus dilihat sebagai bagian kebijakan menyeluruh reformasi TNI yang telah dimulai para purnawirawan jenderal yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Kepada tiga purnawirawan jenderal itu, Endriartono menyebutnya sebagai founding fathers reformasi TNI.

Tampilnya purnawirawan TNI dalam panggung politik praktis, oleh Endriartono dimaknai sebagai bagian dari proses demokratisasi yang telah disepakati seluruh komponen bangsa. Meminimalisasi ditariknya gerbong Mabes TNI oleh purnawirawan jenderal yang bersaing meraih dukungan, Endriartono mengeluarkan lima larangan.

Pertama, satuan atau perorangan dan fasilitas TNI tidak boleh dilibatkan atau digunakan untuk memberi dukungan pada semua kontestan di semua tahapan dari rangkaian kegiatan pemilu dalam bentuk apa pun di luar tugas dan fungsi perbantuan TNI.

Dua, satuan atau perorangan TNI tidak boleh turut dalam kampanye atau memberikan bantuan dalam bentuk apa pun kepada semua kontestan dalam kampanye.

Ketiga, satuan atau perorangan TNI tidak boleh memberi komentar, mendiskusikan, atau mengarahkan pilihan masyarakat kepada kontestan, baik di antara sesama prajurit, kepada anggota keluarga, atau kepada masyarakat, secara tertutup maupun terbuka.

Keempat, satuan atau perorangan TNI dilarang menyimpan atau mengenakan apa pun bentuk atribut kontestan.

Kelima, satuan atau perorangan TNI dilarang menyambut atau mengantar kontestan, kecuali untuk yang secara nyata diatur undang-undang.

Atas larangan ini, jika di kemudian hari ditemukan pelanggaran, Endriartono berkomitmen untuk tidak ragu menindak dan memberi sanksi. Karena sifatnya perintah, jika ada prajurit yang melanggar, tanggung jawab komando akan diberlakukan.

Penafsiran tunggal dan tegas mengenai netralitas TNI sudah dikemukakan Endriartono. Akan tetapi, netralitas TNI dapat juga dilihat sebagai bentuk politik baru TNI. Gencarnya Mabes TNI menyatakan netralitasnya bisa dimaknai juga sebagai upaya TNI memuluskan langkah purnawirawan jenderal yang ingin menjadi presiden.

Jadi, apakah netralitas TNI merupakan bentuk baru politik TNI? Kita tunggu saja yang terus akan terjadi di hari-hari nanti. Waktu akan menguji....

inu