Monday, February 25, 2008

koalisi gombal

DENGAN suara tertahan dan beberapa kali menelan ludah, Abdul Kahfi Bakri hanya bisa terduduk di kursinya berdampingan dengan Ridwan Hisjam.

Sementara di sebelah kanan tempatnya duduk, Imam Utomo yang berdampingan dengan Soenarjo menundukkan kepala dengan dua tangan menengadah ke langit mengucapkan syukur. Kahfi mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta dengan suara lirih dan terbata-bata serta sesekali menelan ludah, berujar, "Sesuatu yang sangat tidak saya duga sebelumnya. Suara yang kami peroleh tidak signifikan. Mencapai 44 saja tidak!"

Tidak hanya Kahfi yang telah mengeluarkan modal banyak yang tampak kecewa. Ketua Dewan Syuro DPP PKB KH Abdurrahman Wahid yang mendorong Kahfi maju bertarung juga tampak kecewa. Melihat hasil koalisi dengan Partai Golongan Karya, Gus Durùpanggilan akrab KH Abdurrahman Wahid-berujar, "Gagasan koalisi itu gombal.

"Mendapati pembelotan 10 anggota koalisi PKB dan Golkar, Ketua DPW PKB Jatim Choirul Anam mengaku "dikadali" Golkar. Karena itu, rencana koalisi dua partai yang sebelumnya saling berseteru ini akan digagasulang dan dievaluasi. "Rencana koalisi dengan Golkar harus dievaluasi," ujar Anam usai mendapati kekalahan.

DENGAN sedikit lebih tenang, kekalahan pasangan Kahfi-Ridwan yang salah satu penyebabnya adalah hilangnya 10 suara koalisi lalu dicarikan penyebabnya. Hari-hari setelah kekalahan lantas diikuti dengan kesibukan masing-masing fraksi dan partai yang berkoalisi mendukung Kahfi-Ridwan untuk melakukan investigasi. Antara lain dilakukan untuk memeriksa dan meminta keterangan 44 anggota DPRD Jatim dari F-KB dan F-PG.

"Melalui mekanisme internal dalam partai, kami akan mencari siapa 10 orang pembelot itu. Meskipun kami yakin fraksi kami solid, kami tetap melakukan investigasi. Kami sedang mengumpulkan fakta-fakta di lapangan," ujar Ketua F-KB DPRD Jatim Fathorrasjid.

Sebagai upaya mencari obat kekecewaan dan menyeka keterpukulan karena kalah dalam pemilihan, F-KB telah memeriksa 20 dari 33 anggota fraksinya. Dari pemeriksaan yang rencananya tuntas Senin ini, DPW PKB Jatim telah menemukan indikasi adanya pembelotan di antara anggotanya sendiri.

Golkar yang semula diposisikan sebagai satu-satunya tertuduh dalam pembelotan itu sedikit lega. Beban berkurang, meskipun upaya untuk menemukan anggotanya yang nyata-nyata telah membelot terus dilakukan. Menurut Ketua F-PG DPRD Jatim Edy Wahyudi, upaya mencari pembelot itu dilakukan Senin ini.

Dalam pembicaraan kedua partai yang berikrar berkoalisi ini, tiga nama pembelot dari partai berlambang beringin tua sudah dicatat. Tiga pembelot itu adalah mereka yang menolak dibaiat untuk hanya memilih pasangan Kahfi-Ridwan pada malam sebelum pemilihan.

Di PKB sendiri, mereka yang ditengarai membelot dari keputusan partai adalah yang lebih dekat dengan kiai dan mengadakan sejumlah pertemuan pribadi dengan Imam Utomo atau tim suksesnya. Jumlah yang membelot dari partai yang identik dengan Gus Dur ini belum dapat diketahui dengan pasti.

"Yang jelas, saya keberatan jika pembelot dari Partai Golkar hanya tiga sementara dari kami tujuh sisanya," ujar Anam.Untuk mengungkap siapa pembelot dalam pemilihan yang dilakukan tertutup itu, baik PKB maupun Golkar mengaku memiliki mekanisme untuk membongkar.

Masing-masing anggota telah diberi bekal mengenai bagaimana memberi tanda silang. "Saat penghitungan surat suara, ada tanda-tanda tertentu yang tidak muncul dari anggota kami. Itu salah satu cara kami mencari siapa pembelotnya," ujar Edy.

MENCARI dan kemudian menemukan penyebab dari perasaan kecewa dan terpukul karena kekalahan tragis memang diyakini dapat sedikit menyeka air mata duka. Tapi yang jelas ini merupakan pelajaran yang menarik untuk kubu Kahfi dan jangan sampai penelusuran para pembelot justru melanggar asas demokrasi.

Yang jelas proses berpolitik ini tidak hanya berhenti sampai di sini saja, pandangan perlu diarahkan ke depan. Dengan tatapan mata ke depan, tepat jika saat ini konsentrasi dicurahkan untuk menagih janji pasangan Imam-Soenarjo dan mengawasi kinerja kepemimpinannya.

Dalam visi dan misi yang disampaikan ke anggota DPRD Jatim, pasangan Imam-Soenarjo berikrar untuk melanjutkan arah kebijakan dan sembilan program prioritas termasuk lima proyek strategis yang bersifat pengungkit: Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu), Jalan Lintas Selatan Jatim, Pasar Induk Agrobisnis, Jalan Tol Surabaya- Mojokerto, dan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan.

Janji konkret yang diucapkan Imam-Soenarjo adalah mewujudkan program wajib belajar sembilan tahun melalui minimalisasi biaya pendidikan bagi masyarakat miskin dan kurang mampu. Pasangan yang saat ini dibuai kemenangan pernah berjanji akan menghapuskan sumbangan pendukung pendidikan (SPP). Untuk ini, Imam-Soenarjo membutuhkan dana Rp 1,2 triliun yang didapat dari pusat dan seluruh kabupaten/kota.

Selain itu Imam-Soenarjo juga menebar janji untuk mengentaskan kemiskinan. Jika selama kepemimpinan mereka masyarakat Jatim yang kini berjumlah sekitar 36 juta jiwa bertambah miskin, janji manis mereka patut ditagih. Mereka juga berjanji untuk membuka lapangan kerja guna menyerap penganggur di Jatim yang berjumlah lebih dari satu juta penduduk usia produktif.

Masih banyak janji manis pasangan Imam-Soenarjo yang ketika didengarkan mampu membuai. Ke depan, dengan terlebih dahulu legowo menerima keterpilihan mereka, tepat kalau mulai sekarang janji manis mereka diinventarisir ulang.

Sebagai ungkapan pertangungjawaban kepada rakyat yang telah menyerahkan hak pilihnya kepada anggota DPRD Jatim, menagih janji manis pasangan Imam-Soenarjo adalah langkah ke depan yang harus segera disampaikan. Mudah-mudahan, janji manis pasangan Imam-Soenarjo masih tercatat oleh anggota DPRD Jatim untuk kemudian dapat ditagih realisasinya.

inu

gundul

SIAPA yang bergembira ketika Imam Utomo terpilih kembali sebagai Gubernur Jawa Timur pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur periode? Tentu mereka yang ditugasi untuk menggalang kekuatan selama ini, bahkan mereka mengaku sudah dua tahun lebih bekerja keras supaya Imam kembali duduk sebagai gubernur.

Mereka itu di antaranya adalah Achmad Rubaie dari Fraksi Gabungan yang merasa sukses membawa Imam kembali mempertahankan kursinya. Ketika usai rapat pemilihan ditutup sekitar pukul 12.00, Achmad Rubaie langsung duduk di hadapan sejumlah tim sukses pasangan Imam-Soenarjo untuk menggunduli rambut kepalanya.

"Niat untuk menggunduli rambut kepala saya sudah saya ikrarkan sejak satu minggu sebelum pemilihan. Penggundulan kepala ini adalah ungkapan kegembiraan dan syukur saya telah mampu mengantar pemimpin Jatim lima tahun mendatang," ujar Rubaie yang berasal dari PAN.

Begitu duduk secara bergiliran, anggota tim sukses Imam Utomo seperti Haruna Soemitro, Farid Alfauzi, Buchori (F-PDIP), Masjkur Hasjim (PPP) menggunting rambut hitam Rubaie.

Sementara di belakang mereka telah berdiri menunggu M Ayin (69), tukang cukur puluhan tahun di Jalan Sulawesi, Surabaya yang siap menjalankan tugas memangkas rambut Rubaie. Pengagum Amien Rais ini menanggalkan mahkota Rubaie dengan gunting dan pisau cukur hingga licin.

Setelah kepala Rubaie mengkilap, dengan senyum puas, pembelot keputusan DPW-PAN ini mengungkapkan, apa yang dilakukannya sudah diperhitungkan matang. "Istri dan anak saya tidak keberatan. Ini merupakan simbolisasi saya melepaskan keletihan dan kelelahan," ujarnya memberi makna.

Terkait dengan perbedaan sikapnya dengan keputusan PAN yang mendukung Kahfi-Ridwan, pengagum Amien Rais ini mengaku telah siap dan telah matang memperhitungkan seluruh resiko, termasuk dipecat. "Sikap politik saya jangan dibaca hitam-putih dan linier. Politik harus dibaca secara lain," paparnya mantap sambil menyeka keringat di batok kepalanya. \

MENYUSUL Rubaie yang telah kinclong kepalanya, Haruna lantas duduk di kursi cukur untuk menyerahkan mahkotanya yang berjambul putih untuk ditanggalkan. Tanpa ritual macam-macam, Ayin kemudian memangkas habis rambut kepala Haruna.

Tidak lebih dari 15 menit, rambut kepala Manajer Tim Persebaya ini tanggal. Senyum puas lalu menghiasi wajahnya yang dalam beberapa hari sebelum pemilihan terlihat berbeban berat.

Karena mereka berdua tidak menemukan Farid yang merupakan "trio kwek-kwek" di DPRD Jatim lantaran komentar-komentar mereka, Rubaie dan Haruna lantas menyeret Herly Sulistyo untuk digunduli. Anggota F-PDIP dari Ngawi ini lantas menurut saja karena tampaknya sedang kebingungan mencari ungkapan kegembiraan atas kemenangan besar partainya ini.

Penggundulan rambut kepala ini biasanya memang merupakan ungkapan penistaan karena sikap dan perilaku yang rendah. Karena itu, ketika misalnya seorang tersangka digerebek aparat keamanan, langkah pertama yang dilakukan adalah menggunduli rambut kepala tersangka.

Namun ketika dipadankan dengan pemaknaan umum, Rubaie tidak marah dan bahkan merasa bangga dengan kinclong-nya kepalanya sambil menjelaskan, "Bukan itu makna atau simbol yang terkandung dari penggundulan rambut kepala kami."

"Kami hanya ingin menandai momen bersejarah dalam hidup kami karena telah mengantar pasangan Imam-Soenarjo menjadi Pemimpin Jatim. Kami hanya ingin melepaskan kelelahan dan keletihan setelah sekitar dua tahun bekerja untuk kemenangan ini," papar Rubaie.

Apa pun makna dari penanggalan tiga mahkota wakil rakyat yang mengaku telah bekerja keras untuk Imam-Soenarjo, Herly yang dua bulan terakhir tidak bisa bertemu keluarganya di Ngawi karena dikarantina kebingungan. Masih dalam cengkeraman alat cukur, Herly berujar, "Seumur-umur, baru sekali saya gundul seperti ini. Saya khawatir, ketika pulang ke rumah, istri dan anak saya pangling."

UNGKAPAN perasaan gembira itu sebenarnya sudah tampak meluap pada saat awal ketika pasangan Imam Utomo dan Soenarjo memimpin perolehan suara. Tepuk tangan riuh dan teriakan tanda kepuasan mengiringi pencatatan perolehan suara bagi pasangan yang tidak berasal dari partai politik ini.

Sementara melaju dengan belasan suara dibanding pasangan lawan mereka yaitu Abdul Kahfi Bakri dan Ridwan Hisjam yang diajukan koalisi strategis F-KB dan F-PG yang baru mengumpulkan dua suara.

Tepuk tangan makin keras disertai teriakan mengiringi perolehan suara berikutnya. Kegembiraan dan luapan emosi yang campur aduk memuncak saat pasangan Imam-Soenarjo meraih 51 suara dari 100 suara anggota DPRD Jatim.

Jika semula hanya pendukung yang bersorak kegirangan, ketika mendapati 51 suara, Imam yang sebelumnya sempat ke toilet lantas mengambil sikap untuk berdoa dan bersyukur. Bersamaan dengan doa dan syukurnya itu, para pendukung dan anggota koalisi F-PDIP dan F-Gab lantas melonjak kegirangan.

Untuk beberapa anggota tim sukses Imam-Soenarjo yang merasa telah bekerja keras mengumpulkan dukungan sampai 63 suara, lonjakan kegirangan dirasa tidak cukup. Masih dalam suasana rapat yang dihadiri 100 anggota DPRD Jatim itu, Ali Mudji (F-PDIP) Haruna Soemitro (F-Gab) berangkulan. Tak kuasa menahan kegirangan, mereka menangis haru.

Sebaliknya kubu Kahfi-Ridwan yang hanya mampu mengumpulkan 34 suara terduduk diam. Pahit memang, tetapi mereka sportif, Kahfi dan Ridwan yang duduk bersebelahan dengan Imam dan Soenarjo berdiri menghampiri sang pemenang itu. Mereka bersalaman dan kemudian berangkulan. "Itulah kenyataannya. Sesuatu yang sangat tidak saya duga sebelumnya," ujar Kahfi dengan suara tertahan usai mendapati kekalahannya.

Banyak pelajaran yang diterima dari kubu Kahfi-Ridwan mereka hanya bisa bertanya-tanya, mengapa koalisi strategis yang direstui Ketua Dewan Syuro DPP PKB KH Abdurrahman Wahid dan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tanjung itu bisa jebol dengan membelotnya 10 anggota F-KB dan F-PG? Mereka merasa sudah digunduli Imam Utomo dan untuk menjawab semua pertanyaan itu maka tiam F-KB dan F-PG sedang melakukan investigasi.

inu

hitung suara

WAKTU penentuan hanya tinggal menunggu saat saja, namun justru dalam waktu yang sempit ini segala kemungkinan bisa terjadi. Bahkan tidak jarang terjadi keputusan-keputusan yang kontroversial, sehingga perolehan suara dari kedua kubu yang sudah dihitung secara matematis bisa terjungkir balik.

Layaknya sebuah puncak akumulasi usaha keras dan tidak kenal lelah, hari Kamis ini merupakan usaha final kedua pasangan calon gubernur-wakil, bagi 100 anggota DPRD Jatim, dan bagi sejumlah tim sukses baik formal dan informal untuk menghitung hasil perburuan suara. Drama menang dan kalah akan segera mewarnai rapat paripurna di Gedung DPRD Jatim, Surabaya.

Secara intensif perburuan suara di antara 100 anggota DPRD Jatim sudah dimulai sejak 28 Juni 2003 lalu. Pada saat itu secara definitif telah ditetapkan kedua bakal calon menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim 2003-2008.

Sejak itu banyak cara ditempuh untuk memburu suara oleh masing-masing kubu pasangan calon. Upaya itu menjadi sangat melelahkan lantaran hampir berimbangnya kekuatan pendukung masing-masing pasangan calon secara formal.

Secara matematis pasangan calon Imam-Soenarjo dibela oleh 46 anggota DPRD Jatim hasil koalisi taktis antara Fraksi Partai Indonesia Perjuangan (F-PDIP) dan Fraksi Gabungan (F-Gab). Sementara pasangan calon Kahfi-Ridwan dibela oleh 44 anggota DPRD Jatim hasil koalisi strategis antara Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) dan Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG).

Dengan bantuan tim suksesnya masing-masing, mereka saling klaim perolehan dukungan yang lebih besar. Hasilnya digembar-gemborkan yang secara psikologis untuk memukul dan mengukur kekuatan lawan.

Dengan jaminan solidnya koalisi F-PDIP dan F-Gab, kubu Imam-Soenarjo mengklaim yakin memenangkan pemilihan gubernur. Apa yang ditempuh hari ini adalah memformalkan saja hasil pemilihan itu. Wakil Ketua F-Gab Farid Alfauzi kerap mengemukakan klaim-klaim yang menurutnya didasarkan kalkulasi matang dan terukur.

Di pihak lain yang tampak sejak awal hingga saat ini sangat percaya diri adalah Ketua F-PG Edy Wahyudi yang juga mengklaim bakal meraih kemenangan. öBoleh saja kami dianggap underdog, tetapi soliditas kami lebih teruji dibandingkan F-Gab yang merupakan gabungan delapan partai," tegasnya.

Menjelang hari H pemilihan, saling klaim melimpahnya dukungan untuk pasangan calon masing-masing kubu juga dikemukakan. Namun, di balik klaim-klaim melimpahnya dukungan itu masing-masing koalisi pendukung pasangan calon khawatir dan juga takut, hal ini diwujudkan dengan mengkarantina anggota fraksi.

"KAMI ingin tetap menjaga soliditas dan komitmen masing-masing anggota untuk mendukung pasangan kami. Apabila tidak dikarantina, godaan untuk membelot sangat besar. Tim sukses masing-masing tidak cukup hanya mengejar anggota DPRD Jatim. Mereka juga mengejar istri dan keluarga anggota DPRD Jatim," ujar anggota F-PDIP Ismail Saleh Mukadar.

Menjaga agar tidak diburu dan dikejar-kejar tim sukses, 46 anggota DPRD Jatim dari F-PDIP dan F-Gab dikarantina di Hotel JW Marriott, Surabaya. Keberadaan basis pendukung Imam-Soenarjo ini sangat dirahasiakan. Bahkan resepsionis hotel berbintang lima ini tidak tahu menahu keberadaan para anggota DPRD.

Termasuk puluhan satuan tugas partai berlambang banteng gemuk dalam lingkaran yang berjaga di hotel itu juga mengaku tidak tahu.

Meskipun begitu rahasia, menurut sejumlah anggota satgas dari DPC PDI-P Surabaya, staf pemerintah provinsi, dan staf DPRD Jatim yang mondar-mandir di lobi hotel itu, karantina terhadap 46 anggota F-PDIP dan F-Gab dilakukan di sejumlah kamar di lantai 12. "Ada ruangan besar untuk melakukan koordinasi,ö ujar salah satu dari mereka. Meskipun mengaku sudah ada janji akan bertemu, untuk menemui 46 anggota DPRD Jatim, staf pemerintah provinsi dan staf DPRD Jatim kesulitan untuk menemui mereka. Karena kesal, mereka memutuskan untuk pergi meninggalkan Hotel JW Marriott.

"Saya diminta mengantarkan undangan untuk acara pemilihan. Kalau tidak jelas begini, lebih baik saya pergi. Mereka yang butuh akan menghubungi saya," ujar salah satu dari mereka yang mengaku membawa undangan untuk tiga anggota DPRD Jatim yaitu Achmad Rubaie, Farid Alfauzi, dan Haruna Soemitro.

Kondisi yang kurang lebih serupa ditempuh koalisi F-KB dan F-KB yang memiliki 44 suara. Koalisi strategis yang disokong masing-KH Abdurrahman Wahid dan Akbar Tandjung ini melakukan karantina di Hotel Sommerset, Surabaya. Meskipun demikian, di hotel berbintang empat ini, penjagaan dan pengamanan tidak seketat yang dilakukan di Hotel JW Marriott.

"Bukan karantina, yang kami lakukan di Sommerset hanya untuk memudahkan koordinasi keberangaktan menuju Gedung DPRD Jatim,ö ujar Edy Wahyudi. Bentuk kendornya penjagaan dan pengamanan koalisi pendukung Kahfi-Ridwan ini adalah masih diperkenankannya anggota mengaktifkan telepon selularnya. Sementara untuk pendukung koalisi Imam-Soenarjo, telepon selular haram diaktifkan.

Sebuah upaya melindungi suara memang cukup merepotkan, politik uang nampaknya merupakan hal yang paling ditakutkan bakal bisa mempengaruhi anggota DPRD untuk membuat keputusan berbeda. Sepertinya memang tidak ada loyalitas dan kejujuran yang 100 persen untuk fraksinya, apalagi dalam situasi ekonomi sulit, kebutuhan ekonomi semakin tinggi, membuat orang menjadi semakin kreatif untuk mencari peluang.

Bisa jadi kurungan emas yang berhari-hari dilakukan tetap saja tidak ada artinya, jika materi masih menjadi kiblat utama para anggota DPRD.

inu

karantina

DALAM pemilihan gubernur Jatim dan wakilnya belakangan ini sering disebut-sebut singkatan tiga K, karantina, kontemplasi, dan koordinasi. Tiga K ini sering disebut-sebut terkait dengan upaya masing-masing kubu pendukung pasangan calon meraih kemenangan dalam pemilihan 17 Juli 2003.

DENGAN tiga K, baik dari PDI-P maupun PKB hampir tidak memberi kesempatan bagi anggota kubu yang berseberangan itu untuk bertemu. Karena itu ketika pelaksanaan gladi bersih pemilihan di Gedung DPRD Jatim, Selasa pagi, kemarin memberikan peluang pertemuan dua kubu sebagai ajang kangen-kangenan.

Kubu yang saling berseberangan itu adalah pendukung pasangan Imam Utomo-Soenarjo yang dibela habis-habisan oleh koalisi F-PDIP dan F-Gab dengan pasangan Abdul Kahfi-Ridwan Hisjam yang diunggulkan koalisi F-KB dan F-PG.
Dua kubu yang saling mengisolasi diri ini seperti bertemu teman lama saat bersama-sama datang ke Gedung DPRD Jatim untuk menghadiri gladi bersih. Ketua F-KB Fathorrasjid dengan senyum lebar menghampiri dan menyalami anggota F-PDIP yang seperti lama sekali tidak dijumpainya. Kelakar di antara mereka lantas mengiringi langkah mereka masuk ruang rapat paripurna yang akan menjadi saksi pemilihan hari Kamis.

Dalam kesempatan melepas kerinduan itu juga terlontar saling sindir mengomentari kebijakan fraksi masing-masing, termasuk upaya tim sukses memenangkan pasangan calonnya. Ketegangan pikiran menjelang hari H pemilihan lantaran ditunggangi beban berat dari pasangan calon nampak sejenak sirna.

Memang hanya sejenak, karena setelah itu masing-masing kubu pendukung pasangan calon kembali dengan ritual mereka masing-masing untuk mempertahankan suara mereka. Anggota F-PDIP DPRD Jatim misalnya, harus segera naik bus untuk kembali ke Hotel JW Marriot, di Jalan Embong Malang, Surabaya.

"BUKAN karantina, tapi itu upaya kami berkumpul di suatu tempat. Kami berkumpul di suatu tempat yang juga berpindah-pindah untuk koordinasi menghadapi gawe besar pemilihan gubernur," ujar Sekretaris F-PDIP DPRD Jatim Ali Mudji mencoba meluruskan pandangan tentang apa yang dilakukan fraksinya.

"Tidak ada kekhawatiran dan ketakutan dari koalisi kami untuk menghadapi pemilihan. Pertimbangan kami yang paling utama adalah untuk memudahkan koordinasi dan memastikan kehadiran dalam rapat paripurna pemilihan. Kami berjaga-jaga jangan sampai ada anggota kami yang diganggu atau distop di jalan saat ke Gedung DPRD Jatim," ujar Ali Mudji, salah satu motor penggerak F-PDIP.

Menjaga koordinasi dan menghindarkan anggota koalisi F-PDIP dan F-Gab jatuh ke dalam rayuan kubu lawan ini dibenarkan anggota F-PDIP Ismail Saleh Mukadar, salah satu benteng pertahanan pasangan Imam-Soenarjo. "Kami semua akan terus bersama-sama sampai hari H pemilihan untuk menjaga soliditas," ujarnya.

Karantina yang kemudian disebut koordinasi ini dilakukan sejak 31 anggota F-PDIP bertemu dan bersalaman dengan Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri di Hotel Shangri-La, Surabaya, Senin lalu. Kemantapan hasil pertemuan dan salaman dengan Megawati ini dijaga dan dipelihara terus hingga hari pemilihan.

Menjaga kemantapan ini, saat datang ke Gedung DPRD Jatim untuk gladi bersih, 31 anggota F-PDIP diantar bus pariwisata. Seperti saat berangkat, ketika pulang pun, anggota fraksi ini berombongan pulang dengan bus. Untuk yang tertinggal karena mengurusi masalah lain, mereka tetap bersama-sama pulang dengan mobil salah satu anggota atau dengan taksi. Ini pemadangan dan menakjubkan yang tidak pernah terjadi sebelumnya di antara anggota DPRD Jatim.

"Kami ingin menunjukkan kepada masyarakat Jatim dan konstituen kami bahwa kami rukun dan mampu bersatu," papar Ali Mudji yang pulang terakhir karena harus merancang jawaban gugatan judicial review Paguyuban Peduli Rakyat (paper) Pasuruan ke Mahkamah Agung.

F-KB yang berkoalisi dengan F-PG juga lebih memilih kata kontemplasi untuk menghindari kata karantina menjelang pemilihan. Kontemplasi berarti merenung dan berpikir dengan sepenuh perhatian.

"Selain untuk soliditas dukungan suara kepada pasangan yang kami dukung, kontemplasi kami lakukan sekaligus untuk merenung apa saja yang telah kami buat untuk rakyat selama kami menjadi wakil mereka," ungkap Fathorrasjid.

Kontemplasi fraksi yang mengklaim menjadi representasi Nahdlatul Ulama ini dilakukan di apartemen. Mereka tinggal di Apartemen Paragon di Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya dan di apartemen ini digagas juga strategi pasangan Kahfi-Ridwan meraup dukungan suara.

Tidak seperti F-PDIP dan F-KB yang upaya koordinasi atau kontemplasinya mudah diketahui, untuk fraksi pendamping kekuatan F-PDIP maupun F-KB, upaya mereka menyolidkan dukungan suara anggotanya kepada pasangan calon sulit ditebak.

F-Gab menurut Ali Mudji melakukan koordinasi terpisah dengan F-PDIP yang saat ini berkonsentrasi di Hotel JW Marriot. Namun demikian, untuk koordinasi, pertemuan dua fraksi yang unggul secara matematis ini kerap juga dilakukan.

F-PG yang berjumlah 11 anggota dan merupakan pemain lama di era Orde Baru terang-terangan mengaku tidak melakukan karantina, kontemplasi, atau koordinasi. "Kami hanya menetapkan akan berkumpul pada hari H untuk berangkat bersama-sama ke Gedung DPRD Jatim," ujar Ketua F-PG DPRD Jatim Edy Wahyudi.

Dengan demikian sekalipun mereka sudah berikrar untuk berkoalisi, masih ada terbuka peluang lain yang sulit ditebak. Tidak hanya F-PG yang tidak mengisolasikan anggota fraksinya, demikian pula dengan F-Gab masih menyimpan banyak misteri, karena di dalamnya ada anggota fraksi yang berasal dari Partai Amanat Nasional. Selain belum menghitung kekuatan Fraksi TNI/Polri yang belum jelas ke mana arah komando terhadap mereka?

inu

pkb-golkar

SIAPA menyangka kalau kecaman terhadap Orde Baru sepertinya hanya angin lalu saja. Ketika kesamaan pandang bertemu, maka persoalan permusuhan bisa berubah 180 derajat, kesan adanya musuh bebuyutan beberapa tahun lalu itu sepertinya juga tidak pernah ada.

SEPERTI yang terjadi pada Partai Kebangkitan Bangsa yang lahir pada masa reformasi sekarang berangkulan mesra dengan Partai Golongan Karya. Apakah koalisi ini hanya demi memuluskan cita-cita pasangan gubernur dan wakil gubernur dalam pemilihan 17 Juli mendatang, tidak pernah ada yang bisa membaca.

Bagaimanapun masih belum hilang dari ingatan, bagaimana Ketua Dewan Syuro DPP PKB KH Abdurrahman Wahid ketika masih menjabat Presiden RI ke-4 dilengserkan DPR-RI pimpinan Akbar Tandjung yang juga Ketua Umum Partai Golkar tahun 2000. Kekecewaan ini "berbuntut" pada pembakaran Kantor DPD Partai Golkar di Jalan A Yani, Surabaya, yang katanya dilakukan oleh massa PKB.

"Politik itu pertama-tama mengedepankan kepentingan. Karena itu kita juga selalu berubah sesuai dengan kepentingan yang akan kita capai," ujar Ketua F-PG DPRD Jatim Edy Wahyudi saat diminta komentarnya melalui telepon perihal bersatunya PKB dan Golkar pekan lalu.

Edy yang menjadi salah satu motor berpasangannya Abdul Kahfi dari PKB dengan Ridwan Hisjam dari Golkar menyangkal kalau apa yang dilakukan dua partai berbasis nasionalis dan religius itu adalah kepentingan sesaat. Pendapat senada dikemukakan juga Ketua F-KB DPRD Jatim yang juga Wakil Ketua DPW PKB Jatim Fathorrasjid. "Ini koalisi kelembagaan bersifat strategis karena kesamaan visi dan platform untuk membangun Jatim dan membangun bangsa lewat kesempatan terakhir yang dimiliki yaitu melalui Pemilu 2004," paparnya.

Pertanyaan serupa juga muncul di benak sejumlah warga Jatim ketika mendapati koalisi antara F-PDIP dengan F-Gab yang berasal dari delapan partai. Sulit memahami bagaimana PDI-P yang berbasis nasionalis berkoalisi dengan delapan partai yan memiliki basis beragam seperti agama dan pluralisme.

Tetapi itulah yang terjadi di Jatim. Kepentingan entah yang disebut sebagai kepentingan strategis, taktis, atau apa pun namanya, yang jelas kepentinganlah yang mengemuka. Kepentingan yang arahnya pada kekuasaan yang erat terkait dengan perolehan kertas suara pada Pemilu 2004.

YANG menarik dari perkembangan berikutnya adalah adanya rencana bergabungnya Partai Amanat Nasional dalam koalisi ini. Dalam tataran elite partai tingkat pusat, koalisi tiga partai yang ketika era reformasi saling menghujat ini sudah digagas lewat sejumlah pertemuan.

Di tingkat provinsi koalisi kelembagaan tiga partai ini juga sudah digagas dalam rangkaian upaya memenangkan pasangan Kahfi-Ridwan. Nampaknya baik Amien Rais, Abdurrahman Wahid maupun Akbar Tandjung sudah saling berkomunikasi, sekalipun tanpa harus melakukan pertemuan fisik bersama.

"Pertemuan tiga petinggi partai ini semula memang direncanakan dihadiri seluruh anggota F-PG dan F-KB DPRD Jatim yang jumlahnya 44 orang. Sudah ada konfirmasi kehadiran ketiga petinggi partai masing-masing," ujar Edy sebelum rencana pertemuan Senin malam dilaksanakan.

Klaim Edy diperkuat Fathorrasjid yang mengatakan sudah muncul pembicaraan di tingkat petinggi partai masing-masing. "Di antara para petinggi partai telah ada kesepakatan soal Jatim ke depan yang membutuhkan perubahan. Perubahan signifikan dapat terjadi jika ada perubahan kepemimpinan. Kesamaan visi dan platform di Jatim inilah yang menyatukan kami," ujarnya.

Fathorrasjid tidak menampik masih ada luka reformasi yang didera oleh masing-masing dari ketiga partai ini. Di tingkat massa PKB misalnya, luka lama kepada sosok Amien Rais yang menjadi motor pelengseran Gus Dur sulit dilupakan. Di tingkat massa Golkar juga masih menganga ingatan akan hujatan PKB dan PAN saat Pemilu 1999. Tetapi, semua luka yang menganga itu dilihat hanya sebagai seonggok masa lalu.

"Upaya yang kami bangun ini adalah sebuah langkah untuk melakukan rekonsiliasi. Kepentingan kita tidak hanya Jatim yang sesat, tetapi juga nasional yang lebih luas," ujar Fathorrasjid.

YANG menarik dari semua rencana penggalangan kekuatan itu sebenarnya adalah sosok Kahfi sendiri yang memiliki sisi-sisi yang aneh dan nampaknya ini yang diharapkan untuk bisa mengganjal perjalanan Imam Utomo. Gus Dur nampaknya sudah sangat kecewa dengan calon yang juga Gubernur Jatim itu menyusul beberapa kejadian sebelumnya, sehingga ia membutuhkan Kahfi untuk menghambatnya.

Bahkan menghadapi Imam sepertinya Gus Dur tidak mau main-main dan bahkan tidak ada kader PKB yang bisa ia percaya untuk menghadapi Imam. Sebagai calon gubernur Kahfi memang memiliki latar belakang yang cukup lengkap. Selain berlatar belakang militer, sama seperti Imam, ia juga mantan Wakil Gubernur DKI dan Wali Kota Jakarta Pusat yang diharapkan memiliki pengaruh di pemerintahan pusat.

Selain itu Kahfi juga putra asli Banyuwangi yang masih fasih bertutur Osing dan selama ini juga banyak mempromosikan kebudayaan Banyuwangi. Yang aneh lagi, Kahfi juga diisyukan memiliki "warna" Muhammadiyah dan hal terakhir ini bisa menguntungkan untuk mendekati kelompok PAN.

Sepertinya Kahfi bisa menjadi sarana pemersatu bagi tiga kelompok besar di Jatim dan bahkan ini bisa menjadi embrio bagi koalisi secara nasional. Tentu hal ini cukup menggentarkan upaya PDI-P yang berada di belakang Imam Utomo, selain juga bisa menjadi ancaman secara nasional.

Penggalangan kekuatan ini tidak urung membuat Wakil Ketua F-Gab DPRD Jatim Tamat Ansory Ismail mengeluh. Semua energi anggota DPRD Jatim seolah-olah dicurahkan hanya untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jatim saja. "Tidak ada komitmen anggota dewan kepada kepentingan rakyat banyak yang harus didengar aspirasinya," ujarnya. Sepertinya Pilgub Jatim menjadi sarana pemanasan bagi Pemilu 2004 mendatang.

inu

kiai

CANDA dan tawa khas kiai Nahdlatul Ulama mewarnai pertemuan Silaturrahim Pengurus Cabang NU se-Jawa Timur di Asrama Haji Sukolilo di Surabaya, Rabu lalu.

Kesan kecewa karena dibujuki (dibohongiùRed) oleh beberapa elite Partai Kebangkitan Bangsa seolah sirna. Akan tetapi, melalui canda tawa itu kritikan, sindiran, dan ungkapan kekecewaan para kiai disampaikan kepada elite PKB yang secara historis dan ideologis sejalan dengan NU, setidaknya ketika Pemilu 1999. Bagi mereka yang peka dan tajam perasaannya, canda dan tawa puluhan kiai itu lebih tajam dari kritik pedas yang disampaikan secara blak-blakan sekalipun.

Sejumlah kiai yang hadir dan diberi kesempatan bicara tidak pernah lupa menyampaikan lelucon yang pesan pokoknya adalah ungkapan rasa kecewa mereka kepada PKB yang dirasakan telah ömengkhianatiö aspirasi mereka.
Hadir dalam pertemuan itu antara lain Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, anggota Dewan Syuro DPP PKB KH Cholil Bisri, Ketua Dewan Syuro DPW PKB Jatim KH Anwar Iskandar, Ketua Rois Syuriah PWNU Jatim KH Masduqi Mahfudz, dan Ketua PWNU Jatim Ali Maschan Moesa.

Yang menjadi sumber bara kekecewaan para kiai yang hadir dalam pertemuan tertutup itu adalah sejumlah proses dan mekanisme partai yang dirasakan telah mengabaikan aspirasi warga nahdliyin. Dalam konteks Jatim, kekecewaan para kiai itu menggumpal terkait dengan munculnya rekomendasi DPP PKB soal calon Gubernur Jatim.

Mekanisme awal yang melibatkan para kiai atas ajakan PKB dalam Tim Sepuluh untuk menjaring calon dan telah menyebut nama untuk direkomendasikan ke DPP PKB ternyata sia-sia. öYang saya ketahui, tidak pernah ada rapat untuk mengambil keputusan rekomendasi DPP PKB yang dipakai bekal fraksi mengajukan Abdul Kahfi. Kami para kiai merasa tidak dipakai. Oleh karena itu, kami tidak bertangung jawab atas keputusan DPP PKB itu,ö ujar Ketua Dewan Syuro DPW PKB KH Anwar Iskandar.

Dalam mekanisme penjaringan dari bawah yang melibatkan para kiai, muncul dua nama utama yang diunggulkan yaitu Imam Utomo dan Saifullah Yusuf. Namun, dalam rekomendasi DPP PKB, dua nama itu ditolak mentah-mentah.

Tanpa melalui mekanisme yang ada, DPP PKB yang dikomandani Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memutuskan untuk merekomendasikan Abdul Kahfi. Para kiai NU merasa telah ditelikung oleh sejumlah politisi PKB terkait keluarnya rekomendasi ini.

MERASA kerap dikecewakan dan tidak diluluskan aspirasinya oleh PKB, dalam pertemuan yang dirancang tertutup tersebut mengemuka wacana dari Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi untuk mengevaluasi hubungan NU dengan PKB. öEvaluasi hubungan ini kami maksudkan untuk menyelamatkan umat. Soal pemimpinnya, mereka sudah mencari posisi masing-masing untuk menyelamatkan diri,ö ujar Hasyim.

Wacana yang sebetulnya sudah cukup lama mengemuka ini disambut antusias oleh Ali Maschan Moesa yang juga kecewa dengan PKB. Kami berniat merumuskan kembali hubungan NU dengan PKB. Secara umum, NU akan mengambil jarak kepada seluruh partai politik, termasuk PKB. Sikap kami adalah risiko yang harus ditanggung PKB karena telah meninggalkan aspirasi publiknya sendiri,ö ungkapnya.

Evalusi hubungan NU dan PKB yang secara historis dan ideologis sulit dipisahkan ini akan dilakukan, 7 Juli 2003 mendatang di Jawa Tengah. Hasilnya akan segera kami sampaikan kepada Anda,ö ujar Hasyim yang tidak dapat memendam kekecewaannya.

Menanggapi rencana evaluasi ini, Saifullah Yusuf dengan sangat terbuka mengatakan, öKami bersyukur mendengar rencana evaluasi itu, meskipun terasa pahit bagi PKB. Dengan ini, PKB harusnya sadar bahwa dia bukan apa-apa tanpa kiai,ö ujarnya usai pertemuan itu.

Imbas dari kedekatan Saifullah dengan para kiai yang sering dilihat beberapa kalangan berseberangan dengan Gus Dur ini, Rabu malam lalu, Saifullah dipecat Gus Dur dari jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal DPP PKB. öPemecatan terkait dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) dan pelanggaran partai,ö ujar Ketua F-KB DPRD Jatim Fahorrasjid, Kamis.

Terkait dengan kekecewaan para kiai atas rekomendasi DPP PKB yang mengemuka dalam pertemuan itu dan terus berkembang sampai saat ini, Fathorrasjid yang disebut-sebut Anwar Iskandar telah membujuki para kiai menganggap wacana itu tidak perlu dikembangkan. Soal keputusan DPP PKB sudah selesai dalam pertemuan di Lirboyo, 2 Juni 2003 lalu di mana para kiai akan mendukung siapa pun calon yang akan ditetapkan DPP PKB, termasuk Kahfi,ö ujarnya.

Apa pun pembelaan dari partai berlambang jagat terikat ini para kiai yang sebetulnya tidak mau terjebak dalam politik praktis sudah terlanjur kecewa. Berada pada posisi sebagai orang yang kecewa dengan keputusan DPP PKB, Saifullah dengan raut muka serius meminta, öSejumlah elit DPP PKB agar sadar, introspeski, dan tahu diri. PKB bukan apa-apa tanpa kiai.

inu

pkb

BERUBAH. Semua rencana berubah. Itulah yang membuat kesal beberapa pentolan fraksi di DPRD Jawa Timur ketika memasuki ruang rapat paripurna di Gedung DPRD Jatim yang sejuk itu, kemarin siang. Kekesalan itu disebabkan karena skenario happy ending dalam rapat paripurna untuk menerima atau menolak laporan pertanggungjawaban akhir masa jabatan Gubernur Imam Utomo berubah.

SEMULA, seperti direncanakandalam rapat pimpinan sebelumnya, Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) yang diprediksi akan menolak LPJ Imam Utomo ditempatkan pada urutan pertama yang tampil membacakan pemandangan akhirnya. Berturut-turut kemudian adalah fraksi yang agak lunak (Fraksi Partai Golongan Karya/F-PG), lunak (Fraksi Gabungan/F-Gab), sangat lunak (F-TNI/Polri), dan paling lunak (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/F-PDIP).

Satu jam sebelum sidang, skenario happy ending berubah. Ketua DPRD Jatim yang kemungkinan mendapat desakan dari fraksinya, F-KB, mengambil keputusan untuk mengocok ulang urut-urutan pembacaan pemandangan akhir kelima fraksi. Permohonan Sekretaris F-PDIP Ali Mudji agar fraksinya menjadi penutup dalam pemandangan akhir itu ditolak.

Di tengah upaya skenario happy ending ini, Achmad Rubaie dari F-Gab yang satu perjuangan dengan F-PDIP untuk kembali mencalonkan Imam Utomo mendesak Bisjrie agar fraksinya diberi kesempatan paling akhir. Dengan meminta bantuan Wakil Ketua DPRD Jatim Kolonel (CHB) Masduki, Rubaie menyampaikan permohonan itu dengan alasan fraksinya belum selesai menyusun pemandangan akhir yang ternyata hanya berisi lima halaman dua spasi.

Dalam permohonan yang dititipkan kepada Masduki itu, Rubaie mengatakan, fraksinya akan melakukan boikot jika permohonan F-Gab tidak diluluskan. Bisjrie dalam dilema. Diduga dalam tekanan F-KB, Bisjrie mengambil keputusan sendiri. Diputuskan berturut-turut fraksi yang membacakan pemandangan akhir adalah F-TNI/Polri, F-PG, F-PDIP, F-Gab, dan F-KB. Skenario happy ending berubah menjadi skenario sad ending: penerimaan LPJ Imam Utomo dari empat fraksi ditutup dengan sikap abstain F-KB.

Dan, skenario yang berada di luar perkiraan F-PDIP dan F-Gab ini dipertegas dengan keputusan dua anggota F-KB yaitu Luthfillah Masduqi dan Achmad Alya Sahal untuk memilih walk out dari ruang rapat paripurna yang sejuk itu.

"Dengan mengindahkan demokrasiyang ada diruangan ini. Saya memilih walk out sebagai ungkapan penolkan saya secara pribadi atas LPJ akhir masa jabatan Imam Utomo. Lima tahun memimpin Jatim, Imam Utomo telah menyisakan kesengsaraan,' ujar Luthfillah saat menyampaikan interupsi.

Interupsi itu diselakan sesaat sebelum Bisjire menyimpulkan pemandangan akhir kelima fraksi. Dalam pemandangan akhir itu, empat fraksi pertama menerima, sementara F-KB menilai LPJ akhir masa jabatan Imam Utomo tidak laik diterima dan memilih abstain. Setelah mempersilakan Luthfillah dan Alya Sahal walk out, Bisjrie lalu mempersilahkan Sekretaris DPRD Jatim Akmal Boedianto membacakan keputusan DPRD tentang penetapan LPJ Imam Utomo.

Di luar ruang rapat paripurna, Luthfillah yang terkenal vokal mengkritik kebijakan eksekutif yang tidak memihak rakyat mengatakan bahwa sikapnya untuk walk out merupakan pertanggungjawaban moral kepada mereka yang menjadi korban kebijakan. "Penggusuran warga di bantaran sungai misalnya, tidak ada kebijakan bersifat komprehensif untuk warga yang menjadi korban. Semua sporadis dan baru digarap ketika ada yang berkoar-koar mengkritik," ujarnya.

Sikap Luthfillah sejalan dengan Alya Sahal yang bersama-sama secara khusus mendalami LPJ akhir masa jabatan Imam Utomo dan menyiapkan penilaiannya untuk dibacakan F-KB. "Kalau teman-teman DPRD Jatim terlibat langsung dan sering turun ke lapangan, sikap mereka pasti tidak jauh dari sikap kami. Selama ini, anggota DPRD Jatim hanya menunggu laporan di atas meja tanpa pernah terjun ke bawah tempat rakyat yang diwakilinya berada," gugat Luthfillah.

Keputusan walk out dua anggota F-KB ini terasa janggal jika melihat bahwa fraksi ini merupakan fraksi terbesar dengan 33 anggota yang terang-terangan secara kelembagaan memposisikan Imam Utomo sebagai lawan dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim mendatang.

Namun, kesan janggal ini lantas buru-buru diluruskan Ketua F-KB Fathorrasjid. "Abstain adalah kesantunan politik kami untuk menyatakan penolakan atas Imam Utomo. Kami melihat secara terpisah antara LPJ dan pemilihan gubernur. Dan abstain adalah sikap politik fraksi kami," ujarnya tertawa puas.

inu

samalanga

DARATKAN pasukan pendarat. Ada gerombolan gerakan separatis di Samalanga. Tumpas sampai ke akar-akarnya. Percaya dan yakinlah. Tugas mulia ini direstui seluruh rakyatmu!"

Perintah yang diucapkan dengan lantang di tengah dinginnya malam dan gelombang pasang Selat Malaka itu menyengat 1.300 personel Marinir yang tergabung dalam Batalyon Tim Pendarat (BTP-1) Marinir, Senin (19/5/2002) pukul 04.50.

Seperti genderang perang yang ditabuh, pasukan Marinir yang berangkat dari Surabaya, Jawa Timur, sebelas hari sebelumnya, itu lantas teratur membuat persiapan akhir sebelum jam pendaratan (jam-J).

Taklimat yang disiarkan ke seluruh 15 Kapal Republik Indonesia (KRI) yang sudah membentuk formasi pendaratan 2,5 mil dari Pantai Samalanga, Desa Penelit Baru, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tersebut dibacakan langsung oleh Komandan Satuan Tugas Laut Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) TNI Kolonel Arief Rudianto.

Saat itu, di tengah gelap gulita, dalam regu masing-masing, pasukan lantas menyiapkan senjata dan amunisinya. "Perang! Perang! Perang!" ujar anggota Regu III Pleton III serentak sambil mencoba kokang senapan.

Pendaratan diawali dengan keluarnya 10 tank amfibi (PT-76) yang keluar dari mulut tiga KRI Teluk Langsa, KRI Teluk Ende, dan KRI Teluk Sampit. Dengan kawalan ketat pasukan di sekoci dan perahu karet, 10 tank PT-76 mencapai dan menguasai pantai pendaratan pukul 07.00, sesuai dengan rencana "jam-J".

Bersamaan dengan menyingsingnya fajar, rombongan kedua pendaratan, yaitu belasan kendaraan pendarat amfibi (BTR-50), menyusul rombongan tank PT-76 yang telah mencapai Pantai Samalanga tanpa hambatan berarti. Komandan BTP-1 Marinir Letnan Kolonel Joko Supriyanto dan pasukan yang berjumlah lebih dari 200 orang di KRI Teluk Langsa didaratkan dengan sekoci dan perahu karet.

Hambatan terjadi ketika seusai pendaratan gelombang pertama, gelombang laut meninggi mencapai dua meter, arus laut sangat deras, dan angin kencang. Awalnya, empat BTR-50 dan dua kendaraan amfibi pengangkut artileri (KAPA) di KRI Teluk Langsa terhambat oleh lepasnya engsel rampa pada mulut kapal perang buatan tahun 1945 ini.

Kemudian, KAPA pengangkut puluhan personel pasukan Marinir yang keluar dari KRI Teluk Ende terbalik tiga meter menjelang pantai. Akibat kecelakaan ini, satu anggota Marinir tergulung ombak dan tewas, yaitu Sersan Satu (Sertu) Rami (29) dari Batalyon Howitzer Satuan Resimen Artileri Surabaya.

Selain itu, Sertu Kartono juga pingsan karena perahu karet yang ditumpanginya terbalik sekitar tiga meter dari Pantai Samalanga. Pertolongan kesehatan yang dilakukan dengan cepat berhasil menyelamatkan Sertu Kartono yang sempat pucat dan membiru sekujur tubuhnya.

Selama pendaratan, tidak ada gangguan sedikit pun dari pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tidak ada satu butir peluru GAM pun dilepas dalam pendaratan yang dipantau Komandan Satuan Tugas Laut PPRC Kolonel Arief Rudianto dari udara itu.

Tidak adanya serangan dari pihak GAM selama pendaratan salah satunya karena empat hari sebelumnya telah dilakukan operasi amfibi oleh dua regu pasukan pengintai amfibi. Selain itu, 15 KRI yang mendukung operasi pendaratan 1.300 personel Marinir ini telah berada di sekitar lokasi pendaratan sejak 20 jam sebelumnya dalam keadaan siaga penuh.

SUASANA hening dan gelap gulita tidak lagi dominan. Jika dianalogikan dan dilihat dengan mata hati, KRI Teluk Langsa seolah menyala. Semangat 227 anggota Marinir yang ada di kapal itu mendadak nyala setelah sebelumnya meredup dan hampir padam.

Meredup dan hampir padam! Ironis memang. Tetapi, itulah yang terjadi dan diakui sebagian anggota BTP-1 Marinir. Penyebabnya tidak lain karena diulur-ulurnya waktu pendaratan, terkait dengan pembicaraan pemerintah dengan pihak GAM.

Kedatangan Panglima Armada RI Kawasan Barat (Armabar) Laksamana Muda Mualimin Santosa yang bertujuan mengangkat semangat dan moril pasukan seolah mengakui dropnya semangat pasukan.

Dapat dipahami, karena selama perjalanan menuju Pantai Samalanga sebagai wilayah pendaratan, lima rencana operasi disiapkan. Empat rencana operasi, yaitu tanggal 12, 15, 17, dan 18 Mei 2003 gagal total!

Bahkan, pada 18 Mei 2003, dua jam rencana operasi disiapkan, yaitu dini hari dan siang hari. Kedua rencana operasi itu pun gagal. "Sampai pusing membuat rencana operasi berikutnya. Selain jenuh, terjangan gelombang membuat konsentrasi buyar," ujar seorang perwira.

Kekecewaan terhadap sikap pemerintah dalam menghadapi GAM itu-yang membuat tertunda operasi militer dan terkatung-katungnya 1.300 personel Marinir-diungkapkan Komandan BTP-1 Marinir Letkol Joko Supriyanto. "Harusnya negara kesatuan RI adalah harga mati," ujarnya setelah kegagalan rencana keempat.

Meredupnya semangat pasukan diungkapkan terang-terangan oleh pasukan Marinir. "Tidak masalah jika kami harus berada di laut dua minggu sekalipun. Akan tetapi, tanpa kepastian pendaratan, lama- lama bukan cuma fisik yang lelah, tapi juga psikis," ujar Letnan Satu Azrin.

Maka jadilah pasukan pemukul reaksi cepat ini justru menempuh perjalanan yang lambat karena ketidakjelasan misi mereka. Perjalanan laut sudah sesuai dengan rencana, yaitu satu minggu. Tetapi mereka lalu mengapung hingga 11 hari.

Logistik KRI tertua buatan Amerika Serikat tahun 1945 yang dikomandani Letnan Kolonel Hadi Susilo juga "meredup" alias menyusut.

"Sayur solar dengan lauk silet," ujar Kopral Dua Sudarno sambil terkekeh, mengomentari bekal yang tersedia. Yang dimaksud solar adalah sayur yang warnanya sudah kehitaman karena tidak lagi segar dan silet adalah lauk hati sapi, diiris sangat tipis.

Akibatnya, bekal operasi pendaratan berupa T-2 (nasi kaleng), yang tiap personel mendapat tiga kaleng, ludes tiga hari sebelum pendaratan.

"Kami pikir perjalanan laut cuma seminggu, jadi bekal pribadi kami habiskan. Tetapi, karena molor empat hari, T-2 kami santap juga sebagai ganjal perut," ujar Sudarno.

Selain makanan, yang juga terbatas di kapal tua seperti KRI Teluk Langsa adalah air bersih. Karena itu, tidak jarang prajurit cuma mandi sekali sehari.

Karena keterbatasan air tawar untuk mandi, setiap ada pengumuman mandi untuk pasukan, semua berupaya bergegas membersihkan badan. Air mengalir hanya 15 menit di buritan. Itu biasanya disambut dengan adu cepat mandi. "Kalau tidak cepat, bisa jadi tidak mandi," ujar seorang prajurit yang hanya bercelana dalam seusai mandi.

MESKIPUN akhirnya mendarat dengan semangat yang berkobar-kobar setelah status darurat militer dikumandangkan di NAD, akibat terkatung-katungnya pasukan di atas laut tetap terasa selama upaya pendaratan. Ketangkasan dan kecepatan reaksi pasukan menurun, terlihat dari rendahnya koordinasi.

Fisik yang tidak terlatih-sebab tidak ada sarana di kapal untuk latihan dan terutama karena tercurah untuk memanggul beban psikis-terlihat ketika pendaratan di Pantai Samalanga.

Begitu juga saat sejumlah personel pasukan di KRI Teluk Langsa yang seharusnya naik kendaraan tempur diangkut dengan sekoci KRI Teluk Sampit. Ketika mendarat, kerja sama sebagai satu pasukan tidak terlihat. Kelelahan psikis juga terasa saat kendaraan amfibi pengangkut artileri dari KRI Teluk Ende terguling.

Menanggapi kecelakaan tersebut, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin di Banda Aceh saat jumpa pers mengatakan, "Ada kendala yang merupakan dinamika pendaratan. Perubahan cuaca begitu cepat dan di luar dugaan."

Dengan segala dinamika pendaratan, langkah awal PPRC ini dinilai berhasil. Netralisasi penguasaan psikologis sudah terjadi dan perang melawan gerakan separatis kini di ambang mata.

Joko Supriyanto menjelaskan, BTP-1 Marinir akan mengarah pada sembilan titik yang selama ini diduga sebagai tempat konsentrasi, tempat pendidikan dan pelatihan anggota GAM di Kecamatan Samalanga.

"Kami akan secepat mungkin melaksanakan operasi ini. Setelah itu, menunggu perintah lanjutan dari Panglima TNI. Yang jelas, kami tak akan mendirikan pos," ujar Joko.

Dalam perjalanan darat, di Dusun Meunasah Asan yang berjarak 500 meter dari pantai, pasukan harus berhadapan dengan jembatan penyeberangan yang sudah jebol (setengah bagiannya). Diduga, jembatan dirusak anggota GAM dalam rangka menghambat gerak pasukan TNI.

Setelah mencari bonggol- bonggol kayu sebagai penahan, pasukan bergerak maju menuju sasaran operasi.

inu

paskah

SAAT Hari Raya Paskah, yang berarti kebangkitan tiba, setiap umat Kristiani yang menghayati sejatinya pesan hari raya itu dititipi sebuah pertanyaan mendasar yang cukup menggugat: "Kebangkitan macam apa yang akan mewarnai paskahku kali ini?" atau secara massal: "Apakah arti kebangkitan bagi kita sebagai bangsa Indonesia?"

Mencoba menghayati pesan hari raya yang sudah dirintis perayaannya sejak hari Kamis (17/4) hingga puncaknya hari Minggu nanti, pertanyaan gugatan serupa pantas kembali kita ungkapkan.

Dalam situasi bangsa Indonesia seperti saat ini, apa arti kebangkitan Kristus pada Minggu Paskah mendatang, yang tiga hari sebelumnya telah wafat secara terhina di kayu salib?

Mengutip Surat Gembala Paskah 2003 yang dikeluarkan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk menyambut paskah tahun ini, menjawab pertanyaan gugatan itu KWI bersuara: "Penderitaan berat yang kita tanggung akhir-akhir ini ternyata tidak membuat kita hancur dan putus asa. Di antara kita terdapat saudara-saudari yang tidak mau menyerah kepada kebencian dan balas dendam. Dari puing-puing krisis, muncul harapan baru."

"Pertikaian di banyak tempat ternyata juga menggerakkan orang untuk mengadakan pertemuan, dialog, dan kerja sama. Mereka bertemu, bergabung, dan bekerja sama untuk menciptakan kehidupan bersama. Mereka tidak mau menyerah pada kehancuran, tetapi sebaliknya mau hidup, bahkan bukan hanya hidup untuk diri sendiri, tetapi juga hidup bersama."

Dari kutipan Surat Gembala Paskah 2003 dari KWI di atas, tercermin harapan untuk memaknai Paskah kali ini dengan bangkit untuk membangun budaya hidup bersama. Disadari dan memang terbukti bahwa kebersamaan mengatasi batas-batas yang selama ini membuat sekat-sekat di dalam masyarakat. Sekat-sekat itu telah membuat kita saling merasa terasing atau bahkan saling mengasingkan, meskipun kita diikat sebagai satu bangsa.

Jika menengok kembali apa yang terjadi sekitar 2000 tahun yang lalu, paskah dalam arti kebangkitan Kristus ternyata juga menjadi momentum berkembangnya kebersamaan di antara pengikut Yesus yang tercerai-berai usai penyaliban.

Di tengah-tengah tercerai-berainya pengikut, Paskah Kristus menjadi semacam perekat atau energi untuk menciptakan kebersamaan. Para murid yang tercerai- berai dan pengikutnya yang kecewa dengan Yesus yang seolah tidak berdaya memanggul salib lantas tersatukan kembali.

Dalam kehidupan berbangsa, para uskup yang tergabung dalam KWI mengajak umat Kristiani untuk secara khusus memberi perhatian akan satu hal yang sangat penting, yaitu mencari jalan agar kita bersama-sama dapat menentukan bentuk hidup bermasyarakat yang akan menjadi milik kita bersama.

Dalam Surat Gembala Paskah 2003, para uskup mengingatkan landasan dan cita-cita bersama yang berwawasan nasional untuk menghormati kehidupan bahwa kita harus secara bersama-sama menghormati kehidupan setiap orang, siapa pun, dari latar belakang dan golongan apa pun.

Diperlukan sebuah kesepakatan yang selalu harus diperbarui untuk menciptakan kembali kebersamaan sebagai satu bangsa Indonesia termasuk di Jawa Timur. Di dalam kebersamaan itu, setiap warga negara dapat merasa aman, dapat mengembangkan bakat-bakatnya, termasuk bakat seni, budaya, kerohanian, dan pikirannya.

Di dalam kebersamaan itu pula, setiap warga negara dapat dengan bebas dan bertanggung jawab memberi sumbangan bagi kesejahteraan seluruh bangsa. Di dalam kebersamaan itu, masing-masing anggota masyarakat dapat saling percaya karena kepercayaan adalah modal dasar untuk hidup dan bekerja sama. Kebersamaan itulah yang dulu pernah dicita-citakan oleh para pendiri Republik Indonesia ini.

Selamat menyambut Paskah dan selamat bangkit mengembangkan kebersamaan!

inu

cari kerja

"AKU rindu jadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur (Jatim)!" Jujur, itulah suasana yang terasa pada hari terakhir pendaftaran calon anggota KPU Jatim, Selasa (15/4) sore kemarin di Kantor Sekretariat KPU Jatim di Jalan Tanggulangin, Surabaya.

Suasana akrab terlihat jelas di antara para pendaftar yang umumnya sudah saling mengenal. Wajah penuh antusiasme dan penuh harap dapat tersaring menjadi anggota KPU Jatim terpancar dari beberapa orang yang datang bergantian ke Sekretariat KPU Jatim. Hingga penutupan pendaftaran pukul 16.00, sebanyak 182 warga Jatim dari berbagai latar belakang tercatat mendaftarkan diri atau lebih tepatnya mungkin "mengadu untung" untuk menjadi anggota KPU Jatim.

Dibandingkan jumlah pengambil formulir yang masanya diperpanjang, persentase formulir yang kembali untuk mengadu untung itu relatif kecil, yaitu sekitar 46 persen dari total 392 formulir calon anggota KPU Jatim yang diambil. Sebagian besar atau sekitar 75 persen dari pengambil formulir yang mengembalikan dan mendaftarkan diri menjadi calon anggota KPU Jatim terjadi pada hari terakhir pendaftaran.

"Para pendaftar mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk membuat makalah dengan panjang sekitar lima sampai 10 halaman," ujar Sekretaris Perwakilan Sekretariat KPU Jatim Nadjib Hadi.

Menanggapi fakta tidak sampainya separuh pengambil formulir yang mengembalikan dan mendaftarkan diri sebagai calon anggota KPU Jatim, Nadjib mengatakan, "Saat mengambil formulir banyak yang mengira kami membuka lowongan bagi warga untuk menjadi pegawai KPU Jatim."

Oleh karena itu, setelah melihat persyaratan yang mencapai 12 macam, mereka yang hanya sekadar mengadu untung tanpa bekal pengetahuan dan juga pengalaman dalam pemilihan umum (pemilu) dipastikan akan gugur atau secara alamiah akan terseleksi. "Dalam makalah itu harus dipaparkan yang akan dilakukannya jika nanti menjadi anggota KPU Jatim. Tanpa bekal pengetahuan perundang-undangan, mustahil pengambil formulir maju mendaftarkan diri," ujar Nadjib.

Yang sangat memprihatinkan, dari 182 pendaftar, hanya 6 persen perempuan atau 11 pendaftar. Selain itu, pendaftar kebanyakan dari Surabaya yang mencapai 61 persen atau 111 pendaftar. Padahal, saat perpanjangan pengambilan formulir dari tiga hari menjadi tujuh hari, masalah sebaran dari sudut jenis kelamin dan asal pendaftar diharapkan dapat mewakili kondisi di Jatim.

"Ini adalah KPU Jatim, jadi harus tercermin calon-calon dari 38 kota/kabupaten," ujar Ketua Tim Seleksi Calon Anggota KPU Jatim Anton Prijatno saat memutuskan memperpanjang waktu pengambilan formulir beberapa waktu lalu.

Idealisasi kurang terpenuhi melihat dari jumlah pendaftar dan jumlah perbandingannya. Namun, apa mau dikata. Memang seperti itulah warga Jatim yang nyata-nyata mendaftarkan diri setelah semua kesempatan dibuka dan informasi disebarkan seluas-luasnya kepada masyarakat. Saat ini tinggal tugas tim seleksi yang terdiri dari lima orang pilihan Gubernur Jatim Imam Utomo untuk menentukan dan memilih mekanisme penyaringan.

Dari 182 pendaftar, tim seleksi diberi tugas memerasnya menjadi hanya 10 calon anggota KPU Jatim untuk disampaikan kepada Gubernur Jatim. Selanjutnya Imam Utomo akan menyampaikan hasil seleksi itu ke KPU pusat untuk disaring menjadi lima orang melalui uji kelayakan dan kepatutan.

Di tengah belum tuntasnya pembahasan mengenai mekanisme penyaringan, ratusan calon anggota KPU Jatim sudah bergemuruh suara-suara yang meragukan dan mempertanyakan kapasitas anggota tim seleksi.

Suara gemuruh muncul dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang ternyata mereka juga mencoba mengadu untung menjadi anggota KPU Jatim. "Mereka yang mengkritik, mereka juga yang mendaftarkan diri karena itu kami tanggapi secara hari-hati," ujar seorang anggota tim seleksi.

inu

asereje

MESKIPUN telah tiga kali membawakan lagu andalan berjudul Asereje bersama dengan gerakannya yang mendunia, trio kakak beradik asal Cordoba, Spanyol yang tergabung dalam Las Ketchup itu tidak sanggup menggoyang penggemar dan orang-orang yang penasaran atas fenomena mereka di Surabaya.

HENTAKAN perkusi dan suara mendayu Las Ketchup yang didukung sound system yang menggelegar tidak sanggup membangkitkan hasrat ratusan penonton yang duduk manis. Dalam pertunjukan di Ballroom Hotel Shangrila Surabaya, Kamis (3/4) malam lalu itu, penonton terlihat enggan beranjak dari tempat duduknya, apalagi bergoyang mengikuti irama.

Keadaan ini masih ditambah dengan komunikasi yang tidak nyambung, karena bahasa pengantar personel Las Ketchup menggunakan bahasa Spanyol yang tidak dipahami penonton. Apalagi tanpa ada yang berupaya menerjemahkan ajakan Lola, Lucia, dan Pilar Munoz untuk bersama bergoyang Asereje.

Hanya anak-anak tampaknya yang menggandrungi irama Asereje yang mendunia itu. Tanpa harus mengerti bahasa tutur yang mereka ucapkan, belasan anak mampu menangkap bahasa tubuh dan gerak isyarat para penyanyi yang seksi itu.

Tanpa ragu dan perasaan malu sedikit pun, belasan anak yang sebelumnya selama lebih dari dua jam menanti itu naik ke atas panggung. Mereka bergoyang mengikuti ajakan Lola yang lincah dengan memakai bikini merah dan gemulai melambaikan tangannya. Anakanak yang beruntung inilah penggemar sejati Las Ketchup yang mampu memaksa orangtuanya maupun saudara mereka untuk membeli tiket.

Trio Las Ketchup yang sehari sebelumnya sukses tampil di Istora Gelora Bung Karno Jakarta ini bergoyang bersama anakanak dalam iringan musik dan lagu andalan mereka yang akrab di telinga penggemarnya di dunia dan juga Indonesia: Asereje.

"Asereje ja de je de jebe tu de jebere seibiunouva, majavi an de bugui an de buididipi..." begitu bunyi lirik pada refrain lagu Asereje yang dinyanyikan bersama-sama di atas panggung disertai gerakan tangan, kaki, dan seluruh badan seperti yang selama ini kita saksikan di layar kaca dan diperagakan dalam setiap kesempatan acara hiburan yang mengumpulkan massa.

Belasan anak di atas panggung bersama Las Ketchup terlihat asyik dengan lagu dan gerakannya, sementara ratusan lain penonton tetap duduk rapi di kursi mereka. Hanya belasan orangtua yang anaknya naik ke panggung tampak histeris menunjuk-nunjuk anaknya yang sedang bergoyang Asereje bersama bimbingan Lola yang beberapa kali menarik kain yang berkibar-kibar.

UNTUK lagu andalan disertai gerakan yang dinyanyikan sampai tiga kali saja tidak terlalu direspons para penonton yang memilih duduk manis. Jadi bisa dibayangkan bagaimana nasib sejumlah lagu lain yang turut dibawakan penuh perasaan dan penghayatan oleh tiga putri gitaris flamenco asal Cordoba, Spanyol itu.

Setiap akhir sebuah lagu dinyanyikan, penonton merespons dengan hanya bertepuk tangan. Suasana pertunjukan yang diharapkan dapat meriah dan "menggoyang" ruangan berkapasitas sekitar 1.800 orang itu, tidak ubahnya seperti sebuah pertunjukan musik klasik atau seperti pertandingan tenis lapangan di ajang Grand Slam yang tertib dan penuh aturan.

Namun demikian, seusai pertunjukan digelar, beberapa penonton yang dimintai komentarnya mengaku cukup puas dengan pertunjukan Las Ketchup yang digelar di Surabaya oleh Jawa Musikindo dan Lewi Yahya Production itu. "Puas bisa menyaksikan tiga dara Spanyol itu tampil langsung dan bergoyang Asereje seperti di televisi," ujar seorang bapak yang datang ke pertunjukan bersama istri dan tiga anaknya yang sangat ingin menyaksikan gerakan Asereje dibawakan langsung Lola, Lucia, dan Pilar.

Oleh karena itu, begitu anaknya naik ke atas panggung bergoyang Asereje berkat geretan istrinya, bapak asal Surabaya ini merasa lega. "Minimal, bisa memenuhi kerinduan anakanak," ujarnya yang mengaku hanya akrab dengan lagu Asereje saja dari beberapa lagu yang dibawakan.

Meskipun ratusan penonton yang memenuhi separuh tempat yang disediakan hanya mengenal lagu Asereje, lagu lain yang dibawakan dengan dukungan dua backing vocal, pemain kibor, drum, bas, gitar, melodi, dan perkusi mampu mereka nikmati juga.

"Umumnya semua lagu yang dibawakan diiringi dengan musik yang mengentak. Kalau tidak malu, sebenarnya saya ingin turun bergoyang karena iramanya enak untuk bergoyang," ujar Laras (23) yang mengaku penasaran ingin langsung menyaksikan penampilan Las Ketchup.

POPULARITAS lagu Asereje dibanding lagu lain memang sebuah strategi. Lagu lain seperti Kusha Las Playas, Krapuleo, Tenggo Un Nuvio, dan Un De Ves Bu Cuando yang terangkum dalam album Hijas Del Tomate sebenarnya tidak kalah mengentak dan energiknya.

Namun, karena strategi itu terlalu manjur menyedot massa, Asereje-lah yang lantas dieksploitasi habis-habisan. Tidak cukup dua kali dinyanyikan, setelah hengkang dari panggung, pihak panitia mewakili para penonton yang sudah beranjak pergi kembali memanggil Las Ketchup.

Penonton semula bingung dan menanggap pertunjukan dengan durasi sekitar satu jam itu bubar. Namun, baru tiga langkah kaki sebagian besar penonton beranjak dari tempatnya semula duduk, Lola yang energik berbikini merah menyala, Lucia yang tampak anggun dengan tank-top merah muda, dan Pilar yang memakai baju terusan warna serupa dan bersepatu bot kembali ke atas panggung.

Tanpa basa-basi-yang kalaupun dilakukan tetap tidak dipahami karena dalam bahasa Spanyol tanpa terjemahan-Las Ketchup kembali menyanyikan Asereje. Berbeda dengan respons dingin sebelumnya, penonton yang umumnya sudah berdiri di dekat panggung lebih responsif.

Selain belasan anak-anak seperti dua kali lagu itu dibawakan, penonton yang semula tampak malu-malu bergoyang tampil ke depan mengikuti gerakan Lola, Lucia, dan Pilar.

Selama lagu dibawakan, empat gerakan Asereje pun diperagakan secara massal. Gerakan itu pertama, menyilangkan kedua tangan di pinggang sebanyak 4 kali; kedua, menunjuknunjuk dengan jempol tangan kanan dan kiri ke arah belakang kepala secara bergantian; ketiga, mengangkat kedua tangan ke atas kepala lalu memutarmutar pergelangan tangan; dan keempat yang paling terkenal, "mengibar- kibarkan" tungkai dengan cara menggerakkan lutut ke dalam dan keluar.

Seluruh gerakan itu lalu diselaraskan dengan ketukan musik, terutama pada bagian refrain yang dimulai dengan kata "Asereje a..." dan begitulah, Las Ketchup berusaha menggoyang Kota Surabaya yang kurang responsif karena tampaknya sudah terlalu sering digoyang ngebor ala Inul Daratista yang lebih akrobatik namun urung tampil di Surabaya.

inu

sumenap ii

TERLETAK di bagian paling timur Kabupaten Sumenep, kabupaten paling timur di Pulau Madura, Jawa Timur (Jatim), hamparan pasir putihnya terasa lembut di telapak kaki. Dipadu sejuknya udara dari rimbun dan hijaunya hutan cemara udang (casuaraina equsetifolia), membuat kaki terpaku dan enggan beranjak dari Pantai Lombang. Perjalanan jauh berliku sekitar 30 kilometer ke arah timur dari pusat Kota Sumenep dengan kendaraan taksi (angkutan kota-Red) carteran ala kadarnya langsung terobati saat mata disuguhi keindahan alam pantai di Desa Lombang, Kecamatan Batang-Batang, Sumenep ini.

Kelelahan dan rasa pegal di badan segera hilang, terlebih saat tiba di pantai yang menghadang Laut Jawa itu ditemani segarnya buah kelapa muda. "Di antara seluruh pantai di Pulau Madura dan mungkin juga Pulau Jawa, Pantai Lombang merupakan yang terbaik dari segi keindahan dan keunikannya," ujar Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep I Zulkarnain.

Di antara 31 obyek dan daya tarik wisata (ODTW) di kabupaten seluas sekitar 2.000 kilometer persegi ini, Pantai Lombang menjadi tempat paling favorit warga Sumenep melepas kepenatan di tengah langkanya tempat hiburan.

"Hampir setiap bulan saya ke sini, sesering saya pergi ke kota," ungkap Zaini (17), jebolan sebuah pesantren di Sumenep ketika sedang asyik bercengkerama dengan teman-temannya di bawah rimbunnya cemara udang. Lantaran seringnya pergi ke pantai itu, Zaini yang kini membantu orangtuanya bertani, hafal betul perubahan Pantai Lombang dari tahun ke tahun. Zaini masih ingat betul keelokan pantai yang kini mulai pudar dan hampir hilang jika tidak segera diselamatkan.

"APARAT pemerintah tidak berbuat apa-apa menyaksikan lenyapnya perlahan-lahan hutan cemara udang yang menjadi pengikat keindahan Pantai Lombang," ujar Sekretaris Dewan Kesenian Sumenep dan aktivis lingkungan, Banusabeta (28), dengan kecewa.

Melihat kondisi pantai yang mulai terasa gersang di beberapa bagian, saat ditemui di Pantai Lombang, Banusabeta bersama delapan pemuda Sumenep yang tergabung dalam Generasi Harapan Orang Tua (GHOT) baru selesai menanam ratusan pohon berbagai jenis di beberapa bagian pantai yang mulai terasa gersang.

"Sia-sia menunggu pemerintah bertindak. Perhatian pemerintah hampir tidak ada untuk kelestarian pantai. Apa lagi pengembangannya ke depan," papar Banusabeta.

Kekhawatiran lenyapnya keelokan pemandangan pantai dan kekecewaan pada pemerintah kabupaten (pemkab), keluhan pencinta pemandangan alam cukup beralasan dikemukakan. Saat Kompas berada di Pantai Lombang, dalam empat jam saja, puluhan batang cemara udang diangkut bersama akar-akarnya dengan kendaraan bak terbuka (pikup).

Karena beratnya cemara udang yang berusia puluhan dan bahkan ratusan tahun itu, satu batang harus dipikul empat orang dengan dua batang bambu panjang.

Tidak hanya itu, beberapa pria yang mengaku diberi upah mendongkel puluhan batang cemara udang, juga "menjarah" pasir pantai ke bak kendaraan. "Pasir dipakai menumbuhkan cemara sebelum dijual ke Jawa," jelas seorang dari mereka dengan tatapan curiga.

Dikonfirmasi adanya pencurian dan perusakan lingkungan ini, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pantai Lombang Aries Sumantri justru berujar pasrah, "kegiatan macam itu sudah berlangsung sejak tujuh tahun terakhir bersamaan dengan maraknya tren bonsai cemara udang di sejumlah kota di Jawa."

Ditanya upaya Pemkab Sumenep mencegah meluasnya pencurian dan perusakan lingkungan ini, Aries mengangkat kedua tangannya dan menyuruh bertanya ke Bagian Hukum Pemkab Sumenep yang mengeluarkan izin pengambilan cemara udang untuk dibudidayakan.

"Ada rencana dari pemerintah membuat perda mengenai pemanfaatan cemara udang itu," jelas Kepala Sub-Bagian Perundang-undangan Sumenep Achmad Sarbini. Selama ini, budidaya cemara udang diperkenankan asalkan tidak merusak lingkungan. Untuk mengontrol hal itu, Bagian Hukum Pemkab Sumenep mengeluarkan izin untuk membudidayakannya.

Namun, diakui Sarbini, surat izin sebagai alat kontrol itu sering tidak dimiliki mereka yang membabi buta menjarah hutan cemara udang di Pantai Lombang. Karena langka (hanya tumbuh alami di Sumenep dan Jepang), harga per batang dapat mencapai jutaan rupiah.

Melihat kenyataan ini, Zulkarnain sebagai pengelola ODTW ini hanya bisa pasrah. "Kalau sudah masuk pada tindak pidana, aparat kepolisian yang harusnya menindak," ujarnya.

APA yang terjadi di Pantai Lombang adalah cerminan dari sikap "masa bodoh" penyelenggara pemerintahan daerah selepas reformasi dan otonomi daerah digulirkan. Sampai sekarang, tak ada konsep matang dan menyeluruh mengenai pembangunan, khususnya sektor pariwisata yang sangat potensial di Sumenep.

Selain Pantai Lombang, Sumenep memiliki Pantai Slopeng yang khas dengan "benteng gunung pasir putih" setinggi 15 meter dan pohon kelapa yang tegak rapi berjajar. Di pantai yang terletak 20 kilometer arah barat Kota Sumenep, tak ada sentuhan untuk membuat pengunjung betah dan datang kembali ke Slopeng.

Minimnya perhatian untuk mengembangkan potensi daerah ini, diungkapkan mantan anggota DPRD Sumenep di masa Orde Baru yang saat ini menjabat salah satu kepala unit di Sumenep dan enggan disebut namanya.

"Tidak terlihat pembangunannya. Banyak dana justru dikeluarkan untuk biaya politis bersama anggota DPRD yang terhormat, bukan pembangunan sarana dan prasarana umum untuk masyarakat," paparnya kecewa.

Melihat kembali Sumenep lima tahun terakhir, tak ada pembangunan yang menonjol dan pantas dibanggakan. Otonomi daerah tidak membuat pembangunan makin nyata, justru sejumlah potensi seperti wisata dibiarkan merana bahkan terkesan disia-sia.

inu

sumenep i

MELIHAT letaknya yang jauh menjorok di ujung timur Pulau Madura, yang terlintas di pikiran tentu akan jauh dari kehidupan modern seperti di kota-kota besar. Namun, hal ini tidak seluruhnya benar. Di tengah-tengah kesunyian Kota Sumenep, ternyata warganya tidak kalah dalam mengonsumsi barang-barang "orang kota".

SEPERTINYA tidak masuk akal memang, apalagi kalau sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan padi siap panen atau lahan yang dibiarkan begitu saja usai panen berlangsung. Suasana khas pedesaan terasa ketika perjalanan dari barat mulai memasuki gerbang kabupaten berpenduduk sekitar satu juta jiwa ini.

Begitu pula setelah memasuki pusat kota, sepertinya tidak ada tempat hiburan yang menjadi penanda kawasan sebuah kota kabupaten. "Satu-satunya bioskop sudah dibakar massa saat reformasi tahun 1998," ujar Gani, guru Seni Rupa, di Alun-alun Sumenep yang ditemui Kompas.

Karena minimnya tempat hiburan itu, Alun-alun Sumenep menjadi satu-satunya tujuan bagi warga Sumenep untuk melepas kepenatan dan mencari hiburan di luar rumah. Seperti ratusan warga lain, Gani datang ke alun-alun bersama anaknya untuk melepas kepenatan setelah sepekan menjalani rutinitas sebagai guru. "Yang penting keluar rumah saja mencari variasi," ungkapnya.

Banyaknya warga yang beralasan serupa membuat alun-alun yang didesain melingkar dengan air mancur di pusatnya itu padat oleh anak-anak yang terlihat semangat bermain petak umpet. Sementara remaja dan kaum muda yang asyik berpacaran sambil memandang bulan sungguh terkesan klasik.

Bersamaan dengan delapan kali dentang keras jam kuno di Masjid Agung Sumenep yang merupakan salah satu dari 10 masjid tertua di Indonesia, alun-alun yang juga dipadati pedagang makanan, mainan, dan pakaian itu terlihat dan terasa sesak. Semua warga Sumenep yang mencari variasi hiburan seperti tumpah ruah di seputar alun-alun.

KESAN terhadap situasi Sumenep yang tertinggal mulai tersingkir seiring dengan makin larutnya malam. Suasana justru menampakkan warna lain. Ternyata ada keramaian yang langsung meruntuhkan bayangan jauhnya Sumenep dari peradaban, seperti ditawarkan agen-agen konsumerisme.

Sekitar dua ratus remaja pria memadati ruas Jalan Wahid Hasyim yang terletak 500 meter dari alun-alun. Mereka umumnya berkelompok dengan anggota masing-masing, sekitar enam remaja. Di ruas jalan itu, ratusan remaja pria tersebut berkerumun di sekitar Toko Aeng Mas yang buka 24 jam pada setiap akhir pekan.

Toko Aeng Mas adalah toko yang dikelola tiga anak muda, yaitu Willy, Rayan, dan Cipto. "Semula, kami membuka toko ini untuk berjualan segala jenis mainan anak-anak. Namun, dua tahun terakhir, bersamaan dengan tren, kami berubah haluan dan memfokuskan berjualan segala pernak-pernik mainan Tamiya," ujar Willy (24), protholan sebuah politeknik di Yogyakarta.

Perubahan haluan menjadi toko yang khusus menjual segala pernak-pernik Tamiya ini berlangsung begitu saja. Menurut Willy, yang bertemu dengan Rayan dan Cipto dari hobi merakit dan mengikuti sejumlah lomba Tamiya, dengan modal Rp 6 juta, mereka bertiga nekat membuka toko khusus mainan.

"Perubahan haluan toko menjadi hanya menjual pernak-pernik Tamiya terjadi bersamaan dengan maraknya kembali permainan Tamiya yang pernah berjaya pada pertengahan tahun 2002. Kami kemudian membentuk tim WRC untuk memelopori demam Tamiya di Sumenep," ujar Willy.

Tim WRC adalah singkatan dari ketiga pengelola toko Aeng Mas yaitu Willy, Rayan, dan Cipto. Toko yang kemudian buka 24 jam pada tiap akhir pekan ini kemudian perlahan-lahan berkembang melengkapi fasilitasnya bersamaan dengan komunitas penggila Tamiya di Sumenep.

Untuk memfasilitasi tumbuhnya komunitas penggila mainan Tamiya di Sumenep, WRC kemudian membeli sirkuit standar tujuh set untuk ajang uji coba dan lomba. Perlahan-lahan, namun pasti, jumlah penggila mainan yang satu setnya seharga sekitar Rp 750.000 ini terus bertambah.

"Hampir setiap kecamatan ada tim tersendiri yang terdiri dari beberapa orang yang biasa berlomba di sini," ujar OÆong (19), remaja pria asal Kecamatan Dungkek, Sumenep.

Bertambahnya penggemar Tamiya di Sumenep membuat fasilitas yang disediakan WRC dirasa kurang. Atas tuntutan membuat variasi jenis lomba, maka diadakan lomba Drag Tamiya dengan sirkuit lurus buatan sendiri sepanjang 20 meter dengan modal Rp 500.000.

"Kami membuatnya dengan bahan talang air yang biasa dipakai di atap rumah. Tidak standar memang, dan hambatan kecepatannya lebih besar. Namun, karena semua sepakat dan suka, sirkuit buatan sendiri ini justru jadi sirkuit favorit untuk lomba balap Tamiya," ujar Rayan yang membuat sirkuit itu dua bulan lalu.

Begitu favoritnya sirkuit untuk Drag Tamiya tersebut tergambar dari banyaknya peserta yang ikut berlomba di sirkuit yang dipasang di trotoar di depan Toko Aeng Mas. "Tiap malam Minggu, peserta yang ikut lomba mencapai 80-90 orang dari sejumlah tim," jelas Cipto.

Segera mewabahnya kegilaan pada mainan yang sempat populer pertengahan tahun 1990-an itu dipicu juga karena minimnya sarana hiburan untuk remaja di Sumenep. Jangan membayangkan adanya mal atau plaza seperti yang menjamur di Surabaya dan kota/kabupaten lainnya, bioskop pun tidak ada di Sumenep.

"Sebelumnya, remaja dan anak muda di Sumenep memiliki tempat untuk menghibur diri, yaitu di Jalan Panglima Sudirman dan jalan di gerbang kota. Di dua tempat itu anak muda adu cepat dengan motor mereka. Namun, setelah adu cepat di jalan raya itu dilarang dan sering ditangkap polisi, adu cepat di sirkuit dengan Tamiya menjadi pilihan," ujar Denny (21), juara Drag Tamiya sebelumnya.

MALAM makin larut bersamaan dengan hampir lelapnya Sumenep. Namun, di Jalan Wahid Hasyim, puluhan remaja dari sejumlah tim Tamiya yang lolos di babak-babak awal justru makin berkobar-kobar semangatnya. Menjelang bergantinya hari, saat partai semifinal digelar, konsentrasi setiap tim untuk dapat memenangi lomba makin nyata terlihat. Ketegangan antartim Tamiya mulai terasa.

"Hadiahnya tidak seberapa. Namun, jika dapat memenangi lomba, ada kepuasan luar biasa yang kami rasakan," ungkap OÆong dari Tim Romben Motor Sport (RMS) yang akhirnya kalah.

"Kelihatannya sederhana lomba ini. Namun, untuk dapat menang, dengan perlengkapan standar, tim harus mengasah otak dan beradu teknik dengan tim lain," ujar Rayan, mekanik Tim WRC.

Menurut Rayan, rahasia kemenangan dalam lomba Tamiya terletak pada jumlah atau lilitan kabel dan ukuran kabel yang dipakai untuk melilit dinamo. "Tim harus bereksperimen untuk dapat mendapatkan paduan terbaik demi laju Tamiya," jelas Rayan.

Tantangan itu dilihat para remaja sebagai yang lebih menantang dibanding adu cepat dengan motor di jalan raya dengan taruhan nyawa pengendara dan juga penonton. "Karena tantangan macam itu, adu cepat di jalan raya yang lebih berisiko mulai ditinggalkan," ujar OÆong sambil mengemasi pernak-pernik Tamiya yang tercecer untuk segera pulang.

Meskipun tidak berhasil menang dalam perlombaan Drug Tamiya, OÆong dan lima anggota timnya cukup merasa puas karena banyak belajar teknik-teknik baru merakit Tamiya. Dengan bekal tambahan teknik baru itu, pekan depan ia berniat bertarung lagi dan bertekad meraih juara. Weeeeng... weeeeng...

inu

public hearing

LEGA! Itulah perasaan yang kini dirasakan 19 anggota Panitia Khusus (Pansus) Penyusunan Tata Tertib (Tatib) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur (Jatim) periode 2003-2008. Perasaan lega layak dinikmati seluruh anggota pansus, karena setelah bekerja maraton selama 14 hari sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 151 Tahun 2000, Rapat Paripurna DPRD Jatim menetapkan hasil kerja pansus yang diakui sarat kepentingan ini.

Perasaan lega makin beralasan untuk dinikmati, lantaran Departemen Dalam Negeri (Depdagri) telah menyatakan persetujuannya atas ke-37 pasal yang tertuang dalam Surat Keputusan DPRD Jatim No 3 Tahun 2003 tentang Peraturan Tata Tertib Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim periode 2003-2008 itu.

"Satu-satunya di Indonesia! Bekerja tepat 14 hari, pasal-pasalnya dinilai paling maju dari provinsi lain, dan disetujui sebelum DPRD Jatim menetapkannya!" ungkap Saleh Ismail Mukadar, salah seorang anggota Pansus Tatib DPRD Jatim. Penetapan draf tatib itu sendiri diwarnai dengan berbagai interupsi.

Apakah proses yang ditempuh DPRD Jatim tersebut sudah menyerap seluruh aspirasi masyarakat Jatim yang mengemuka dalam public hearing sebelumnya? Kalau saja masyarakat awam yang ikut public hearing diikutsertakan dalam pengesahan draf tata tertib itu, niscaya interupsi akan semakin ramai.

Mengapa? Karena ternyata usulan yang mengemuka dalam public hearing diabaikan anggota DPRD Jatim. Usulan yang diabaikan itu antara lain soal mekanisme pemilihan langsung, semi-langsung, atau pemilihan terbuka untuk menghindari politik uang.

Pansus tatib lebih memilih mengedepankan prosedur hukum ketimbang mendengar aspirasi dari masyarakat. Masyarakat merasa kecewa? Sepatutnyalah demikian. Namun, apa mau dikata. Sebaik dan seketat apa pun tata tertib yang dihasilkan, keputusan siapa yang akan diberi kesempatan memimpin Jatim lima tahun mendatang, tetap ada di tangan 100 anggota DPRD Jatim.

Lalu, apa gunanya public hearing digelar dan aspirasi masyatakat Jatim diserap? Tidak tahu pasti apa jawaban anggota DPRD Jatim. Sangat boleh jadi public hearing digelar sekadar formalitas agar terkesan DPRD memberi kesempatan pada masyarakat untuk "bersuara".

"Kami ingin pemilihan gubernur berjalan wajar-wajar dan aman-aman saja. Tidak perlu dibuat tegang." Begitu sering dikemukakan Ketua Pansus Tatib Arif Djunaidy.

Jika ketegangan muncul kerena adanya reaksi dari masyarakat yang merasa kecewa dengan gubernur atau calon gubernur terpilih nanti, anggota Pansus Tatib DPRD Jatim sudah siap dengan dalih yang dilampiri tanda tangan puluhan perserta public hearing.

"Kami telah menyerap aspirasi mereka sebelumnya. Tetapi, mau gimana lagi? Kami tidak mau konyol membentur aturan yang ada."

inu

tunjungan

MALAM akhir pekan lalu di Plasa Tunjungan, Surabaya, berbeda dengan malam akhir pekan sebelumnya. Selain itu, di sejumlah ruas jalan yang memiliki akses langsung ke Jalan Basuki Rahmat terasa mencekam.

Keadaan ini terasa sejak Jumat malam lalu, terutama di Jalan Basuki Rahmat menuju Jalan Embong Malang yang merupakan jalan searah. Kesibukan kendaraan patroli, bukan hanya dari pihak kepolisian, tetapi juga dari TNI tampak semakin meningkat.

Akhir pekan lalu, kesibukan terlihat di tikungan menuju Jalan Basuki Rahmat dekat Patung Karapan Sapi, mobil patroli polisi yang parkir di situ tampak siaga. Pertanyaan ini menjadi semakin kuat, karena di mulut Jalan Kombes Duryat yang memotong Jalan Basuki Rahmat juga terlihat mobil patroli serupa dalam keadaan siaga. Ada apa?

Keheranan pengemudi yang melintasi Plasa Tunjungan, perbatasan Jalan Basuki Rahmat dan Embong Malang, semakin besar. Tepat di depan pos polisi Plasa Tunjungan, berderet menyita satu lajur jalan sejumlah kendaraan polisi dan marinir. Motor besar putih bertuliskan PM (Polisi Militer) juga ikut nongkrong di situ.

"Ada apa ini? Tidak seperti biasanya, banyak polisi disebar di jalan-jalan protokol dalam keadaan siaga. Selain itu, ada marinir di tengah-tengahnya. Apa Surabaya sudah tidak aman?" tanya Ian (21) usai memarkir motor ceper-nya di depan Gedung Negara Grahadi.

PERTANYAAN Ian kemudian jadi bahan obrolan seru sesama penggemar motor ceper yang setiap akhir pekan berkumpul dan berkonvoi di sekitar Plasa Tunjungan. "Mungkin mau ada perang," celetuk seorang dari mereka dengan muka serius lalu cengengesan.

Mau ada perang di Surabaya? Ditunggu sampai hari berganti dan selama dini hari, "perang" yang dikhawatirkan itu tidak terjadi. "Kami hanya melakukan upaya antisipasi dan meningkatkan kewaspadaan saja. Setelah semua normal, pasukan ditarik kembali," kata Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) Tegal Sari VT Tambunan. Setelah semua normal, pasukan ditarik kembali.

Seperti diberitakan, Jumat lalu sekitar pukul 02.15, belasan pria berambut cepak, berbadan tegap, dan bersenjata sangkur, menyerang pos polisi di Plasa Tunjungan. Kaca-kaca pos polisi itu dipecahkan, dan isinya diobrak-abrik.

Masing-masing kesatuan yang merasa terpojok dengan ciri-ciri gerombolan seperti dituturkan beberapa saksi yang kini diperiksa penyidik Polsek Tegal Sari, membantah anggotanya terlibat. Namun, pengamanan dan antisipasi yang tampak mencolok pada malam akhir pekan lalu menguatkan dugaan dan rumor yang beredar: serangan terhadap pos polisi dilakukan oleh tentara.

Karena negara ini tidak berdiri dan maju karena dugaan, isu, atau rumor, menguatnya dugaan itu hendaknya disikapi secara arif sambil menunggu proses hukum yang kini dijalani. Kita tunggu proses penyidikan yang dilakukan oleh polisi guna mengungkap aksi penyerangan ini.

Dengan adanya jaminan dari TNI AL dan TNI AD jika anggotanya ada yang terlibat akan ditindak tegas, maka untuk menyingkap kasus ini polisi mestinya tidak perlu sungkan, apalagi takut. Hukum harus ditegakkan.

MALAM Minggu makin larut. Obrolan ratusan anak muda yang terkelompok dalam sejumlah klub kendaraan dengan berbagai kekhasannya dimasuki tema suasana mencekam di seputar Plasa Tunjungan pada malam akhir pekan lalu.

Malam berganti pagi bersamaan dengan bergantinya sejumlah tema obrolan di antara anak muda yang terkelompok dalam sejumlah klub kendaraan itu. Secara berangsur-angsur ratusan anak muda ini pergi, dan kita berharap obrolan malam akhir pekan mendatang di seputar Plasa Tunjungan berganti: kasus penyerbuan pos kosong itu sudah terungkap.

inu

menangis

BERAWAL dari Tugu Pahlawan, Surabaya. Terik sinar matahari yang tepat berada di ubun-ubun kepala tidak menyurutkan niat ratusan pengunjuk rasa yang tergabung dalam Jeritan Rakyat Indonesia Tertindas (Jerit) melakukan long-march, Selasa (11/3) lalu. Jarak sekitar dua kilometer menuju Gedung Negara Grahadi seolah tidak terasa ketika niat bulat sudah diikrarkan bersama-sama.

Diawali dengan truk pengusung sound system yang sekaligus difungsikan sebagai panggung orasi berjalan, ratusan laki-laki yang tergabung dalam Jerit itu lantas berbaris dan berarak. Perlengkapan ujuk rasa standar mereka bawa, seperti selebaran berisi tuntutan, poster, dan spanduk.

Namun, berbeda dengan aksi unjuk rasa serupa yang kerap digelar di jalan-jalan di Surabaya, aksi Jerit tergolong unik. Seluruh peserta unjuk rasa yang kira-kira berjumlah 400 orang laki-laki dibekali topeng kertas bergambar raut muka seseorang yang sedang menangis karena duka mendalam.

Selain kerut di wajah, duka mendalam ditampilkan dalam tetasan darah dari sepasang mata dalam topeng itu. Ditanya soal keunikan unjuk rasa ini, Koordinator Jerit Arif PA berujar, "Terus terang kami kesulitan mengekspresikan kepedihan mendalam kami atas keadaan yang menimpa kami saat ini."

Di tengah kesulitan mencari media atau mengekspresikan duka mendalam, Jerit mempunyai ide untuk membuat topeng kertas bergambar raut muka seseorang yang sedang menangis. "Itulah ekspresi kami sesungguhnya di tengah kesulitan ekonomi saat ini. Kami menangis. Karena terus-terusan menangis, kami tidak bisa lagi menangis. Topeng-topeng itu kami harapkan dapat membantu penyampaian pesan kami," ujar Arif yang lantas naik ke atas truk berorasi.

DI atas truk, sepanjang jalan menuju Gedung Negara Grahadi, selain memberikan orasi, Arif memberi komando kepada ratusan massa Jerit yang datang dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan Mojokerto. Karena massa menyita satu lajur jalan, kemacetan lalu lintas akibat terhambatnya laju kendaraan tidak terhindarkan.

Jerit menyadari ketidaknyamanan pengguna jalan karena aksi yang mereka gelar. Meminimalisir ketidaknyamanan pengguna jalan, Jerit membentangkan tali untuk memberi batas dan meminta pengawalan aparat kepolisian.

"Kami meminta maaf kepada pengguna jalan di Surabaya jika aksi ini mengganggu kenyamanan pengguna jalan. Kami mohon pemahaman dan dukungan," jelas Sanuri (40), petani asal Mojokerto sambil meminta teman-temannya merapat agar tidak terlalu banyak menyita jalan.

Sanuri datang ke Surabaya bersama beberapa temannya khusus untuk aksi tersebut. Menurutnya, di Kota Surabaya-lah, jeritan dan tuntutan mereka akan bergema dan terdengar ke tingkat penguasa karena terliput media massa.

Saat ditanya apakah tuntutan utamanya dalam aksi unjuk rasa itu, Sanuri singkat berujar, "Agar harga kebutuhan sehari-hari turun harganya dan kembali terjangkau."

Tuntutan Sanuri tidak jauh berbeda dengan tuntutan yang secara formal dicetak dalam selebaran oleh Jerit. Sesaat setelah tiba di depan Gedung Negara Grahadi, tuntutan kepada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz yang secara formal telah dirumuskan itu dibacakan Arif PA.

Di antara tuntutan itu adalah mengembalikan harga kebutuhan pokok di pasaran, mengembalikan aset-aset negeri ini dari tangan asing untuk kesejahteraan rakyat, mengadili para koruptor dan mengembalikan uang untuk kesejahteraan rakyat, dan mengambil kebijakan yang memihak kepada rakyat dan atau mundur sekarang.

USAI pembacaan tuntutan yang diikuti tepuk tangan bergemuruh dan sorak-sorai persetujuan massa bertopeng duka itu, aksi unjuk rasa Jerit di depan Gedung Negara Grahadi sebagai simbol pemerintah diakhiri.

Berangsur-angsur, massa yang datang dari sejumlah kabupaten itu kembali ke daerah mereka masing-masing. Mereka pulang untuk menatap dan menggulati kembali kesulitan hidup yang ternyata tidak langsung berubah karena aksi yang mereka gelar.

Kecewa? Tidak juga! "Tujuan kami beraksi untuk menyampaikan apa yang sesungguhnya kami alami. Kami berharap pemerintah tanggap dan menaruh peduli atas kondisi ini. Itu saja untuk tahap awal ini," jelas Zain (24), seorang pengunjuk rasa.

SAYANG sebetulnya. Aksi simpatik yang sarat pesan dan kritik kepada pemerintah yang mereka nilai sudah mati rasa dan tidak lagi peduli kepada rakyatnya ini tampaknya tidak terlalu berdampak. Padahal, sesungguhnya potensi untuk menjadi berdampak sangat ada.

Di tempat yang sama, pada waktu yang bersamaan pula, belasan mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, berujuk rasa. Apa yang mereka tuntut sebetulnya sama. Hanya, redaksionalnya saja yang sedikit berbeda.

Mahasiswa akhirnya menuntut Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz mundur dengan bahasa pencabutan mandat. Meskipun sudah tahu bahwa tuntutannya sama, mahasiswa yang terlihat begitu bangga dengan jaket almamaternya tidak mau "menyapa". Kontan, terjadi semacam lomba keras-kerasan orasi di antara dua kelompok massa.

Meskipun akhirnya dua massa ini bergabung, mahasiswa yang hanya belasan jumlahnya tetap mengambil jarak dan membuat pemisahan identitas. Mereka tampak enggan disebut sebagai rakyat. Pemisahan identitas ini terus mereka lakukan, juga ketika menyampaikan tuntutan mereka yang sama.

Potensi lain yang dapat bergabung untuk memberi dampak aksi tampak juga dua jam sebelum aksi Jerit dan BEM Unair-ITS itu, di mana Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) juga melakukan aksi. Mungkin karena arogansi masing-masing elemen, potensi-potensi yang sejatinya dapat berdampak itu tidak bersatu.

Model aksi sendiri-sendiri macam ini sering kali terjadi di Surabaya. Karenanya, jangan berharap banyak tuntutan aksi memiliki dampak. Silakan menggelar aksi dan aksi lagi di Surabaya sampai sungguhsungguh tidak bisa berekspresi karena kehabisan energi yang terhadang arogansi.

inu

istighotsah

SUNGGUH sangat beralasan. Kenapa pada awalnya, ketika belum ada penjelasan resmi dari panitia penyelenggara, pihak Komando Daerah Militer (Kodam) V Brawijaya menolak mengizinkan rencana istighotsah (doa) di lapangan yang biasa digunakan untuk latihan militer itu.

Ingin tahu alasannya, tengoklah apa yang tertangkap mata saat memandang lokasi Istighotsah Nasional yang mampu menyedot sekitar 500.000 nahdliyin dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur (Jatim), Minggu (9/3), usai acara itu.

Lapangan yang sebelumnya ditumbuhi rumput hijau berubah jadi semacam kubangan. Sampah kertas yang digunakan sebagai alas duduk berceceran di mana-mana, sisa-sisa gelas, botol, dan kardus minuman dalam kemasan berserakan. Jika pernah melihat kondisi suatu wilayah pascabanjir di Jakarta, kondisi di lapangan Kodam V Brawijaya tidak jauh berbeda.

Namun, setelah mendapat penjelasan komprehensif dari panitia pelaksana mengenai kepentingan doa bersama itu yang tidak hanya diperuntukkan bagi nahdliyin, tetapi juga bagi bangsa dan bagi perdamaian dunia, pihak Kodam V Brawijaya dapat menerima kondisi lapangan yang tak ubahnya seperti kawasan pascabanjir di Jakarta itu.

"Kami melihat kepentingan yang lebih besar di balik acara doa bersama itu. Karenanya, izin penggunaan lapangan untuk acara itu diberikan," ujar Kepala Penerangan Kodam V Brawijaya Letnan Kolonel Djoko Agus, meralat keterangan sebelumnya yang menyatakan tidak akan memberikan izin untuk penggunaan lapangan Kodam V Brawijaya.

KEPENTINGAN yang lebih besar. Itulah yang meluluhkan ketegaran Kodam V Brawijaya yang semula menegaskan tidak akan memberikan izin penggunaan lapangan untuk kepentingan di luar kegiatan latihan militer. Takut jadi preseden buruk buat yang lain, katanya.

Meskipun secara teoretis muluk-muluk kepentingan yang lebih besar diterjemahkan demi penyelamatan bangsa dan negara dan demi perdamaian dunia seperti diujarkan dalam taushiyah (rekomendasi), ada kepentingan lebih besar yang secara riil dihidupi ratusan ribu nahdliyin. Bagi mereka, penyelamatan bangsa dan perdamaian dunia mungkin tidak bersentuhan langsung dengan kehidupannya.

"Saya senang datang ke sini bersama rombongan warga Panceng, Gresik. Selain ingin berdoa dan bertemu langsung dengan para kiai, kami datang untuk sekaligus rekreasi. Perbekalan sudah lengkap," ujar Solichin (45) yang mengaku datang ke lokasi istighotsah sejak malam sebelum acara itu digelar.

Solichin yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan tradisional melihat kesempatan pergi istighotsah sebagai kesempatan ke luar daerah menghilangkan kepenatan sehari-hari. Solichin yang datang bersama istrinya mengaku urunan untuk dapat turut serta dalam acara doa bersama yang kelima dalam kalender Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini.

Sementara sejumlah nahdliyin mengaku memiliki kepentingan seperti yang dituturkan Solichin dan begitu gembira setelah tiba di Surabaya dan sekejap memandang atau mencium tangan kiai pujaannya. Sejumlah nahdliyin lain mengaku punya kepentingan lain di samping ingin berdoa.

"Selain ingin berdoa bersama, saya juga ingin mengadu untung dengan berjualan kaus berlogo istighotsah dan NU di sini," ujar Abdul Kholik (44), pedagang kaus sablonan dari Pekalongan, Jawa Tengah (Jateng). Bersama lima saudaranya, Abdul Kholik datang dengan membawa puluhan kodi kaus yang disablonnya sendiri.

Usai istighotsah, seraya menghitung laba dan membereskan sejumlah kaus yang belum laku, Abdul Kholik yang mengaku selalu turut dalam setiap kegiatan NU berujar, "Lumayanlah untungnya. Bisa untuk tambahan dan memperbaiki pondok pesantren tempat saya sehari-hari mengajar puluhan santri."

Upaya mencari untung selain sekadar berdoa bersama seperti yang dilakukan Abdul Kholik, dilakukan juga oleh ratusan pedagang lain yang menggelar dagangannya sejak malam sebelum doa bersama digelar. "Bersama lima anggota keluarga, saya membawa 100 bungkus nasi. Hasilnya lumayan. Dalam dua jam, tinggal 17 bungkus nasi yang tersisa," ujar Nur Kholifah, warga Karah, Surabaya.

Dengan modal sekitar Rp 120.000, keuntungan sekitar Rp 80.000 sudah membayang di tangan untuk membantu mencukupi kebutuhan yang selama ini berusaha dicukupi dengan kerja suaminya sebagai buruh bangunan. "Maaf saja kalau ada yang merasa terganggu dan terhambat karena istighotsah ini. Yang jelas, saya bersyukur dapat menambah pemasukan untuk biaya sekolah dua anak saya," ujar Nur.

SELAIN sejumlah kelompok nahdliyin yang coba mengadu untung di tengah perhelatan doa bersama di atas, ada sejumlah kelompok lain yang selain turut berdoa bersama, juga membantu menenteramkan hati panitia penyelenggara dan terutama pihak Kodam V Brawijaya. Tak banyak yang memperhatikan, namun usaha mereka membuat beban berat petugas kebersihan teringankan.

"Saya tidak berani masuk lokasi pada saat doa berlangsung karena kotor. Namun, setelah umat berangsur pulang, saya masuk untuk mencari sisa-sisa botol dan gelas air minum dalam kemasan. Lumayan juga hasilnya untuk tambahan," papar Tubu (30) dengan tangan menyeret karung goni.

Bersama Tubu yang mengaku berasal dari Jember, ada puluhan "tubu-tubu" lain yang seperti berlomba memburu rezeki dari sampah-sampah sisa istighotsah. Ada yang khusus memburu botol dan gelas air minum kemasan, kardus, kertas koran, dan plastik.

"Selain ingin berdoa, adanya rezeki yang sehari-hari saya cari di sini tidak bisa saya tinggalkan. Hitung-hitung mencoba membantu petugas kebersihan yang pasti kerepotan," ujar Tubu sambil berlalu dengan terburu-buru.

inu

bom waktu

BOM waktu dikhawatirkan akan meledak dahsyat dalam proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur periode 2003-2008. Ledakan itu akan terjadi jika fraksi-fraksi yang Rabu (12/3) besok diserahi draf Tata Tertib (Tatib) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim tidak mampu mengkritisi hasil kesepakatan 19 anggota Panitia Khusus (Pansus) Tata Tertib tersebut.

Kekhawatiran ini perlu sejak awal dikemukakan karena draf yang dibahas dan dihasilkan dalam rapat Pansus Tatib di Hotel Surya, Tretes, 6-8 Maret 2003, menyerahkan kepastian penetapan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim mendatang kepada Rapat Paripurna DPRD Jatim.

Artinya, selama proses pencalonan oleh lima fraksi yang ada di DPRD Jatim, baik calon gubernur maupun calon wakil gubernur dapat saling silang bertukar-tukar pasangan sesukanya. Dalam rapat di Tretes, sudah disadari bahwa pelemparan tanggung jawab pada rapat paripurna itu akan membawa ekses yang tidak baik dalam seluruh proses pemilihan pemimpin eksekutif di Jatim.

Namun, kepentingan politik sesaat dengan dasar kekhawatiran tidak mendapat "apa-apa" dalam proses pemilihan orang nomor satu dan nomor dua di Jatim itu telah "membutakan" mata 19 anggota Pansus Tatib yang berasal dari seluruh unsur fraksi.

Sebelum Pansus Tatib ini dibentuk, sudah dengan tegas Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) dan Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG) DPRD Jatim menyatakan akan berupaya semaksimal mungkin mencegah terjadinya saling silang calon gubernur dan wakil gubernur itu. Ketua F-PG Edy Wahyudi, yang juga salah satu anggota Pansus Tatib, mengaku tidak berdaya memperjuangkan pelarangan sejak awal pencalonan saling silang itu karena desakan kuat sejumlah anggota pansus yang lain.

"Saya khawatir, jika draf ini tidak direvisi melalui evaluasi dari kelima fraksi, sama saja Pansus Tatib menyiapkan bom waktu bagi proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim," ujarnya.

Dengan dipersilakannya saling silang calon gubernur dan wakil gubernur itu, konflik internal di antara 44 anggota panitia pemilihan (panlih) tidak akan terhindarkan karena dipastikan akan terjadi praktik dagang sapi dan politik uang. Penciptaan bom waktu oleh sejumlah anggota Pansus Tatib merupakan indikasi minimnya calon kuat untuk bertarung menjadi gubernur.

Namun, kenyataan itulah yang terjadi. Bom waktu akan berdetak dan siap meledak jika anggota fraksi yang akan diserahi tugas memberi masukan untuk revisi draf tatib tidak mengkritisi dibiarkannya saling silang calon gubernur dan wakil gubernur itu terjadi.

inu

studio east discothique

MESKIPUN berada di tengah pusat Kota Surabaya, kawasan tempat berdiri kokohnya "Studio East Discothique" itu tampak terpencil. Suasana sepi Jalan Simpang Dukuh, Surabaya, lantaran tidak dilewati armada angkutan umum menambah kesunyian dan kesenyapan kawasan itu ketika malam datang menyergap.

Namun, Kamis (6/3) malam, kesunyian kawasan itu seakan menyingkir. Usai pusat-pusat perbelanjaan di sekitar kawasan itu tutup, keramaian pindah ke kawasan, yang pada malam hari-hari biasa sepi, itu. Berangsur-angsur, sosok manusia yang secara fisik adalah laki-laki namun bergaya dan berdandan layaknya perempuan berkumpul dan berbaris di muka lift.

Barisan panjang di muka lift gedung berlantai empat itu terus bertambah bersamaan dengan pekatnya malam. Kontan, dalam waktu satu jam sejak pukul 22.00, Studio East Discothique padat oleh sekitar 700 manusia yang datang berpasangan atau berombongan. "Kami datang dari Malang khusus untuk memeriahkan acara ini," ujar Beti (34) dengan tangan melambai dan kepala agak digeleng-gelengkan.

Dan, benar apa yang dikatakan Beti. Ratusan sosok manusia yang secara sosial disebut sebagai gay dan waria (wanita-pria) tersebut sengaja datang untuk sebuah acara "Operet Anak Metropolis" dalam rangka "Malam Peduli AIDS" yang diselenggarakan oleh GAYa Nusantara (GN).

"Kami hanya ingin mewadahi saja fenomena kehidupan macam ini. Mereka cukup banyak dalam kehidupan kita dan karena itu membutuhkan penerimaan masyarakat di sekitarnya," ujar Luita (32), aktivis GN, yang menjadi salah satu panitia penyelenggara acara tiga bulanan malam itu.

Aktivitas Luita yang adalah dosen Linguistik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya di GN merupakan salah satu cara untuk menaruh kepedulian terhadap para gay dan waria. "Saya bergabung dan aktif di GN sejak 1995 bersama Mas Dede Utomo, sesepuh dan pendiri GN," ujar Luita yang menegaskan bahwa dirinya adalah laki-laki "normal", bukan gay atau waria.

SETELAH Studio East Dischotique penuh sesak dengan ratusan manusia dari "jender ketiga" (jender pertama laki-laki, jender kedua perempuan), acara malam itu pun dimulai. Ratusan manusia dari jender ketiga yang semula duduk dan berdiri berkerumun di dalam diskotek lantas merapat ke belakang memberi ruang bagi pementasan yang disiapkan GN.

Narator dengan suara melambai memberi woro-woro dan ucapan selamat datang kepada seluruh warga jender ketiga yang hadir baik dari Surabaya, Malang, Gresik, Sidoarjo, Madura, maupun wilayah lain. Tepuk tangan meriah mengakhiri woro-woro itu menjadi pembuka operet yang telah dipersiapkan selama dua minggu oleh belasan pemain.

Jika sering menyaksikan acara variety show di layar kaca, apa yang ditampilkan dalam malam peduli AIDS itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Cerita yang diangkat pun tidak terlalu istimewa jika dibandingkan dengan ratusan sinetron di televisi kita: keluarga kaya raya yang menelantarkan anaknya hingga salah bergaul dan binasa.

Yang menarik dan mencengangkan mata adalah bagaimana ratusan warga jender ketiga itu merespons setiap adegan yang ditampilkan di atas panggung yang menang kocak dan menghibur. Mereka yang selama ini "konservatif" akan tercengang-cengang melihat sepasang manusia berjenis kelamin sama saling berdiri berdekatan, berpegangan, dan berpelukan.

Tidak hanya itu, untuk mereka yang sudah lebih berani, selama pertunjukan sejumlah pasangan warga jender ketiga ini bermesraan dengan saling berciuman! Karena mereka berada di tengah komunitas yang menerima mereka, sejumlah pasangan itu tenang- tenang saja melakukan itu semua meskipun dipelototi juga oleh ratusan pasang mata sesama mereka.

Usai Operet Anak Metropolis yang mendapat sambutan luar biasa karena ceritanya bersinggungan erat dengan kehidupan yang mereka jalani, acara sesungguhnya digelar. Dalam temaram lampu diskotek warna-warni dan dentuman musik yang seakan tiada henti, bergoyanglah seluruh warga jender ketiga itu.

Bersamaan pasangan yang mereka bawa atau pasangan yang didapat di tempat itu, warga jender ketiga ini asyik masyuk dalam balutan irama musik yang seakan mengajak badan bergoyang. Di tengah-tengah keasyikan ini, aktivis dari GN berkeliling membawa lusinan kondom untuk dibagi-bagikan secara gratis. "Save sex!" ujar mereka.

KETIKA beberapa dari warga jender ketiga ini ditanya mengenai kesadaran mengenai "kelainan" yang hinggap dalam raga dan jiwa mereka itu, mereka mengaku tertekan. "Terlebih karena masyarakat tidak dapat memahami kami yang bawaannya memang seperti ini," ujar Didik (35), pemilik sebuah salon di Surabaya.

Didik, yang kadang berubah nama menjadi Citra, datang ke acara yang diselenggarakan GN itu bersama Yahya (29), suaminya (atau meong istilah mereka). Karena penolakan masyarakat, Didik harus mengungsi ke rumah orangtua Yahya. "Meski kami memaknai hubungan yang kami jalani layaknya hubungan suami istri, di depan orangtua Yahya saya mengaku sebagai temannya," jelas Didik yang merasa memiliki "kelainan" sejak usia sekolah dasar (SD).

Mengenai penolakan masyarakat diungkapkan juga oleh Luita yang aktif sebagai pengurus di GN. "Penolakan masyarakat atas kenyataan ini adalah cermin bahwa kita belum masyarakat kita demokratis. Jika sudah demokratis, setiap perbedaan seekstrem apa pun akan dapat diterima dan dibiarkan hidup," ujarnya berteori.

Meskipun ada penolakan, warga jender ketiga tetap akan eksis dalam kantung-kantung komunitasnya. Keyakinan ini dikemukakan Ketua GAYa Nusantara Budi. Untuk menumbuhkan keakraban di antara para warga jender ketiga, setiap Kamis malam di Studio East Discothique di gelar acara East Gay Drive Me Crazy. "Sementara acara resmi kami gelar di sini karena hanya tempat ini yang welcome untuk kami," ujar Budi dengan gaya melambai tentu saja.

Hitung punya hitung, dari kehadiran sekitar 700 warga jender ketiga dalam acara tanpa undangan itu, Luita memperkirakan jumlah riil warga ketiga di Surabaya dan beberapa wilayah Jatim mencapai sekitar 7.000-8.000 orang. "Apa yang tampak malam ini adalah puncak dari sebuah gunung es. Di bawah puncak yang tidak terungkap, jumlahnya dapat berlipat-lipat," ujarnya.

Mendapat tekanan sosial berupa penolakan, cemoohan, dan pengucilan masyarakat kebanyakan yang menentukan sesuatu itu normal dan sesuatu yang lain tidak normal, sejumlah warga jender ketiga hanya berujar dengan tangan tetap melambai tentu saja, "Terhadap apa yang kami alami, salahkah bila kami jujur bertutur...."

inu