Thursday, March 6, 2008

tarlin

JANGANKAN rakyat kebanyakan, mereka yang agak pinter dan tinggal di perkotaan pun masih banyak yang kebingungan bagaimana caranya mencoblod di hari ekskusi, pemilihan umum, 5 April mendatang. Apalagi para elit parpol bisanya membodohi rakyat, di iklan-iklan kampanye cuma nyuruh coblos gambar partainya.

Maklum, iklannya memang semua mirip iklan di jaman Orde Baru. Semua dilakukan, asal kekuasaan tetap di tangan.

Untuk mengurangi kebingungan itu, akhir pekan lalu, di Kelurahan Gunung Ketur, Kecamatan Pakualaman, Yogyakarta, diadakan sosialisasi cara pencoblosan. Rakyat umumnya masih bingung piye carane nyoblos pemilu masa kini.

Mbak Parlin (67) bukan cuma bingung, tapi takut salah pilih. Lha, kalau ternyata pilihannya nanti tetap korup dan tetep bikin rakyat sengsara bagaimana? Mbah Parlin pun ikut sosialisasi. Namanya juga sosialisasi, alat peraga yang digunakan adalah alat peraga boongan.

Seluruh gambar partai disamarkan dengan nama buah-buahan untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD. Mungkin karena tidak dijelaskan sebelumnya bahwa surat suara hanya rekayasa atau memang tidak dijelaskan, saat membuka surat suara untuk pemilihan anggota DPD, Mbah Tarlin, tampak kebingungan.

Dengan keinginan besar ingin memilih GKR Hemas (istri Sultan Hamengku Buwono X) yang menjadi idolanya. "Ndi gambare Gusti Kanjeng Ratu Hemas, kok ra ono gambare?" (Mana GKR Hemas, kok tidak ada gambarnya?)," ujar Mbah Tarlin.

Mendengar celetukan yang keluar dari kepanikan ini puluhan warga tertawa geli. Mereka pun berusaha menerangkan kepada Mbah Tarlin bahwa surat suara yang dipakai adalah surat suara rekayasa untuk keperluan sosialisasi saja. Mbah Tarlin pun manggut-manggut sambil tekun mendengarkan penjelasan, yang masih juga membingungkan?

inu

transisi

TRANSISI menuju demokrasi yang sedang kita jalani selama lima tahun belakangan ini, selain menumbuhkan harapan akan perubahan, juga menyuburkan kecemasan akan potensi kegagalannya. Ketika kita sepakat melakukan reformasi, sebetulnya kita ingin berpindah secara kualitatif dari satu orde yang korup, otoriter, dan antidemokrasi menuju orde yang bersih dan demokratis.

Namun, kita kini menyadari apa yang kita sebut sebagai reformasi bukanlah perpindahan kualitatif seperti yang diharapkan. Bahkan sejumlah kalangan mengatakan, selama lima tahun terakhir ini tidak ada orde dalam arti tatanan yang lebih baik. Yang ada adalah bablasan atau kelanjutan orde sebelumnya. Inilah awal dari seluruh kecemasan kita.

Karena, yang terjadi selama reformasi bukanlah perpindahan secara kualitatif dan lebih merupakan kelanjutan orde sebelumnya. Kebebasan dalam bentuk terbukanya ruang politik melalui Pemilu 2004 itu dinikmati juga oleh mereka yang selama ini kerjanya "merampok" negara juga dinikmati kaum oportunis.

KITA saksikan eforia politik berlebihan yang muncul setelah tumbangnya Soeharto melemahkan civil society yang sebelumnya bersatu. Kini kebebasan politik yang muncul pada masa transisi demokrasi justru telah melemahkan civil society dan juga aktor di dalamnya.

Saat rezim otoriter Orde Baru tumbang dengan lengsernya Soeharto, fokus kehidupan politik bergeser dari perjuangan menjadi tindakan terpencar dan sendiri-sendiri. Tanpa bisa dihindari, gerakan demokratisasi yang mendasarkan diri pada isu tunggal anti-otoritarianisme dengan sendirinya kehilangan keutamaan dan menjadi redup setelah musuh bersama itu tumbang.

Pada saat yang sama, banyak kalangan lantas memutar haluan. Kepentingan dan pertimbangan keuntungan pribadi lebih mengemuka daripada memikirkan memajukan demokrasi. Masa depan cerah masa transisi menuju demokrasi segera luntur, dan front koalisi besar civil society yang semula bersatu menentang kekuasaan otoriter porak poranda.

Civil society semakin lemah ditinggalkan sebagian besar pendukungnya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa mewujudkan demokrasi lebih efektif dengan cara menjadi partisan partai politik atau birokrat daripada menjadi kekuatan oposisi yang bersatu di luar panggung. Nilai demokrasi kini pindah dari civil society ke panggung politik dan diperebutkan politisi yang semula bersama-sama mengusung proses demokratisasi. Latar belakang dan identitas komunal kembali menjadi ikatan untuk perebutan nilai demokrasi yang diartikan tidak lebih dari kekuasaan dan uang.

Identitas komunal memang tidak pernah lepas mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Sah-sah saja mereka menghidupi latar belakang identitas komunal tertentu mengukuhkan identitas komunalnya melalui institusi politik untuk alasan mulia memajukan demokrasi. Namun, dalam sejarahnya, identitas komunal menjadi kekuatan yang merusak kebebasan ketika dipaksakan kehadirannya. Demokrasi terpimpin dengan jargon nasionalis, agama, dan komunis terbukti telah menjadi perusak kebebasan.

Identitas komunal yang seharusnya muncul dari masyarakat menjadi unsur perusak ketika sistem (negara) menjadi faktor utama yang memaksa. Ketika 32 tahun Orde Baru dan Soeharto berkuasa, identitas komunal secara sistematis subur ditumbuhkan dalam upaya mempertahankan kekuasaannya. Pada masa itu, negara menjadi kekuatan perusak dan pembiadab terbesar karena dibangun dalam sistem yang salah dan dijalankan oleh orang yang salah secara salah.

Sebenarnya, negara berpotensi menjadi kekuatan pemberadab terbesar, yaitu jika dibangun dalam sistem yang benar dan dijalankan oleh orang-orang benar secara benar. Kita sepakat, terlepas dari kelelahan dan ketidakpastian, sistem demokrasi tetaplah menjadi sistem terbaik untuk membangun negara sebagai kekuatan pemberadab. Demokrasi dapat dirumuskan sebagai sistem politik yang tegak di atas prinsip kedaulatan rakyat dan dijalankan melalui rasionalitas politik saling kontrol di antara tiga pilarnya, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Namun, pemaknaan secara sosiologis mengenai demokrasi perlu ditekankan agar tidak terjebak pada pemaknaan yang sempit. Secara sosiologis, demokrasi dapat dimaknai sebagai proses politik yang bukan hanya bertumpu pada kedaulatan rakyat, tetapi bertumpu pada keadilan dan upaya transformatif.

Kalau hanya dimaknai sebagai kedaulatan rakyat, terlebih secara sempit, seperti yang kita lihat saat ini, mereka yang berkutat dalam dunia politik hanya bicara soal nomor urut. Oleh mereka, pemilu hanya dilihat sebagai sarana mencapai uang dan kekuasaan, bukan sebagai sarana membentuk masyarakat yang berkeadilan sosial dan transformatif.

Dalam arti ini, peran negara tidaklah dominan, tetapi sebatas sebagai penjamin adanya kesetaraan dan keadilan politik bagi setiap warga negara tanpa memandang suku, ras, dan agama, atau dengan kata lain inklusif.

POLITIK asumsinya adalah sekular. Tidak ada kebenaran yang dibekukan, dibakukan, atau dipermanenkan. Kebenaran yang telah disepakati bersama secara periodik lima tahunan diadu lagi untuk kemudian dicari dan ditemukan untuk dihidupi bersama. Politik adalah sekular, bukan dalam arti anti-agama, tetapi dalam arti semua orang punya kesempatan, setiap klaim kebenaran punya ruang untuk kemudian naik dan muncul mewarnai. Ada kontestasi di situ.

Karenanya, adalah sah mereka, yang semula bersatu dalam nama civil society dan kini terserak dan kerap berlawanan atas nama perebutan kekuasaan, berdiri dalam identitas komunal yang lebih memberi rasa aman di tengah kecemasan dan ketidakpastian transisi. Pluralisme adalah tuntutan demokrasi. Namun, dimungkinkannya kebenaran yang beragam hidup dalam demokrasi dengan membuat representatif politik atasnya secara vertikal atas dasar apa saja tidak cukup untuk menyatakan adanya pluralisme.

Pluralisme dapat muncul jika dimungkinkan adanya overlapping consensus. Menurut John Rawls, overlapping consensus adalah kesepakatan yang saling meliputi tentang prinsip-prinsip keadilan yang mendasari penataan kehidupan masyarakat yang adil (Rawls, John, 1993, Political Liberalism).

Munculnya partai politik dengan dasar identitas komunal bukan jaminan adanya pluralisme dalam demokrasi. Pluralisme sejati dalam demokrasi muncul ketika seseorang atau sebuah komunitas dapat keluar dari identitas komunalnya untuk mengakui dan mengikuti kebenaran yang ada di luar kebenaran komunalnya karena telah teruji secara rasional lintas subyek dan komunitas (intersubyektif).

Di Indonesia yang sangat pluralistis, situasi overlapping consensus belum sungguh-sungguh terjadi. Untuk mewujudkan demokrasi di tengah pluralisme identitas komunal dengan klaim kebenaran masing-masing, situasi overlapping consensus harus tumbuh dengan adanya jaminan hukum dan rasa aman saat seseorang dan komunitas berada di luar identitas komunalnya.

Secara primitif, rasa aman memang diberikan komunitas atas dasar identitas komunal. Akan tetapi, dalam negara modern, rasa aman sejatinya harus ditumbuhkan dan diberikan melalui hukum dan perangkatnya. Namun, kesulitannya, kadang kala dan kerap kali kita enggan dan ragu untuk keluar dari mentalitas komunal yang memberi rasa aman dan perlindungan secara primitif.

inu

ci...il

KEGALAUAN dan kegelisahan menyaksikan kehidupan politik yang menjemukan dan tanpa arah membangkitkan Sjahrir untuk menggagas dan mengusahakan sebuah Indonesia Baru. Perhimpunan politik dengan nama Perhimpunan Indonesia Baru kemudian dideklarasikan di Jakarta, 22 Maret 2001.

Pada mulanya adalah keinginan untuk menyaksikan sebuah kehidupan politik yang sehat, bersih, dan dinamis. Reformasi adalah spirit yang kita tebarkan bersama dengan satu maksud: membangun sebuah Indonesia Baru, yaitu Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan majemuk.

Tumbangnya Orde Baru disambut gembira dengan harapan dan keinginan meninggalkan sepenuhnya seluruh kebudayaan politiknya, yaitu otoriter, nepotis, dan koruptif. Reformasi telah menumbuhkan harapan perbaikan. "Akan tetapi, semakin lama kami menemukan kenyataan yang menjemukan. Kehidupan politik makin hari makin tanpa arah. Persaingan antar-elite berlangsung tanpa kontribusi bagi pelembagaan demokrasi," ujar Sjahrir dalam deklarasi Partai Perhimpunan Indonesia Baru (Partai PIB).

Membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk menjadikan Partai PIB sebagai partai politik (parpol). Di Hotel Indonesia, 23 September 2003, Partai PIB dideklarasikan. Sekadar mengumpat dan berdiam diri adalah sikap bodoh yang sempurna. Sekadar apatis dan frustrasi adalah sama dengan membiarkan masa depan ditawan oleh kebodohan politik masa kini. Sesuatu harus dilakukan.

Disesaki sosok pemikir seperti Sjahrir, Partai PIB dengan tegas menggariskan ideologinya, yaitu akal sehat. Memperdalam pengetahuan tentang partai yang telanjur identik dengan Sjahrir ini, berikut wawancara dengan Sekjen Partai PIB Laksamana Madya (Pur) Sumitro di kantor Partai PIB yang terletak di kawasan Menteng, Jakarta, Kamis (4/3).

Apa yang mendasari lahirnya Partai PIB?
Jelas karena kegalauan terhadap kondisi yang berkembang sesudah reformasi. Tampaknya yang menjadi harapan kami adalah perbaikan dari keterpurukan tidak muncul. Bahkan, kebijakan dan perilaku elite eksekutif, yudikatif, dan legislatif tak memberikan harapan yang menggembirakan. Kegalauan ini menumbuhkan idealisme dan semangat. Selama ini mereka yang punya idealisme dan konsep hanya didengar seperti anjing menggonggong kafilah berlalu. Itu bibitnya Partai PIB. Setelah dirasa mempunyai akar yang cukup kuat, dibentuklah Partai PIB.

Apa yang ditawarkan partai?
Dari namanya sudah jelas, Partai PIB menawarkan Indonesia baru yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Dalam upaya itu, ada prinsip awal yang menjadi landasan Partai PIB, yaitu keadilan, demokrasi, dan kemajemukan. Tiga hal itu adalah landasan utama Partai PIB. Keadilan dalam tatanan kehidupan. Demokratis di mana hak semua warga di hadapan hukum sama. Majemuk di mana menghargai dan memberi tempat pada perbedaan. Semua dihargai eksistensinya.

Yang akan dikerjakan dengan konsep ideal itu?
Mempraktikkan politik yang bersih. Politik dalam pengertian seluruh penyelenggaraan tata kenegaraan. Politik yang tidak bersih inilah yang tampaknya menjadi pemicu segala kekacauan di Indonesia. Kami memulai dengan tekad dan semangat untuk memelopori etika politik sederhana. Siapa pun yang duduk di jabatan-jabatan politik haruslah menjadi lebih miskin di akhir masa jabatannya. Sangat ekstrem memang. Siapa pun harus menjadi miskin di akhir masa jabatannya.

Apa siap dan tidak berlawanan dengan tren orang masuk parpol untuk mengangkat derajat ekonominya?
Apakah Pak Sjahrir siap? Apakah saya siap? Sebagai sebuah organisasi saya tak melihat tidak siap. Partai PIB juga mengambil sumber daya manusia Indonesia yang sudah terkontaminasi tren itu. Tetapi, sebagai Sekjen Partai PIB saya siap. Ini yang membedakan kami dengan parpol lain. Kalau tidak berbeda dengan parpol lama, ngapain saya di sini. Ikut partai lama saya sudah pasti dapat nomor di mana organisasinya sudah tertata. Ini bagian dari etika politik yang kami ingin usung.

Untuk menegakkan etika politik itu, kami bekerja keras menumbuhkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Kita selama ini terpuruk di semua bidang kehidupan karena ekonomi dan lapangan kerja sangat kurang. Keterpurukan moral disebabkan pengangguran. Tengoklah, bahkan yang jual shabu-shabu saat ini adalah kalangan bawah dan ibu-ibu. Kenapa? Soalnya mau gimana lagi cari duit. Ini pembenaran mereka. Moral terpuruk karena masalah perut. Ini terjadi di panggung politik.

Langkah riil apa yang akan ditempuh Partai PIB untuk menegakkan etika politik?
Kami menolak bantuan pemerintah kepada parpol. Bantuan itu menyakitkan hati rakyat karena tidak karuan penggunaan uang hasil pajak itu. Bayangkan, saya rakyat yang mendapati bahwa partai yang selama ini ada hanya menipu saya. Apa pertanggungjawabannya kepada rakyat? Tidak ada sama sekali audit untuk apa uang itu? Kami menolak dana yang dikumpulkan pemerintah dari rakyat. Kami minta sumbangan dana kepada rakyat melalui sumbangan anggota. Tidak akan menghamburkan uang pemerintah untuk parpol. Kami tegas menolak. Saya berpikir sebagai rakyat. Saya orang partai. Partai, menurut saya, harus jujur dan amanah. Amanah artinya sesuai dengan suara dan pikiran rakyat.

Dengan program itu, apa yang dilakukan agar Partai PIB mendapat dukungan?
Ada beberapa faktor yang membuat rakyat menentukan pilihannya. Saat ini rakyat tak lagi percaya kepada parpol. Tahun 1999 rakyat punya harapan kepada partai selain Golkar. Semuanya dibantu rakyat kecuali Golkar. Sekarang rakyat berpikir, parpol tidak peduli. Akibatnya, rakyat bertanya apakah partai baru lebih baik? Dengan pemikiran ini kita harus berjuang menarik simpati rakyat. Tetapi, simpati kepada partai baru itu kami yakin ada. Rakyat sudah tahu program, visi, dan misi semua partai itu bagus.

Kami datang menawarkan sesuatu yang lain. Pertama tokoh atau Partai PIB dikenal sebagai partai pemikir. Ketokohan Sjahrir sebagai ekonom cukup terpercaya. Kami mempraktikkan etika politik yang bersih dan tidak mau menerima batuan pemerintah. Hal-hal ini akan kami eksploitasi supaya menjadi perhatian rakyat banyak. Tokoh yang kami ajukan jangan sampai jadi sandungan. Saat ini kami berupaya menyosialisasikan hal itu kepada rakyat calon pemilih. Tetapi, pemilihan nama Indonesia baru itu sudah memberikan sosialisasi pemahaman.

Rakyat melihat parpol dengan sinis. Masih ada harapan mendapatkan dukungan?
Masih. Tidak menutup kemungkinan bahwa yang sudah menentukan pilihan akan berubah dalam Pemilu 2004. Memang menurut survei, 30-40 persen calon pemilih kita belum menentukan pilihannya. Apa yang bingung itu segmen pesantren, perkotaan, atau pedesaan belum terpetakan dengan jelas. Namun, ada kantong- kantong pesantren yang mengarah kepada Partai PIB. Akan ada yang merasa tersinggung jika saya kemukakan pesantrennya. Tak tertutup kemungkinan kami masuk kantong-kantong berbasis agama. Kami intinya umum saja dan tidak bisa mengklaim. Tetapi, ada salah satu partai yang menyatakan prediksi kira-kira kelompok Tionghoa terambil oleh Partai PIB.

Apakah menggarap ke kelompok yang terabaikan?
Persis. Seperti yang kami lakukan untuk menggarap rakyat miskin kota. Kami tidak main-main untuk itu. Kepada para guru, kami juga menaruh perhatian dengan hadir dalam rapat nasionalnya.

Diprediksikan, pemilih tidak akan beranjak dari partai lama meskipun kecewa. Secara realistis bagaimana prediksi perolehan suara Partai PIB?
Prediksi tersebut barangkali tidak salah dan memang banyak benarnya. Melihat data umum, tujuh partai besar dalam Pemilu 1999 mendapat 92 persen suara. Delapan persen suara diambil partai-partai lain. Dengan pemikiran rakyat yang sudah berubah, saya perkirakan partai besar akan mengalami penurunan perolehan suaranya.

Seberapa penurunannya?
Kalau turun tidak akan drastis. Jika dulu 92 persen, sekarang mungkin 85 persen mereka masih dapat. Sisa 15 persen itulah yang diperebutkan partai baru. Kalau diterjemahkan, 15 persen itu sekitar 80 kursi di DPR. Kalau partai baru dapat menyajikan yang baik kepada rakyat, tidak tertutup kemungkinan untuk mendapat 30 kursi. Kuncinya di partai itu sendiri. Kalau dapat 30 kursi saja itu sudah sangat berarti bagi kami.

Tidak terlalu muluk memang. Namun, itulah yang kini dilakukan dan realistis diharapkan partai berlambang senjata cakra ini. Benar apa yang dikemukakan Sjahrir saat mengutip peribahasa Cina: Daripada sibuk mengutuk kegelapan, lebih baik mulai menyalakan lilin.

inu

akhirnya sby

KAMIS pukul 13.00. Di tengah panas dan pekaknya telinga lantaran karnaval 24 partai politik peserta Pemilu 2004 di hampir seluruh jalan di Jakarta, sebuah dering suara layanan pesan singkat ke telepon seluler menjadi begitu menghibur. "Merapatlah ke Kantor Menko Polkam pukul 14.00. SBY akan beri pernyataan penting."

LAYANAN pesan singkat (SMS) itu ternyata dikirim secara berantai ke hampir semua wartawan yang biasa meliput kegiatan di Kementerian Politik dan Keamanan. SMS itu terasa menghibur karena telah selama dua minggu wartawan menunggu-nunggu pernyataan penting yang telah dikatakan berkali-kali akan disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Siang itu Yudhoyono menemui wartawan dengan wajah yang cukup tenang. Ia pun berupaya melempar senyumnya saat keluar dari Ruang Arjuna dengan membawa kacamata dan buku kerjanya. Ia juga tak lupa menyapa wartawan yang hadir.

Dengan mengenakan safari hitam, Yudhoyono yang masih terus melempar senyum kemudian melontarkan ucapan pertamanya, yakni agar wartawan memprihatinkan Pemilu 2004 ini.

Setelah mengenakan kacamata dan membuka buku kerja yang berisi tulisan tangannya, Yudhoyono mengambil sikap duduk tegap untuk kemudian membacakan keputusannya.

"Ini adalah konferensi pers pertama saya selaku Menko Polkam setelah dua minggu ini terjadi kemelut politik. Selama dua minggu ini, saya berusaha menahan diri untuk tidak memberikan pernyataan yang tidak perlu," ujar Yudhoyono.

MENGHADAPI kemelut politik yang membuatnya seolah-olah berhadap-hadapan dengan Presiden Megawati Soekarnoputri, Yudhoyono mengaku telah menempuh cara-cara yang elegan sesuai dengan etika berpolitik dan berorganisasi. Namun, lantaran mendengar pernyataan Sekretaris Negara Bambang Kesowo yang menyudutkannya dan kemudian menuduhnya emosional serta melankolis, Yudhoyono menyudahi untuk bertapa bisu.

Setelah menyampaikan pembelaan dirinya dan menolak dinyatakan bersalah atas langkah yang ditempuhnya dengan berkirim surat kepada Presiden Megawati, Yudhoyono menyatakan sikapnya untuk mundur dari Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati.

"Tanpa emosi..., dengan pertimbangan dan pemikiran mendalam, saya sudah mengirim surat kepada presiden untuk mohon izin mengundurkan diri dari kabinet," ujarnya.

Sejenak Yudhoyono terdiam menatap wartawan dan buku kerja berisi tulisan tangannya. Yudhoyono yang selama terjun ke dunia politik terkesan gamang, takut mengambil risiko, dan ragu-ragu itu akhirnya mengambil keputusan.

Yudhoyono mengaku sadar dengan penilaian sejumlah kalangan mengenai dirinya. Dalam kesempatan itu, purnawirawan jenderal ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada keberanian atau ketegasan mengambil keputusan. Menurut dia, masalahnya terletak pada diabaikannya persoalan dalam surat yang dikirimnya kepada Presiden Megawati, 8 Maret 2004 lalu.

Bagi Yudhoyono, untuk sekadar mundur dari kabinet sebagai Menko Polkam akan sangat mudah, tetapi dia menunggu dasar alasan yang kuat. Tidak elegan jika tiba-tiba ia mundur hanya untuk alasan praktis, sekadar memburu kekuasaan dalam Pemilu 2004.

Oleh karena itu, dengan alasan tidak lagi dipercaya sebagai Menko Polkam oleh presiden yang terlihat dari pemangkasan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya, Yudhoyono lantas memutuskan untuk mundur. Tetap dengan senyum, Yudhoyono lantas meninggalkan wartawan.

Dua minggu kemelut politik dengan Megawati yang dijawabnya dengan keputusan mundur dari kabinet tampaknya hanya pemanasan dari kemelut panjang dalam kancah perebutan kekuasaan.

Secara terbuka, Yudhoyono, yang makin populer lewat iklan pemilu damainya di televisi, konon membuat gerah "orang-orang Megawati dan mungkin Megawati sendiri".

"Sesuai dengan hak politik saya, jika nanti pada saatnya ada partai politik, katakanlah Partai Demokrat dan dengan gabungan partai lain yang mengusulkan saya sebagai calon presiden, insya Allah saya bersedia," ujar Yudhoyono, yang berarti ia siap bersaing dengan Megawati untuk merebut kursi kepresidenan di Pemilu 2004 ini.

MENGAMATI perjalanan karier Yudhoyono, memang tidak dapat dimungkiri bahwa ia ingin selalu tampak elegan baik dalam bertutur maupun bertindak. Paling tidak, sikap itu terlihat dalam tiga peristiwa penting yang melibatkan langsung pria kelahiran Pacitan 9 September 1949 tersebut.

Sikap ingin tampak elegan itu terlihat, misalnya, ketika mantan Kepala Staf Teritorial Markas Besar Tentara Nasional Indonesia itu tanggal 27 Januari 2000 memutuskan untuk pensiun lebih dini ketika menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid.

"... Saya sangat sadar, saya harus berjiwa kesatria, saya harus konsekuen dengan apa yang saya pikirkan. Sejak semula saya siap dipensiunkan meskipun saya lima tahun lebih cepat, saya siap," kata Yudhoyono yang waktu itu masih berpangkat letnan jenderal. Ia akhirnya pensiun dengan pangkat jenderal kehormatan.

Keinginan selalu terlihat elegan itu muncul lagi ketika ia menolak jabatan Menteri Perhubungan atau Menteri Dalam Negeri di masa Presiden Abdurrahman Wahid, ketika perombakan kabinet pada 1 Juni 2001.

"Jika Bapak Presiden mengganti saya (sebagai Menko Polsoskam-Red) karena rakyat dengan kuat mendesaknya agar saya diganti, maka keberadaan saya di kabinet (lagi) tentu akan mengurangi kredibilitas beliau dan mengurangi kepercayaan rakyat kepada pemerintah, kabinet, dan utamanya kepada presiden sendiri," kata Yudhoyono ketika itu.

Kini sikap ingin tampak elegan itu kembali diperlihatkan ketika kewenangannya sebagai Menko Polkam "dipangkas" oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Yudhoyono menilai wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya sebagai Menko Polkam sudah diambil oleh Megawati. Untuk itu, ia memilih mengundurkan diri dari kabinet melalui surat yang dikirimkan kepada Presiden Megawati. Akankah langkah tersebut mengantarkan Yudhoyono ke kursi puncak kepemimpinan nasional?

Perjalanan masih harus ditempuh, dan politik tidak selalu hitam putih. Megawati pernah merasakan bagaimana kemenangannya dalam Pemilu 1999 ternyata tidak otomatis mengantarnya duduk di kursi kepresidenan.

inu/bur

sipil...is

SETELAH enam bulan dibiarkan, kekosongan jabatan Menteri Pertahanan karena Matori Abdul Djalil terkena stroke kembali dibicarakan. Keinginan kuat untuk mengisi kekosongan jabatan itu dimaksudkan untuk mengantisipasi situasi darurat jika terjadi kekosongan kepemimpinan nasional seperti diamanatkan konstitusi.

TIDAK ada yang mengharapkan terjadinya kekosongan kepemimpinan nasional. Namun, melihat persiapan pelaksanaan Pemilihan Umum 2004 yang kian mengkhawatirkan, antisipasi untuk segala kemungkinan menjadi mutlak dilakukan. Karena itu, kekosongan jabatan Menteri Pertahanan (Menhan) menjadi penting untuk diisi.

Komisi I DPR yang membidangi masalah pertahanan pernah mendesak Presiden Megawati Soekarnoputri untuk
mengangkat Menhan ad interim (sementara waktu) atau mengangkat Menhan baru. Tetapi, desakan yang disampaikan akhir tahun 2003 itu diabaikan. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Marsekal Madya Suprihadi yang ditunjuk sebagai pelaksana harian Menhan mengatakan, Megawati enggan mengangkat Menhan ad interim atau Menhan baru lantaran alasan kemanusiaan.

Tidak jelas apa yang dimaksud alasan kemanusiaan. Tetapi, menurut tafsiran Suprihadi yang dipanggil Presiden bulan lalu, alasan kemanusiaan adalah rasa kasihan. Terlebih jika mengingat "utang budi" Megawati kepada Matori.

Mendengar alasan ini, anggota Komisi I DPR Arief Mudatzir Mandan mempertanyakan. "Masak persoalan negara diurus dengan rasa kasihan. Kita harus gunakan hak bertanya meminta penjelasan Presiden soal ini. Apa motivasi Presiden membiarkan jabatan penting ini terus kosong".

Rapat kerja yang semula hanya menyimpulkan untuk kembali mendesak penunjukan Menhan ad interim diubah untuk menggunakan hak bertanya kepada Presiden. "Sebagai rekan kerja Dephan, kami prihatin. Sejak jabatan Menhan dibiarkan kosong, kinerja dan wibawa Dephan terus merosot. Dephan kini seperti cabang Markas Besar TNI," ujar Wakil Ketua Komisi I DPR Effendy Choirie.

Mendengar desakan itu, Suprihadi dan jajarannya hanya terdiam. Meskipun berdasarkan perundang-undangan lebih memiliki kuasa, pejabat Dephan tidak berdaya bermitra dengan Mabes TNI. Jangankan membawahi, berdiri sejajar dengan Mabes TNI saja merasa tidak berani dan tidak punya nyali.

Pengakuan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto merefleksikan bagaimana gambaran posisi Dephan di mata Mabes TNI. "Buat saya, lebih enak tanpa Menhan. Dengan begitu, saya bisa memaki-maki pejabat Dephan. Saya bisa langsung mengobrak-abrik ketidakberesan di Dephan karena semuanya anak buah saya," ujar Endriartono sambil tertawa.

Ketiadaan Menhan dan kondisi psikologis pejabat Dephan sebagai bawahan Panglima TNI menurut Choirie sangat berbahaya. Supremasi sipil atas militer yang menjadi satu agenda reformasi tidak terwujud.

Anggota Komisi I DPR Chotibul Umam Wiranu menambah, Dephan yang ditugasi mengurusi masalah pertahanan negara malah menjadi departemen yang paling lemah. Chotibul mengusulkan agar pejabat Dephan yang"disusupkan" Mabes TNI melepas baju tentaranya dan mangajukan pensiun. Ini dinilai perlu untuk mengatasi hambatan psikologis sebagai bawahan.

TUMPANG tindihnya kewenangan Dephan dan Mabes TNI diakui Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Mayjen Sudrajat. "Masih ada nuansa kewenangan politik di Mabes TNI. Idealnya, TNI dilihat sebagai profesional yang melaksanakan keputusan politik. Tanggung jawab politik TNI harus dipikul Menhan," katanya.

Namun, Sudrajat membantah kesan Dephan adalah cabang Mabes TNI. "Kami yang kebetulan anggota TNI tetap memberikan loyalitas kepada Menhan. Sering kali muncul risiko tugas di mana kami sering bentrok, konflik, berlawanan, atau tidak sepaham dengan teman-teman di TNI," tegasnya.

Kesan Dephan sebagai cabang Mabes TNI tercermin dari pernyataan Endriartono soal kisruh pengadaan empat helikopter Mi-17 buatan Rusia. Uang muka 2,6 juta dollar AS yang diambil dari pemerintah tanpa bank garansi, sejak tahun lalu belum dibayarkan ke Rosoboronexport, produsen Mi-17.

Lantaran kesal dengan kelakuan "anak buahnya" di Dephan, Endriartono mendatangi dan mengamuk di Dephan. Pejabat Dephan yang bertanggung jawab dimarahinya dan diancam akan dipidanakan. Amukan dan ancaman Endriartono efektif. Usai mengamuk, entah dari mana diperoleh, uang muka pembelian Mi-17 dibayarkan ke pihak Rosoboronexport.

Kedatangan Endriartono untuk mengamuk itu dijelaskan Dephan sebagai berikut. Jumat, 13 Februari 2004, Sekjen Dephan Marsekal Madya Suprihadi meminta waktu menghadap Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto untuk menjelaskan hal-hal berkaitan dengan Mi-17. Namun, dalam pelaksanaannya, Panglima TNI datang menemui Sekjen Dephan di Kantor Dephan.

Tidak jelas lantaran kemarahan Endriartono atau bukan, Sekjen Dephan dan Dirjen Rensishan Mas Widjaja lantas menyampaikan bahwa Dephan telah mengambil langkah untuk menyelesaikan masalah pengadaan Mi-17 dengan menunjukkan surat kesanggupan Andy Kosasih sebagai perwakilan Swift Air di Jakarta untuk membereskan bank garansi.

KEENGGANAN Mabes TNI untuk tunduk kepada Dephan memang beralasan melihat kasus kisruhnya proses pengadaan Mi-17. Lebih dalam dari sekadar alasan emosional, Sudrajat mengakui, kedudukan Panglima TNI di bawah Presiden seperti diatur Tap MPR No VII/2000 membuat Mabes TNI merasa berkedudukan sejajar dengan Dephan.

"Tap MPR No VII/2000 yang mengatakan Panglima TNI di bawah Presiden, Menhan di bawah Presiden, dan Kepala Polri di bawah Presiden, memunculkan multi interpretasi. Walaupun dalam UU No 3/2002 disebutkan di bawah Presiden dalam konteks penggunaan kekuatan, tetapi orang dapat juga menjabarkan hal itu dalam konteks administrasi. Kita perlu duduk dan menata kembali bagaimana manajemen pertahanan dan keamanan" ujarnya.

Usulan Sudrajat dirasa mendesak juga oleh pengamat militer Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Edy Prasetyono."Banyak kalangan memahami secara keliru soal pengkajian ulang itu dengan wacana penggabungan kembali TNI dengan Polri. Kaji ulang bertujuan membuat instrumen hukum kuat bagi TNI dan Polri dan hubungannya dengan institusi sipil yang menjadi atasannya," jelasnya.

Mengenai dominannya peran Mabes TNI, menurut Edy lantaran secara institusional Dephan bertahun-tahun berada dalam cengkeraman Mabes TNI dengan rangkap jabatan Panglima TNI (ABRI) dan Menhan. Di tambah, secara politik, TNI memang dominan perannya di masa lalu. "Dalam waktu singkat, Dephan tidak siap menjadi representasi supremasi sipil atas militer," ujar Edy.

Pertanyaan, kapan Dephan sanggup menunjukkan supremasi sipilnya harus dimulai dengan menjawab pertanyaan kapan jabatan Menhan yang kosong sejak 27 Agustus 2003 diisi. Dengan membiarkan jabatan itu kosong, Mabes TNI dengan mudah akan kembali mengobrak-abrik Dephan. Setelah jabatan teramat penting itu diisi, baru dipikir manajemen pertahanan dan keamanan dengan mengkaji ulang Tap MPR No VI dan VII Tahun 2000 dan UU No 3/2000.

Adanya Menhan yang secara perundang-undangan berkedudukan lebih tinggi, membuat Panglima TNI berpikir ulang untuk menerobos masuk dan mengobrak-abrik Dephan meski dengan alasan kekesalan dan ketidakberesan di dalamnya.

"Penunjukan Menhan merupakan hak sepenuhnya Presiden. Namun, untuk mereka yang memahami esensi pembentukan sebuah negara yang mengharapkan jaminan keamanan, jabatan Menhan terlalu penting untuk dibiarkan kosong terlalu lama," ujar Edy.

inu