Sunday, February 24, 2008

tenggulun ii

TENGGULUN. Selain identik dengan pemudanya yang mencari ladang kedua di Malaysia, desa berpenduduk sekitar 2.600 jiwa di Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur, yang akhir-akhir ini meroket namanya lantaran Amrozi, itu identik juga dengan Kiai Sinori.

Menurut cerita penduduk setempat, Kiai Sinori adalah "pembabat alas" yang memperkenalkan warga Desa Tenggulun dengan ajaran Islam. Sekitar awal abad ke-19, kiai asal Madura ini datang ke desa itu untuk bertapa.

"Tujuan utamanya ke sini untuk menyebarkan agama Islam di desa ini," ujar Kepala Desa Tenggulun Drs Maskun. Setelah menyebarkan agama Islam selama empat tahun, pada usia 21 tahun, kiai yang gemar memelihara burung perkutut ini meninggal dunia. Kiai yang banyak berjasa kepada warga desa itu dimakamkan di belakang Masjid Baitul Muttaqin yang terletak sekitar 300 meter dari rumah Amrozi. Terdapat cungkup untuk menghormati jasa-jasanya kepada warga desa.

Sinori adalah nama julukan yang diberikan warga kepada kiai yang datang ke Tenggulun pada usia 17 tahun ini. "Sinori itu artinya yang memberi sinar terang melalui penyebaran agama Islam yang dilakukannya," tutur Maskun.

Selain memberi sinar terang kepada warga, kiai yang dikenal memiliki "ilmu" ini dianggap berjasa karena menemukan sumber air di desa yang gersang itu. Sumber air yang terletak 30 meter dari makamnya itu tak pernah surut meski kemarau panjang tiba.

Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, desa ini kemudian diberi nama Tenggulun. Tenggulun adalah nama pohon yang terletak di dekat sumber air yang ditemukannya. "Di pohon tenggulun itulah, Kiai Sinori sering mengerek burung perkutut kesayangannya," ujar Maskun.

SEPENINGGAL Kiai Sinori, salah satu muridnya, Kiai Sulaiman, melanjutkan pekerjaan Kiai Sinori di Tenggulun. Pada masa kiai ini, yaitu sekitar tahun 1911, Tenggulun memasuki masa keemasan. "Banyak warga desa sekitar yang datang berguru ke sini. Rakyat tenteram, desa makmur, dan agama Islam menyebar luas," papar Maskun.

Namun, kejayaan Kiai Sulaiman tidak mampu dilanjutkan oleh anak-anaknya, yaitu Romli, Masriah, dan Ridwan. "Dua anak pertama meninggal pada usia muda, sementara Ridwan tidak punya santri. Ia tidak mampu merawat peninggalan ayahnya. Yang dirawat hanya harta," ungkap Maskun. Cukup

lama kosong karena tidak ada tokoh panutan desa, muncul KH Yunus yang berasal dari luar desa. Pada masa KH Yunus, banyak santri yang berguru padanya. Banyak santrinya yang kemudian menjadi kiai dan menyebar ke desa-desa lain.

Meskipun berhasil, perjuangan kiai yang masuk Tenggulun sekitar tahun 1922 ini patah lantaran tak satu pun dari kelima anaknya yang melanjutkan perjuangannya. Meminta datangnya tokoh baru, warga sering berziarah ke makam Kiai Sinori.

Beberapa tahun kemudian muncul Kiai Abdul Gani dari Desa Kranji, Lamongan. Ia menjadi tokoh di Tenggulun karena kawin dengan gadis desa itu. Pada masa kepemimpinannya, Islam pesat berkembang. "Masa kejayaannya ditandai dengan banyaknya santri yang datang berguru. Ini berlangsung selama sekitar 20 tahun," papar Maskun.
Tradisi kepemimpinan tokoh Islam di Desa Tenggulun terhenti setelah Kiai Abdul Gani. Tidak jelas apa penyebabnya. Namun, bersamaan dengan tidak adanya tokoh panutan ini, sekitar awal tahun 1980, banyak pemuda desa berbondong-bondong pergi ke Malaysia mencari ladang kedua karena tandusnya ladang di desa.

Beberapa saudara Amrozi pergi juga ke Malaysia. Salah satu dari saudaranya yang pergi ke Malaysia adalah Gufron yang sejak awal dinilai keras dalam memegang prinsip-prinsip agama.

MENURUT seorang staf Kecamatan Solokuro, sekitar tahun 1987, ada kejadian yang mencengangkan penduduk desa yang mayoritas adalah Nahdliyin (warga Nahdlatul Ulama-Red) ini. Pada tahun itu, makam Kiai Sinori, sesepuh desa yang sering diziarahi warga, dibakar oleh anggota keluarga Amrozi dengan alasan musrik.

"Waktu itu, mayoritas warga marah dan melaporkan kejadian ini ke DPRD Lamongan karena menilai ziarah makam adalah hal yang biasa. DPRD Lamongan turun tangan dan kemudian mendamaikan ketegangan yang muncul," papar staf kecamatan yang enggan disebut namanya ini.

Karena kejadian ini dan mungkin merasa terpojok, dalam tahun-tahun berikutnya, beberapa saudara Amrozi meninggalkan desa ke Malaysia, termasuk Amrozi sendiri. "Saya ketemu Amrozi di Ampang Tasik, Malaysia, sekitar tahun 1992. Walau mengaku mencari kerja, saya tak pernah jumpa dia pergi kerja," ujar Marsodin, warga Tenggulun.

Sementara Gufron dan Amrozi pergi ke Malaysia, saudaranya yang berada di desa "berjuang" dengan mengidam-idamkan sebuah pondok pesantren. Khozin, kakak Amrozi, merintis dengan mengajar membaca Al Quran pada akhir tahun 1980.

Khozin kemudian mengontak sepupunya yang sedang belajar di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Jawa Tengah, yaitu Zaifuddin Zuhri. Khozin lalu mengajukan permohonan minta pengajar ke Ngruki dan ditanggapi dengan ditunjuknya Ustad Muhammad Zakaria yang sedang berada di Glagah, Lamongan.

Tahun 1993, Pondok Pesantren Al Islam didirikan Khozin, Ja'far Sodik (kakak tertua Amrozi), Saifuddin Zuhri, dan Muhammad Zakaria. "Khozin sendiri yang datang ke Ngruki untuk minta ustad dan saya yang ditunjuk memimpin pesantrennya," ujar Zakaria (32), alumnus Ngruki tahun 1992.

Dalam masa perkembangan ini, awal tahun 1996, Ja'far Sodik yang ketika itu menjadi Sekretaris Desa (carik) Tenggulun tersandung Pasal 372 KUHP tentang penggelapan. Oleh Pengadilan Negeri Lamongan, Ja'far divonis dua bulan kurungan.

Tahun 1997, Amrozi pulang ke desa dari Malaysia. "Saat pulang, Amrozi berubah. Ia kelihatan lebih beriman. Juga saudara-saudara lainnya. Amrozi, Gufron, dan beberapa teman yang dibawanya sering ke Al Islam. Kegiatan saudara dan teman Amrozi di desa hanya antara rumah dan pesantren saja," ujar Maftuhin, tetangga depan rumah Amrozi.

inu

tenggulun

TENGGULUN. Sebelumnya hampir tidak pernah terdengar namanya, lantaran satu dari 10 desa di Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur, ini terpencil dan tertinggal. Saat melintasi jalan sepanjang delapan kilometer menuju desa ini dari jalan kabupaten yang penuh dengan hiasan ranting kering pepohonan karena kemarau, bayangan mengenai ketertinggalan itu mendapatkan pembenarannya.

Namun, begitu memasuki kawasan perumahan penduduk, bayangan tentang ketertinggalan desa yang sepekan terakhir begitu populer karena penangkapan Amrozi segera sirna. Meskipun terpencil dan terkucilkan oleh hamparan luas ladang tadah hujan yang mengering karena kemarau, hampir semua simbol kemajuan dan modernitas dimiliki sebagian besar penduduk desa yang berjumlah sekitar 2.600 jiwa ini.

"Meskipun jalan masuknya sangat jauh dan menimbulkan kesan terpencil dan terasing, kami tidak pernah merasa tertinggal. Hampir semua warga desa di sini memiliki televisi," ujar seorang warga bangga. Selain itu, simbol modernitas lain seperti handphone tampak ditenteng oleh beberapa pemuda desa.

MELIHAT kondisi alam desa ini, hampir mustahil keterpencilan dan ketertinggalan desa ini dapat diatasi. Jika hanya mengandalkan hasil pertanian dan ladang, ketertinggalan dan keterpencilan dipastikan akan terus melekat. "Setahun, kami hanya panen tiga kali. Dua kali panen padi dan sekali panen jagung atau kedelai dengan hasil yang tidak selalu bagus," ujar Sodik (49).

Lalu, dari mana warga desa ini berhasil lepas dari belenggu ketertinggalan menuju kemakmuran? "Lebih dari 20 persen warga desa pergi ke Malaysia untuk kerja bangunan. Jika dihitung-hitung, hasilnya bisa lebih dari enam kali kerja tani," ujar Kepala Desa Tenggulun Drs Maskun.

Menurut data yang dimilikinya, saat ini, terdapat 643 warga Desa Tenggulun yang mencari kerja di Malaysia. Dengan total keluarga hanya 426 keluarga, di setiap rumah, pasti ada satu atau dua anggota keluarga yang bekerja di negeri jiran tersebut. "Mereka yang pergi bekerja ke Malaysia inilah yang membuat desa jauh dari kesan terpencil dan tertinggal," papar Maskun, yang menjadi kepala desa sejak tahun 1989.

Maskun memberi contoh, untuk mengaspal jalan desa sepanjang sekitar enam kilometer, seluruh dana didapat dari warga yang pergi ke Malaysia. Karena semua keluarga ada anggotanya yang bekerja di Malaysia, setiap keluarga dimintai bantuan antara Rp 200.000 hingga Rp 1 juta. "Terkumpul lebih dari Rp 300 juta untuk mengaspal jalan desa pada tahun 1999," ujarnya.

Karena mudahnya mendapatkan ringgit di negeri jiran itu, tidak sedikit warga Desa Tenggulun yang kemudian terus berbondong-bondong ke Malaysia untuk mengubah nasib. Hal ini mulai berlangsung sejak tahun 1980 hingga sekarang.

"Saya pergi ke Malaysia untuk cari kerja di sana tahun 1982. Sekarang saya ke sini karena puasa dan akan segera pulang kembali ke Malaysia karena banyak kerja di sana," ujar Marsodin (45), seorang warga Tenggulun.

Marsodin mengatakan, "pulang kembali ke Malaysia" karena secara kewarganegaraan, ia, istri, dan putra-putrinya tercatat sebagai warga negara Malaysia. "Sejak tahun 1984, saya sudah mendapat IC (Identity Card/Kartu Penduduk Malaysia-Red). Saya pulang untuk menengok kampung dan membangun rumah untuk hari tua," ujarnya sambil duduk mengamati bangunan rumah dua lantai yang baru dibangunnya.

Apa yang dilakukan Marsodin dilakukan juga oleh sejumlah warga desa lain. Karena sebagian besar dari mereka yang tinggal dan bekerja di Malaysia memiliki IC, mereka dengan mudah meninggalkan Malaysia dan kemudian datang lagi. "Mereka yang punya IC, sluman-slumun datang dan pergi-Red) dari desa ini," tutur Maskun.

NAMUN begitu, tidak mudah untuk mendapatkan IC Malaysia apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini. "Persyaratannya makin diperketat," ujar Maskun.

Salah satu teman sekolahnya di sekolah dasar di Lamongan, yaitu Gufron (39), yang saat ini menjadi buronan Tim Investigasi, telah mengubah nama. "Saya ketemu Gufron sedang berdakwah di Malaysia tahun 1988 bersama seorang temannya dari Desa Dadapan. Saat itu, namanya sudah berubah bukan lagi Gufron seperti yang saya kenal saat sekolah dasar," ujarnya, yang mengaku tidak ingat nama baru Gufron ketika berada di Malaysia.

Gufron, yang sudah berubah nama itu, kepada Marsodin mengaku tinggal di Pondok Pesantren Al Arqam, Johor, Malaysia. Selain bertemu Gufron, Marsodin mengaku beberapa kali bertemu dengan Amrozi di Ampang Tasik, Kuala Lumpur, Malaysia, yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari tempatnya tinggal.

Mengenai perginya Gufron dan Amrozi ke Malaysia ini dibenarkan oleh H Khozin, saudara kandungnya yang menjadi Ketua Yayasan Pondok Pesantren Al Islam di Desa Tenggulun. Dari Malaysia yang menjadi ladang kedua warga Desa Tenggulun, pondok pesantren yang diangan-angankannya sejak tahun 1989 itu mendapat dana sehingga berdiri tahun 1993 dan terus berkembang hingga muncul kasus peledakan bom yang mengaitkan Amrozi dengan pondok pesantren dengan santri sekitar 150 remaja itu.

inu

amrozi

DALAM dua tahun terakhir, setiap perpisahan kelas terakhir Pondok Pesantren (Ponpes) Al Islam di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur, Ustad Abu Bakar Ba'asyir selalu hadir memberi ceramah perpisahan.
Kehadiran Ustad Ba'asyir -pendiri Ponpes Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah-sangat penting. Mengapa? Ustad Ba'asyir ternyata adalah Idola Santri Ponpes Al Islam, yang didirikan tahun 1993.

Begitulah pemaparan Pemimpin Ponpes Al Islam Ustad Muhammad Zakaria (32) saat ditemui sebelum memberi ceramah dan pengajian di Surabaya, Kamis (7/11).

"Anak-anak pondok selalu meminta kehadiran Ustad karena bangga, senang, dan kagum terhadap komitmennya pada Islam. Menurut para santri, ustad orangnya kalem, tetapi tegas."

Menurut ustad lulusan Ponpes Al Mukmin, Ngruki, tahun 1992 ini, dalam dua tahun terakhir, Ba'asyir selalu datang saat diundang untuk memberi ceramah perpisahan kelas terakhir, yaitu pada 16 Juni 2001 dan 17 Juni 2002.

Untuk perpisahan tahun ajaran 2003, seluruh santri sudah meminta Ba'asyir datang lagi memberikan ceramah. Mungkin harapan itu tidak akan terkabul karena Ba'asyir kini dalam tahanan polisi.

Meskipun antara tahun 1988-1992 Zakaria menempuh pendidikan di Al Mukmin, Ngruki, secara pribadi pria kelahiran Manggarai, Nusa Tenggara Timur, ini mengaku tidak mengenal Ba'asyir secara pribadi.

"Saya baru tahu Ustad adalah pendiri Al Mukmin dari ramainya pemberitaan tentangnya," papar ustad yang sebelum menjadi pemimpin Pesantren Al Islam berprofesi sebagai guru agama di Lamongan.

AL Islam didirikan atas permintaan H Khozin, pegawai negeri sipil yang merupakan kakak kandung Amrozi, yang saat ini menjadi tersangka dalam kasus peledakan bom di Bali itu.

"Tahun 1993, Haji Khozin pergi ke Ngruki untuk meminta seorang ustad sebagai pemimpin karena ia akan mendirikan pondok pesantren. Ustad Ngruki lalu meminta Khozin menghubungi saya yang alumni Ngruki dan sedang berada di Lamongan," ujarnya.

Awal sebelum pesantren dibangun, Zakaria membuka kursus bahasa Arab dan Inggris dengan jumlah murid 300 orang. Namun, saat pondok pesantren selesai dibangun, jumlah santri berkurang jadi 150 orang.

"Saat saya mendirikan pesantren bersama kakaknya, Amrozi sudah tidak ada di Lamongan. Menurut orang-orang, ia di Malaysia," ujar Zakaria.

"Saya baru kenal Amrozi tahun 1997 saat ia pulang ke Lamongan dari Malaysia. Tapi, kemudian ia menghilang lagi dan baru muncul tahun 2000. Meskipun sibuk karena sering pergi dalam waktu cukup lama, kalau sedang ada di kampung, Amrozi sering turut shalat berjamaah di pesantren dan kami sering pergi bersama mencari makan," paparnya.

SAAT diminta komentarnya mengenai keterlibatan Amrozi dalam kasus peledakan bom di Bali, Zakaria yang sempat diperiksa polisi di Kepolisian Resor (Polres) Lamongan usai penangkapan Amrozi, merasa tidak yakin dengan tuduhan itu.

"Saya tidak yakin sedikit pun. Dari apa yang saya ketahui, Amrozi tidak memiliki kemampuan dan kapasitas untuk itu. Kalau dinilai terkait lantaran Amrozi adalah pemilik terakhir mobil Mitsubishi L 300, mungkin saja karena profesinya adalah montir dan jual beli kendaraan," ujarnya.

Lagi pula, saat kejadian peledakan bom di Bali 12 Oktober 2002, bersama dengan Kamar, Polisi Kehutanan Lamongan, Amrozi sedang menonton tinju di televisi di rumahnya.

Zakaria mengaku cukup mengenal Amrozi dan keluarganya. Amrozi, seperti dituturkan Zakaria, adalah salah satu dari 13 anak H Nurhasyim yang beristri dua. Saat ini, Nurhasyim terbaring lumpuh karena sakit. Amrozi sendiri kepada Zakaria mengaku telah tiga kali menikah dan memiliki dua anak kandung dan satu anak tiri. Saat ini ia hidup bersama istri ketiganya, Susi.

Selain ahli memperbaiki motor dan memiliki usaha jual beli mobil, Amrozi juga pandai memperbaiki dan memasang antena tambahan pada handphone. Untuk mobilitas, Amrozi sering mengendarai sedan Toyota Crown warna putih dengan nomor polisi G 8488 D.

"Kami berdua sering pergi mencari sate dengan mobil yang saat ini disita polisi sebagai barang bukti," ujar Zakaria.

IBU kandung Amrozi, Tariem, mengaku terkejut dengan penangkapan anaknya. "Waktu anak saya ditangkap, saya sedang di ladang. Ketika pulang sore hari, di rumah saya sudah banyak polisi yang menggeledah kamar anak saya. Sampai sekarang saya tidak tahu di mana keberadaan dan apa kesalahan yang dibuat anak saya," kata Tariem.

Dalam kesehariannya, Amrozi memang diketahui para tetangganya sebagai montir kendaraan. Bengkel tempat ia bekerja berada tepat di samping rumah orangtuanya. Rumah itu, selain ditempati Tariem dan suaminya, Nurhasyim, juga ditempati Amrozi bersama istri dan anaknya. Rumah yang terdiri dari dua bangunan utama dan satu bangunan tambahan itu kini sudah diberi batas garis polisi.

Bangunan pertama yang memanjang ke belakang ruangannya dipetak-petak menjadi lima ruangan. Menurut Tariem, ruangan itu sebagai tempat tinggal bagi para guru ponpes Al Islam yang dipimpin anak ketiganya, H Khozin.

Bangunan kedua yang memiliki tiga kamar ditempati Tariem bersama Nurhasyim di kamar bagian depan. Kamar belakang ditempati Amrozi serta istri dan anaknya, sementara bangunan ketiga adalah bengkel yang dijadikan tempat praktik sehari-hari Amrozi.

"Sehari-hari Amrozi bekerja sebagai montir dan tidak pernah pergi ke mana-mana. Kalaupun pergi, paling-paling hanya untuk membeli kekurangan onderdil kendaraan yang ia perbaiki dan perginya pun tak pernah lama," kata Tariem.

Selain Amrozi, Tariem masih memiliki tujuh anak kandung lainnya, yakni Alima, Afiah, Khozin, Djafar Sodiq, Gufron, Amin Jabir, dan Ali Imron. Gufron dan Ali Imron berada di Malaysia. Djafar Sodiq dan Khozin mengelola ponpes Al Islam.

DI pondok pesantren yang luasnya sekitar 60 x 120 meter itu terdapat tiga ruangan kelas yang bangunannya terbuat dari papan dengan atap genteng merah. Selain ruang kelas, dalam kompleks itu juga terdapat beberapa ruang tempat tidur santri laki-laki, bangunan bertingkat untuk santri perempuan, lapangan voli, dan sebuah masjid.

Dari 150 santri, hanya lima persen yang berasal dari desa Tenggulun. Sisanya dari bebeberapa daerah di Jatim dan luar Jatim, seperti dari Malang, Ngawi, Madiun, Madura, Solo, dan Flores.

Menurut salah seorang pengajar pesantren, Nurfitratullah, santri-santri yang tinggal di ponpes Al Islam adalah santri yang berusia dari 12-20 tahun. Sebagian besar sudah ada yang tinggal di ponpes Al Islam selama delapan tahun.

inu

sumpah pemuda

KAMI putra-putri Indonesia,
berbangsa satu, bangsa Indonesia
Kami putra-putri Indonesia,
ber-Tanah Air satu, Tanah Air Indonesia
Kami putra-putri Indonesia,
berbahasa satu, bahasa Indonesia

SETIDAKNYA, setahun sekali setiap tanggal 28 Oktober, kita diingatkan akan heroisme pemuda dari seluruh negeri yang bercita-cita luhur mulia untuk menyatukan negeri lewat Soempah Pemoeda! Namun, bagaimana pemuda di Jawa Timur (Jatim), khususnya Surabaya, menghayati dan memaknai peristiwa yang terjadi 76 tahun lalu itu? Memang beragam tanggapan pemuda dalam menjawab pertanyaan dasar ini. Namun, pada umumnya mereka tidak lagi merasakan gema dan juga pesan dari ikrar pemuda yang dipekikkan pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, di Batavia (kini Jakarta) itu.

"Dari pelajaran sejarah di sekolah sejak SD (sekolah dasar-Red) memang saya tahu kalau tanggal 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Namun, hanya tahu sebatas tanggal saja. Selebihnya saya tidak tahu," tutur Suprapto (17), siswa kelas II Sekolah Menengah Umum (SMU) Muhammadiyah 6 Surabaya, Minggu (27/10).
Penuturan polos remaja yang bersama puluhan teman seusianya hadir dalam diskusi bertajuk "Membangkitkan Semangat Kebangsaan" di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Surabaya itu diungkapkan juga sejumlah teman-temannya. Sumpah pemuda yang menyatukan dan menjadi alat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan itu tak lagi bergema. Juga di relung hati kaum muda yang menjadi pewaris semangat itu.

BANYAK sebab yang menjadi pemicu lunturnya semangat kebangsaan yang merupakan warisan para pendahulu Republik ini. Para pemuda yang ditemui mengaku sangat jenuh melihat wacana kebangsaan yang saat ini dibicarakan dalam sejumlah forum, baik di pemerintahan maupun di luar pemerintahan.

"Tidak pernah ada habisnya dan tidak memberi kontribusi nyata bagi bangsa. Karena itu, saya makin tidak berminat membicarakan politik termasuk soal kebangsaan itu," ujar Vina (21), mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya. Kenyataan itulah yang membuat dia dan beberapa temannya enggan membicarakan masalah kebangsaan yang berbau politik.

"Yang penting ngurusin sekolah. Habis sekolah kerja cari uang untuk hidup dan masa depan. Soal kebangsaan dan negara enggak sampai kepikiran," ungkap Bintoro (20), yang ditemui sedang asyik memilih-milih komik Jepang di sebuah toko buku di Tunjungan Plaza, Surabaya.

Penyebab lain lunturnya semangat kebangsaan atau keinginan untuk memberi kontribusi bagi kelangsungan dan kehidupan berbangsa sejumlah besar kaum muda adalah tidak adanya kepercayaan yang diberikan oleh kelompok tua kepada kaum muda.

"Saat ini hampir tidak ada posisi dalam lembaga resmi yang dipercayakan kepada kaum muda. Bahkan, untuk mengurusi kaum muda, lembaga-lembaga itu menempatkan orang-orang tua di sana," ujar Haris Nukman (21), Ketua Komisariat Istimewa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Tarbiyah cabang Wonocolo, Surabaya.

Jika pada lembaga-lembaga atau partai-partai tertentu kaum muda sepertinya diutamakan, mahasiswa Jurusan Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel ini melihat, hal itu hanya trik saja untuk merebut suara. Jumlah kaum muda yang memiliki hak suara dalam pemilihan umum (pemilu) cukup signifikan. Namun, setelah suara di dapat, kaum muda segera ditinggalkan.

Untuk pembangunan kesadaran berbangsa, sejumlah kecil mahasiswa dan kaum muda melakukannya lewat diskusi yang sifatnya terbatas tanpa penyaluran melalui organisasinya dan juga organisasi pemuda lain. "Akibatnya kami sering mengalami kelesuan dan kelelahan karena tidak ada tanggapan sama sekali dari pemerintah atas sejumlah tuntutan dan aspirasi yang kami sampaikan," paparnya.

DENGAN kondisi yang umum terjadi seperti ini, Haris yakin, hanya segelintir orang muda yang masih punya perhatian dan keprihatinan perihal kebangsaan. "Di kampus dan di tempat biasanya anak muda berkumpul, tidak ada pembicaraan soal-soal kebangsaan atau kehidupan bernegara. Mahasiswa telanjur apolitis yang membuat mereka berpikiran pragmatis," ungkapnya.

Sikap apolitis dan pragmatis kaum muda ini diakui juga oleh Nita Savitri (16), siswa kelas II SMK Ketintang I Surabaya. "Jangankan soal kebangsaan, untuk masalah yang ada di sekitarnya saja banyak yang tidak peduli. Untuk berorganisasi di tingkat sekolah saja susah mengajak dan melibatkan mereka. Yang dipikirin cuma bersenang-senang dan kepentingannya sendiri," ujarnya.

Lunturnya semangat kebangsaan seperti yang muncul dalam diri para pemuda yang mengikrarkan Sumpah Pemuda 76 tahun lalu juga diakui Suprapto dan teman-temannya. Menurut dia, kaum muda terjebak dalam arus yang tidak bisa mereka kendalikan, seperti konsumerisme. "Yang muncul di benak kaum muda dan menjadi bahan pembicaraan adalah bagaimana memiliki barang ini dan itu seperti yang banyak diiklankan di media," ungkapnya.
Oleh karena itu, semua kaum muda yang ditemui dan dimintai komentar perihal memaknai Sumpah Pemuda hanya tersenyum dengan canggung. "Jangankan memaknai Sumpah Pemuda, memotivasi diri untuk sekolah saja banyak yang kesulitan. Tidak sedikit teman-teman saya yang membolos sekolah dan kemudian terlibat dalam penggunaan obat-obatan terlarang karena pergaulan," ungkap Suprapto.

Ironis memang. Tetapi, itulah yang terjadi pada sejumlah-untuk tidak mengatakan sebagian besar-kaum muda kita seperti yang tertangkap secara acak di sejumlah tempat mereka biasa berkumpul. Lalu, akan diletakkan ke pundak siapa semangat dan cita-cita kebangsaan para pemuda pendahulu mereka yang telah berikrar bersama: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia?

inu

warung psk

DIPASTIKAN tidak akan adalagi musik keras dengan irama mendayu-dayu mengajak mereka yang mendengarkannya bergoyang selama bulan Ramadhan 1423 Hijriah (2002) di kawasan Jarak dan Gang Dolly, Surabaya. Meskipun umumnya para pelaku usaha di "kawasan merah" Surabaya itu keberatan atas keputusan Wali Kota Surabaya mengenai penutupan tempat hiburan yang dikategorikan sebagai tempat asusila itu, mereka hanya bisa mengalah dan pasrah.

"HABIS mau gimana. Mau ngotot minta tetap diperbolehkan buka dengan batasan waktu tertentu seperti dulu sebelum tahun 2000 pasti tidak akan didengarkan. Lebih baik mengalah sejak awal daripada berjuang dengan jaminan pasti kalah," ujar Saptono (bukan nama sebenarnya, juga semua nama yang ada dalam tulisan ini), pengantar tamu di Wisma Kedaton di Jalan Jarak, Surabaya, akhir pekan lalu.

Pria asal Tulungagung berusia 26 tahun yang tampak sangat dekat dan akrab dengan "anak-anak" asuhan bos wisma yang persis berada di tepi jalan itu hanya berharap dapat memperolah bekal hari raya pada sisa waktu sekitar 15 hari sebelum bulan Ramadhan tiba. "Mudah-mudahan selama 15 hari terakhir sebelum Puasa, bisa ngumpulin uang buat Lebaran dan membelikan adik-adik saya baju baru," tuturnya penuh harap.

Harapan Saptono untuk memperoleh bekal hari raya selama 15 hari terakhir sebelum puasa ini beralasan, lantaran Surat Keputusan (SK) Wali Kota mengenai penutupan tempat hiburan malam yang dikategorikan sebagai tempat asusila sudah keluar, Jumat (18/10) lalu.

Dalam SK No 50/2002 tersebut diatur, lokalisasi seperti di Jalan Jarak dan Gang Dolly, diskotek, panti pijat, kelab malam (house music), karaoke yang menyediakan pemandu wanita (purel), dan hiburan yang mengarah pada kegiatan maksiat di tutup dan dihentikan operasinya selama bulan Ramadhan.

Selain SK itu, dikeluarkan juga SK Wali Kota Surabaya No 49/2002 yang mengatur waktu/jam operasional kegiatan usaha rekreasi dan hiburan umum selama Ramadhan. Dalam SK ini, kecuali pertunjukan bioskop yang diperkenankan beroperasi antara pukul 17.30 sampai 20.00, kegiatan hiburan malam lainnya diperkenankan beroperasi antara pukul 21.00 hingga pukul 02.00. Dengan adanya dua SK tersebut, SK Wali Kota No 74/2001 dinyatakan tidak berlaku lagi.

"SUDAH saya duga, selama Bulan Puasa tempat kami akan tutup. Karena itu, SK penutupan itu kami sambut biasa-biasa saja," ungkap Shirley (21) sambil meneguk jamu gendong yang sebelumnya telah ia pesan dari Mbok Rumi langganannya. Meskipun merasa agak keberatan atas keluarnya SK itu-seperti juga dikeluhkan semua pelaku usaha di daerah merah Surabaya itu-wanita asal Jember ini tampak tenang.

Malam menjelang dini hari itu, di tengah temaramnya lampu warna-warni dan hingar-bingar lampu di Wisma Ratu Mustika tempatnya "diasuh" bersama sembilan teman seusianya oleh bos pemilik wisma, Shirley tampak paling ceria dengan menggoyang-goyangkan kepala mengikuti irama musik. Saat ditanya kenapa, ia berujar, "Ini cara saya menghibur diri. Kerja hampir selesai malam ini."

Seperti dituturkannya dan juga diperkuat oleh teman-teman yang akhirnya menjalani profesi serupa menjadi pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Jarak dan Gang Dolly, seluruh wisma yang berjumlah tidak kurang dari 60 itu akan tutup sekitar pukul 01.00. Mengenai jam buka bervariasi. Ada yang sudah mulai buka pukul 11.00, ada juga yang baru buka usai magrib. "Namun, bersamaan dengan nyala lampu jalan, wisma sudah buka semua," tutur Ria (22).

Ketika ditanya apa yang akan dilakukannya selama bulan Ramadhan, wanita asal Semarang yang sudah tiga tahun menjadi PSK di Surabaya ini dengan mantap menjawab, "Saya akan pulang kampung. Karena saya Muslim, saya juga akan berpuasa dan mempersiapkan Idul Fitri bersama saudara-saudara saya di Semarang."

Saat ditanya, apakah saudara dan kaluarganya mengetahui jenis pekerjaannya di Surabaya, Ria yang bertubuh tinggi langsing menggoda ini hanya tersenyum malu dan kemudian menggelengkan kepala. Sesaat kemudian ia berujar, "Saya pamit ke Surabaya pada orangtua untuk kuliah. Semula saya memang kuliah, tetapi karena pergaulan saya terseret menjalani pekerjaan ini."

Jawaban Ria mamang klise, namun itulah yang umum diujarkan oleh sejumlah PSK saat ditanya kenapa bisa sampai menjalani profesinya yang dicap asusila itu. Selain lantaran terseret karena pergaulan bebas, masalah ekonomi menjadi penyebab berikutnya. "Karena itu, saya berharap tidak akan lama. Setelah warung di kampung cukup modalnya, saya akan meninggalkan tempat ini. Lagi pula, saya akan semakin tua dan tamu pasti tidak akan melirik lagi," ujar Wulan (23).

SELAIN sejumlah PSK yang tampak siap dengan keputusan penutupan lokalisasi selama bulan Ramadhan, banyak juga yang merasa tidak siap. Mereka tidak siap lantaran masih baru dan enggan pulang ke kampung lantaran umumnya sudah tidak diterima lagi oleh keluarganya. Kekhawatiran sejumlah bos pengasuh wisma justru muncul dari PSK yang tidak siap ini.

"Seperti yang terjadi tahun lalu. Kami tutup, namun lantaran banyak anak-anak yang tetap tinggal di wisma, kami kena razia dan dituduh tetap beroperasi. Untuk masalah seperti ini kami minta pemahaman dari petugas penertiban. Mereka tetap di wisma karena tidak berani pulang kampung," ujar seorang bos wisma di Gang Dolly yang keberatan disebut namanya.

Kekhawatiran lain yang kemungkinan akan terjadi untuk PSK yang tidak siap ini adalah mereka tetap akan beroperasi di tempat-tempat lain seperti menjajakan diri di tepi jalan, di hotel, atau tempat lain yang memungkinkan. "Mudah-mudahan pindahnya tempat operasi ini tidak terjadi," ujarnya penuh harap.

Bagi yang sudah siap dengan keputusan penutupan lokalisasi, mereka tampak lebih punya rencana dan tinggal mengoptimalkan kerja selam 15 hari sisa sebelum puasa tiba. "Modal sudah ada dan warung kecil-kecilan sudah saya buka di kampung. Libur puasa ini akan saya pakai untuk mengurus warung itu," tutur Ria yang tak lama kemudian berjalan masuk kamar bersama pria setengah baya yang sejak lama memandanginya.

inu

obat kuat

GAMBARAN keangkeran gedung wakil rakyat terasa luntur sejak reformasi diusung dan diteriakkan oleh puluhan ribu mahasiswa. Pendudukan Gedung DPR oleh mahasiswa sebagai puncak perjuangan reformasi tahun 1998 lalu menjadi momentum tumbangnya keangkeran gedung itu. Tidak hanya di tingkat pusat, keangkeran gedung itu pun runtuh di tingkat provinsi dan kabupaten.

Runtuhnya keangkeran itu, begitu terasa di Gedung DPRD Jawa Timur. Setiap hari, ratusan "rakyat" datang ke gedung yang terletak di Jalan Indrapura, Surabaya itu. Namun, keterbukaan itu saat ini mulai memunculkan keluhan. Sejumlah anggota DPRD Jatim mulai risi dengan banyaknya orang yang lalu lalang tanpa kepentingan yang terkait dengan lembaga DPRD sebagai penyerap aspirasi rakyat.

Apa pasal? Dalam bulan-bulan terakhir ini, setiap hari, Gedung DPRD Jatim marak oleh aktivitas bisnis yang umumnya dijalankan oleh perempuan berwajah cantik, berpenampilan menarik, dan tentu saja wangi. Mulai dari kredit mobil tanpa agunan, tawaran beragam jenis asuransi, jasa travel, hingga menjual voucher pulsa isi ulang. Tidak hanya itu, belakangan ini, beragam jenis suplemen dan obat kuat pun mulai diperdagangkan di DPRD Jatim.
"Tidak hanya sekali mereka menawarkan beragam jenis obat kuat ke sini yang kadang membuat kami risi. Mana yang menawarkan biasanya cantik-cantik. Terus terang saya merasa terganggu. Lagipula ini kan masalah privasi," kata Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) DPRD Jatim Fathorrasid, Kamis (26/9).

Tidak hanya perkara apa yang ditawarkan yang dipermasalahkan oleh anggota DPRD, tetapi juga cara menawarkan barang dagangannya itu. Pernah suatu kali, ruangan Komisi B (perekonomian) DPRD Jatim didatangi seorang dari sebuah agen travel. "Pakaiannya minim dan tanpa permisi, ia nyelonong saja masuk. Padahal saat itu saya sedang menerima tamu seorang kiai," ucap anggota Komisi B HM Buchori.

Karena makin semrawutnya Gedung DPRD Jatim dengan bebas keluar masuknya orang dengan kepentingan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan tugas DPRD menyerap aspirasi rakyat membuat Buchori bersuara lantang, "Semua ini terjadi karena pimpinan DPRD Jatim tidak becus dan tidak tegas dalam menerapkan prosedur yang sudah ada."

Sejumlah anggota DPRD tidak keberatan gedung berhawa sejuk itu ramai didatangi rakyat yang diwakilinya. Namun, prosedur dan kepentingannya harus jelas. "Jangan setiap orang bisa dengan bebas berkeliaran dari satu ruang ke ruang lain untuk menawarkan barang dagangannya," kata Buchori yang merasa sangat terganggu.

Anggota Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDI-P) ini tidak membantah bahwa ada anggota DPRD Jatim yang kemudian merespons tawaran para pedagang itu. Namun, apa pun alasannya, hal itu tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa dibiarkan terus-menerus. "Pimpinan DPRD Jatim harus mengambil tindakan tegas agar hal ini tidak makin meresahkan," ujarnya.

Meski kecaman yang muncul karena keresahan sudah disuarakan, kenyataannya, jumlah pedagang aneka raga kebutuhan mulai dari kredit mobil hingga obat kuat di DPRD Jatim tidak juga surut. Beberapa dari mereka yang ditanya mengaku pasar di Gedung DPRD cukup potensial dan menjanjikan untuk digarap.

"Semula, saat akan menembus pasar di DPRD kami juga takut. Namun, setelah mencoba menerobos dan mendapat respons bagus, kami beranikan diri untuk mengelola pasar potensial ini," ujar seorang berwajah ayu dan wangi sambil berlalu menuju ruang salah satu fraksi membawa beragam suplemen untuk meningkatkan vitalitas tubuh.

inu

halo polisi

SAPAAN ramah yang selalu diakhiri dengan pertanyaan ini merupakan prosedur standar bagi petugas input data (operator) yang siaga 24 jam setiap hari di Ruang Unit Pelayanan Panggilan Darurat, Gedung Halo Polisi 199, Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Surabaya saat mengangkat gagang telepon yang selalu tidak sempat berdering lama.

SEJAK penggunaan "Halo Polisi 199" di bekas posko operasi Polwiltabes Surabaya diremikan oleh Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim) Inspektur Jenderal Sutanto, 27 Agustus 2002, jumlah deringan telepon ke saluran "tiga angka keramat" tersebut terus meningkat. "Setiap hari setidaknya ada sekitar 500 call yang masuk," ujar Kepala Seksi Komunikasi dan Elektronika (Komlek) Polwiltabes Surabaya Ajun Komisaris Syamsul Arief, pekan lalu.

Dari 500 panggilan telepon yang selalu dilayani dengan sapaan sesuai prosedur di atas itu, hanya sekitar 10 persen atau 50 call yang merupakan panggilan darurat (emergency call). Selebihnya adalah panggilan telepon yang hendak menanyakan informasi yang berkaitan dengan kepolisian (70 persen) dan panggilan telepon yang berisi gangguan atau sekadar iseng (20 persen).

DITILIK dari segi jumlah panggilan telepon yang masuk dengan mempertimbangkan hijaunya usia layanan yang baru pertama kali diterapkan di Indonesia ini memang sudah cukup menggembirakan. Namun, dilihat dari segi tujuan dibukanya layanan "Halo Polisi 199" ini, jumlah itu tidak banyak berbicara.

"Memang kami semua tidak mengharapkan meningkatnya kondisi darurat di masyarakat. Namun, jika semua kondisi darurat yang terjadi di Surabaya dapat dilaporkan oleh masyarakat melalui layanan baru polisi ini, tujuan didirikannya "Halo Polisi 199" baru terwujud," ujar Syamsul.

Untuk memaksimalkan layanan baru yang menurut alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Sura-baya ini merupakan yang pertama di Indonesia, sosialisasi "Halo Polisi 199" akan dilakukan bersamaan dengan ditingkatkannya kemampuan pelayanan. "Akhir bulan ini kami sudah menyiapkan puluhan spanduk yang akan dipasang di seputar Kota Surabaya agar masyarakat aware dengan keberadaan layanan 199," ujarnya.

Peningkatan kamampuan layanan yang dimaksudnya adalah kemampuan "Halo Polisi 199" dihubungi dari semua operator yang digunakan di telepon seluler. Hingga saat ini, selain melalui telepon biasa, hanya telepon seluler yang menggunakan operator "Kartu Hallo" yang bisa menghubungi layanan ini.

PENILAIAN kesesuaian fungsi dengan kenyataan yang terjadi memang belum bisa dilakukan saat layanan yang merupakan kerja sama antara Polda Jatim dengan PT Telkom Divisi Regional (Divre) V ini masih seumur jagung. Menurut Syamsul, penggagas sekaligus penanggung jawab layanan ini butuh waktu setidaknya tiga bulan untuk melihat kesesuaian itu.

Meskipun demikian, peningkatan layanan yang dimaksudkan untuk mengaktualkan visi Kepolisian RI (Polri) sebagai pelindung, pelayan, dan pengayom ini terus juga ditingkatkan. "Sebagai langkah awal dan bentuk kerja sama kami dengan PT Telkom, kami melakukan pelatihan kepada semua operator saat mengahadapi penelepon yang suasana hatinya berbeda-beda," ujarnya.

Pelatihan yang tampaknya sepele ini ternyata dirasa sangat membantu pelaksanaan tugas operator dalam melakukan input data. "Kami diajari bagaimana merespons laporan warga yang panik, khawatir, ketakutan, dan sedih. Tiap suasana hati butuh penanganan berbeda," ujar Nita, alumnus Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia (ASMI) Surabaya yang bekerja sebagai operator "Halo Polisi 199".

Selain itu, PT Telkom Divre V juga membantu dengan back up data pengguna telepon se-Surabaya, dan 15 saluran private access branch exchange (PABX). "Dalam masa-masa mendatang, kapasitas server "Halo Polisi 199" ini akan kami bantu untuk kami tingkatkan," ujar Kepala PT Telkom Divre V Sumilan, usai bersama-sama Kepala Polda Jatim Inspektur Jenderal Sutanto menandatangani prasasti penggunaan layanan baru ini.

LALU bagaimana setiap panggilan telepon dari seluruh wilayah Kota Surabaya ke tiga nomor keramat 199 direspons polisi? Sejauh ini polisi sudah mampu datang dan merespons panggilan darurat masyarakat dengan jeda waktu sekitar 15-20 menit.

Selama waktu itulah panggilan darurat diproses oleh sekitar 50 petugas yang selalu siap sedia di Gedung Halo Polisi 199. Saat telepon berdering, operator mengangkatnya untuk mengumpulkan data. Nomor telepon pelapor otomatis langsung tercatat pada memori. Saat data sudah terkumpul dan dimasukkan ke dalam jurnal laporan, lokasi kejadian seperti yang dilaporkan langsung menyala di peta elektronik yang terletak di ruang siaga dua.

Di ruang siaga dua itulah analisa lokasi dan penyampaian kepada Kepoilsian Sektor (Polsek) dan Kepolisian Resor (Polres) dilakukan. "Perintah untuk menindaklanjuti laporan masyarakat itu diambil oleh perwira pengendali satuan wilayah.

Saat polisi sampai di lokasi dan menyelesaikan tugasnya, kepada perwira ini pulalah polisi yang mendapat tugas memberikan laporan," ujar Syamsul. Selain ada perwira pengendali satuan wilayah, di depan ruang siaga dua terdapat juga supervisor yang bertugas mengecek kebenaran laporan masyarakat dan menanyakan kembali kepada pelapor mengenai hasil kerja dan pelayanan polisi.

Adanya supervisor ini dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat mengenai tingkat kualitas pelayaan polisi. "Masukan dari masyarakat yang meminta layanan polisi ini kami anggap penting, karena tujuan dibukanya layanan baru ini adalah untuk peningkatan pelayanan polisi yang belakangan ini dinilai lamban dan sulit diakses," ujar Syamsul.

Mengenai tidak digratiskannya layanan ini didasari oleh pengalaman sebelumnya saat polisi mengaktifkan penggunaan layanan bebas pulsa 110 dan 112. Di dua nomor bebas pulsa itu, 90 persen telepon yang masuk adalah gangguan atau sekadar iseng sehingga petugas sering enggan dan malas mengangkatnya. Akibatnya seringkali masyarakat yang sungguh membutuhkan pelayanan polisi tidak tertangani dengan baik.

"Penggunaan tarif lokal Rp 200 per tiga menit ini kami maksudkan sekaligus sebagai filter. Kami berharap, masyarakat yang menggunakan layanan ini sungguh-sungguh membutuhkan layanan cepat polisi. Dengan penggunaan tarif ini, kami juga ingin mendidik masyarakat," papar Syamsul.

Penggunaan tarif ini ditempuh juga untuk layanan PT Telkom yang menggunakan saluran 110 dan 112. Untuk "Halo Polisi 199", 25 persen dari pulsa yang masuk disumbangkan oleh PT Telkom Divre V kepada Polwiltabes Surabaya. "Bukan untuk bisnis, 25 persen dari tarif pulsa yang masuk itu kami gunakan untuk menggaji oprator 199 yang berjumlah 10 orang," kata Syamsul.

Tentang penggunaan tiga angka keramat 199 untuk layanan baru polisi ini, Syamsul menuturkan, "Semula, pada tahun 2001, kami ingin menghidupkan halo polisi 166 kerja sama polisi dnegan Telkom tahun 1997. Namun, karena mati dan tidak ada tindak lanjut, kami meminta kepada Dirjen Postel (Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi-Red) untuk menggunakan nomor 911."

Syamsul melanjutkan, "Permintaan kami ditolak lantaran nomor telepon dengan kepala sembilan sudah menjadi hak Ratelindo. Karena sudah senang dengan tiga angka itu, kami balik saja susunannya dan meminta kepada Dirjen Postel nomor telepon 199. Dirasa tidak ada masalah, nomor itu lalu menjadi milik polisi untuk layanan ini."

"Halo Polisi. Dengan Nita. Bisa Dibantu?"

inu

sawunggaling

BERTEMPAT di belakang panggung terbuka Taman Candra Wilwatikta
Pandaan, Pasuruan, Minggu (8/9/2002) malam. Satu jam sebelum pergelaran
sendratari yang mengambil lakon Sawunggaling Gugat, tidak kurang dari
150 pemain sibuk merias, dirias, atau saling merias. Semua seakan
ingin tampil sempurna di malam yang penuh bintang di langit itu.

Bukan saja karena menurut rencana, Gubernur Jawa Timur (Jatim)
Imam Utomo akan datang menyaksikan (meskipun akhirnya rencana ini
hanya tinggal rencana karena gubernur urung datang). Mereka semua
ingin tampil sempurna, terutama karena ini merupakan penampilan
pertama sejumlah pemain yang rata-rata berusia muda.

"Ini panggung saya pertama," ujar Ira (8) yang mengaku sudah.
berdandan sejak sore hari. Siswi kelas III Sekolah Dasar Negeri (SDN)
Ketintang, Surabaya, ini akan tampil sebagai pembuka menarikan tarian
bermain bersama 17 teman seusianya berkostum sama.

Sementara para pemain sendratari yang berasal dari Sanggar Tari
Raff DC, Surabaya, sibuk berdandan dan bersiap-siap untuk tampil ke
panggung, dua pelawak kondang Jatim, Topan dan Leysus, berusaha
mengocok perut penonton yang mulai memadati sekitar 1.000 tempat
duduk yang tersedia.

Oleh karena daya tarik dua pelawak kondang inilah, menjelang
pergelaran sendratari ditampilkan sekitar pukul 21.30, tempat duduk
di depan panggung mulai penuh. Ketika lawakan Topan dan Leysus hampir
berakhir, seluruh pemain sendratari berbaris di belakang panggung
menunggu giliran tampil.

Bersamaan alunan musik tradisional dan tembang cublak-cublak
suweng dari siswa Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Surabaya,
(SMKI/SMKN9), sendratari Sawunggaling Gugat digelar. "Kami berharap
penampilan ini dapat menjadi awal bangkitnya kembali kesenian
tradisional di Jatim," ujar Sutradara Sawunggaling Gugat Sugeng
Hariyatin (36) yang kemudian bergegas ke arah panggung.

SAWUNGGALING Gugat yang ditampilkan oleh sekitar 100 penari
Sanggar Tari Raff DC dengan dukungan 15 siswa SMKN9 dan 35 pemain
barongsai dari Budi Luhur bercerita tentang upaya pencarian ayah oleh
Sawunggaling yang bermana kecil Joko Berek. Dalam pencarian tersebut,
Sawunggaling justru berhasil menggantikan kedudukan ayahnya sebagai
Bupati Surabaya dan menentang upaya Belanda yang ingin membangun
benteng pertahanan di Surabaya.

Cerita dimulai dengan tampilnya Joko Berek sedang bermain dengan
teman-temannya. Lantaran tidak punya ayah, Joko Berek diolok-olok
teman bermainnya dan kemudian menangis. Ibunya datang menenangkan dan
memberi tahu bahwa ayahnya adalah Bupati Surabaya bernama Jayeng Rono
yang suka sabung ayam. Joko Berek dan ibunya tinggal di Tegal Sari.

Dengan bekal telur, Joko Berek kemudian pergi mencari sang ayah.
Dalam perjalanan, ia dihadang dua harimau yang hendak mengambil telur
yang merupakan bakal ayam jago. "Untuk menambah semarak pergelaran,
saya masukkan barongsai untuk mengusir harimau dan kemudian mengerami
telur yang menetaskan ayam jago menangan. Dalam pakem cerita,
barongsai itu tidak ada," ujar Sugeng.

Upaya memasukkan kesenian barongsai diakui alumnus Sekolah Tinggi
Kesenian Wilwatikta (STKW) ini sebagai upaya kreatif. Menurut dia,
tanpa kreativitas seperti ini kesenian tradisional tinggal menunggu
waktu untuk ditinggalkan penontonnya. "Upaya kreatif kami lakukan
juga dengan mencari variasi tarian baru," ujarnya.

Setelah telur yang dierami naga itu menetas, Sawunggaling
dipertemukan dengan ayahnya lewat sabung ayam. Dari sinilah kisah
Sawunggaling Gugat dimulai. Ia akhirnya menemukan ayahnya yang sudah
meninggal dibunuh Belanda dan berhasil memenangi sayembara untuk
menggantikannya sebagai Bupati Surabaya.

Selama pergelaran, penonton tampak menikmati. Dinginnya angin
malam tidak sedikit pun membuat mereka beranjak. "Tariannya menarik
dan digarap bagus. Selain itu, barongsainya juga menambah bagus
cerita dan pertunjukan," ujar Nani (20) sambil asyik menikmati
sebungkus kacang rebus.

PERGELARAN kolosal yang menghabiskan biaya produksi sekitar Rp 50
juta ini disiapkan secara intensif dengan latihan bersama sebanyak 10
kali. "Selain untuk kostum dan perlengkapan panggung, biaya terbesar
lain untuk konsumsi setiap latihan yang biasanya berlangsung sehari
penuh," papar Sugeng.

Namun, meskipun kadang menjadi kendala, biaya bukan penghalang
utama untuk tetap bertahannya kelompok kesenian tradisional. Menurut
dia, yang lebih penting adalah kreativitas dalam berkarya dan
kepastian jadwal tampil.

inu

kbs

HANYA tulisan tangan dari dedaunan pohon menjalar di tembok belakang akuarium Kebun Binatang Surabaya (KBS) yang tertinggal. Entah apa maksud tulisan 510, 4-9-02 Sayang yang ditemukan tidak jauh dari penemuan mayat bayi perempuan lengkap dengan ari-arinya terbungkus plastik di bak sampah akuarium tersebut, Kamis (5/9/2002) pagi.

Polisi menduga tulisan yang masih baru ini ada hubungannya dengan si pembuang bayi, namun tidak diketahui jelas maksudnya. Mungkin bermaksud menandai pembuangan bayi malang yang kini sudah tidak bernyawa lagi itu. Penemuan ini sangat mengejutkan petugas KBS, meskipun tidak sampai membuat panik para pengunjung. Ketika siang harinya kompleks akuarium yang sudah dibuka kembali, para pengunjung tampak biasa-biasa saja.

"Akuarium sempat ditutup beberapa jam saja," ujar petugas di areal tersebut. Tali rafia yang semula difungsikan sebagai police line untuk mengisolir lokasi ditemukannya bungkusan plastik berisi mayat bayi itu sudah dicabut.

Darah berwarna pekat yang semula membasahi lantai akuarium yang kusam juga sudah tidak berbekas. Beberapa pengunjung yang terlihat asyik mengamati berbagai jenis ikan laut dan air tawar ketika ditanya apakah tahu kejadian sebelumnya, menggelengkan kepala. Jumlah pengunjung kebun binatang yang dikelola Yayasan Kebun Binatang Surabaya ini juga tidak terlalu terpengaruh.

"Tidak jauh dibanding hari sebelumnya, jumlah pengunjung sampai tengah hari ini mencapai 673 orang," ujar petugas pengadaan karcis KBS, Lina.

MENURUT keterangan beberapa petugas keamanan KBS, mayat bayi perempuan itu ditemukan oleh Samin, petugas areal akuarium sekitar pukul 07.20. Saat hendak membuang sampah, ia curiga dengan bungkusan plastik putih yang penuh bercak merah. Semula Samin mengira bercak itu saos. "Namun, setelah sedikit dibuka ternyata berisi kepala bayi, Samin memanggil dua temannya yang sedang mengecek akuarium, yaitu Parman dan Wakijan.

Setelah itu, satu orang di antara mereka melapor ke pos keamanan di depan," tutur Supardi. Sesaat setelah menerima laporan ditemukannya mayat tersebut, petugas di pos keamanan menghubungi Kepolisian Sektor (Polsek) Wonokromo. Setelah melakukan pemeriksaan dan mengumpulkan beberapa barang bukti, mobil ambulans kemudian membawa mayat bayi perempuan berusia beberapa hari itu ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Sutomo, Surabaya.

Berlalunya ambulans itu seakan membuat "kegemparan" yang menimpa sejumlah warga Surabaya, Kamis pagi, berlalu juga. Selain memeriksa ketiga saksi, polisi juga mengamankan barang bukti lain, yaitu plastik pembungkus mayat, botol air mineral, dan beberapa helai daun yang diduga dipakai untuk menulisi tembok di sisi utara akuarium.

Dari pemeriksaan lapangan dan keterangan yang diperoleh, polisi menduga mayat bayi perempuan itu diletakkan di bak sampah Rabu sore sekitar pukul 17.00, bersamaan dengan akan ditutupnya KBS. "Saat ini kami sedang menunggu hasil visum dari RSUD Dr Sutomo yang akan keluar empat hari mendatang untuk langkah selanjutnya, ujar seorang polisi.

inu

arfa'e

SEDERHANA, ramah, tulus, dan lurus. Kesan itu segera melekat di benak ketika berbincang dengan Haji Arfa'e (75), peraih penghargaan Kalpataru tahun 2001 dari Desa Sokaoneng, Kecamatan Tambak, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur (Jatim).

Senyumnya selalu mengembang, meski baru usai dari perjalanan dengan kapal laut lebih dari 12 jam dari desanya ke pelabuhan Gresik. Tanpa melepas kaus berkerah yang lusuh dalam perjalanan, ia melapisi pakaiannya dengan kemeja batik. Ujarnya, "Saya memakai batik ini karena akan bertemu dengan Bupati Gresik, Robbach Masum."

Bupati Gresik memberinya sebuah traktor tangan untuk menggarap berhektar-hektar sawah yang berhasil diselamatkannya. Arfa'e sukses menghijaukan kembali Pulau Pasir Putih yang terletak 900 meter di sebelah barat desa tempat tinggalnya.

"Traktor tangan dan cangkul yang sungguh saya butuhkan. Barang itu lebih bermanfaat untuk membantu saya bekerja daripada Kalpataru yang diberikan Ibu Megawati Soekarnoputri di Istana Negara tahun lalu," tutur Arfa'e sambil tetap tersenyum. "Penghargaan Kalpataru itu justru membuat kami sekeluarga repot, berbeban, dan tekor karena banyak pejabat yang datang berkunjung ke rumah atau mengundang kami datang ke tempat mereka."

Arfa'e bahkan lupa pada kategori apa penghargaannya tersebut. Ia hanya tahu bekerja menghijaukan Pantai Pasir Putih dengan ribuan tanaman bakau yang hingga sekarang terus berlangsung. Ia ingin mewujudkan kelestarian lingkungan yang menurut analisa sederhananya berdampak langsung pada penyelamatan penghidupannya dan ratusan petani lain di desanya. Hanya itu yang mendorongnya.

Dibutuhkan waktu panjang sebelum Arfa'e tergerak untuk menghijaukan Pantai Pasir Putih yang hampir musnah tenggelam. Masih segar dalam ingatan bapak sebelas anak ini, sekitar tahun 1950-an, Pantai Pasir Putih masih lebat ditumbuhi hutan bakau dan kaya akan hasil laut. Menjelang akhir tahun 1950, datang para penjarah dari luar pulau membabat habis bakau yang berusia ratusan tahun.

Karena pantai gundul, hantaman gelombang laut yang semula mengikis pesisir, juga menggerus ratusan hektar sawah di Desa Sokaoneng. Dalam beberapa tahun, sawah musnah. Warga desa beralih profesi menjadi nelayan. "Sepuluh tahun saya menjadi nelayan sampai akhirnya kesadaran menghijaukan kembali pantai itu muncul," katanya.

Ia berpikir, setelah pantai dan sawah musnah, tempat tinggalnya pun akan musnah dihantam gelombang. Hal itu hanya soal waktu. Kesadarannya makin membuahkan motivasi untuk bertindak lantaran Naimah, istrinya. "Setiap pulang melaut, istri saya selalu minta menukarkan hasil tangkapan dengan beras," ujarnya.

Ia menuturkan, pada akhir tahun 1967, sambil terus menatap puing-puing pantai yang menyebabkan lenyapnya sawah di desa, ia mengambil suatu ketetapan. Katanya, "Yang kami butuhkan bukan ikan, tetapi beras. Beras bisa dihasilkan jika ada sawah. Sawah tidak musnah seandainya hutan bakau di Pantai Pasir Putih tidak gundul. Karena itu, usai shalat subuh, saya bertekad menghijaukan kembali pantai tersebut dengan menanam pohon bakau."

Atas kesadaran tersebut, bersama istri, kesebelas anaknya, dan beberapa saudara, hari itu juga Arfa'e mulai bekerja mewujudkan tekadnya. Saat air surut, pasir dan karang disusun di sepanjang pantai sebagai pemecah dan penyangga ombak.

Satu per satu pohon bakau ditanam di pulau berjarak sekitar 900 meter dari desa tersebut. Saat air laut pasang, Arfa'e dan keluarganya beristirahat lantaran air laut yang mencapai setinggi dada dapat menghanyutkan mereka. Begitu air laut surut, kerja itu berlanjut, tidak peduli siang atau malam.

Karena dirasa tidak efisien dan sangat tergantung pada pasang surut air laut, Arfa'e membuat jembatan kayu penghubung desanya dengan pantai tersebut. Jembatan dengan panjang satu kilometer, lebar setengah meter, kedalaman sekitar dua meter, dan tinggi satu meter dari permukaan laut itu selesai dikerjakan tujuh tahun kemudian.

"Bersamaan dengan selesainya jembatan, Pulau Pasir Putih juga mulai menghijau. Penanaman bakau makin intensif setelah jembatan kayu tersebut selesai," paparnya.

Bersamaan dengan itu, ratusan hektar sawah yang semula musnah, perlahan-lahan dapat diselamatkan. Arfa'e dan sejumlah warga Desa Sokaoneng mulai kembali bertani. Di samping bertani, Arfa'e tetap tekun mewujudkan tekadnya melestarikan lingkungan alam Pulau Pasir Putih seperti yang kental diingatnya ketika menginjak dewasa.

"Menanam bakau itu tidak mudah, butuh ketekunan dan kemauan untuk terus menjaganya supaya dapat tumbuh berkembang," ungkapnya.

Menurut Arfa'e, minggu-minggu awal penanaman bakau adalah saat yang sangat rentan. Pada saat bibit bakau mulai bercabang, di sekitarnya akan tumbuh lumut yang paling disenangi udang.

"Nelayan pencari udang yang tidak berpikir panjang akan asal menyerok, sehingga bibit-bibit bakau yang mulai tumbuh tercabut dan akhirnya mati. Mencegah itu, selain memberi peringatan, saya sendiri mengawasi tanaman tersebut siang dan malam," ujarnya.

Selain perlu diawasi, sampah berupa ranting atau tali yang tersangkut di sekitar tanaman bakau juga harus disiangi.

Semua ini ia lakukan karena kesadarannya yang hingga sekarang masih melekat kuat. Katanya, "Saya tidak mau mengalami kembali masa-masa sulit lantaran lenyapnya ratusan hektar sawah seperti puluhan tahun lalu karena gundulnya pulau tersebut."

KARENA ketekunan yang dilandasi tekad kuat tersebut, Arfa'e yang berdarah Madura dan sejak usia tujuh bulan sudah menetap di Pulau Bawean bersama orangtuanya, kini hidup nyaman bersama seorang istri dan enam dari sebelas anaknya (tiga meninggal dunia, dua merantau ke Malaysia) di lingkungan alam Pulau Bawean yang ramah.

Enam anaknya itu adalah Abdul Manaf, Suhuri, Mohammad, Rukia, Rasul, dan Fatahan. Dua anaknya yang merantau ke Malaysia adalah Adenia dan Mukim. Tiga anaknya yang sudah meninggal dunia adalah Masrupi, Junit, dan anak kedelapan yang meninggal ketika masih bayi belum sempat diberi nama. Karena banyak, Arfa'e sempat kagok ketika diminta menyebutkan satu per satu nama anaknya.

"Kini ikan-ikan kembali berdatangan. Karena airnya jernih dan pasirnya putih, dengan mudah dan jelas kelak-kelok ikan terlihat dari permukaan laut. Setiap akhir pekan, turis asing dari Malaysia dan Singapura senang datang berwisata ke sekitar pulau yang sekarang kembali menghijau tersebut," ujar kakek dari 45 cucu dan satu cicit ini.

Karena dasarnya ramah, kedatangan para turis yang mulai mengenal keindahan Pulau Bawean sejak tahun 1980-an ini membuat dia dan anggota keluarganya kerepotan dalam menjamu mereka. Maka Arfa'e menanam ratusan pohon kelapa dan berpesan kepada anak-anaknya untuk hanya memetik buahnya bagi para tamu dan tidak boleh dijual.

"Hanya itu yang bisa kami berikan selain terus menjaga kelestarian alam Pulau Bawean," ungkapnya.

Dengan cangkul, tekadnya untuk memperluas areal hutan bakau yang saat ini sudah mencapai 350 hektar akan makin terwujud lantaran puluhan ribu bibit bakau sudah tersedia dan siap ditanam.

inu

jigsaw

UNTUK yang sangat berhobi, mungkin akan sangat mengasyikkan. Memilah-milah ribuan keping kertas berukuran hampir sama, memadu-padankan ribuan keping kertas berbentuk, bermotif, dan berwarna serupa itu di atas sebuah alas hingga tersusun bentuk seperti model yang ada.

NAMUN, untuk yang tidak terlalu berhobi, jangankan memilah-milah lalu memadupadankannya, melihat ribuan keping kertas berserakan saja sudah membuat kepala pusing. "Karena itu, setelah sekian lama mencoba dan tidak juga tersusun bentuk seperti yang diharapkan, banyak yang menyerah dan datang ke sini untuk minta disusunkan sesuai dengan model gambar yang ada," ujar Jojo (24).

Pemuda asal Semarang, Jawa Tengah (Jateng), yang menekuni pekerjaan sambilan sebagai penyusun jigsaw puzzle ini menuturkan, memang tidak mudah untuk dapat menyusun ribuan keping kertas berukuran sekitar satu centimeter persegi dengan saling mengkaitkannya. Selain ketekunan dan kesabaran, seorang yang sudah berniat menyusun ribuan keping jigsaw puzzle harus segera mengusir perasaan putus asa yang tiba-tiba muncul.

"Ingin belajar ketelatenan dan kesabaran, menyusun ribuan keping kertas berukuran hampir sama ini adalah sarananya," katanya sambil terus asyik memadupadankan satu gugus jigsaw puzzle seri Museum Vatikan pesanan seorang dari Surabaya, di Gerai Hobbies, Tunjungan Plasa, Surabaya. Pesanan yang dikerjakannya sejak dua minggu terakhir itu sudah sekitar 40 persen tersusun.

Jigsaw puzzle yang menampilkan adikarya Leonardo da Vinci yang diimpor dari Jepang itu termasuk kategori sulit karena jumlahnya lebih dari 5.000 keping yang tercampur-baur dalam kardus tanpa dipisah berdasarkan gugus-gusus tertentu. Untuk model seperti ini, tahap pertama yang harus dilakukan adalah memilah ribuan keping jigsaw puzzle tersebut menurut warna, bentuk, dan motifnya.

Setelah terpilah, akan lebih membantu jika penyusunan dilakukan mulai dari tepi karena bentuk kepingannya berbeda. Setelah bagian tepi yang sekaligus berfungsi sebagai pembatas tersebut tersusun, mulailah memadu-padankan gugus kepingan jigsaw puzzle yang warnannya kontras. "Untuk pemula, tips semacam ini penting agar mereka tidak lekas putus asa pada awal penyusunan," jelas Jojo.

TERDAPAT berbagai jenis jigsaw puzzle dengan beragam tingkat kesulitan. Di gerai khusus jigsaw puzzle, satu-satunya di Jawa Timur (Jatim) yang setiap hari ditungguinya, setidaknya ada enam jenis jigsaw puzzle, yaitu jenis standar, hologram, metalik, milenium, glow in the dark, dan tiga dimensi. Tingkat kesulitan tiap jenis bergantung pada jumlah kepingannya. Makin banyak jumlah kepingannya, makin tinggi tingkat kesulitannya.

"Kami memiliki koleksi edisi khusus The Last Supper dengan jumlah kepingan 10.292 untuk satu bentuk. Jika selesai disusun, ukurannya mencapai 147 x 216 centimeter. Seperti koleksi ini, untuk jumlah kepingan besar, umumnya merupakan bentuk atau gambar-gambar klasik karya seniman kelas dunia seperti Leonardo da Vinci dan Piere Auguste Renoir," ujar Jojo yang pernah menyusun satu jigsaw puzzle berjumlah lebih dari 13.000 keping.

Namun, untuk jumlah kepingan tersebut, penyusunannya justru lebih mudah jika dibandingakan dengan jumlah kepingan di bawahnya, yaitu 5.000 keping. Ini bisa terjadi karena untuk jumlah kepingan di atas 5.000, setiap bagian sudah dipisahkan berdasarkan gugus per 2.000 keping. "Untuk yang 5.000, kepingannya campur-baur jadi satu dan harus dipisah-pisahkan terlebih dahulu," katanya.

Dari semua produsen jigsaw puzzle, terdapat dua negara produsen yang produknya sangat terkenal dan digemari, yaitu Clementoni dari Italia dan Kagaya dari Jepang. Namun, dari kedua produsen yang sama-sama mengeluarkan karya-karya klasik seniman kelas dunia tersebut, produk Jepang lebih banyak digemari karena mutunya lebih baik. "Warnanya lebih berkilau dan akan lebih berkilau lagi setelah diolesi gel yang terdapat dalam paket tersebut," papar Jojo.

Selain itu, produk Jepang ini juga memberikan kartu garansi jika beberapa keping jigsaw puzzle yang telah dibeli dan hendak disusun hilang. Sementara produk Italia, selain tidak memberikan kartu garansi, lemnya adalah serbuk yang harus dicampur air panas terlebih dahulu. Kalau pencampuran serbuknya tidak merata, hasil akhirnya kurang optimal.

Selain produk serial karya klasik seniman kelas dunia, cukup banyak juga jigsaw puzzle serial Disney World. Jenis ini lebih banyak digemari anak-anak dan remaja karena karakter tokoh yang dijadikan model cukup dikenal seperti Donald Duck dan Mickey Mouse. Penyusunannya juga lebih mudah lantaran warnanya kontras dan ukuran potongan tiap kepingnya lebih besar.

"Anak usia tiga tahun pun bisa dilatih ketelitian dan ketekunannya dengan serial Disney yang sederhana ini," ujar Jojo sambil menunjukkan karya seorang anak yang terdiri dari 1.000 keping jigsaw puzzle bergambar Donald Duck untuk dibingkai yang diselesaikan hanya dalam empat hari.

MESKIPUN akan lebih puas jika mampu menyusun ribuan keping jigsaw puzzle sendiri, namun untuk para pemula memang tidak akan mudah mengerjakannya sendiri. Karena itu, setelah dibeli dengan harga jutaan rupiah per paket, jika mengalami kesulitan dalam penyusunan, gerai yang merupakan cabang gerai serupa di Jakarta ini menerima pekerjaan menyelesaikan penyusunan jigsaw puzzle.

Untuk ongkos penyusunannya pun beragam, tergantung jumlah kepingnya. Untuk jumlah kurang dari 950 keping, ongkosnya Rp Rp 80.000. Sedangkan untuk paket berisi lebih dari 10.000 keping, ongkosnya mencapai Rp 1.250.000. "Lumayan untuk tambahan sekaligus mengisi waktu kosong saat menjaga gerai yang tidak selalu ramai pengunjung," ujar Jojo yang mungkin adalah satu-satunya pemuda di Jatim yang menekuni pekerjaan sebagai penyusun jigsaw puzzle.

Karena hobi juga? "Bukan. Pekerjaan sampingan ini saya tekuni untuk mengisi waktu selama menjaga gerai. Tetapi, karena hampir setiap hari bergulat dengan ribuan keping jigsaw puzzle tersebut, lama-kelamaan pekerjaan sampingan ini jadi semacam hobi yang menyenangkan juga," tutur pemuda yang mengaku hanya lulusan sekolah menengah atas di Semarang ini.

inu

nunukan

MATAHARI belum menunjukkan tanda-tanda akan bersinar di ufuk timur. Namun, ratusan bahkan ribuan orang yang umumnya berusia muda sudah berdiri atau sekadar duduk-duduk di sepanjang jalan utama di Pulau Nunukan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur (Kaltim) Kamis (1/8) dini hari.

Tidak ada yang mereka kerjakan di sepanjang jalan tersebut. Tatapan mereka kosong. Tidak ada pula emosi dalam percakapan yang sesekali mereka lakukan. Semua terdengar lemah dan datar. Saat ada yang mencoba memecahkan suasana dengan melucu, respon yang diharapkan sama sekali tidak muncul.

Menjelang Matahari terbit, aktivitas baru mulai terlihat. Kerumuman orang di sepanjang jalan yang semua adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal tersebut mulai berpencar. Dua tempat utama menjadi tujuan mereka yaitu Kantor Imigrasi dan Kantor PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) Nunukan.

Di Kantor Imigrasi Jalan Tien Soeharto, Nunukan, kepadatan TKI ilegal yang berupaya mendapatkan legalitas dengan terbitnya paspor merupakan pemandangan sehari-hari. Namun, di Kantor PT Pelni, kepadatan dan antrean panjang orang membeli tiket kapal baru terlihat hari itu.

"Saya ingin pulang saja ke kampung karena takut dengan paeng (denda-Red), hukuman penjara, dan pukulan rotan. Polis Malaysia akhir-akhir ini galak dan kejam terhadap kami," ujar Sahrul (28) saat antre tiket kelas ekonomi Kapal Motor (KM) Tidar di halaman Kantor PT Pelni. Pemuda Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini bertekad pulang karena majikan perkebunan kelapa sawit tempatnya bekerja tidak mau memberi jaminan baginya untuk mengurus paspor.

Alasan serupa diungkapkan ribuan TKI ilegal lain karena mulai diberlakukannya Undang-Undang (UU) Keimigrasian Malaysia yang baru, Akta Imigresen Nomor 1154 Tahun 2002 yang mulai berlaku sejak 1 Agustus 2002. Berdasarkan UU tersebut, pekerja ilegal dan orang yang mempekerjakan mereka akan dijatuhi hukuman penjara maksimum enam bulan dan hukuman cambuk maksimum enam kali.

Saat terik Matahari mulai terasa menyengat dan bersamaan dengan habis terjualnya seluruh tiket yang jumlahnya lebih dari 3.000 di Kantor PT Pelni, jalan menuju Terminal Penumpang Tunontaka, Nunukan dipadati ribuan orang pemegang tiket yang ummnya perempuan dan anak-anak.

Dengan barang bawaan berbagai ukuran yang diangkut dengan menyewa gerobak, ribuan orang yang baru terusir dari negeri jiran ini berduyun-duyun menjemput kedatangan KM Tidar yang akan membawa mereka ke Pelabuhan Nusantara Kota Pare-pare, Sulawesi Selatan (Sulsel). Menurut jadwal, KM Tidar yang datang setiap kamis dua minggu sekali ini akan meninggalkan Nunukan pukul 12.30 dan tiba di Pare-pare, Sabtu (3/8) malam.

Begitu KM Tidar yang berbobot mati 13.888 ton tampak dari kejauhan sekitar pukul 10.30, ribuan calon penumpang yang semula duduk di sekitar barang bawaanya berdiri. Setelah kapal buatan pabrik kapal Meyer Werft Jerman Barat ini sandar, lebih dari tiga ribu orang yang menunggu berjam-jam ini berlarian memadati jalan menuju kapal selebar empat meter dengan panjang sekitar 500 meter.

LEWAT dua tangga yang disiapkan, pekerja berebut naik ke atas kapal. Mereka yang cepat dan kuat lalu mendapat tempat. Mereka yang kalah cepat dan umumnya perempuan yang menggendong dan menggandeng anak-anak memanfaatkan setiap ruang yang tersisa di luar dek. "Di dalam dek tidak ada tempat lagi, terpaksa kami di sini saja," ujar Lina (35) bersama dua anaknya Risna (15 bulan) dan Fitri (4) di dek lima luar.

Seperti ratusan penumpang lain yang tidak mendapat tempat, untuk menghalau angin dan melindungi kedua anaknya dari terik matahari, kardus bawaan berisi pakaian dan peralatan dapur disusun berkeliling. Tikar dan dua selendang digelar untuk alas tidur. Abd Azis bin Sangkala (27) suaminya tidak menyertai kepulangannya karena memiliki paspor dan tidak diizinkan majikan untuk cuti.

"Kami bertiga terpaksa pulang ke kampung di Bulukumba karena takut ancaman polisi Malaysia yang akan menangkap kami yang tiada berpaspor," papar Lina sambil mencarikan obat demam di kotak obat yang dibawa sejak dari Malaysia untuk Risna. Karena tidak bisa mengantar, suaminya menitipkan mereka ke yayasan untuk mengurus kepulangan ke Bulukumba.

"Sebetulnya kami masih lelah dan ingin beristirahat di Nunukan lebih lama sebelum melanjutkan perjalanan ke Bulukumba. Namun, karena di Nunukan air bersih dan penginapan yang layak susah didapat dan membuat kami makin terlantar, kami memutuskan berangkat secepatnya. Lebih cepat sampai di kampung lebih baik," ujar Lina bersamaan dengan pengumuman anak buah kapal (ABK) bahwa pukul 13.00 kapal yang 80 persen penumpangnya TKI ilegal asal Malaysia akan berangkat.

Sementara KM Tidar yang dinahkodai Kapten Kapal Widadi mulai meinggalkan Nunukan, lebih dari tiga ribu TKI ilegal asal Sabah, Malaysia Timur di empat dek kelas ekonomi yaitu dek dua, tiga, empat, dan separuh dek lima berbenah dengan mengatur posisi duduk dan tidur. Selain dek ekonomi, dalam kapal disediakan dua dek untuk kelas satu, dua, dan tiga yang kondisinya kontras karena lebih separuh tidak terisi lantaran harganya tidak terjangkau.

Meskipun jumlah penumpang melebihi kapasitas kapal yang hanya 2.049 orang, menurut Markonis (penanggung jawab keselamatan jiwa di laut) KM Tidar Muryono, kelebihan jumlah penumpang untuk kondisi darurat seperti ini masih dapat ditoleransi karena perlengkapan keselamatan yang tersedia 5.000 unit atau kurang lebih setara dengan penumpang yang saat ini berada di dalam kapal. Dari ribuan penumpang tersebut, hanya 12 penumpang yang tidak membeli tiket ketika razia dilakukan.

Oleh karena kepadatan ini, setiap ruang kosong seperti di bawah tangga dan di seputar delapan dek luar penuh dijejali manusia dengan barang bawaan. Untuk berjalan, orang akan kesulitan. Pendingin ruangan yang sebelum tiba di Nunukan masih terasa sejuk, sesaat setelah meninggalkan Nunukan tidak lagi terasa. Di dalam dek menjadi lebih panas karena saat kapal sandar di Tarakan, sekitar 1.500 penumpang menambah padat kapal.

Tidak kuat dengan siksaan panas yang makin terasa menjelang malam, kaum pria melepas kaus dan kemeja yang dikenakan. Aroma tidak sedap pun merebak. Untuk menenangkan sejumlah balita yang jumlahnya lebih dari seribu, para ibu lalu membuat ayunan darurat dengan selendang yang digantung di rak tempat barang bawaan.

"Sudah biasa kami begini. Lagi pula hanya tiga hari saja. Ini pun masih lebih baik dibanding saat kami ditampung di Nunukan," ujar Rusman (24). Sopir perkebunan ini hendak pulang ke Bugis menitipkan istri dan anaknya ke rumah orang tuanya. Begitu sampai di Bugis, ia akan mengurus paspor untuk kembali pada majikannya di Sabah.

Karena kondisi yang tidak sehat ini, menurut catatan di poliklinik di dek tujuh, sedikitnya 18 pasien yang melapor sakit. Umumnya mereka menderita radang tenggorokan, diare, pusing-pusing, dan demam. Dari 18 pasien tersebut, tujuh di antaranya balita dan dua lanjut usia. "Umumnya mereka kelelahan dan kondisi kurang mendukung," ujar Sunarko, mantri yang bertugas.

Sementara sebagian besar penumpang kapal terlelap tidur di setiap ruang kosong di dek ekonomi dan di luar setiap dek dalam ketidaknyamanan, sejumlah anak muda yang umumnya laki-laki dan mengaku sulit tidur karena tidak ada tempat dan kepenatan pikiran memanfaatkan aneka hiburan yang ditawarkan di dalam kapal selepas pukul makan malam yang harus diambil dengan mantre di dek empat.

Selain karaoke dan cafe dengan life music di dek enam dekat dengan penumpang kelas satu, dua, dan tiga, ada juga pemutaran film di mini teater di dek dua. Dengan aneka jenis film biru (blue film) yang diputar dalam video compact disc (vcd) player dan dipancarkan dengan proyektor ke layar berukuran sekitar empat meter persegi, kepenatan mereka sejenak terusir.

Hingga pemutaran film terakhir dengan judul "Surrander" pukul 23.30, teater mini berkapasitas 120 tempat duduk dengan harga tiket Rp 10.000 tersebut tetap penuh terisi. Beberapa perempuan yang tidak tahu dan terlanjur membeli tiket, langsung keluar sambil bersungut-sunggut setelah sepuluh menit film diputar.

"Kami sudah pasang sampul VCD-nya di tempat pemesanan tiket. Kalau mereka jeli, sejak awal harusnya mereka tidak membeli tiket," ujar Aryo (36), penjaga tiket berkelit. Dengan senapan, seorang polisi berjaga di pintu masuk mini teater tersebut hingga pemutaran film berakhir sekitar pukul 01.00 dini hari.

MENYIASATI panas, kepenatan, dan makin tidak teraturnya kondisi tiap dek seperti terlihat keesokan harinya, selain membuatkan susu dalam botol, para ibu yang berangkat bersama anaknya menggantungkan selendang di langit-langit dek membuat ayunan. Sambil menahan kantuk, mereka yang umumnya pulang ke kampung masing-masing tanpa suami mengoyangkan ayunan tersebut.

Selain seperti Lina, yang pulang sendiri karena suaminya tidak mendapat izin mengantar dengan alasan pekerjaan, banyak para isteri yang hanya diantar suami sampai Pulau Nunukan. Di pulau tersebut, suami mereka lantas mengurus paspor dengan jaminan yang diberikan majikan. Karena hanya suami yang mendapatkan jaminan membuat paspor, untuk menghindari ancaman hukuman para suami memulangkan isteri dan akan-anak mereka.

"Sekarang suami saya sedang mengurus paspor yang baru selesai seminggu lagi. Nanti setelah dia kembali ke Malaysia, saya disuruh menyusul sekitar bulan sembilan," ujar Nurhati (27) penuh harap. Sementara perempuan yang sudah belasan tahun tinggal di Malaysia ini berharap, Pelabuhan Balikpapan mulai tampak dari kejauhan.

Berpisah dengan suami dalam ketidakpastian dan dihantui ketakutan seperti dialami hampir semua perempuan yang diantar pulang dengan KM Tidar menuju kampung masing-masing, dirasa menyakitkan. Selain isteri, anak-anak mereka merasakan hal yang sama.

Untuk mengurangi rasa sakit tersebut, Lina sengaja membawa empat foto suaminya untuk ditunjukkan kepada Fitri, anak pertamanya yang sering menanyakan kenapa ayahnya tidak ikut. Setiap pertanyaan itu muncul, foto yang ditaruh di dalam tas genggam selalu ditunjukkan kepada anaknya sambil menenangkannya dengan berbohong bahwa ayahnya nanti akan segera menyusul.

"Saat Fitri menanyakan ayahnya, ingin nangis rasanya. Seperti dicerai dan terusir rasanya...." tutur Lina yang kemudian matanya memerah dan berkaca-kaca. Sambil menarik nafas panjang, perempuan yang masuk Malaysia sejak tahun 1993 menatap perjalanan panjang menuju Bulukumba yang masih harus ditempuh 12 jam perjalanan darat selepas tiba di Pare-pare.

inu