Wednesday, March 12, 2008

cendekiawan capres

PEMILIHAN UMUM (Pemilu) 2004 tak cuma mampu menggerakkan roda perekonomian rakyat dengan kreasi mereka menciptakan kaus, topi, atau berbagai suvenir, tetapi juga sebagai lapangan pekerjaan baru. Terbukti, banyak orang-orang yang berbondong-bondong ingin menjadi tim kampanye atau tim sukses. Terlepas dari apa latarbelakang maupun profesi mereka.

Salah satu kelompok yang juga mewarnai dinamika pemilu, terlebih pemilu presiden mendatang adalah kelompok cendekiawan. Mereka tak cuma beramai-ramai muncul di media massa, baik media cetak, radio, maupun televisi dengan berbagai tulisan, analisa, ulasan, hingga presentasi hasil polling atau survei mereka, tetapi mereka juga ramai-ramai menjadi tim kampanye ataupun tim sukses capres-calon wapres tertentu.

Ibarat musim bunga, centang perenang nama-nama para cendekiawan ini ada di balik para capres-cawapres. Sebutlah sejumlah nama cendekiawan yang tercantum sebagai tim kampanye PDI-P, seperti Sonny Keraf (mantan Menteri Lingkungan Hidup dan pengajar di Universitas Atmajaya). Di kubu Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dicantumkan nama Marwan Mas (dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin), S Budhisantoso (dosen UI), Irzan Tandjung, Musa Asyarie, dan Astrid Susanto.

Di kubu Wiranto-Salahuddin Wahid tercantum nama Happy Bone Zulkarnaen, Mahfud MD, dan Soleh Salahuddin. Di kubu Hamzah Haz-Agum Gumelar, cendekiawan yang menjadi tim kampanye pasangan ini adalah Qomari Anwar dan Laode M Kamaluddin. Di kubu Amien Rais-Siswono Yudo Husodo tercantum nama Syafii Maarif, Abdul Munir Mulkan, Ahmad Watik Pratiknya, Dawam Raharjo, Muhammad Surya, Muslimin Nasution, Yahya Muhaimin, Bambang Sudibyo, Rizal Sukma, Didiek J Rachbini, dan Drajad Wibowo.

Alasan mereka pun beragam. Ada yang merasa lelah mengkritik tetapi tidak pernah didengar pemerintah sehingga memutuskan mereka harus masuk ke dalam sistem, namun ada pula yang sama sekali tidak tahu menahu namun namanya "dicatut" jadi tim sukses.

Salah satunya, Marwan Mas. Ia mengatakan terkejut ketika suatu hari surat keputusan (SK) KPU sampai di rumahnya. "Saya sama sekali tidak tahu, kok tiba-tiba nama saya dicantumkan dalam tim kampanye. Saya tidak setuju, intelektual mendukung capres tertentu. Kalau sudah begitu, dia tidak bisa netral lagi," kata Marwan.

Lain cerita Rizal Sukma dan Drajad Wibowo. Drajad Wibowo yang selama ini dikenal sebagai pengamat ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menjelaskan alasan ia masuk ke politik. "Alasannya, dua tahun yang lalu saya memang telah diajak bergabung oleh partai-partai lain, tetapi ketika itu saya masih memilih jalur profesional. Namun berbagai kasus, kejadian, upaya saya untuk menyuarakan apa yang saya yakini ternyata tidak juga didengar, akhirnya saya memutuskan untuk masuk ke dalam. Sekarang saya sudah terpilih sebagai calon anggota DPR, saya berharap dengan berada di dalam saya bisa berbuat lebih besar," jelas Drajad.

Rizal Sukma, peneliti dari CSIS, menjelaskan, alasannya mendukung Amien Rais karena sebagai warga Muhammadiyah ia ingin mendukung kader Muhammadiyah yang baik untuk memimpin negeri ini. Ia meyakini, Amien Rais cukup layak dan mampu membenahi persoalan bangsa Indonesia. Berbeda dengan Drajad, Rizal Sukma tidak menjadi calon legislatif, ia hanya menjadi bagian dari tim sukses Amien Rais dengan memberi masukan baik berupa desain politik maupun politik pertahanan. Kedua bidang yang merupakan kepiawaian Rizal Sukma. "Ini prosesnya temporer, cuma sampai Oktober. Setelah itu, saya bisa berkonsentrasi pada penelitian yang akan saya lakukan," jelas Rizal Sukma.

Berbeda dengan tim kampanye yang secara terang-terangan mencantumkan nama, di sekeliling para capres-cawapres ini juga bertebaran cendekiawan yang menjadi tim sukses. Nama-nama mereka, entah disengaja atau tidak, tidak muncul ke permukaan. Bahkan cenderung "disembunyikan", namun wajah-wajah mereka kerap tampil mendampingi para capres ataupun kerap berkunjung ke rumah para capres. Di sisi lain, mereka masih aktif tampil dalam acara diskusi atau dialog di media massa, menganalisis politik.

Rizal Mallarangeng, Direktur Freedom Institute, memang namanya tak tercantum sebagai anggota tim sukses. Hanya rumor yang berkembang bahwa nama Rizal masuk sebagai anggota Mega Center, tim sukses Megawati. Akan tetapi, dalam kunjungan Megawati ke daerah-daerah, Rizal termasuk salah satu orang yang ikut serta mendampingi, di samping Wakil Sekjen PDI-P Pramono Anung.

Sebagai contoh, dalam kunjungan Presiden Megawati ke Riau dan Batam, 25 Mei lalu, Rizal Mallarangeng ikut serta dalam rombongan. Ketika sampai di lokasi Base Ops Halim Perdana Kusuma, Rizal melontarkan idenya untuk membentuk embedded journalist (wartawan yang menempel terus dalam kunjungan) Megawati daklam kunjungan ke daerah selama satu bulan.

Namun ketika dikonfirmasi soal posisinya, Rizal mengaku bahwa ia hanyalah sebatas teman yang membantu sahabatnya. Sebab ia sudah mengenal lama Taufik Kiemas dan Megawati. "Saya kenal dengan Mbak Megawati dan Taufik Kiemas sudah sejak lama. Jadi bukan hal yang baru. Saya ini bukan tim sukses, saya cuma sahabat saja," tegas Rizal.

Nama-nama lain yang juga disebut-sebut masuk dalam tim Mega Center, Daniel Sparingga (pengamat politik Universitas Airlangga), Hotman M Siahaan (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga), dan Sri Adiningsih (pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada). Ketiganya membantah sebagai anggota dari tim Mega Center. Sri Adiningsih secara tegas mengatakan dirinya bukan bagian dari tim sukses Mega atau bergabung dalam Mega Center.

"Saya ini hanya masuk dalam tim Keppres 12 Tahun 2004 yang sedang menggodok working group Indonesia-Jepang. Saya sama sekali tidak masuk dalam tim Mega Center," tegas Sri Adiningsih.

Hal yang sama juga diungkapkan Daniel Sparingga dan Hotman Siahaan saat dikonfirmasi. Daniel secara tegas mengatakan, "Tidak. Saya tidak terlibat dalam salah satu tim sukses capres atau cawapres. Saya tetap independen sebagai pengamat politik dan tetap selalu menjaga jarak dengan kepentingan politik atau kandidat manapun. Pencatutan nama saya dalam tim sukses tersebut telah merugikan saya karena saya memang tidak terlibat di dalamnya," ujarnya.

Hotman M Siahaan juga membantah anggapan sejumlah kalangan yang menyebutkan dirinya terlibat dalam Mega Center untuk kepentingan politik pasangan Megawati-Hasyim. "Saya tidak ikut-ikut dalam tim sukses capres mana pun. Adalah pilihan pribadi saya untuk tetap menjadi penonton saja karena akan menjadi lebih bebas dan fair dalam mengamati dan menganalisa. Selain itu, sebagai pegawai negeri yang ingin tetap menjadi pegawai negeri, saya tidak diperbolehkan ikut dalam tim sukses capres," ujar Hotman.

Untuk para cedekiawan yang saat ini terlibat dalam tim sukses capres, Hotman meminta agar komitmen untuk tidak mengkhianati rakyat dan mencederai demokrasi yang sedang bersama-sama diupayakan tetap dipertahankan.

Tudingan berada di balik capres tertentu juga dialami oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI). Mulai dari tudingan berada di balik capres Susilo Bambang Yudhoyono hingga polemik soal uang sebesar Rp 250 juta yang dilaporkan oleh pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Direktur Riset LSI Muhammad Qodari mengatakan bahwa konsep harus memiliki kaki. Oleh karena itu, aktivitas LSI secara kelembagaan adalah melakukan jajak pendapat, untuk menggali opini publik yang berguna bagi pembuatan kebijakan. Khusus untuk survei pemilih mengenai partai politik dan calon presiden, Qodari mengatakan bahwa hasil survei LSI tak hanya sebatas informasi pendapat masyarakat soal parpol ataupun capres tertentu, tetapi juga pesan-pesan publik terhadap elite politik. LSI secara tegas mengatakan data yang disajikan kepada publik adalah hasil temuan di lapangan.

Namun Qodari mengakui, di dalam internal LSI terdapat komitmen adanya pengakuan atas hak warga negara untuk bersikap secara politik. Bentuknya, meski tidak secara formal masuk parpol tertentu tetapi tidak menutup kemungkinan bagi peneliti maupun staf LSI untuk bersimpati pada partai politik atau capres tertentu. "Kami punya aturan di LSI, kode etik yakni mereka yang bekerja di LSI tidak boleh menjadi pengurus partai politik, tetapi menjadi anggota partai politik diperbolehkan," kata Qodari.

Ia menambahkan, memang secara kelembagaan, LSI agak kedodoran. Antisipasi atas perkembangan dinamika politik yang demikian tinggi tidak pernah terpikirkan ketika lembaga survei ini terbentuk.

"Kami sibuk dengan produk-produk LSI, sehingga kemarin rumusan aturan main belum diperluas. Kami mungkin dalam waktu dekat akan memperluas aturan hingga mencantumkan apakah boleh menjadi bagian tim sukses capres tertentu ataukah tidak," kata Qodari.

Persoalan lain yang muncul, kata Qodari, adalah soal dana dari Partai Golkar kepada LSI untuk melakukan jajak pendapat pertengahan Mei lalu. Di dalam kegiatannya, LSI melakukan dua hal, pertama jajak pendapat publik yang dibiayai JICA dan dedicated survey yang dibuat untuk melayani klien-klien privat, seperti Partai Golkar. Dedicated survey ini harus dilakukan LSI karena lembaga ini dalam waktu empat tahun harus menunjukkan peningkatan pendapatan dan empat tahun kemudian akan disapih oleh JICA.

"Kami tidak tahu itu akan dilaporkan ke KPU. Kalau orang melihat seolah-olah survei kami selama ini dibiayai, tetapi dalam kegiatan LSI ada dua kegiatan yang berbeda," kata Qodari. Ia mengatakan, hasil jajak pendapat dan analisa LSI untuk publik bisa dikatakan mendekati akurat. Namun hal itu salah diartikan oleh partai-partai politik. Misalnya saja ketika Megawati memperoleh suara signifikan, LSI dituding mendukung Megawati.

"Tudingan itu muncul, seolah-olah Denny JA mau cari muka terhadap Megawati, hanya karena melihat Mas Denny itu dekat dengan Taufik Kiemas. Begitu pula dengan meningkatnya perolehan suara Yudhoyono. Tetapi saya mau menegaskan bahwa LSI itu independen," jelas Qodari.

PERSOALAN masuknya cendekiawan ke dalam pusaran kekuasaan memang selalu menimbulkan kontroversi. Kelompok yang satu mengatakan hal itu adalah sebuah pengkhianatan terhadap ilmu, kelompok yang lain mengatakan hal itu untuk membumikan ilmu.

Julien Benda secara tegas dalam bukunya "La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Intelektual)" yang diluncurkan tahun 1927 menolak masuknya cendekiawan ke dalam pusaran kekuasaan.

Benda secara tegas menolak bahwa seorang intelektual harus berpihak. Ia menegaskan, cendekiawan sejati adalah orang yang kegiatannya tidak mengejar tujuan praktis, dan menolak gairah politik serta komersialisasi.

Antonio Gramsci dalam The Gramsci Reader (2000) memberi istilah organik kepada cendekiawan. Para cendekiawan dapat mengambil kelompok masyarakat sebagai obyek kepentingan politiknya, merekonstruksi kelas itu sesuai dengan kebutuhan agar memperoleh pengakuan dan identitas.

Masuknya kalangan cendekiawan ke dalam pusaran politik dan kekuasaan memang bukan hal baru, jauh-jauh hari, fenomena ini sudah muncul pada rezim Soekarno ataupun era "Orde Baru" Soeharto.

Pada era Orde Baru secara sistematis ilmu-ilmu sosial telah dilemahkan. Ilmuwan hanya menjadi teknisi, dan penelitian yang dilakukan sudah menurun derajatnya hanya menjadi penelitian pesanan.

Mengutip tulisan M Fadjroel Rachman dalam artikelnya "Pengkhianatan Cendekiawan" di harian ini, Selasa (25/5), "Ilmu pengetahuan bukanlah tempat bersembunyi bagi pengecut dan oportunistis."

inu

kampanye inul

PERINGATAN membawa penyanyi bergoyang ngebor ke Provinsi Papua itu akan bermanfaat bagi calon presiden, wakil presiden, atau tim suksesnya jika hendak ke provinsi itu. Berbeda dengan massa di daerah lain yang haus hiburan, khususnya goyangan penyanyi dangdut berpakaian minim dan ketat saat berbondong-bondong menghadiri kampanye terbuka, masyarakat Papua justru sebaliknya.

Ini terekam dalam kampanye terbuka calon presiden dari Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan calon wakil presiden Jusuf Kalla di Lapangan Trikora, Abepura, Papua, Jumat (4/6). "Ayo kurang apa? Kok enggak ada yang goyang bareng saya sih?" ujar Pristin, penyanyi dangdut kampanye siang itu.

Dia terlihat lelah dan putus asa setelah melantunkan beberapa lagu sambil bergoyang heboh. Di atas panggung yang dijaga ratusan anggota Kepolisian Negara RI, Pristin lantas menawarkan tiga lagu populer yang di tempat lain bisa langsung menggoyangkan penonton.

Tiga lagu Mawar Merah, Cucak Rowo, dan Kocok-kocok dengan goyangan ngebor khas Inul hingga ngecor khas Uut tidak mampu membuat massa bergoyang juga. Merasa tidak mendapat respons yang diharapkan, Pristin salah tingkah dan meminta temannya melanjutkan hiburan sebelum kampanye sesungguhnya digelar.

Namun, penyanyi lain yang berusaha ngebor hingga ngecor hanya dipandangi sebagai makhluk asing oleh masyarakat Papua. Sekali lagi, tidak ada satu pun masyarakat Papua yang lantas maju ke dekat panggung untuk bergoyang.

Kalau melihat penyanyi dangdut dicuekin penonton, anak Jakarta bisa bilang, "Kaciaann deh lu...."


inu

laron sby

PENGUMUMAN terbuka Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono kepada publik mengenai niatnya untuk maju berkompetisi dalam pemilihan presiden seperti lampu yang menarik laron. Sekejap saja, "laron-laron" berkerumun di sekitar Yudhoyono yang menyatakan kesiapannya menjadi tim sukses.

Merespons banyaknya laron yang berkerumun di sekitarnya, pada saat hari pertama kampanye, Yudhoyono yang berpasangan dengan Jusuf Kalla masih harus meresmikan Media Center yang disiapkan sejumlah kalangan untuk mewujudkan ambisinya. Media Center di kawasan bisnis Kuningan, Jakarta, yang merupakan sumbangan Barisan Nasional, berharap dapat menjadi pusat segala informasi bagi upaya Yudhoyono-Kalla mewujudkan Indonesia yang aman, adil, dan sejahtera.

Namun, harapan tersebut masih jauh dari yang diidamkan. Kenyataannya, di antara sesama tim sukses justru saling berlomba meraih sukses sehingga melupakan koordinasi. Akibatnya, selama seminggu awal masa kampanye, sejumlah anggota tim sukses justru saling tidak mengenal dan bersinergi ketika berada di lapangan tempat seharusnya tim sukses itu bekerja.

Di antara kandidat lainnya, pasangan Yudhoyono-Kalla tampaknya merupakan kandidat yang paling banyak memiliki kelompok yang menyebut sebagai tim sukses. Secara formal demi kepentingan pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum memang hanya dibentuk Tim Nasional yang dikomandani Letjen (Purn) Moh Maruf yang terkenal pendiam dan enggan tampil. Namun, dalam kenyataan dan operasional di lapangan, belasan kelompok yang mengaku sebagai tim sukses bergerak dengan pemikirannya sendiri. Supaya aman, dicantumkanlah sejumlah nama besar di seputar Yudhoyono sebagai pelindung, pengarah, pendamping, atau apalah namanya dengan kedudukan di atas.

Di antara sejumlah tim sukses yang berduyun-duyun mendekati Yudhoyono setidaknya ada lima tim sukses yang memegang peranan kunci. Kelima tim sukses itu adalah Tim Nasional, Tim Cyber (Tim Sembilan), Tim Lembang Sembilan (Jusuf Kalla), Tim Media Center, dan Tim Anugerah. Keinginan besar kelima tim sukses ini untuk mewujudkan ambisi Yudhoyono menjadi presiden ternyata tidak terkoordinasi dengan baik di lapangan.

Tim yang sudah merasa dekat dengan Yudhoyono di lapangan terlihat seperti mengambil jarak dengan tim sukses lain yang juga punya misi sama untuk mewujudkan ambisi Yudhoyono-Kalla. Lemahnya koordinasi di lapangan di antara tim sukses tersebut saat ini masih tertoleransi dengan adanya ambisi dan figur Yudhoyono sebagai pemersatu. Setelah ambisi tersebut terwujud atau kandas, tim sukses ini bisa dipertanyakan eksistensinya. Jika terwujud, masing- masing tim akan saling mengklaim paling berjasa. Sementara jika kandas, masing-masing tim akan saling menyalahkan.

Mengenai tidak terkoordinasinya kerja sejumlah tim yang kemudian menyebut diri sebagai tim sukses memang seperti dibiarkan. Ketua Tim Nasional Moh MaÆruf melihat kemunculan tim sukses dengan nama bermacam-macam itu sebagai ungkapan spontanitas masyarakat saja yang tidak perlu diatur. Tim Nasional yang mengawaki seluruh tim yang muncul di bawah hanya memonitor saja. Sejauh tidak merugikan, mau dibentuk berapa pun tim sukses tidak masalah.

Kesulitan koordinasi disebabkan juga karena masing- masing tim merasa telah menjadi pihak yang paling berjasa sehingga merasa paling pantas untuk membawahi tim-tim lainnya. Persaingan antartim sukses memang terjadi meskipun sampai saat ini belum terbuka. Yang jelas terlihat di lapangan, masing-masing tim sukses ingin tampil sebagai tim yang paling sukses mengemban tugas menyukseskan Yudhoyono-Kalla. Akibat persaingan ini, koordinasi terabaikan dan kecurigaan di antara tim sukses pun merebak.

inu

cari kerja

SIAPA bilang mencari pekerjaan di Indonesia itu susah? Siapa juga yang bilang mendapat status sosial dalam waktu singkat itu tidak mudah? Tengoklah apa yang dalam bulan-bulan terakhir ini terjadi di seputar hiruk-pikuk pertarungan perebutan kekuasaan oleh kelima calon presiden dan wakil presiden. Sebuah jenis pekerjaan dengan lowongan yang luar biasa banyaknya secara nasional plus status sosial yang cukup mentereng tiba-tiba saja terbuka dan bisa dimasuki siapa saja.

Untuk jenis pekerjaan yang tidak jelas berapa dan siapa yang memberi gaji itu dijual dengan bebas seragamnya di kios setiap pedagang pernak-pernik atau atribut kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Di depan, di samping, atau belakang seragam itu terdapat tulisan "Tim Sukses Anu", "Barisan Pendukung Anu", dan sejenisnya dengan warna yang umumnya sangat mencolok.

Atas munculnya sejumlah tim sukses yang umumnya sangat militan dan fanatik kepada pasangan yang hendak disukseskannya itu, masing-masing tim sukses resmi yang didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai syarat pendaftaran sebagai calon presiden dan wakil presiden mengatakan bahwa tim sukses dengan nama yang nyaris sama untuk semua kandidat itu tumbuh dengan sendirinya. Munculnya sejumlah tim sukses itu diklaim sebagai bukti kecintaan rakyat kepada pasangan kandidat.

Anggota Tim Kampanye Megawati-Hasyim Muzadi, Pataniari Siahaan, menerangkan, tim sukses yang resmi didaftarkan ke KPU adalah Tim Kampanye Mega-Hasyim yang merupakan gabungan unsur Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Nahdlatul Ulama (NU) diketuai Sutjipto dengan Sekretaris Heri Akhmadi. Seperti tim kampanye kandidat lainnya, Tim Kampanye Mega- Hasyim ini memiliki struktur hingga tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang didaftarkan pada KPU daerah di tingkatan masing-masing.

Namun, di luar tim sukses resmi yang dilaporkan ke KPU, PDI-P memiliki tim sukses internal yang dinamai Tim Megawati Presiden (TMP) dipimpin Sutjipto dengan Sekretaris Heri Akhmadi. Di luar itu lagi ada ratusan organisasi relawan pendukung Mega-Hasyim dengan tujuan satu dan sama untuk menyukseskan pasangan Mega-Hasyim.

"Jumlahnya per kabupaten/kota itu 3-5 organisasi yang dibuat secara spontan. Tetapi, yang mendapat surat keputusan DPP PDI-P adalah Tim Kampanye Mega-Hasyim dan TMP," tutur Wakil Sekretaris TMP Hasto Kristianto. Pasangan calon presiden dan wakil presiden Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla secara resmi mendaftarkan Tim Nasional sebagai tim kampanye yang strukturnya merambat hingga ke tingkat kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Tim Nasional yang diketuai Letjen (Purn) Moh Ma'ruf ini berisi lima unsur pendukung, yaitu unsur nonpartai, Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Bulan Bintang, dan unsur tim Kalla.

Seperti yang terjadi pada kandidat lain, di sekitar pasangan Yudhoyono-Kalla muncul sejumlah tim sukses tidak resmi yang tampak lebih militan dan fanatik dalam memberikan dukungan. Dukungan yang diklaim akan diberikan, antara lain menggalang massa dalam setiap kampanye, menjadi relawan di tempat pemungutan suara, menyampaikan informasi yang benar mengenai pasangan ini, dan tugas-tugas lain seputar upaya mewujudkan ambisi kandidat favoritnya.

Mengenai munculnya tim sukses tidak resmi ini, anggota tim kampanye Mega-Hasyim, Siahaan, menjelaskan sulit menghalangi spontanitas rakyat untuk memberikan dukungan karena pada dasarnya pemilu presiden-wakil presiden adalah pemilu langsung oleh rakyat. Pembiayaan mereka juga bersifat swadaya tanpa bantuan dana dari pusat.

"Lagi pula, kalau ditangani Tim Kampanye Mega-Hasyim agak susah karena untuk urusan kampanye ini ada 400-an kabupaten/kota yang membuat kita pusing. Untuk kami sendiri pembiayaannya dari pusat berupa bantuan stimulans saja dan diserahkan kepada daerah masing-masing untuk menyediakannya," kata Siahaan. Hasto Kristianto mengakui memang agak kerepotan mengatur organisasi relawan pendukung Mega-Hasyim. "Seperti cap jempol darah di Surabaya itu di luar instruksi kami. Karenanya, sulit untuk menghentikan aksi mereka karena mereka berada di luar struktur," katanya.

Untuk mengatasi masalah keruwetan ini, masing-masing organisasi relawan pendukung atau tim sukses diminta berkoordinasi dengan tim sukses resmi masing-masing kandidat yang telah dibentuk hingga tingkat kabupaten/kota. Prinsipnya, silakan membuat tim sukses apa pun namanya dan perannya sejauh tidak merugikan dan ada koordinasi dengan tim sukses resmi di tiap wilayah.

SELAIN muncul sejumlah kelompok orang dengan nama tim sukses atau relawan, secara individual keinginan untuk menyukseskan kandidat pujannya juga terjadi. Hasan (62), kelahiran Cikande, Cibeureum, Banjar, Kabupaten Serang, misalnya, mempunyai cara sendiri untuk mendukung dan menyukseskan calon presiden Partai Golkar Wiranto.

Hasan berkeliling-keliling kota dengan sepeda motornya yang unik. Sepeda motornya, Yamaha RX SP tahun 1995, dicat loreng, ditempeli uang logam dari berbagai negara, dan di bagian belakangnya dipasangi aneka pohon. Pada bagian depannya, kemudian ia pasangi foto Wiranto dan Salahuddin Wahid yang menjadi pasangannya. "Saya penggemar berat Pak Wiranto," ucap kakek tua itu saat dijumpai di Lapangan Serang Banten, pekan lalu.

Kalau kelak menjadi presiden, dia hanya berharap Wiranto dan Salahuddin tidak lupa dengan rakyat, selalu menyirami rakyat. "Pohon di motor saya saja terbukti bisa hidup subur kalau terus disirami. Apalagi rakyat Indonesia," ujarnya semangat.

Taufik, Ketua Bala Singo Ponorogo, punya cara lain lagi dalam upayanya menyukseskan pasangan Wiranto-Salahuddin. Pria kekar, yang sehari-hari menjadi pengawal Bupati Ponorogo Markoem Singodimedjo, memberi dukungan dalam bentuk pengerahan massa. Dia kerahkan anak buahnya yang berjumlah sekitar 500 orang untuk meramaikan kampanye Wiranto.

Dukungannya diberikan kepada pasangan Wiranto-Salahuddin karena mereka dicalonkan Partai Golkar. Markoem sendiri merupakan tokoh Partai Golkar yang sangat dihormati.

Kalangan pengusaha punya cara lain lagi dalam memberikan dukungan atau berpartisipasi dalam menyukseskan kandidat yang diharapkannya. Mendekati pemilu presiden, mereka mencoba memberi dukungan dalam bentuk menghadiri sejumlah acara penggalangan dana. Pada acara penggalangan dana di Batam, sekitar 500 pengusaha hadir. "Saya senang bisa mengenal lebih dekat Pak Wiranto," ucap salah satu direktur perusahaan.

Dalam acara pengumpulan dana di tempat lain, di Hotel Majapahit, Surabaya, Sabtu kemarin, sebanyak 350 pengusaha hadir memberikan dukungan demi suksesnya pasangan Wiranto-Salahuddin. "Mereka umumnya puas hadir di sini karena terlihat tidak ada satu pun yang pulang sebelum acara selesai," ucap Bromo Utomo, Ketua Panitia Pengumpulan Dana di Surabaya.

Mengenai munculnya pendukung-pendukung fanatik terjadi juga pada pasangan Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo. Lukman, warga Kemayoran, Jakarta, misalnya, dengan biaya sendiri membangun posko Amien Rais. Tidak cukup sampai di situ, dia juga yang memasang atribut kampanye Amien-Siswono. Baliho besar bergambar wajah Amien-Siswono yang tersenyum manis meminta simpati terpampang di salah satu sudut jalan di Kemayoran.

Kecintaannya dan keinginannya untuk menyukseskan pasangan Amien-Siswono diwujudkan juga dengan selalu mengikuti kegiatan Amien Rais di Jakarta. Saat Amien Rais bermain sepak bola dengan kelompok musik Slank, Lukman mengirimkan satu bus berisi suporter pendukung Amien-Siswono dari Kemayoran.

LANTARAN tujuan yang hendak dicapai seluruh tim sukses kelima kandidat adalah memenangi pertarungan dalam pemilu presiden dan wakil presiden mendatang, langkah yang diambil tim sukses kemudian menjadi seragam. Keberhasilan tim sukses kandidat tertentu dengan gerakannya dalam menarik simpati dan dukungan massa seolah-olah menjadi contoh bagi tim sukses kandidat lain untuk segera menirunya.

Ketika upaya melibatkan sejumlah warung makan dinilai efektif untuk memperoleh simpati dan dukungan, tim sukses kandidat lain yang belum melakukan upaya itu lantas bergegas membuatnya. Ketika upaya kampanye dengan mendekati calon pemilih di pusat aktivitas mereka, seperti pasar, mendapat respons positif, tim sukses kandidat lain segera menirunya. Tim sukses bersama- sama pasangan kandidat seolah ingin menjelaskan apa yang dimiliki dan dilakukan kandidat tetangga dilakukan juga olehnya. Tidak usah berpaling ke kandidat lain! Begitu barangkali pesannya.

Upaya tim sukses yang bergerak sendiri-sendiri dengan saling meniru justru membuat calon pemilih bingung dan semakin tidak tertarik karena tidak ada lagi kekhasan yang ditawarkan oleh kelima kandidat. Melihat visi, misi, dan program kelima kandidat yang seragam dalam ketidakjelasannya, calon pemilih makin dibingungkan dengan kerja tim sukses yang hanya saling meniru apa yang dilakukan tim sukses tetangga.

inu/bur sut/mam