Thursday, February 28, 2008

kapal perang

"KAPAL perang kita sudah usang dan satu peluru kendali saja kita tidak punya! "kata Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Laksamana Bernard Kent Sondakh seusai rapat pimpinan TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, Rabu (21/1). Ungkapan itu disampaikannya untuk menggambarkan bagaimana kondisi kekuatan tempur TNI AL.

MENYADARI kelemahan tersebut, melalui kajian komprehensif untuk mengamankan seluruh perairan Indonesia, idealnya TNI AL memiliki sekitar 190 KRI. Apabila jumlah ideal itu tidak dapat dicapai, kebutuhan standar adalah 171 KRI, dengan catatan terdapat faktor risiko yang harus dihadapi. Apabila jumlah itu pun belum dapat dipenuhi, kebutuhan minimalnya adalah 138 KRI dengan tingkat risiko yang lebih tinggi.

Saat ini, untuk jumlah minimal sekali pun tidak terpenuhi karena TNI AL hanya memiliki 120 KRI yang telah berusia di atas 20 tahun dengan persenjataan yang ketinggalan zaman. Dari 120 KRI tersebut, enam KRI dalam status konservasi, proses penghapusan, dan cadangan. Artinya, jumlah riil KRI yang dapat dioperasikan adalah 114 KRI terbagi dalam tiga susunan tempur.

Mendapati potensi ancaman dan tantangan pertahanan ke depan dan potensi kemampuan minimal, Sondakh dalam berbagai kesempatan mengutarakan mimpi besar untuk menjadikan TNI AL yang besar, kuat, dan profesional. "Tinggalkan kebijakan strategis berdasarkan konsep kekuatan yang kecil, efektif, dan efisien. Saatnya kita mengubah konsep membangun TNI AL yang besar, kuat, dan profesional. Ini sebuah kebutuhan," ujarnya.

Untuk mewujudkan mimpi tersebut, TNI AL membuat rencana panjang 10 tahun ke depan. Dalam 10 tahun ke depan, TNI AL memfokuskan kebutuhan kekuatan armadanya pada jenis kapal tempur sebagai kekuatan pemukul. Menurut Asisten KSAL Bidang Logistik Laksamana Muda Sudaryanto, untuk keperluan itu, TNI AL telah mengajukan permohonan pembelian 15 kapal tempur.

Secara bertahap permohonan TNI AL direspons pemerintah. Dari 15 kapal tempur yang akan dibeli, TNI AL telah mengajukan pembelian delapan kapal di antaranya. Delapan kapal tempur itu adalah empat kapal jenis korvet buatan Belanda dan empat kapal jenis Landing Platform Dock (LPD) buatan Korea Selatan. Satu korvet buatan Belanda berharga 167 juta dollar AS. Sementara empat LPD berharga 151 juta dollar AS.

Negosiasi dengan departemen terkait dilakukan dan telah ada kesepakatan untuk pengadaan kapal tersebut. Setelah mendapatkan kepastian dukungan anggaran dari Departemen Keuangan untuk pembelian empat korvet, kontrak pembelian korvet ditandatangani pekan lalu antara pihak Belanda dan Sondakh mewakili Menteri Pertahanan. Meskipun kemudian ada ganjalan mengenai rencana pembelian itu, Sondakh yakin proses pembelian terus dapat berjalan sesuai rencana.

Dari empat korvet yang akan dibeli, dua korvet akan dibangun di Belanda sementara dua lainnya dibangun di PT PAL, Surabaya. Dalam penandatanganan kontrak itu, pemerintah telah mengucurkan dana 50 juta dollar AS untuk pembayaran tahap pertama. "Proses jalan terus. Tetapi, kalau pemerintah tidak punya uang, pembelian kami tunda," ujar Sondakh.

Selain membeli empat korvet buatan Belanda dan empat LPD buatan Korea Selatan, dalam waktu dekat ini, TNI AL juga merencanakan membeli 11 buah pesawat intai maritim M28 Skytruck buatan Polandia.

Jalan untuk mewujudkan mimpi TNI AL telah dimulai dengan peresmian dua KRI Tanjung Dalpele-972 dan KRI Patola-869, peresmian pangkalan utama TNI AL VII dan Batalyon Infanteri-7 Marinir, pengadaan beberapa pesawat udara CN-212, Nomad N-22, Helikopter Colibri, Helikopter Mi-2, dan peresmian empat KRI jenis patroli cepat tipe 36.

"Tidak ada lagi kata jalan di tempat, apalagi mundur. Gelorakan terus semangat untuk maju, maju, dan maju; besar, besar, dan besar; kuat, kuat, dan kuat!" tegas Sondakh saat peresmian KRI Patola-869 dan Dalpele-972 di Dermaga Ujung, Surabaya, Oktober tahun lalu.

UPAYA mewujudkan mimpi TNI AL yang besar, kuat, dan profesional tidak cukup didukung dengan kuatnya unsur sistem senjata armada terpadu. Postur TNI AL yang diimpikan tersebut dapat optimal beroperasi jika ditunjang sistem yang dapat menyokongnya. Validasi organisasi merupakan salah satu langkah.

Secara garis besar, rencana validasi organisasi TNI AL mencakup dua hal, yaitu validasi organisasi di tingkat Komando Pertahanan Utama dan di tingkat Markas Besar TNI AL. Saat ini, terdapat dua Komando Armada RI Kawasan Barat (Jakarta) dan Timur (Surabaya). Pembinaan dilakukan terpisah.

"Kondisi ini berdampak pada terjadinya perbedaan warna pembinaan, tidak efisiennya pendayagunaan anggaran, dan adanya kebutuhan personel yang besar. Di sisi lain, dengan dua komando armada kawasan ini, rentang kendali Panglima TNI menjadi melebar. Berdasarkan kondisi itu, kedua komando armada kawasan akan di-regroup menjadi satu Komando Armada RI," ujar Sondakh.

Komando Armada RI ini merupakan satu-satunya komando yang memiliki tanggung jawab bidang operasional dan pembinaan seluruh kekuatan armada. Hal ini dimaksudkan untuk memperpendek rentang kendali dan menajamkan fungsi pembinaan dan operasional.

Dalam upaya menyiapkan sistem ini dengan mengingat perairan yurisdiksi Indonesia yang luas dan memiliki trouble spot yang banyak serta terdapat tiga ALKI, TNI AL membentuk tiga Armada Bernomor yang bertanggung jawab mengamankan tiga kawasan laut dengan ALKI sebagai axis-nya. Tiap Armada Bernomor didukung satu Gugus Tempur Laut dan satu Gugus Tugas Keamanan Laut.

Armada Bernomor merupakan armada operasional yang bertanggung jawab penuh terhadap mandala operasi yang menjadi tanggung jawabnya serta mengoordinir pelaksanaan tugas gugus tempur laut dan gugus keamanan laut.

"TNI AL telah lama siap dengan rencana validasi untuk menyiapkan sistem pendukung ini. Akan tetapi, persetujuan belum keluar karena terganjal di Departemen Pertahanan. Menterinya sakit sampai saat ini," ujar Sondakh. Komando Armada RI akan bermarkas di Surabaya menempati Markas Komando Armatim. Armada-I akan bermarkas di Jakarta menempati Mako Armabar, Armada-II akan bermarkas di Makassar menggunakan fasilitas Mako Lantamal-IV, dan Armada-III akan bermarkas di Ambon menempati Mako Guskamlatim.

Selain membentuk satu Komando Armada dan tiga Armada Bernomor, sebutan Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) akan diubah menjadi Komando Daerah Maritim (Kodamar).

Di lingkungan korps Marinir, untuk efektivitas manajemen pembinaan, akan dibentuk Pasukan Marinir-2 di Jakarta sebagaimana Pasmar-1 di Surabaya. Pasmar-2 merupakan regrouping dari brigade Marinir BS, beberapa datasemen Marinir di wilayah barat dan Brigif 3.

Untuk meningkatkan efisiensi dalam penggunaan biaya pemeliharaan serta untuk meningkatkan efektivitas pengoperasiannya, kapal yang ada dan yang diimpikan dimiliki TNI AL dibagi menjadi tiga susunan tempur, yaitu susunan tempur pemukul, susunan tempur patroli, dan susunan tempur pendukung (supporting force).

TNI AL memetakan, ancaman potensial bagi kehormatan dan keselamatan bangsa meliputi tiga hal, yaitu hadirnya kekuatan asing di perairan Indonesia dengan alasan pengamanan jalur perdagangan dunia Sea Lanes of Communication (SLOC), peningkatan frekuensi lintas ALKI kapal-kapal perang asing ke daerah-daerah konflik yang tidak mengindahkan prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan Indonesia, dan aksi terorisme maritim yang melakukan ancaman terhadap obyek vital dan instalasi penting lepas pantai.

"Untuk menghindarkan ancaman potensial itu, perlu kehadiran TNI AL yang dapat memberikan penangkalan sehingga musuh mengurungkan niatnya. Untuk menjalankan aksinya, mau tidak mau diperlukan suatu kekuatan tempur pemukul strategis yang berimbang atau kekuatan yang besar, kuat, dan profesional sehingga disegani musuh," ujar Sondakh.

inu

ruko pemilu

SAH-sah saja pesimisme dan keengganan sebagian anggota masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya, alias memilih untuk tidak memilih dan menjadi golongan putih dalam Pemilihan Umum 2004 mendatang. Habis yang akan dipilih juga orangnya itu-itu juga, cuma ganti baju. Para jagoan Orde Baru maupun orde lainnya, termasuk para koruptor pun, ikut-ikut meminta dipilih. Itu biasanya alasan yang mengemuka.

Akan tetapi, tengoklah antusiasme sekelompok masyarakat lain dalam menyiapkan diri untuk turut andil dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Di sebuah rumah toko (ruko) yang beralamat di Jalan Roa Malaka Utara, Jakarta Barat, puluhan warga keturunan Tionghoa duduk memadati ruangan di lantai dua yang memang kecil ukurannya.

Mereka datang tidak untuk membicarakan urusan dagang atau bisnis cari untung lainnya. Peserta diskusi terbuka yang diselenggarakan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti) itu memadati ruko di belakang Hotel Omni Batavia tersebut, untuk mengobrol "urusan negara", yakni Pemilu 2004.

Tidak mudah mencari ruko yang menjadi tempat diskusi terbuka dengan tema "Antisipasi Pemilu 2004" tersebut. Padatnya Jalan Roa Malaka Utara oleh pedagang kaki lima dan kendaraan yang sembarangan diparkir di jalan penuh ruko tersebut menambah kesulitan menemukan tempat itu. Beberapa peserta bahkan mengaku sempat nyasar.

Namun, dikusi yang menghadirkan sejumlah narasumber Bara Hasibuan, Romo Beny Susetyo Pr, Frans Tshai, Franky Sahilatua, Rieke Diah Pitaloka, AB Susanto, dan Faisol Reza itu berlangsung hangat. Tingginya apresiasi dan kritisnya peserta tampak sejak narasumber berbicara. Saat ada yang menyimpang dari kesepakatan, interupsi lantas mengemuka.

Untuk menertibkan jalannya diskusi, Benny G Setiono dari Perhimpunan Inti yang menjadi moderator diskusi membuat peraturan yang kemudian disepakati bersama. Untuk narasumber, diberi waktu 15 menit. Untuk penanya dibatasi waktunya hanya satu menit. Bel menjadi tanda jika waktu yang disepakati telah terlewati. "Kita harus mulai tertib dan teratur menaati aturan mulai dari diri kita sendiri," ujarnya.

Lantaran tempat penyelenggaraan diskusi di ruko yang padat dan ramai, pada 30 menit awal, pengumuman untuk memindahkan kendaraan turut menjadi interuptor.

Perhimpunan Inti menyelenggarakan diskusi terbuka untuk melepaskan diri dari bayang-bayang marjinalisasi Orde Baru terhadap warga keturunan Tionghoa. Selama Orde Baru, tabu bagi warga keturunan Tionghoa untuk terlibat dalam percaturan politik mengurus negara. Warga keturunan Tionghoa disisihkan hanya untuk berkutat pada persoalan perdagangan dan ekonomi.

Penyisihan dan pengotak-ngotakan ini masih kental terasa hingga saat ini. Tengok saja misalnya kawasan Glodok, Mangga Dua, Kelapa Gading, dan sekitar lokasi dilangsungkannya diskusi. Keinginan untuk melawan pengotak-ngotakan tersebut tercermin dalam diskusi.

"Kita harus mengikis pengotak-ngotakan dan stereotip yang terhadap warga keturunan Tionghoa. Kita tunjukkan bahwa kita juga mau berperan dalam kehidupan berbangsa," ujar AB Susanto yang menjadi calon anggota legislatif urutan pertama Provinsi DKI Jakarta dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Menyikapi sistem Pemilu 2004 yang berbeda, yang mana calon pemilih dapat berperan dengan memilih langsung calon yang dikehendakinya, kalkulasi untung dan rugi seperti layaknya dalam dunia dagang menjadi acuan. Kalkulasi untung dan rugi tampaknya efektif untuk mendapatkan anggota DPR/DPRD, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden.

"Jangan lagi dipilih mereka yang nyata-nyata saat ini membawa kesengsaraan. Yang melakukan korupsi tanpa diberi sanksi. Yang punya catatan hitam di masa lalu. Pilih orang-orang baru yang menjanjikan dan relatif bersih dalam Pemilu 2004. Pilihlah mereka yang akan memperjuangkan aspirasi dan membawa keuntungan untuk Anda," ujar Benny Susetyo, disambut tepuk tangan riuh peserta diskusi terbuka.

Masalahnya, masih adakan orang-orang seperti itu...?

inu

papua

Satu suku bangsa, satu budaya, namun terpisahkan di dua negara. Kenyataan ini membingkai permasalahan yang muncul di perbatasan darat antara Indonesia, dalam hal ini Provinsi Papua, dan Papua Niugini (PNG).

Kesamaan suku bangsa dan budaya, yang tertanam sangat dalam sejak ratusan tahun sebelumnya di antara orang Papua di dua negara ini, membuat warga dua negara tidak sadar bahwa secara yuridis mereka harus berbeda.

Kesatuan suku bangsa dan budaya Melanesia inilah yang membuat pemerintah kesulitan bertindak tegas terkait, misalnya, dengan hak tanah ulayat. Garis lurus perbatasan pada 141 derajat bujur timur (BT) di atas kertas memang membagi pulau berbentuk burung tersebut menjadi dua. Namun, penduduk pulau yang memiliki kesamaan kebiasaan dan budaya serta saling bersaudara tersebut sulit dipisah. Mereka yang tinggal di perbatasan bahkan tidak menyadari bahwa mereka berbeda negara.

"Sebagai contoh, banyak dari warga PNG yang memiliki hak tanah ulayat di sekitar Sungai Tami (Papua) yang jaraknya sekitar lima kilometer dari pos perbatasan Wutung. Sebaliknya, hal itu juga terjadi untuk warga Papua. Mereka juga memiliki hak tanah ulayat di PNG," jelas Kepala Badan Perbatasan dan Kerja Sama Daerah Provinsi Papua Suryanto SW.

Oleh Pemerintah Indonesia, kelompok warga dengan hak tanah ulayat lintas negara ini dikategorikan dalam pelintas batas tradisional. Mereka memiliki hak untuk melintas dan mengurus tanah ulayatnya dengan dibekali kartu lintas batas. Pelintas batas tradisional ini kerap melintasi pos perbatasan karena ingin menggarap tanah ulayat mereka. Umumnya, mereka berkebun di tanah ulayat tersebut dan kemudian pulang.

Namun, tidak sedikit dari pelintas batas tradisional ini yang tidak memiliki kartu lintas batas. Kartu lintas batas tersebut tidak diurus lantaran warga Papua dan PNG yang sangat sederhana tidak sadar akan perbedaan negara yang diputuskan secara politis di antara kedua negara.

Kesamaan suku bangsa dan budaya di antara dua negara ini oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilihat sebagai hambatan dalam urusan pertahanan. Bersamaan dengan lemahnya pengawasan perbatasan yang seperti dibiarkan menganga, kelompok separatis bersenjata dengan sangat leluasa bersembunyi di PNG seusai melakukan aksinya di Papua dan diburu aparat TNI.

Departemen Pertahanan (Dephan) mendeteksi di kawasan perbatasan setidaknya ada tiga kelompok separatis bersenjata, yaitu kelompok Mathias Wenda, Hans Bomay, dan Paulus Kaladana. "Tiga kelompok separatis bersenjata ini berbasis di PNG, yaitu di Provinsi Sandaun dan Western, dan kerap melakukan aksi di Papua," ujar Kolonel AM Johannes Pessy, salah seorang pejabat Dephan.

Tiga kelompok separatis bersenjata ini memanfaatkan kamp pengungsi warga eks Papua sebagai daerah penyelaman dan logistik wilayah. "PNG tidak mempunyai komitmen yang konkret untuk memberantas kamp pengungsi dan tiga kelompok separatis bersenjata tersebut," ujar Panglima Komado Daerah Militer (Kodam) XVII Trikora Mayjen N Zainal.

Pemerintah Indonesia telah memberi tahu keberadaan tiga kelompok separatis bersenjata tersebut ke PNG. Namun, karena alasan keterbatasan personel dan dana, PNG lepas tangan dengan tetap membiarkan tiga kelompok separatis bersenjata ini beroperasi.

"Saya tidak khawatir Papua akan lepas hanya lewat aksi kelompok separatis bersenjata tersebut. Kekuatan mereka semakin melemah karena lambatnya kaderisasi dan tidak adanya pasokan persenjataan. Namun, keberadaan mereka tetap harus ditumpas dan dibersihkan dari Papua," ujar Zainal.

Kesulitan lantaran kesamaan suku bangsa, budaya, dan lemahnya penjagaan di kawasan perbatasan sebetulnya menyimpan potensi ekonomi. PNG yang relatif lebih tertinggal dari Indonesia tergoda untuk menjadikan Indonesia, khususnya Papua, sebagai tempat berbelanja.

"Harga barang-barang kebutuhan lebih murah di Abepura dibandingkan dengan di PNG. Untuk minyak goreng kemasan lima liter, di Abepura harganya Rp 24.000. Sementara untuk barang yang sama di PNG, harganya mencapai Rp 40.000," ujar Steward warga PNG seusai berbelanja di Abepura bersama istri dan anaknya.

Bersama rombongannya sekitar delapan orang, Steward secara berkala berbelanja di Abepura. Selain minyak goreng, mereka juga membeli berkarung-karung beras. "Bisa satu minggu satu kali, bisa juga satu bulan sekali. Bergantung pada kebutuhan dan uang yang ada," ujarnya.

Karena tingginya frekuensi warga PNG yang datang berbelanja ke Abepura, Pemerintah Provinsi Papua akan membuka hubungan langsung dengan Provinsi Vanimo di PNG. "Rencananya, Juni 2004, hubungan langsung itu dapat diwujudkan bersamaan dengan program perbaikan dan pelebaran jalan dari pos perbatasan ke Jayapura," ujar Suryanto.

inu

wutung

Dikawal satu regu anggota Tentara Nasional Indonesia bersenjata lengkap, rombongan Departemen Pertahanan bersama wartawan media cetak dan elektronik berarak menyusuri jalan menanjak, berliku, terjal, dan mulai terkelupas lapisan aspalnya menuju pos perbatasan Indonesia (Provinsi Papua) dengan Papua Niugini. Pos perbatasan terletak di kawasan Wutung, batas darat paling utara antara Indonesia dan PNG.

Dengan perjalanan darat menembus hutan yang masih terjaga kelestariannya, kawasan Wutung dapat dicapai selama sekitar tiga jam dari Kota Jayapura. Perjalanan darat menjadi terlalu lama lantaran jalan aspal satu-satunya tersebut telah terkelupas dan berlubang hampir di sepanjang perjalanan.

"Pos perbatasan di kawasan Wutung merupakan pos perbatasan darat terbaik Indonesia dan PNG (Papua Niugini) yang kita miliki. Di sana sudah ada penggabungan sejumlah instansi terkait dan aparat keamanan," kata Kepala Badan Perbatasan dan Kerja Sama Daerah Provinsi Papua Suryanto SW, sesaat sebelum rombongan berangkat ke perbatasan.

Sebelum tiba di pos perbatasan, penjelasan Suryanto sangat melegakan. Di tengah lelahnya menempuh perjalanan darat berkelok-kelok dan menanjak serta menerobos hutan, rombongan berharap dapat beristirahat sejenak menikmati sejuknya angin yang menyusup dedaunan hijau hutan tropis. Meneguk sejuknya air pegunungan pasti akan menghilangkan penat dan lelahnya perjalanan.

Begitu tiba di pos perbatasan di kawasan Wutung, harapan mendapatkan kelegaan setelah penatnya perjalanan berubah menjadi keprihatinan. Bangunan pos perbatasan yang dioperasikan bersama-sama antara aparat imigrasi, bea cukai, karantina, polisi, dan TNI sejak tahun 1998 ini memang terawat dan terlihat masih kokoh berdiri di atas batu karang. Akan tetapi, tidak ada jaringan listrik dan saluran air.

"Jika butuh air minum dan untuk kebutuhan lainnya, kami mengandalkan hujan turun atau menunggu ada pergantian petugas penjaga pos yang datang dari Jayapura. Pergantian petugas sekaligus digunakan sebagai saat untuk pengisian kebutuhan akan air dan kebutuhan lainnya," ujar seorang petugas jaga seusai memeriksa kendaraan penuh berisi penumpang yang akan melintas dari PNG ke Papua.

Pihak Pemerintah Provinsi Papua telah lama menyadari pentingnya jaringan listrik dan air di pos perbatasan ini. Namun, tidak ada yang dapat dilakukan sejak pos ini didirikan. Pernah diupayakan untuk mengebor batu karang di kawasan Wutung untuk mendapatkan sumber air. Akan tetapi, kedalamannya yang diperkirakan mencapai lebih dari 150 meter tidak memungkinkan untuk pengeboran. Selain itu, tidak ada jaminan jika pengeboran dilakukan air yang didapat adalah air yang bersih mengingat kawasan Wutung tepat berada di tepi Samudra Pasifik.

Karena itu, lebih menjanjikan jika membuat pipa saluran air bersih dari sumber mata air di Pegunungan Pawa yang berjarak lima kilometer dari pos perbatasan. "Itu salah satu kendala yang kami hadapi di perbatasan. Mengenai jaringan listrik, kami belum dapat membayangkan kapan akan dapat tersambung," ujar Suryanto.

KENDALA di pos perbatasan sepanjang sekitar 770 kilometer yang membentang antara Jayapura di ujung utara hingga Merauke di ujung selatan memotret kendala yang lebih besar dan lebih kompleks di perbatasan darat Indonesia dan PNG. Di pos perbatasan terbaik saja, kendala yang muncul tidak sedikit dan sangat prinsipiil. Dapat dibayangkan kendala dan permasalahan di pos lain atau di perbatasan lain yang tidak ada pos perbatasannya.

Antara Indonesia dan PNG, meskipun terdapat ratusan jalan yang dapat dilintasi oleh siapa pun yang ingin melintas, hanya terdapat dua pos perbatasan. Pos pertama di Wutung yang merupakan pos terbaik dan pos kedua ada di Sota, Merauke. Pos perbatasan di Sota direncanakan menjadi pos gabungan sejumlah instansi, seperti di Wutung. Namun, karena kendala yang lebih kompleks, hingga sekarang rencana itu belum terlaksana. Petugas perbatasan hanya datang ketika siang. Menjelang sore, mereka kembali ke rumah mereka dan membiarkan perbatasan tersebut tidak terjaga.

Karena minimnya penjagaan di ratusan perlintasan dua negara satu suku bangsa ini juga di pos perbatasan yang disiapkan, Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) XII Trikora Mayor Jenderal N Zainal mengatakan, wilayah perbatasan Indonesia dan PNG sangat terbuka. "Perbatasan kita dengan PNG sangat bolong. Karena itu, wilayah perbatasan menjadi tempat paling nyaman bagi kelompok separatis bersenjata untuk keluar masuk Indonesia dan PNG. Seusai melakukan gerakannya di Papua, dengan mudah kelompok separatis bersenjata ini lari ke PNG dan bersembunyi di sana," ujar Zainal.

Di sepanjang perbatasan yang tidak kasatmata letaknya karena tanpa pagar tersebut, Kodam XVII Trikora mendirikan 21 pos penjagaan di wilayah- wilayah yang dinilai rawan. Aparat TNI yang ditugaskan di 21 pos tersebut berjumlah tiga peleton. Meskipun Kodam XVII Trikora tidak melihat kelompok separatis bersenjata sebagai ancaman bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penjagaan wilayah perbatasan tetap penting karena kerap terjadi perpindahan warga PNG ke wilayah Indonesia (Papua).

Untuk kasus perpindahan warga PNG ke wilayah Papua terjadi di wilayah Warasmal yang luasnya mencapai sekitar 160 kilometer persegi dan terbagi dalam sembilan desa. Dari sembilan desa tersebut, tiga desa diantaranya mengibarkan bendera PNG dan menerapkan sistem pemerintahan PNG. Warga PNG tersebut berpindah ke Warasmal karena kalah perang dari suku Telefomen. Kepindahan mereka tidak terdeteksi lantaran tidak terjaganya perbatasan Indonesia dan PNG.

"Sementara ini kami hanya bisa mendeteksi saja tanpa mampu berbuat apa-apa. Jika hal ini terus dibiarkan, kawasan Warasmal yang terletak di wilayah Indonesia ini bisa-bisa lepas karena sudah ada warga PNG yang menetap di sana sejak beberapa tahun yang lalu," ujar Zainal.

Selain tempat perlintasan kelompok separatis bersenjata dan kepindahan warga PNG tanpa terdeteksi, lemahnya pengawasan di perbatasan menimbulkan kerawanan lain, seperti penyelundupan ganja dari PNG ke Papua dan penyelundupan hasil bumi, utamanya vanili. Untuk penyelundupan tersebut, aparat kepolisian beberapa kali mampu menangkap pelaku dalam sejumlah operasi. Namun, karena banyak wilayah perbatasan yang bolong, penyelundupan dipastikan lebih banyak terjadi tanpa pemantauan dan penindakan.

Selain kendala tersebut, sejumlah pelaku kriminal di Papua yang dengan mudah dapat melarikan diri ke PNG melintasi perbatasan tidak dapat dikejar atau ditangkap. "Antara Indonesia dan PNG belum ada perjanjian ekstradisi. Kami tidak bisa berbuat apa-apa kalau ada pelaku kriminal yang lari ke PNG," ujar Wakil Kepala Kepolisian Daerah Papua Komisaris Besar Tommy Jacobus.

PERBATASAN Indonesia dan PNG terletak lurus dari utara ke selatan pada 141 derajat bujur timur (BT). Di perbatasan sepanjang sekitar 770 kilometer tersebut tertanam 52 tugu penanda perbatasan yang terletak di antara 14 Meridian Monumen (MM). Tugu yang terletak di antara 14 MM tersebut merupakan kekuatan hukum wilayah perbatasan.

Sebanyak 14 MM penanda batas tersebut dibangun pada tahun 1966. Pembinaan kerja sama perbatasan dengan PNG telah dilakukan sejak tahun 1973 pada saat PNG masih dalam kekuasaan Australia. Saat PNG merdeka tahun 1975, kerja sama tersebut lantas diperbarui.

"Di atas kertas perbatasan tersebut sangat jelas terlihat. Akan tetapi, di lapangan yang merupakan wilayah lembah dan perbukitan, batas tersebut nyaris tidak terlihat oleh mata telanjang," papar Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Pertahanan Marsekal Pertama Abdl Aziz Manaf seusai meninjau pos perbatasan di Wutung.

Selain itu, penegasan perbatasan di antara warga Papua dan PNG sulit dilakukan karena adanya hak tanah ulayat. Warga kedua negara yang berada di sekitar perbatasan yang memiliki kesatuan budaya umumnya tidak menyadari bahwa mereka terpisahkan. "Banyak dari warga PNG yang memiliki tanah ulayat di Papua. Mereka tinggal di PNG, tetapi menggarap kebun di wilayah Papua," ujar Suryanto.

Perbatasan darat Provinsi Papua memang hanya dengan PNG. Akan tetapi, Papua berbatasan dengan dua negara lain, yaitu Australia di laut sebelah selatan Merauke dan Republik Palau di Pulau Mapia, Biak Numfor. Sama seperti menganganya perbatasan darat, perbatasan laut dengan dua negara tersebut juga menganga. Karena itu, di wilayah sekitar perbatasan itu kerap terjadi pencurian ikan besar-besaran tanpa penindakan tegas lantaran minimnya kemampuan penegakan hukum di laut.

"Dengan wewenang dan kekuatan yang ada, kami tidak punya kemampuan untuk mengejar para pelanggar perbatasan di laut yang menguras kekayaan luat. Wilayah kita dan wilayah perbatasan sangat rawan terhadap pencurian ikan," ujar Wakil Komandan Lantamal V Kolonel Laut Anthony Noorbandy.

Bagaimana pelanggaran perbatasan di udara? Lebih buruk penanganannya dibandingkan dengan yang tejadi di darat dan laut. Untuk memantau ada atau tidaknya pelintas batas di provinsi paling timur ini melalui udara, Indonesia tidak memiliki kemampuan. "Memantau melalui apa? Kita tidak memiliki radar untuk memantau. Penerbangan sipil di Papua tidak menggunakan bantuan radar," ujar Komandan Pangkalan Udara Jayapura Kolonel Penerbang Sunaryo.

Di darat, laut, dan udara. Perbatasan kita dibiarkan sekian lama menganga dan nyaris tanpa penjaga....

inu

pahlawan nestapa

LEBIH dari enam bulan penerapan status darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan misi utama "mempertobatkan" anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), berjalan. Banyak klaim dari kedua belah pihak yang kerap bertentangan satu sama lain. Namun, tidak dapat dibantah, konflik di Aceh lebih menonjol melahirkan nestapa dibandingkan pahlawan.

Air mata para istri dan keluarga delapan prajurit Detasemen 81 Antiteror Komando Pasukan Khusus (Kopassus) belum kering meratapi kepergian orang yang mereka kasihi, yang tewas karena jatuh ke laut di Lhok Seumawe saat latihan manuver stabo (stabilized tactical airborne operation), 4 Oktober 2003.

Delapan prajurit tangguh itu tewas tidak dalam konflik bersenjata. Mereka mendapat musibah saat latihan menyiapkan peringatan Hari Tentara Nasional Indonesia, 5 Oktober.

Angin kencang berembus saat delapan prajurit ini bergelantungan di helikopter jenis Bell. Untuk menghindari lebih banyak korban, tali diputus.

"Andai tidak diputus, awak beserta helikopter bisa jatuh. Menurut ketentuan yang berlaku dan briefing yang dilakukan sebelumnya, dalam kondisi seperti itu, tali harus segera diputus," kata Panglima Komando Operasi TNI Mayor Jenderal Bambang Darmono waktu itu.

Tidak ada pertanggungjawaban secara terbuka mengenai musibah ini. Kepala Staf TNI AD Jenderal Ryamizard Ryacudu mengungkap, penanggung jawab musibah ini mengarah kepada pilot dan tua rentanya helikopter yang dipakai.

Pekan lalu, nestapa baru di Aceh kembali muncul. Juga tidak dalam rangka operasi militer menumpas GAM. Panser jenis Saracen buatan Inggris berisi dua wartawan Indosiar dan lima prajurit TNI AD tergelincir dan terguling. Kamerawan Indosiar, Arie Wailan Orah atau akrab disapa Awo, tewas dan reporter Indosiar, Sisca T Gurning, luka parah. Lima prajurit di dalam panser itu juga terluka.

Tidak ada yang dapat menolak jika musibah datang. Namun, perasaan tidak terima dari banyak kalangan masih menyelimuti musibah tersebut.

Sementara ini, pihak TNI AD menyimpulkan, musibah terjadi karena panser Saracen sudah sangat tua, para penumpangnya juga tak mengenakan sabuk pengaman dan helm.

Nestapa lain konflik bersenjata di Aceh terjadi pada fajar pertama penerapan status darurat militer di Pantai Samalanga, Kabupaten Bireuen, 19 Mei 2003. Begitu taklimat dikumandangkan, tank amfibi (PT-76) keluar dari KRI Teluk Langsa. Belum semua kendaraan tempur dan personel keluar dari kapal perang produksi tahun 1945 tersebut, engsel rampa KRI Teluk Langsa yang juga telah renta usianya jebol.

Akibatnya, KRI Teluk Langsa mundur. Sekitar 200 prajurit Marinir asal Surabaya yang siap mendarat dalam kendaraan tempur didaratkan dengan perahu karet dan sekoci darurat. Ketidaksiapan peralatan tempur ini memunculkan musibah di awal penerapan status darurat militer di Aceh.

Sersan Satu (Sertu) Kartono pingsan dan tidak tertolong saat hendak mendarat dengan perahu karet darurat. Tingginya gelombang laut Pantai Samalanga menggulung perahu yang ditumpanginya.

Di tempat yang sama, tidak lama kemudian kendaraan amfibi pengangkut artileri (KAPA) berisi puluhan anggota Marinir dari KRI Teluk Ende terbalik karena gagal menyentuh garis pantai. Sertu Ramli dari Batalyon Howitzer Satuan Resimen Artileri Surabaya tewas tergulung gelombang. Juga sama sekali tidak ada gangguan atau serangan GAM, saat pendaratan yang memakan waktu empat jam itu berlangsung.

PERPANJANGAN status darurat militer di Aceh yang diputuskan pemerintah mendapat kritik tajam dari sejumlah kalangan. Tim Ad Hoc Aceh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai, perpanjangan darurat militer justru akan memperpanjang kesengsaraan rakyat Aceh.

Menurut catatan Tim Ad Hoc Komnas HAM, tercatat 319 warga sipil tewas, 117 orang luka-luka, 108 orang hilang, dan puluhan ribu orang mengungsi. Ini juga diakui Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Menurut catatan TNI selama empat bulan operasi militer, 304 warga sipil tewas dan 140 orang lainnya luka-luka.

Apalagi dari penerapan status darurat militer di Aceh, tidak muncul kepermukaan cerita kepahlawanan prajurit TNI melumpuhkan GAM dan menangkap petingginya.

Kelayakan perpanjangan status darurat militer lalu dipertanyakan. Pemerintah terkesan tidak punya alternatif penyelesaian masalah, kecuali memperpanjang darurat militer.

Kelemahan peralatan tempur, tidak jelasnya strategi dan taktik melumpuhkan GAM, serta jatuhnya korban di luar "medan pertempuran", lalu seperti memperkuat argumentasi mereka yang menolak darurat militer. Mereka tak ingin air mata harus terus mengalir hanya untuk kesia-siaan.

inu

saracen ii

Tewasnya kamerawan Indosiar, Arie Wailan Orah (43) atau akrab disapa Awo-dalam musibah patahnya as belakang panser jenis Saracen buatan Inggris pasca-Perang Dunia Kedua di daerah konflik bersenjata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam-menghentakkan banyak kalangan. Ini menunjukkan, sistem pertahanan Indonesia-terutama dalam hal dukungan persenjataan dan peralatan militer-sangat lemah.

Kopral Dua Sukmana, pengemudi panser Saracen yang juga menjadi korban musibah tersebut mengungkapkan, sebagai pengemudi, dia sudah tidak dapat mengenali mesin yang dipakai untuk menjalankan Saracen tersebut.

"Saya tidak tahu persis merek mesinnya dan apakah sudah pernah diganti atau belum. Yang jelas, mesin panser itu sudah sangat tua. Sejak saya pegang, mesinnya hanya dirawat, tapi tidak pernah diganti," ujar prajurit dari Yonkav 7/Panser Khusus (Sersus) tersebut saat ditemui di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (28/11).

Ketika as belakang panser yang dikemudikannya patah di jalan menurun, Sukmana tidak dapat mengendalikan panser itu sama sekali, sehingga kendaraan lapis baja berusia tua tersebut tergelincir dari tebing.

"Saya sempat tidak sadarkan diri dan baru sadar setelah ditolong sejumlah warga yang lewat menggunakan angkutan umum," ujar Sukmana sambil mengeluh sakit karena musibah yang terjadi di hari Lebaran kedua tersebut.

Terkait dengan musibah panser Saracen yang menyebabkan Awo tewas dan enam orang lainnya luka-luka, anggota Dewan Maritim dan pengamat militer, Juanda, mengatakan, "Musibah yang terjadi dan beberapa kali terjadi di Aceh yang terlihat konyol merupakan refleksi dari profesionalitas tentara kita."

Musibah panser Saracen, musibah manuver stabo yang menewaskan delapan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus), dan musibah pendaratan Batalyon Tim Pendarat (BTP) I di Pantai Samalanga pada 19 Mei 2003 menunjukkan dengan sangat tegas betapa TNI kurang profesional. Kondisi peralatan tempur yang sudah sangat tua tanpa perawatan maksimal membuat kurangnya profesionalitas tersebut.

"Kelemahan tentara yang menjadi sendi utama pertahanan nasional merupakan cerminan dari lemahnya sistem pertahanan kita secara keseluruhan. Dalam sistem pertahanan itu, yang harus berbenah dan dibenahi tidak hanya tentara, tetapi juga rakyat sebagai pendukung utama sistem pertahanan," ujar Juanda yang ketika dihubungi sedang berada di Belanda.

Sebagai pengamat militer, Juanda mengaku sangat prihatin dengan minimnya pemahaman anggota DPR mengenai sistem pertahanan. Karena itu, setiap ada upaya memperkuat sistem pertahanan, tidak ada tanggapan positif dan keseriusan dari anggota DPR yang mengklaim sebagai wakil rakyat.

"Tentara dan kita semua harus melakukan refleksi dari musibah ini. Tentara mungkin salah dalam musibah ini. Namun jangan membabi buta melakukan kritik kepada tentara. Ada banyak pihak yang bertepuk tangan saat tentara dipojokkan dan dituding kelemahannya dalam sistem pertahanan," katanya.

Kini saatnya menata dan mengkaji ulang sistem pertahanan negara ini bersama-sama. Harus diakui, sistem pertahanan Indonesia sangat lemah, terbukti dengan munculnya sejumlah musibah yang tidak perlu. "Kini saatnya bagi semua untuk berbenah," ujar Juanda.

inu

saracen

PANSER Saracen adalah kendaraan tempur enam roda buatan Inggris dan merupakan bagian dari panser seri FV600. Panser yang masuk ke Indonesia pada awal tahun 1960 ini mulai diproduksi seusai Perang Dunia Kedua. Panser Saracen mampu membawa dua awak dan sepuluh penumpang. Dalam kondisi prima, kecepatan maksimal panser Saracen dapat mencapai 72 kilometer per jam di jalan raya.

Namun, kondisi seperti dimaksudkan ketika diproduksi tidak lagi terdapat pada panser yang mengalami musibah yang menewaskan kamerawan Indosiar, Arie Wailan Orah, Rabu lalu. Sejumlah modifikasi mesin dan interior telah dilakukan karena minimnya anggaran untuk pembelian peralatan tempur baru.

Markas Besar (Mabes) TNI Angkatan Darat (AD) menyiasatinya dengan perawatan rutin dan repowering sebelum diterjunkan untuk operasi militer di Aceh. "Dari peralatan tempur yang kami punya, seperti panser, yang tidak bisa kami deteksi adalah metal aging process (proses penuaan logam). Itu di luar kemampuan kami," ujar Kepala Dinas Penerangan Mabes TNI AD Brigadir Jenderal Ratyono.

Kondisi panser Saracen yang mengalami musibah merupakan cermin dari kondisi peralatan tempur yang saat ini dimiliki TNI. "Anggota DPR seharusnya memahami kondisi peralatan tempur kita yang sangat tua. Kita tidak bisa berbuat banyak. Yang bisa kita perbuat adalah melakukan sejumlah perbaikan dari peralatan yang sudah tua tanpa mampu membeli yang baru. Kita tidak punya uang. Anggaran untuk peralatan tempur sangat kecil. Musibah ini adalah cerminan dari kondisi peralatan tempur yang kita miliki," ujar Ratyono.

Ia mengakui, beberapa tahun terakhir memang ada pembelian peralatan tempur modern, seperti tank jenis Scorpion buatan Inggris. Namun, persentasenya sangat kecil dari total peralatan tempur TNI AD. Untuk angkatan lain, sejumlah peralatan tempur dikanibalisasi guna mendukung peralatan tempur yang lain agar bisa digunakan.

Selama ini, pihak TNI tidak dapat berbuat banyak mengenai perawatan peralatan tempur. Dukungan dana untuk perawatan sangat minim. "Saya tidak ingat angka persisnya. Tetapi, sebagai gambaran, jika sebuah kendaraan memiliki empat roda untuk operasional, dukungan pendanaan pemerintah hanya untuk satu roda," kata Ratyono lagi.

inu

wong cilik

DENGAN sistem yang sederhana seperti dalam Pemilihan Umum Tahun 1999 saja banyak masyarakat kecil tidak tahu-menahu substansi pemilu, apalagi sekarang dengan sistem pemilu yang lebih rumit dengan tiga jenis pemilihan. Di tengah kebingungan ini, masyarakat kecil sangat rentan dimanfaatkan dan dimanipulasi suaranya," ujar Sukatma, buruh sebuah pabrik di Tangerang, Banten.

Kekhawatiran Sukatma dan puluhan masyarakat kecil yang terdiri atas buruh pabrik, sopir angkutan umum, anak jalanan, dan pengayuh becak ini mengemuka dalam "Obrolan Wong Cilik tentang Pemilu 2004" yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) di Jakarta, Sabtu (25/10). Obrolan ringan ini didampingi Koordinator Masyarakat Miskin Kota Wardah Hafidz.

Oleh peserta diskusi, Pemilu 2004 yang menurut mereka menggunakan "sistem proporsional setengah terbuka setengah tertutup" memang menumbuhkan harapan akan adanya perubahan dan perbaikan nasib. Dalam Pemilu 2004 yang dimulai 5 April 2004 dengan pemilihan anggota legislatif, masyarakat tidak lagi memilih "kucing dalam karung" dengan diredusirnya peran partai politik peserta pemilu.

Mereka bisa memilih atau mencoblos orang melalui nama dan atau foto baik dalam pemilihan anggota legislatif, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun presiden dan wakil presiden.

Tetapi, sistem yang telah ditetapkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang merupakan hasil kompromi elite politik di DPR memungkinkan sistem tidak berjalan.

"Indikasi akal-akalan partai politik yang masih ingin berperan banyak terlihat dalam sejumlah kampanye awal belakangan ini. Mereka menekankan tidak perlu pusing-pusing memilih orang. Coblos saja partai politiknya," kata peneliti pada Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Tommy A Legowo.

MENDENGAR paparan tiga jenis Pemilu 2004, masyarakat kecil tampak bingung meskipun berupaya keras memahami. "Kita yang tinggal di Jakarta saja kesulitan memahami rumitnya sistem Pemilu 2004, apalagi tetangga-tetangga saya yang ada di desa-desa terpencil di Purworejo, Jawa Tengah. Kalau sudah begitu, manipulasi suara akan sangat mungkin terjadi," ujar Taufiqurrahman, buruh pabrik di Tangerang yang berasal dari Purworejo.

Melihat lima tahun reformasi berjalan tanpa kemajuan sedikit pun, masyarakat kecil dalam obrolan tersebut cenderung tidak peduli dengan siapa yang akan memimpin negeri ini atau yang akan mewakili mereka di parlemen.

"Kami sampai pada tahap tidak peduli dengan pemilu. Tetapi dengan terbukanya sistem di mana kami dapat terlibat langsung, ada panggilan tanggung jawab. Tetapi bagaimana ya. Di tengah ketegangan itu, kami tetap tidak tahu apakah keterlibatan kami secara langsung sungguh-sungguh dapat berperan membawa perubahan," ujar Nurhasanah.

Bahkan Sukatma, misalnya, mengaku serius ingin tahu seperti apa latar belakang calon yang akan dipilihnya. "Kami ingin mengetahui riwayat hidup atau apa yang telah dilakukan oleh para calon anggota legislatif, DPD, serta presiden dan wakil presiden," katanya.

inu