Monday, March 10, 2008

koalisi kucing

SETELAH sebelumnya para politisi malu-malu mengungkapkan siapa mitra koalisinya untuk berkompetisi memperebutkan posisi presiden dan wakil presiden periode 2004-2009, kini peta koalisi makin jelas. Ada empat pasangan yang akan bertarung pada 5 Juli 2004, yaitu Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, dan Wiranto-Salahuddin Wahid.

Oleh keempat pasangan calon presiden (capres) yang belakangan ini makin intens melakukan sosialisasi ke sejumlah kalangan dengan berbagai cara, masalah bangsa yang membentang di depan dirinci dan ternyata tidak sedikit. Empat pasangan capres dalam berbagai kesempatan menyebut-nyebut berbagai masalah yang umumnya seragam.

Tanpa rincian yang jelas mengenai bagaimana mengatasi segunung masalah bangsa itu, yang membedakan identifikasi masalah di antara pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres) hanyalah soal urutan penyebutan. Segunung masalah yang dibolak-balik penyebutannya itu adalah menciptakan keamanan, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, penegakan hukum, mengevaluasi dan melanjutkan reformasi, menciptakan kesejahteraan rakyat dengan menggerakkan ekonomi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Yudhoyono dan Jusuf yang kemarin didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh tiga partai politik, yaitu Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Bulan Bintang (PBB), tidak beranjak dari beberapa rincian masalah di atas. "Jika rakyat memberi kepercayaan, kami bertekad mewujudkan Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis, dan sejahtera," ujar Yudhoyono.

Amien dan Siswono yang mendeklarasikan pencalonan mereka hari Minggu lalu menyebut-nyebut akan menuntaskan reformasi yang telah dituntut Amien sejak akhir masa pemerintahan Soeharto. Seperti pasangan Yudhoyono-Jusuf, yang mengaku telah menyamakan platform, Amien-Siswono juga mengaku demikian. Dalam misinya, Amien-Siswono bertekad melakukan penyempurnaan reformasi politik dan menyelesaikan reformasi hukum, pertahanan, keamanan dan ketertiban, kelembagaan birokrasi, sosial, dan ekonomi yang saat ini relatif tersendat.

Megawati-Hasyim yang pertama kali secara terbuka mendeklarasikan pencalonan mereka di Tugu Proklamasi, Kamis pekan lalu, mengungkapkan sejumlah besar masalah seperti diungkapkan pasangan capres dan cawapres lainnya. Selain berambisi mengatasi segunung masalah, dalam sambutannya, Hasyim mengungkapkan duetnya dengan Megawati dimaksudkan untuk memperkokoh persatuan rakyat. Bagaimana cara agar persatuan rakyat itu menjadi kokoh, tidak lebih rinci dijelaskan. Pasangan dua pemimpin kelompok massa ini tampaknya diandaikan secara otomatis menyatukan dan memperkokoh massa di bawah.

Wiranto yang saat ini hanya ingin menjadi presiden satu periode saja, dan telah mendapatkan pasangan Salahuddin, dalam beberapa kesempatan menyebut-nyebut segunung masalah di atas untuk diatasi jika akhirnya terpilih menjadi presiden. Sebagai capres dengan latar belakang militer, seperti Yudhoyono, Wiranto menjanjikan keamanan dan penegakan keteraturan dengan menjadikan hukum sebagai panglimanya.

Mengenai bagaimana cita-cita dan harapan akan kehidupan rakyat dan bangsa yang lebih baik itu diwujudkan dalam pemerintahan oleh orang-orang yang kompeten, profesional, dan bersedia bekerja keras, sejauh ini belum ada satu pun dari pasangan capres dan cawapres itu yang bersedia merincinya. Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Umum PKP Indonesia Edi Sudradjat yang telah secara tegas mendukung pencalonan Yudhoyono- Kalla, mengaku tidak membicarakan mengenai bagaimana mengatasi segunung masalah bangsa lewat pembentukan pemerintahan yang efektif di masa mendatang. "Itu dagang sapi namanya," ujar Edi.

Seperti diakui oleh Ketua Umum Partai Demokrat Subur Budhisantoso, apa yang ada di benak pasangan capres bersama sejumlah tim sukesnya adalah bagaimana dapat memenangi kompetisi dalam pemilihan umum (pemilu) presiden 5 Juli 2004 mendatang. Karenanya, apa yang akan diperbuat oleh presiden dan wapres setelah nanti ternyata terpilih, bisa diatur kemudian. "Yang paling penting saat ini adalah bagaimana memenangi pemilu presiden. Yang lain, urusan belakangan," ujar Budhisantoso.

Konsentrasi untuk memenangi kompetisi pemilu presiden yang pertama kali dilaksanakan secara langsung dan melibatkan sekitar 150 juta pemilih ini membuat pasangan capres dan cawapres melupakan bagaimana nanti akan memerintah dan akan ditopang siapa saja pemerintahannya yang mendapat legitimasi sangat kuat dari rakyat. Keengganan menerapkan sistem presidensial secara tegas lantaran kenyataan fragmentasi politik yang meluas di parlemen membuat ketidaktegasan mengenai bagaimana segunung masalah bangsa itu diatasi oleh siapa. Sejauh ini tidak ada keterusterangan yang memungkinkan rakyat mantap menentukan pilihan serta membuat kontrak politik.

Ketidaktegasan soal sistem pemerintahan presidensial telah membuat bongkar pasang kabinet sebagaimana terjadi pada era pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid.

Selain itu, tidak ada kejelasan mengenai bagaimana mimpi- mimpi tentang Indonesia yang lebih baik itu diwujudkan oleh para capres dan cawapres. Rakyat hanya diberi pesona semu capres dan cawapres yang cenderung manipulatif. Simbol- simbol, ikatan primitif, dan ingatan masyarakat akan mimpi-mimpi, lantas dieksploitasi untuk meraih kekuasaan. Wacana menyamakan platform menjadi nomor sekian untuk dipertimbangkan dalam manuver elite politik akhir-akhir ini. Yang pertama dan utama adalah bagaimana mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya untuk kemudian menang dan berkuasa.

Oleh Karena itu, meskipun telah mendapat izin dari Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) KH Abdurrahman Wahid, Partai Golkar yang mencalonkan Wiranto untuk berkompetisi masih membutuhkan dukungan formal, hitam di atas putih, dari PKB. Kepastian dukungan itu menjadi penting bagi Wiranto yang harus berebut suara sekitar 40 juta nahdiyin dengan Megawati yang telah lebih awal menggandeng Hasyim.

Karena orientasinya adalah memperoleh kekuasaan, tidak heran jika bertolak belakang latar belakangnya pasangan, lantas diabaikan atau dengan bahasa politik oleh para politisi disebut sebagai yang memperkaya dan melengkapi sesuai dengan kemajemukan bangsa. Untuk sebagian kalangan yang ingatan politiknya tidak pendek, sulit membayangkan munculnya pasangan Wiranto-yang dituduh melanggar hak asasi manusia (HAM)-dengan Salahuddin, pejuang HAM yang pernah berkehendak memeriksa Wiranto. Sebuah koalisi yang absurd.

Karena ingin semata-mata meraih kuasa, idealisasi yang semula digembar-gemborkan oleh masing-masing calon dapat diputar balik. Pembenaran atas perubahan ini disebut sebagai bagian dari dinamika politik yang dicitrakan seperti Tuhan, di mana tidak ada yang tidak mungkin di dalamnya.

Dalam kerangka ini, kemudian dapat dipahami kenapa Amien yang semula begitu kepincut dengan politisi berlatar belakang militer, memilih Siswono. Siswono pun menyambut. Keinginannya semula untuk maju sebagai capres lewat beberapa partai politik kemudian batal setelah melihat realitas perolehan suara partai yang diharapkannya. Berpasangan dengan Amien, menurut Siswono, dilihat sebagai pilihan yang mungkin dari keinginannya untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara.

Dengan pendekatan ini, pertanyaannya ialah bagaimana secara rinci hal terbaik untuk bangsa, dilakukan oleh siapa saja, menjadi mengawang lagi. Berpikir mengenai hal yang lebih konkret dalam ketidakpastian, ditakutkan politisi justru menjebak dan membuat peluang diraihnya kekuasaan hilang. Lebih aman memang mengambangkan keputusan dan baru menetapkan hal-hal yang lebih konkret ketika kepastian mulai bisa diprediksi.

Tidak adanya keterusterangan ini membuat pemilihan presiden 5 Juli dan 20 September 2004 tidak lebih dari sekadar memilih dua kucing pembawa karung berisi kucing-kucing.

inu

lsi

Dengan dasar survei yang dilakukan 18-24 Maret 2004, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia atau LSI Denny JA terus mengampanyekan popularitas Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden yang unggul di antara calon presiden lain. Dengan dasar hasil survei atas sekitar 2.000 responden secara nasional, Denny menyimpulkan bahwa Yudhoyono akan terpilih sebagai presiden, tapi tidak akan mendapat dukungan kuat dari parlemen karena fragmentasi politik di parlemen yang makin luas.

Untuk yang kerap mengikuti diskusi politik dengan Denny JA atau peneliti LSI sebagai narasumber, kesimpulan yang tampak condong mendukung Yudhoyono dengan dasar persepsi mayoritas responden nasional itu membosankan dan partisan. Atas anggapan ini, Denny mengelak dengan mengatakan, LSI juga berkeliling ke sejumlah partai politik lain meskipun sempat diminta Yudhoyono untuk melakukan survei mengenai popularitas dan peluangnya menjadi presiden.

"Hasil survei yang kami lakukan secara berkala atas bantuan Pemerintah Jepang sangat terbuka untuk dimanfaatkan kelompok mana pun," ujar Denny dalam diskusi bertema "Pasangan Presiden dan Wakil Presiden Populer" yang diselenggarakan Public Relation of Society of Indonesia (PRSI) di Jakarta, Jumat (30/4).

Terkait dengan Yudhoyono, Denny mengungkapkan kekuatannya bukan pada mesin politik Partai Demokrat yang relatif masih baru dan hanya mendapat dukungan pemilih sekitar tujuh persen. "Tumpuan SBY pada image (citra) bahwa dia kompeten di bidangnnya, memiliki kepemimpinan yang kuat, demokratis, dan terkesan di atas calon presiden lain. Tetapi image ini mudah rusak jika salah dalam kampanye," ujarnya.

Namun, Denny mengungkapkan, kesalahan tampaknya tak akan dilakukan Yudhoyono karena kehati-hatiannya. Mengenai kampanye negatif yang saat ini gencar dilakukan untuk menyerang Yudhoyono, Denny kembali membela bahwa hal itu dapat menguntungkan. "Melihat masyarakat Indonesia yang mudah simpati, kampanye negatif justru menguntungkan Yudhoyono yang dicitrakan sebagai yang terus-menerus dianiaya," ujarnya.

Soal posisi survei, Denny mengatakan, dalam masyarakat modern tidak lagi diperlukan para ideolog di lingkaran terdekat calon presiden. "Yang paling penting dalam rangka menjual calon presiden adalah tim jajak pendapat dan public relation. Dua tim ini akan menggantikan para ideolog," ujarnya.

inu

demokrat ii

SEJAK 11 Maret 2004, pedagang soto ayam yang biasa mangkal di depan Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat di Jalan Pemuda, Jakarta, lebih banyak memiliki waktu untuk bercengkerama dengan anak-anaknya. Pasalnya, soto ayam dagangannya habis terjual lebih cepat dari hari-hari sebelumnya.

Kalau biasanya soto ayam dagangannya baru habis sore hari, dalam sebulan terakhir, soto yang dijajakan diatas trotoar dan bahu jalan itu sudah tandas sejak siang hari. "Banyaknya orang yang datang ke Kantor DPP Partai Demokrat membuat soto ayam saya cepat habis," ujar pedagang soto ayam sambil mencuci mangkuk dan piring kotor yang menumpuk.

Sementara pedagang soto ayam bergegas pergi, di dalam Kantor DPP Partai Demokrat beberapa orang sibuk membolak-balik dan mencari kartu tanda anggota (KTA) Partai Demokrat yang selesai dibuat. Meskipun KTA telah dikelompokkan berdasarkan daerah, tidak cukup mudah mencari KTA yang dimaksud lantaran banyaknya KTA yang dibuat.

"Setiap hari sejak Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan mundur dari Kabinet Gotong Royong, 11 Maret 2004, kami menerima setidaknya 1.000 formulir permohonan pembuatan KTA setiap hari. Permintaan pembuatan KTA terus meningkat menjelang pemilihan presiden. Di Jakarta saja, setelah pemilu legislatif lalu, kami telah membuatkan 18.000 KTA baru," ujar anggota Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Tri Yulianto di Jakarta, Minggu (25/4).

Meskipun hari Minggu Kantor DPP Partai Demokrat tutup, antusiasme sejumlah anggota masyarakat untuk membuat KTA partai yang baru naik daun ini tetap tinggi. Rohadi (47), warga Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara, datang ke Kantor DPP Partai Demokrat untuk mengambil sejumlah formulir. "Saya membawa 10 lembar formulir karena warga di sekitar tempat saya tinggal banyak yang ingin membuat KTA Partai Demokrat tetapi tidak sempat ke sini. Jadilah saya yang dimintai tolong mengambilkan formulir," ujar Rohadi.

Rohadi yang sehari-hari tukang ojek di Terminal Rawamangun, Jakarta Timur, mengaku sejak 2001 menjadi anggota Partai Demokrat. Seperti puluhan teman-teman yang telah diambilkan formulir pembuatan KTA, ketertarikannya pada Partai Demokrat terutama karena figur Yudhoyono. "Untuk partainya nanti dulu. Yang pasti, keinginan membuat KTA karena kami melihat ada SBY di situ," ungkap Rohadi.

Meskipun berprofesi sebagai tukang ojek, Rohadi yang sebelum bergabung dengan Partai Demokrat menjadi simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengaku sangat paham dengan politik. Pemahamannya itu diperoleh dari kegemarannya menyimak seluruh berita, utamanya dari televisi. "Saya membatasi diri untuk pulang ke rumah setelah mengojek pukul 18.00 setiap hari. Setelah itu, saya duduk di depan televisi menyimak seluruh berita yang ada," ujarnya.

Rohadi menceritakan, ketika Pemilu 1999 dirinya dan beberapa teman yang saat ini bergabung dengan Partai Demokrat merupakan ujung tombak kemenangan PDI-P di kawasan Kelapa Gading. Namun, bersamaan dengan perselisihan pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI-P untuk memperebutkan jabatan, Rohadi dan beberapa temannya perlahan-lahan hengkang.

"Saat Pemilu 2004, di tempat pemungutan suara (TPS) saya, Partai Demokrat menang telak. Padahal dalam pemilu sebelumnya PDI-P yang berjaya. Kemenangan tidak terduga ini membuat sejumlah warga ingin membuat KTA Partai Demokrat. Kami ingin memastikan dukungan kami kepada SBY dengan KTA ini," ujar Rohadi.

Menurut Yulianto, banyaknya warga masyarakat yang ingin membuat KTA Partai Demokrat tidak hanya terjadi di Kantor DPP Partai Demokrat. Karena masing-masing DPD dan DPC Partai Demokrat diberi kewenangan untuk membuat KTA, kesibukan pembuatan KTA juga terjadi di hampir seluruh daerah. "Berdasarkan data kami minggu lalu, di seluruh Indonesia telah kami keluarkan sekitar 15 juta KTA. Jumlah ini meningkat 100 persen jika dibandingkan jumlah KTA sebelum pemilu legislatif," jelasnya.

Banyaknya warga masyarakat yang mencari identitas politik baru dengan ramai-ramai membuat KTA Partai Demokrat ini tercium sejak tiga bulan lalu oleh Yus Nur Rahmadin (44). Pedagang konveksi di Pasar Tanah Abang, Jakarta, yang telah bergabung dengan Partai Demokrat sejak 2001 ini memutar haluan. "Ada peluang bisnis yang cukup besar. Dengan modal 10 juta dan fanatisme saya pada SBY, saya memulai bisnis jual pernak-pernik Partai Demokrat," ujar Yus yang membuka kios di depan Kantor DPP Partai Demokrat.

Bersamaan dengan ramainya Kantor DPP Partai Demokrat, Yus kecipratan rezeki juga. Setiap hari, omzet penjualan pernak-pernik Partai Demokrat yang diproduksi bersama 12 karyawan rata-rata mencapai Rp 500.000. Tidak hanya kaus dan bendera bergambar Yudhoyono, Yus juga membuat dan menjual blangkon dan kipas. "Karena keinginan membesarkan partai, saya selalu ikut kegiatan partai untuk menjual pernak-pernik yang banyak dicari," paparnya.

Diakui Rohadi, pernak-pernik bergambar Yudhoyono yang menjadi idolanya menambah kemantapannya akan pilihan politiknya. Selain secara formal memiliki KTA, belum pas rasanya kalau belum memiliki pernak-pernik sang idola. Begitu mendapat 10 lembar formulir, Rohadi melenggang pergi menggenggam identitas politik barunya....

inu

demokrat

Melonjaknya suara Partai Demokrat tidak berjalan seiring dengan terujinya kualitas calon anggota legislatif (caleg) yang akan duduk di DPR dan DPRD. Sampai kini, beberapa caleg partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono ini mengaku belum siap terjun ke panggung politik. Karena itu, sebelum duduk di DPR dan DPRD, seluruh caleg Partai Demokrat akan diberi pembekalan dan disiapkan mekanisme pergantian jika ternyata mengecewakan.

Hal ini dikemukakan pengurus Partai Demokrat Aliman AAT dalam diskusi yang diadakan Jakarta Empowering Society (JES), Minggu (25/4).

Pernyataan itu dipertanyakan warga yang turut hadir dalam diskusi tersebut. Hidin (58), salah satu simpatisan Partai Demokrat, mempertanyakan bagaimana program yang selama ini digembar-gemborkan partai yang menyandarkan diri pada figur Yudhoyono ini seperti pendidikan murah, kenaikan upah, dan peningkatan kesejahteraan diwujudkan.

"Dengan ketidaksiapan itu, bagaimana mewujudkan pendidikan murah dan kenaikan upah?" tanyanya.

Atas pertanyaan ini, Aliman yang terlihat tidak siap dan berupaya merendah hanya berjanji akan mewujudkan Indonesia yang lebih baik tanpa menjawab pertanyaan. "Kita lihat saja nanti. Kami tidak bekerja sendiri. Ada teman-teman dari partai lain juga. Yang jelas, kami akan berupaya semaksimal mungkin,"paparnya.

Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum Partai Demokrat Suratto Siswodihardjo mengakui, salah satu penyebab tidak siapnya caleg adalah tidak cukupnya waktu melakukan seleksi sebelum daftar caleg diserahkan ke KPU. "Karena itu, kami menyiapkan mekanisme pergantian antarwaktu untuk mereka yang telah menjadi anggota DPR atau DPRD.

Mengenai mekanisme ini tengah kami bahas dan siapkan untuk menghindari duduknya orang tidak tepat dan kompeten di lembaga perwakilan," katanya.

inu

tim sukses i

Tim sukses calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diberi nama Tim Nasional mulai melakukan penggalangan dukungan dari massa nonpartai politik untuk kemenangan calon presiden mereka. Penggalangan dukungan secara nasional ini dilakukan bersamaan dengan penggalangan secara formal struktural melalui pembuatan kartu tanda anggota yang dilakukan Partai Demokrat.

"Dengan menyandarkan diri pada figur calon presiden dan wakil presiden yang kami ajukan, penggalangan dukungan dari calon pemilih sedang kami lakukan melalui sejumlah cara secara struktural maupun nonstruktural. Gerakan Pro SBY adalah salah satu penggalangan dukungan yang akan kami ikrarkan," ujar Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum Partai Demokrat Marsekal Pertama (Purn) Suratto Siswodihardjo di Jakarta, Jumat (23/4).

Gerakan Pro SBY yang dikoordinir Heroe Syswanto NS (Sys NS) yang tengah dilakukan dalam waktu dekat akan membuat ikrar dengan merekrut sejumlah artis. Ikrar Gerakan Pro SBY yang akan dilakukan di Jakarta dipimpin aktor Roy Marten.

Safari dan dialog ke sejumlah perguruan tinggi untuk menggalang dukungan juga telah dijadwalkan tim sukses Yudhoyono-Kalla. Setelah sebelumnya Yudhoyono menggelar dialog ke Universitas Gadjah Mada (UGM), Yudhoyono-Kalla merencanakan untuk melakukan dialog dengan segenap sivitas akademika di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

"Untuk menetralisir serangan kepada pribadi Yudhoyono-Kalla, kami siapkan website resmi juga. Kami juga akan menggalang pengamat pro-SBY untuk menulis dan menyampaikan pandangannya ke publik. Langkah ini tengah kami matangkan lewat sejumlah pertemuan dengan anggota tim sukses," ujar Suratto.

Selain upaya nonstruktural untuk meraih massa nonpartai politik, secara struktural Partai Demokrat juga mendapat tugas memperbesar dukungan secara pasti dan terukur dengan memperbesar jumlah anggota partai. Untuk upaya ini, seusai pemilu legislatif, jumlah anggota Partai Demokrat melonjak dari sekitar 7 juta jadi 11 juta.

"Setelah pemilu legislatif, jumlah mereka yang mengajukan diri menjadi anggota partai dengan membuat KTA (kartu tanda anggota) terus meningkat. Sampai saat ini telah terdaftar sekitar 11 juta anggota di seluruh Indonesia," ujar Suratto. Karena meningkatnya jumlah warga yang membuat KTA, Kantor DPP Partai Demokrat setiap hari ramai dikunjungi oleh mereka yang mengajukan diri atau mengambil KTA yang telah jadi.

Upaya untuk menggalang dukungan juga ditempuh dengan melibatkan beberapa pendidik, agamawan, dan tokoh partai. Berdasarkan koalisi yang tengah dibangun, tokoh partai yang akan dimanfaatkan untuk menggalang dukungan bagi pasangan Yudhoyono-Kalla adalah Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Jenderal (Purn) Edi Sudrajat.

inu

survei

SELAIN Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat, yang juga cukup fenomenal muncul ke permukaan selama penghitungan suara hasil pemilihan umum 5 April 2004 adalah Lembaga Survei Indonesia. Karena kedekatan analisisnya dengan kenyataan yang saat ini terjadi mengenai perolehan suara partai politik peserta Pemilu 2004, beberapa orang berkelakar, LSI tidak melakukan survei tetapi melakukan praktik paranormal.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) memang tidak satu-satunya lembaga yang memprediksi hal tersebut. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bersama National Democratic Institute (NDI) juga mengeluarkan prediksi yang sama. Pada bulan Agustus 2003, LSI mengeluarkan analisisnya bahwa Partai Golongan Karya (Golkar) akan memimpin perolehan suara hingga saat ini belum terbantahkan.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dianalisis akan merosot perolehan suaranya ternyata betul terbukti. Melejitnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat sebagai pendatang baru juga telah dianalisis sebelum pemungutan suara yang berlangsung damai, aman, dan relatif demokratis.

Sejumlah nama berada di balik LSI yang didirikan atas bantuan dana Pemerintah Jepang melalui JICA. Terdapat tiga peneliti muda di LSI, yaitu Direktur Eksekutif Denny JA, dan dua direktur lainnya, Saiful Mujani dan Muhammad Qodari. Di antara ketiga peneliti yang kini identik dengan LSI adalah Qodari, yang dalam kegelisahannya sebagai orang muda menemukan LSI sebagai medan untuk mengamati, meneliti, dan menganalisis perilaku politik masyarakat Indonesia.

Dalam sebuah wawancaranya mengenai dampak kemenangan Golkar yang paling dikhawatirkannya adalah merebaknya kembali korupsi, kolusi dan nepotisme, yang pada era PDI-P juga merebak. "Akan tetapi, kita tak boleh menolak kehendak masyarakat. Karena itu, Golkar harus kita kontrol supaya jangan kembali ke zaman Orba. Kita harus mengawasinya habis-habisan," ujarnya.

Latar belakang pendidikan bidang Political Behaviour dari University of Essex, Inggris (2003) dan sarjana Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia (1997) mengantarnya merasa nyaman bekerja sebagai peneliti politik.

Sebelumnya, peneliti muda kelahiran 15 Oktober 1973 ini menjadi peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Institut Studi Arus Informasi.

Bagaimana keterlibatan Anda pada penelitian politik?

Tahun kedua kuliah psikologi di UI saya merasa bahwa minat saya adalah politik. Untuk mengembangkan minat politik, saya belajar politik secara bersama teman-teman di kelompok studi. Saya mengembangkan minat politik di luar studi saya. Karena ingin menyelesaikan sarjana psikologi, saya pilih bidang yang sesuai minat saya, yaitu psikologi sosial.

Memelihara minat saya dalam politik, saya berjanji pada diri sendiri kalau dapat kesempatan sekolah lagi saya akan mengambil bidang politik. Dan kesempatan itu terbuka saat saya mendapat beasiswa ke Inggris. Saya ambil pokok political behaviour (perilaku politik).

SEBELUM bergabung LSI, Qodari ada di ISAI (1999-2001). Ketika itu sebenarnya sudah akan masuk CSIS. Tetapi karena mendapat beasiswa dan mau sekolah, CSIS dilupakan dulu. Begitu pulang dari Essex University, Qodari begabung ke CSIS dan hanya sempat tujuh bulan di situ.

Di LSI memenuhi minat semula pada politik?

Ya, betul. Bekerja tidak lain bagi saya adalah mengerjakan hobi. Itu akan membuat kerja menjadi nikmat. Minat saya di politik berkembang saat terlibat dalam kelompok studi di UI. Kelompok studi itu namanya Eka Prasetya. Jangan heran karena yang kasih nama itu Nugroho Notosusanto (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Oleh Nugroho, semua UKM di UI itu diberi nama sansekerta. Di sana saya mengembangkan minat di bidang politik. Di situ saya banyak bergaul dan mengembangkan minat pada ilmu sosial. Di situ pula timbul cita-cita untuk menjadi peneliti.

Bertahun-tahun ilmu politik di Indonesia itu hanya bertumpu pada ilmu politik normatif dan bersifat kualitatif yang berupa observasi dan wacana. Ilmu politik yang tingkat generalisasinya terbatas. Hanya penelitian berdasarkan survei yang bisa dipakai untuk generalisasi. Dalam masyarakat politik modern, survei adalah pilar kelima demokrasi.

Sejauh mana pemberi dana mempengaruhi penelitian?

Tidak. Kami melihat situasi dan kebutuhan juga. Saat ini yang menjadi pembicaraan pemilu maka kami banyak mengangkat pemilu seperti pilihan partai politik masyarakat, pilihan presiden dan wakil presiden. Sebelumnya, tema survei kami sangat luas. Untuk survei bulan Maret, kami pangkas hanya mengangkat tema demokratisasi agar kualitas respons dari responden bagus.

Anda pendapat survei-survei itu untuk mengondisikan masyarakat?

Kita masih berdebat soal pengaruh publikasi survei terhadap perilaku masyarakat. Ada yang bilang berpengaruh ada yang bilang tidak berpengaruh. Akan tetapi, reaksi atas analisis survei sudah terbukti di Indonesia saat kami mengumumkan bahwa partai-partai Islam tidak akan berkembang perolehan suaranya dalam Pemilu 2004. Ada reaksi dari Partai Bulan Bintang yang meminta agar tidak mempercayai survei LSI. Kami dinilai melakukan usaha-usaha delegitimasi. Kami tegaskan, tidak ada pretensi seperti itu. Ketika itu kami tunjukan kepada partai Islam agar jangan jualan Syariat Islam karena menurut survei tidak akan laku. Yang akan laku adalah isu ekonomi dan keamanan. Isu itu kemudian diambil oleh PKS. Persis sekali apa yang dialami PKS itu seperti yang kami katakan. Sebelum pemilu, kami pernah presentasi ke PKS beberapa kali untuk itu.

Ada yang mencurigai LSI ada di belakang Partai Golkar dan Yudhoyono karena dua pihak itu yang selalu diuntungkan?

Yang penting bukan datanya. Tetapi bagaimana respons atas data yang kami temukan. Kalau ditemukan bahwa 70 persen masyarakat tidak ingin Megawati Soekarnoputri kembali memimpin, Mega dan timnya harus melakukan restorasi dan bekerja sungguh-sungguh. Jika respons atas data tepat, persepsi masyarakat bisa berubah.

Artinya, hasil survei itu hanya merupakan peringatan saja?

Survei itu denyut demokrasi. Kalau denyut itu turun, kebijakan pemerintah berarti salah. Kalau naik, kebijakan harus dipertahankan karena betul. Sama dengan data prediksi keunggulan Partai Golkar dan merosotnya suara PDI-P yang kami presentasikan Agustus 2003. Sayang, PDI-P keliru menanggapi data kami. Prinsip kami adalah setia pada data. Doktrin kami, data itu suci dan tidak boleh diutak-atik.

Ada pertaruhan kredibilitas?

Ya. Kami tidak kalah deg-degannya dengan pemimpin partai politik sekarang ini. Kalau kita kami gagal melakukan prediksi, yang tidak akan lolos 2009 bukan hanya partai politik gurem, tetapi juga LSI. Jika tidak lolos lantaran datanya tidak dapat dipercaya, kalau mau ikut lagi harus ganti nama LSI reformasi. Saya tidak bisa lagi nulis dengan mengutip data LSI karena sudah dinilai salah.

Kekuatan politik makin terfragmentasi, bagaimana politik Indonesia ke depan?

Akan tergantung pada keterampilan presiden dan wakil presiden mendatang. Respons parlemen akan sangat tergantung pada kebijakan dan gaya kepemimpinan presiden dan wakil presiden. Dari hasil perolehan suara saat ini, semua harus sadar bahwa demokrasi itu tidak datang dari langit. Demokrasi itu harus memenuhi harapan masyarakat. Apa itu harapan masyarakat, berdasarkan survei kami adalah perbaikan ekonomi.

Bagaimana mengantisipasi tidak efektifnya kepemimpinan ke depan dengan fragmentasi politik itu?

Pertama, calon presiden yang populer namun dukungannya di parlemen relatif kecil harus berkoalisi dengan partai besar. Yudhoyono, misalnya, perlu berkoalisi dengan Partai Golkar atau Partai Kebangkitan Bangsa. Tetapi itu hampir tidak mungkin karena Golkar dan PKB lebih besar dan pasti akan meminta jatah sebagai presiden. Tetapi masih terbuka kemungkinan dengan mengupayakan koalisi itu asal ada konsesi kursi yang besar di kabinet.

Kembalinya pemilih pada Partai Golkar dan sosok militer merupakan tanda kegagalan gerakan prodemokrasi yang meminta perubahan?

Hasil pemilu memberi pesan, partai politik harus bisa memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat agar mendapat dukungan. Pesan kedua, organisasi itu sangat penting dalam partai politik. Kemenangan Partai Golkar menunjukkan kematangan partai ini dalam berorganisasi. Berbeda dengan PDI-P yang merosot perolehan beriringan dengan merosotnya kepemimpinan Mega.

Menonjolnya Yudhoyono di Partai Demokrat akan menjadi bom waktu bagi partai ini mendatang?

Apa yang dialami Partai Demokrat dan Yudhoyono mirip dengan apa yang dialami PDI-P dan Mega lima tahun lalu. Nyawa Partai Demokrat akan tergantung pada kinerja Yudhoyono jika terpilih menjadi presiden. Jika buruk, publik akan meninggalkannya.

inu

koalisi pelangi

Calon presiden dari Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, siapa pun yang menjadi presiden dan wakil presiden, tidak lagi relevan dan efektif untuk membangun koalisi pelangi yang mengakomodasi semua kekuatan politik dalam kabinet. Kabinet harus merupakan perwujudan koalisi terbatas dengan memberi kesempatan parpol yang tidak masuk koalisi menjadi oposisi.

"Bagi mereka yang tergabung dalam koalisi terbatas, sejak awal mereka harus teken kontrak dan tidak menjadi oposisi ," ujar Yudhoyono, Kamis (15/4).

Penjelasan itu saat ditanya kemungkinan koalisi Partai Demokrat dengan partai lain yang berbeda platform. Dengan dasar nasionalisme, humanisme, dan pluralisme, Partai Demokrat akan berkoalisi dengan partai lain yang idenya sejalan.

Terkait dengan masa lalu, Yudhoyono mengemukakan konflik antar-orde, yaitu Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi akan tetap terus hidup dan tumbuh jika terus dihidupkan. Maka rekonsiliasi nasional perlu digagas dan diwujudkan.

Mengenai penyelesaian kasus mantan Presiden Soeharto, Yudhoyono melontarkan dua pendekatan, yaitu pendekatan historis dan pendekatan kasus terkait. Pendekatan historis didasarkan pengalaman ketidaksukaan rakyat terhadap mantan Presiden Soekarno setelah tahun 1965. "Ada masanya rakyat tidak mengingat lagi hal-hal buruk Soekarno dan cuma mengungkit yang indah-indah tentang dia. Ketidaksukaan rakyat kepada Soeharto juga akan susut alami," ujarnya.

Mengenai pendekatan kasus, Soeharto harus diproses dan bisa saja dinyatakan bersalah tetapi lantaran alasan kemanusiaan, telah lanjut usia, Soeharto mendapat pengampunan.

inu

kucing dalam karung

SEJAUH ini belum terbantahkan bahwa Partai Demokrat yang kini bertengger di urutan ke lima perolehan suara sementara secara nasional (6,494,653/7,52 persen) dipilih karena Susilo Bambang Yudhoyono. Faktor ketokohan Yudhoyono mendongkrak perolehan suara partai yang kehadirannya semula tidak terlalu diperhitungkan publik.

KETUA Badan Pemenangan Pemilihan Umum Partai Demokrat Marsekal Pertama (Purn) Suratto Siswodihardjo sadar betul peran Yudhoyono bagi perolehan suara untuk partainya. Karena itu, seusai memantau penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 005, Desa Nagrek, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, 5 April 2004, yang membuat Partai Demokrat berjaya, Suratto berujar, "Faktor Yudhoyono sangat dominan. Saya nunut (ikut) popularitasnya saja."

Bagi kebanyakan pemilih yang tidak tahu-menahu apa dan bagaimana program Partai Demokrat karena memang belum cukup tersosialisasi, Yudhoyono memang menjadi gantungan utama. "Soal calon anggota legislatifnya saya tidak tahu dan memang tidak saya coblos karena katanya kan tidak harus dicoblos. Saya hanya coblos Partai Demokrat karena ada SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) di situ yang akan mencalonkan diri sebagai presiden," ujar warga Cijantung, Jakarta Timur, seusai memberikan suara di TPS 048.

Lewat berbagai survei yang dilakukan menjelang Pemilu 5 April 2004, Yudhoyono memang telah diprediksi akan mengangkat perolehan suara Partai Demokrat. Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang mengumumkan data surveinya dua hari menjelang pemilu memperkirakan Partai Demokrat akan bertengger di jajaran partai menengah dengan perolehan suara antara 5-15 persen.

"Sesuatu yang tidak dapat diabaikan dalam perpolitikan Indonesia adalah pentingnya tokoh. Kita menyaksikan bagaimana suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) didongkrak naik oleh Megawati Soekarnoputri. Bersamaan dengan turunnya ketokohan Megawati, dapat dipahami kalau suara PDI-P turut merosot. Sebaliknya, Yudhoyono yang ketokohannya naik dan diposisikan berhadap-hadapan dengan Megawati mampu mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat," ujar pengamat politik Indonesia Prof William Liddle.

KETOKOHAN atau mungkin lebih tepatnya popularitas seseorang menjadi salah satu pertimbangan paling menentukan dalam benak rakyat untuk menjatuhkan pilihannya. Dari data di pusat tabulasi yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, hal itu terbukti dalam urutan perolehan suara calon anggota DPR dari seluruh partai politik peserta pemilu untuk daerah pemilihan I dan II DKI Jakarta.

Popularitas dan terlebih jika didukung citra partai yang baik dari partai politik yang menaungi tokoh itu mengantar para tokoh yang populer unggul dengan suara meyakinkan meskipun belum satu pun tokoh yang ingin menjadi caleg melunasi bilangan pembagi pemilih (BPP). Dari 21 caleg dari daerah pemilihan I dan II DKI Jakarta, hanya Presiden Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid yang mendekati BPP dengan 240.251 suar.

BPP untuk daerah pemilihan II caleg DPR tempat Hidayat bertarung memang belum dapat dipastikan karena belum tuntasnya penghitungan suara di seluruh TPS di Jakarta. Namun, dengan 22.497 TPS dari 23.877 TPS DKI Jakarta yang telah selesai dihitung atau sekitar 94,22 persen suara BPP dapat diperkirakan.

Hingga Rabu (14/4) siang, suara sah untuk daerah pemilihan II DKI Jakarta mencapai 2.494.545 suara. Dengan sembilan kursi DPR yang diperebutkan, maka kira-kira BPP atau harga satu kursi di daerah pemilihan II DKI Jakarta sekitar 277.171 suara. Selain Hidayat, suara yang diraup delapan caleg DPR dari partai lain masih sangat jauh dari BPP atau harga kursi.

Untuk caleg terpopuler kedua dari daerah pemilihan II DKI Jakarta yang meliputi Jakarta Selatan dan Jakarta Barat yaitu Husein Abdul Azis dari Partai Demokrat, suaranya hanya sekitar sepertiga suara Hidayat, yaitu 86.232 suara. Nama-nama populer dari partai lain memperoleh suara lebih kecil lagi atau masih jauh dari BPP.

Fahmi Idris dari Partai Golongan Karya yang masih menjadi anggota DPR hanya memperoleh 41.799 suara. Menyusul kemudian suara untuk Ketua Umum Partai Bintang Reformasi (PBR) KH Zaenuddin Hamidi atau terkenal sebagai dai sejuta umat Zaenuddin MZ yang memperoleh 39.629. Dua politisi PDI-P, Roy BB Janis dan Sabam Sirait, hanya bertengger di urutan ke enam dan ke delapan dengan raupan suara lebih kecil, pararel dengan perolehan suara PDI-P di Jakarta.

Jika di daerah pemilihan II DKI Jakarta pautan suara cukup jauh, di daerah pemilihan I DKI Jakarta perolehan suara 12 caleg teratas tidak terlalu jauh terpaut. Daerah pemilihan I DKI Jakarta yang meliputi Kepulauan Seribu, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara memperebutkan 12 kursi DPR. Bertengger di urutan pertama Sekretaris Jenderal PKS M Anis dengan 97.760. Sama seperti di daerah pemilihan II DKI Jakarta, di daerah pemilihan I DKI Jakarta tidak satu pun caleg yang mampu memenuhi BPP.

Anis yang mendapat 97.760 suara, jauh dari BPP yang jika dikira-kira berdasarkan 94,22 persen penghitungan suara di KPU DKI Jakarta adalah 191.552 suara. Pengamat ekonomi kondang yang menjadi caleg untuk Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad H Wibowo hanya bertengger di urutan 11, terpopuler di daerah pertarungannya dengan memperoleh sekitar 34.439 suara. Data itu semua diambil dari tabulasi perolehan suara pemilu yang dilakukan KPU DKI Jakarta.

MELIHAT kecenderungan tidak adanya caleg yang mampu membayar lunas harga kursinya yang diimpikannya dengan raupan suara rakyat membuat esensi pemilu yang dipromosikan sebagai pemilu yang berbeda dengan pemilu sebelumnya jauh dari terwujud. Kondisi ini membuat partai politik kembali berkuasa. Kedaulatan rakyat yang diibaratkan dengan tidak lagi membeli kucing dalam karung masih jauh dari impian.

Kini caleg yang sebelumnya dikeluarkan dari karung untuk dipilih dengan sangat terpaksa harus dimasukkan ke dalam karung lagi karena tidak cukup memesona untuk berani menempati kursi yang diincarnya. Yang akan sakit hati dan mungkin bereaksi adalah caleg-caleg yang telah berupaya memesona rakyat dan meraih dukungan lebih besar, tetapi berada di urutan sepatu.

Untuk caleg PKS nomor urut tujuh di daerah pemilihan I DKI Jakarta, Afifah Hasan, yang mendapat dukungan cukup besar 49.322 suara, misalnya. Jika kebijakan penetapan caleg dikembalikan ke partai lantaran BPP tidak terpenuhi, jauh sekali ambisinya menjadi wakil rakyat terpenuhi. Setelah Anis, yang ditetapkan sebagai anggota DPR jika PKS mendapat dua atau tiga suara adalah caleg nomor urut dua dan tiga.

Hal sama jika BPP tidak terpenuhi juga terjadi untuk caleg lain di provinsi lain. Partai Golkar di daerah pemilihan Jawa Barat VI misalnya. Jika hanya mendapat dua kursi, Nurul Q Arifin dengan nomor urut tiga yang meraup 52.626 suara akan terlibas Ade Komarudin nomor urut satu yang hanya meraih 42.011 suara. Untuk PDI-P di Jawa Barat II juga demikian. Jika hanya satu kursi yang berhasil diperoleh PDI-P, Marissa Haque dengan nomor urut dua dan meraih 28.344 suara akan dilibas Taufiq Kiemas dengan nomor urut satu dan suara hanya 22.289 suara.

Hal yang sama juga terjadi di Pemilu 2004 di daerah pemilihan Jatim III. Caleg PKB nomor urut 4 Abdullah Azwar Annas memperoleh suara terbanyak, 126.068 suara, sementara Irfan Zidny caleg nomor urut 1 memperoleh 39.329, Amin Said Husni nomor urut 2 meraup 79.794 suara, dan Ahmad Anas Yahya mampu menggaet 41.156. Dengan perolehan suara itu, jika misalnya hanya satu kursi yang didapat PKB di Jatim III (mungkin akan lebih), Irfan Zidny yang akan terpilih. Itu tentu akan merugikan Abdullah Azwar Anas jika perolehan suaranya tak mampu melewati BPP.

Karena itu, mari bersiap-siap kecewa menunggu kucing-kucing dikeluarkan dari dalam karung....

inu

pragmatisme

INGAR-bingar kampanye partai politik peserta Pemilu 2004 selama tiga minggu, dan berlangsung damai di seluruh Indonesia, telah usai. Ketakutan dan kecemasan yang sempat muncul terkait dengan kampanye yang biasanya berlangsung mencekam sirna.

BERLANGSUNG damainya masa kampanye oleh beberapa pengamat dimaknai sebagai tanda mulai dewasanya perilaku elite politik dalam menyikapi perbedaan. Namun, sejumlah pengamat lain melihat bahwa berlangsung damainya kampanye atau kurangnya gereget kampanye disebabkan rakyat telanjur kecewa sehingga enggan untuk terlibat secara sukarela dalam arak-arakan atau pengerahan massa sebuah partai politik.

Jika dibandingkan dengan masa kampanye tahun 1999, terasa sekali bedanya roh yang menggerakkan sebagian besar massa untuk turut memeriahkan kampanye. Di setiap ingar-bingar kampanye, urutan pertama yang membuat massa berkerumun adalah dangdut. Urutan kedua adalah peluang mendapatkan sedikit uang, kaus partai, atau paket sembilan bahan pokok. Kehadiran juru kampanye untuk menyampaikan pidato politiknya menjadi urutan kesekian.

Tidak heran jika massa berangsur-angsur membubarkan diri ketika penyanyi dangdut yang umumnya berbaju minim mundur dan diganti juru kampanye yang hanya memutar kaset lama dan seragam dari waktu ke waktu. Kampanye menjadi hampa. Tidak terjadi pendidikan politik lantaran juru kampanye terbelenggu faham kampanye kuno.

Memaknai perubahan sikap pemilih dan sistem pemilu serta peluang pelaksanaan Pemilu 2004, berikut wawancara dengan Direktur Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Franz Magnis-Suseno di kantornya yang sederhana, tenang, dan sejuk karena pepohonan di kawasan Cempaka Putih, Jakarta, Rabu (31/3).

Proses demokratisasi sedang berlangsung di Indonesia. Publik sedang ingar-bingar dengan pemilu. Bagaimana peluang Pemilu 2004 untuk menuju transisi demokrasi?

Saya memperkirakan Pemilu 2004 sendiri akan berjalan tanpa masalah dan tidak akan ada kejutan-kejutan yang sangat berarti. Yang belum bisa diramalkan adalah apakah hasil Pemilu 2004 akan merupakan dorongan ke arah perubahan-perubahan yang diperlukan bangsa Indonesia? Untuk mendapatkan jawaban atasnya, kita harus menunggu dulu hasil dari pemilihan presiden dan wakil presiden.

Namun demikian, melihat beberapa partai politik peserta Pemilu 2004 yang diperkirakan akan menjadi yang paling besar. Melihat juga beberapa calon presiden yang paling mungkin. Maka belum tentu Pemilu 2004 menghasilkan sesuatu impuls ke arah perubahan. Masalahnya bukan pada Pemilu 2004 itu sendiri. Tetapi, apakah dengan Pemilu 2004 masalah-masalah yang kita hadapi dapat ditangani dengan lebih baik oleh mereka yang lebih kompeten? Kemungkinan Pemilu 2004 berakhir seperti Pemilu 1955 yang berjalan dengan sangat baik tetapi ternyata tidak berhasil untuk menstabilkan situasi masih terbuka.

Bagaimana peluang perubahan yang difasilitasi perubahan sistem Pemilu 2004, di mana rakyat bisa memilih langsung anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden?

Saya kira, pemilihan langsung presiden dan wakil presiden maupun peran rakyat untuk ikut mempengaruhi komposisi DPR dan DPRD pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang positif. Masalahnya kenapa harus begitu rumit seperti yang sekarang terjadi. Saya tidak mengerti. Karenanya, ada kemungkinan banyak suara yang tidak sah karena kesalahan teknis termasuk, misalnya, mencoblos kertas yang dilipat dan tidak ada kemungkinan memperbaikinya. Itu tentu cukup memprihatinkan. Namun, di luar masalah itu, dengan sistem baru di mana rakyat dapat memilih secara langsung, kedudukan presiden dan wakil presiden dan tanggung jawab legislator akan bertambah meskipun belum optimal.

Apakah ikatan mereka yang terpilih dalam Pemilu 2004 dengan rakyat akan lebih kuat?

Ya. Akan lebih kuat. Terutama menyangkut DPR dan DPRD yang dipilih karena nama mereka. Ikatan dengan pemilih akan diperkuat lantaran kepentingan untuk memperkuat basis dukungan itu. Di lain pihak, karena sistem tersebut belum menerapkan sistem distrik sehingga orang yang dipilih hanya secara sangat samar-samar, pengaruhnya juga tidak boleh dilebih-lebihkan.

FRANZ Magnis-Suseno lahir di Eckersdorf, Jerman, 26 Mei 1936, dengan nama Franz Graf von Magnis. Rohaniwan dari ordo Serikat Yesus (SY) ini menetap di Indonesia sejak tahun 1961 dan berkewarganegaraan Indonesia sejak tahun 1977. Di Indonesia, sosok tinggi kurus ini mengabdikan hampir seluruh hidupnya pada bidang pendidikan, khususnya di bidang filsafat.

Magnis-Suseno belajar filsafat di Pullach (Jerman), teologi di Yogyakarta, dan teori politik di Muenchen. Doktorat dalam filsafat diperolehnya dari Universitas Muenchen tahun 1973. Sejak tahun 1969 mengajar di STF Driyarkara.

Di usianya yang mendekati 70 tahun, Magnis-Suseno masih tetap aktif mengajar, menjadi pembicara di sejumlah seminar, dan menulis. Lebih dari 400 karangan ditulisnya dan 26 buku karyanya telah diterbitkan. Karangan dan buku yang ditulisnya berkutat dalam bidang etika, filsafat politik, dan pandangan dunia Jawa yang tampak dihayatinya.

Selama kampanye, muncul pragmatisme yang makin tinggi. Rakyat menerima begitu saja pembagian apa pun tanpa peduli apakah akan memilih partai itu atau mencampakkannya. Pendapat Anda?

Saya kira, dari sudut masyarakat, pragmatisme itu sesuatu yang positif. Artinya, rakyat tidak lagi begitu saja bisa ditipu oleh partai politik. Rakyat mulai melihat bahwa pembagian berbagai macam fasilitas seperti uang dan sebagainya tidak karena partai itu secara khusus menaruh peduli pada nasib mereka. Rakyat melihat upaya partai politik itu semata-mata untuk mencari suara. Dengan demikian, masyarakat mau saja menerima itu semua, tetapi tidak lagi merasa berutang budi untuk membalasnya dengan memberi suara. Itu sesuatu yang sehat. Semoga juga partai-partai politik lama-kelamaan mengerti bahwa cara-cara kampanye dengan membagi-bagi uang dan sembako atau membayar orang yang datang akan meniadakan dirinya sendiri. Setelah partai politik tidak mendapati efek dari caranya membagi-bagikan uang dan sembako, mungkin partai politik akan berhenti dengan praktik yang cukup buruk itu.

Pembagian uang untuk menarik massa merupakan tanda ketidaksiapan partai politik memberikan ikatan ideologis?

Saya kira mereka (partai-partai politik) itu terbelenggu oleh semacam faham tentang kampanye yang sudah kuno. Sudah kuno yaitu bahwa mereka akan mendapatkan banyak suara dalam pemilu apabila kampanye mereka ramai-ramai, di mana ada juga pemberitaan di televisi mengenai keramaian itu. Karena itu, mereka merasa mutlak untuk mendapat banyak orang guna menciptakan keramaian dan sebagainya. Untuk itulah, lalu mereka membayar orang.

Meskipun masih harus didukung dengan penelitian, saat ini sudah kelihatan bahwa banyak dari rakyat tidak lagi merasa berutang budi dengan pemberian dari partai-partai politik. Dengan lain kata, uang yang sangat banyak untuk dibagi-bagikan kepada massa yang dibebankan kepada partai politik dan calon anggota legislatifnya itu percuma. Tentu hal ini akan membawa efek yang sehat pada mentalitas partai politik dan elitenya.

Kampanye apa yang cocok dengan sistem pemilu yang baru ini?

Sebetulnya, tidak perlu kampanye dalam bentuk arak-arakan motor dan sebagainya. Itu sama sekali tidak perlu. Tidak ada manfaatnya bagi perolehan suara dalam pemilu. Tentu ini harus dicek oleh penelitian terlebih dahulu. Namun, membiayai ratusan tukang ojek untuk mengenakan kaus dan membawa bendera sebuah partai politik barangkali sama dengan buang uang ke luar jendela. Kampanye cukup dengan mengadakan rapat-rapat umum di dalam ruangan atau di lapangan terbuka dengan orang yang memang sungguh mau datang. Mereka yang datang tidak diberi apa-apa, cukup daya tarik tokoh yang bicara.

Di dalam sistem demokrasi yang sudah berjalan lama dan mantap pun, seorang caleg biasa sering tidak akan sangat menarik. Jadi, memang yang menjadi mesin vote gater biasanya adalah tokoh-tokoh tertinggi. Merekalah yang lalu harus ke mana-mana dan massa lalu akan datang, juga kalau tidak dibayar. Kalau massa hanya datang untuk dibayar, loyalitas mungkin justru tidak akan terwujud.

Apakah Anda melihat ada perubahan perilaku elite di era yang sedang berubah ini?

Saya tidak melihat banyak perubahan perilaku di kalangan elite politik, dalam orang-orang partai, dan dalam orang-orang di pemerintahan. Maka kita harapkan saja pemilu dapat menjadi pelajaran bagi mereka (elite). Mereka perlu mengerti dan disadarkan bahwa perilaku mereka akan membuat mereka tidak akan beruntung.

Dapat dikatakan reformasi tidak mengubah perilaku elite?

Memang ada perubahan dalam arti bahwa pemilu sekarang lebih bebas. Namun, dalam sikap berkampanye, belum banyak perubahan dan perbedaan. Lihat saja iklan di media massa yang hanya sloganistik belaka. Tidak ada informasi apa pun mengenai substansi program yang bersangkutan.

Meski demikian, banyak harapan dengan Pemilu 2004. Apa yang bisa dilakukan rakyat?

Rakyat hanya bisa berbuat satu hal, yaitu ikut memilih. Yang lain tidak bisa.

Memilih bagaimana?

Memilih salah satu partai politik. Saat ini makin bisa diteliti untuk kemudian menjatuhkan pilihan. Dasarnya adalah bagaimana ia tersentuh dengan berbagai macam kampanye yang mungkin saja memberi pengetahuan yang relevan untuk dasar menentukan pilihan.

Bagaimana dengan memilih untuk tidak memilih atau menjadi golput (golongan putih) untuk saat ini?

Golput tidak akan berarti. Itu hanya gerakan beberapa mahasiswa dan beberapa orang saja. Mayoritas rakyat menganggap pemilu itu sebagai sesuatu yang menarik dan mengasyikkan untuk diikuti.

Mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan dilakukan secara langsung, bagaimana kemungkinan adanya perubahan?

Tentu saja presiden hasil Pemilu 2004 akan mempunyai kedudukan dan legitimasi yang cukup kuat. Bahkan akan lebih kuat dibandingkan dalam periode lima tahun yang telah lewat ini. Dengan demikian, siapa yang akan terpilih menjadi presiden akan sangat menentukan perubahan-perubahan yang saat ini kita sandarkan dan harapkan melalui Pemilu 2004. Posisi presiden memang penting.

Bagaimana peluang munculnya presiden dari luar partai politik?

Demokrasi itu fokusnya selalu di partai politik. Tidak akan bisa dihindari. Peluang itu akan sangat kecil. Tokoh dari luar partai paling-paling akan muncul di Dewan Perwakilan Daerah.

inu

peragu sempurna

Dihadiri undangan dari berbagai kalangan, mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan biografi di Panti Perwira, Balai Sudirman, Jakarta, Rabu (31/3) malam. Biografi berjudul SBY Sang Demokrat itu menampilkan sosok cerah Yudhoyono yang serbasempurna, dan katanya, karena itu lantas pantas menjadi presiden.

Penilaian dan kesan negatif Yudhoyono sebagai peragu dan kurang tegas dibantah Usamah Hisyam yang menyusun biografi itu dengan pembelaan yang didasarkan pada fakta dan kajian yang dilakukannya selama empat bulan menyusun buku setebal 1.003 halaman itu. Dalam tayangan audio visual yang meringkas biografi Yudhoyono, calon presiden itu digambarkan sangat sempurna sebagai manusia seperti tampan, peduli, cerdas, nasionalis, islamis, dan demokratis.

Puluhan tokoh dari berbagai kalangan yang hadir tampak tertegun menyaksikan upaya pencitraan atas Yudhoyono. Terlihat hadir KH Abdurrahman Wahid, Bachtiar Chamsah, yang duduk semeja dengan Yudoyono. Hadir pula Agum Gumelar, Wismoyo Arismunandar, Subagyo HS, Sofyan Wanandi, Yusril Ihza Mahendra, Alwi Shihab, Muladi, Sudrajat, Soedomo, dan William Liddle.

Abdurrahman Wahid yang meninggalkan acara saat sosok islamis Yudhoyono digambarkan mengatakan, Yudhoyono perlu memperluas upaya pencitraan seperti dilakukan dalam peluncuran buku. "Saya tidak mau komentar sebelum baca bukunya. Yang jelas dia orang baik. Saya dan dia itu saudara jauh," ujarnya.

inu

kampanye meulaboh

MUNMUN (21), sebut saja begitu, kaget saat tiba di Lapangan Meulaboh yang telah menguning karena massa partai berlambang pohon beringin, Minggu (28/3). Artis berparas ayu yang didatangkan langsung dari Medan, Sumatera Utara, ini ditegur pengurus Partai Golongan Karya setempat lantaran kostum yang dipakainya sedikit terbuka. Agak "mengundang"-lah.

Artis yang berangkat dari Medan dengan penuh percaya diri ini langsung mungkret saat rompi kuning berukuran lebih besar dari badannya diberikan agar dikenakan menutupi bagian atas dadanya.

Namanya sudah dikontrak harus menghibur ribuan massa Golkar yang menanti kehadiran Wiranto, Munmun menurut saja menutup kostum aduhainya dengan rompi kebesaran Partai Golkar yang betul-betul kebesaran.

Namun, namanya terbiasa bergoyang di atas panggung dan di hadapan ribuan orang, Munmun tidak bisa menahan diri untuk tetap bergoyang. Apalagi massa di bawahnya terus berteriak-teriak memintanya menampilkan goyangan Inul yang menghebohkan itu.

Beruntung, bagian yang diminta penonton bergoyang itu enggak dibungkus rompi. Sambil senyum-senyum menatap pengurus Partai Golkar di belakangnya, Munmun minta pemusik memainkan lagu Kocok Kocok yang dipopulerkan oleh Inul Daratista.

Meskipun dalam balutan rapat rompi kuning, Munmun sambil malu-malu terus bergoyang menuruti permintaan massa yang terus berusaha meraih kakinya. Seerr... seeerr....

inu

semburan kampanye

AIR..., air..., air...!

Teriakan massa yang terpanggang teriknya sinar Matahari di Lapangan Hoki Kuningan, Jakarta, membuat Karsono (53) tidak bisa tenang. Meski tubuhnya telah bungkuk karena termakan usia, pria berkulit legam itu sigap mengarahkan pemancar air yang dipegangnya ke arah massa yang berteriak kepanasan. Seusai air disemburkan dari pemancar, massa tenang kembali berjoget mengikuti goyangan penyanyi berpakaian minim.

Saat massa tenang, Karsono yang bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran sejak tahun 1978 berlindung di bawah panggung kampanye menghindari panas. "Cuma ini yang bisa kami berikan untuk membantu Pemilu 2004. Sejak kampanye terbuka dimulai, pimpinan memerintahkan untuk mengerahkan pemadam kebakaran ke tempat berkumpulnya massa," ujarnya.

Sepanjang Jumat (26/3) lalu, Dinas Kebakaran Jakarta Selatan mengerahkan tiga unit pemadam kebakaran untuk membantu menenangkan massa yang pasti kepanasan. Karsono, tergabung dalam Sektor XI bersama 10 rekan satu unitnya, bertugas menyemburkan air sebanyak sekitar 4.000 liter yang dibawa dalam tangki oranye ke tengah-tengah massa.

Selain ke Kuningan, dua unit pemadam kebakaran lain dikerahkan ke Tebet dan Blok S, Jakarta Selatan. Menurut Karsono, Dinas Kebakaran Jakarta Selatan memiliki 20 unit pemadam. Karena massa kampanye yang diperkirakan turun tidak terlalu banyak, tiga unit pemadam dirasa sudah cukup. "Kami semula mengira massa akan membeludak memenuhi lapangan. Ternyata separuh saja tidak ada," ujarnya sambil menunjuk ke massa PNI Marhaenisme yang baru saja disemburnya dengan air.

Kehadiran unit pemadam kebakaran dalam kampanye terbuka merupakan sumbangan berarti untuk memadamkan emosi massa. Bayangkan jika tidak ada mereka. Panas terik luar biasa. Air kemasan telah habis jauh sebelum kampanye usai. Massa masih bersemangat berjoget lantaran penyanyi berbaju minim dan menggoda.

Tanpa air yang disemburkan di tengah lapangan, massa yang kepanasan bisa bubar. Apalagi harus mendengarkan pidato juru kampanye yang isinya hanya janji dan langkah yang akan diambilnya jika terpilih atau sejumlah pengandaian. "Ayo joget lagi," ujar seorang remaja seusai membasuh kepalanya dengan semburan air pemadam kebakaran.

Melihat massa yang disemburnya dengan air tetap bersemangat meskipun panas, Karsono tampak puas. Pria yang tak pernah lupa dengan tugasnya memadamkan gudang peluru di Cilandak yang meledak tahun 1984 itu merasa telah membantu membuat situasi kondusif seperti sering diminta pejabat tinggi di televisi. "Ini yang nyata bisa kami berikan. Membuat massa tetap merasa tenang di tengah kampanye yang panas," ujarnya.

Sebagai pegawai negeri sipil (PNS) golongan II C, Karsono sadar betul bahwa secara institusional dan ketika menjalankan tugasnya, ia harus tetap netral dengan memberikan pelayanan yang sama kepada partai politik mana saja. "Kami, PNS, diwanti-wanti tak boleh ke sana-kemari. Tetapi soal pilihan nanti, itu rahasia kami," ujar ayah tiga putra ini sambil tersenyum merahasiakan partai pilihannya.

Meskipun saat ini merasa lebih bingung menentukan pilihan lantaran janji-janji partai politik yang nyaris sama, Karsono merasa lebih nyaman karena masa kampanye berjalan aman. Pria yang sebentar lagi akan pensiun ini tidak mendengar ada keluhan ketakutan warga masyarakat untuk keluar rumah pada saat kampanye.

Tanpa disadarinya, semburan air di sela-sela "semburan" janji-janji juru kampanye yang menjemukan turut menyejukkan suasana. Sembur Mang....

inu

atmakusumah

SETIDAKNYA terdapat 35 pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dapat digunakan aparat penegak hukum untuk memberangus kebebasan pers yang sedang diperjuangkan. Pasal-pasal yang tidak lagi relevan di sebuah negara demokratis itu dapat menjerat wartawan pembuat karya jurnalistik dengan hukuman penjara maksimal tujuh tahun dan denda yang dapat membangkrutkan perusahaan pers.

PERJALANAN kebebasan pers masih panjang di negeri kita yang sedang berproses menuju sebuah negara demokratis. Sejak rezim Orde Baru tumbang, kebebasan pers memang dibuka selebar-lebarnya baik pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, Presiden KH Abdurrahman Wahid, maupun Presiden Megawati Soekarnoputri.

Kebebasan pers terus diberi ruang oleh pemerintah meskipun Megawati Soekarnoputri, misalnya, tidak suka dengan jenis berita yang memojokkan dirinya, yang-menurut dia-tidak nasionalis, dan tidak patriotis. Namun, hal tersebut merupakan kecenderungan umum setiap penguasa yang agak gerah dengan pemberitaan yang tidak menguntungkan dirinya.

Ketidaksukaan itu tidak semata-mata kecenderungan penguasa yang enggan dikritik. Media massa atau pers juga harus berbenah karena masih terdapat sejumlah kesalahan mendasar dalam pemberitaan di semua media seperti akurasi dan keberimbangan. Namun, hal itu selalu terjadi dalam sepanjang sejarah pers. Yang perlu dicatat adalah adanya tekad dari semua media massa untuk mengatasi kelemahan tersebut.

Perkembangan jumlah media massa dan pemberitaannya yang semakin luas sejak tumbangnya rezim Orde Baru menunjukkan geliat masyarakat untuk memanfaatkan ruang kebebasan yang makin terbuka. Perkembangan media massa tidak lepas dari kepentingan bisnis pemilik modal dan pengelolanya. Harus ada keseimbangan antara kepentingan bisnis dan idealisme jurnalistik. Harus disadari, tidak mungkin idealisme bisa berkembang dan tumbuh tanpa dukungan bisnis yang kuat. Untuk itu, pengelola media massa, dalam hal ini wartawan, harus memiliki dukungan ekonomi yang cukup agar bisa mengembangkan idealismenya sebagai wartawan.

Kepentingan pemilik modal dapat juga menjadi bom waktu bagi media massa tersebut apabila media yang dikelolanya digunakan untuk kepentingan politik atau kepentingan sosialnya semata. Perlu dipahami, media massa yang terseret pada kepentingan politik pemilik modalnya bukanlah media yang sesungguhnya. Media tidak bisa hanya dibatasi untuk kepentingan tertentu saja. Media massa pada dasarnya adalah untuk umum, obyektif, tidak diskriminatif, dan untuk semua golongan atau kelompok dalam masyarakat.

Dari sisi hukum, aturan perundang-undangan mengenai pers di Indonesia masih jauh dari ideal karena kurang memadai tumbuh berkembangnya kebebasan pers. Konstitusi kita belum secara tegas dan jelas menjamin kebebasan pers.

UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang ada oleh aparat penegak hukum dinilai terlalu sumir lantaran sedikitnya pasal dan penjelasannya. Aparat penegak hukum mengeluh kebingungan kalau harus menggunakan UU Pokok Pers lantaran tidak lengkap. Saya punya ide memasukkan 35 pasal di KUHP ke dalam UU Pokok Pers tetapi minus ancaman hukuman penjara dan denda yang proporsional.

Pada prinsipnya, denda tidak boleh membangkrutkan perusahaan media massa tersebut. Denda harus proporsional. Kalau sampai membangkrutkan perusahaan media massa, hal itu tidak berbeda dengan pembredelan yang terjadi dalam rezim Orde Baru.

Sejumlah negara yang dalam tahap menuju demokrasi telah menghapus ancaman hukuman penjara atas karya jurnalistik. Ada kesepakatan antara asosiasi penegak hukum dengan asosiasi wartawan di El Salvador dan Kosta Rika untuk menghapuskan ancaman hukuman penjara terhadap karya jurnalistik. Negara lain yang akan menerapkan hal serupa antara lain Brasil, Cile, dan Timor Leste.

Perjalanan kebebasan pers masih panjang kecuali segara ada jaminan hukum yang muncul dari kesadaran para elite politik dan aparat penegak hukum. Kebebasan pers bukan untuk kebebasan pers itu sendiri, tetapi untuk masyarakat agar dapat menyalurkan aspirasinya di negara demokrasi.

inu

kumis ii

TERKAIT upaya melakukan reformasi birokrasi, Kepala Badan Kepegawaian Negara Hardijanto mengakui bahwa yang baru dilakukan saat ini hanya sekadar pembenahan birokrasi. Meskipun telah berjalan bertahun-tahun, tidak diketahui jumlah pegawai negeri di seluruh Indonesia. Selama ini anggaran yang diminta untuk gaji didasarkan pada asumsi dan perkiraan saja.

Menurut BKN, total jumlah pegawai negeri di seluruh Indonesia baru diketahui pada Juli 2003. Menurut pembenahan dan pendataan yang dilakukan, jumlah pegawai negeri di seluruh Indonesia mencapai 3.541.961 orang. Jumlah ini menyusut jika dibandingkan asumsi dan perkiraan yang dipakai untuk meminta anggaran setiap tahunnya.

Reformasi birokrasi harus dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan kejelasan standar pelayanan kepada masyarakat. Corporate culture pegawai negeri sipil harus diperjelas. Konsentrasikan diri untuk melindungi dan melayani masyarakat. Karena itu, seorang pegawai negeri harus menjadi seorang pelayan.

Karena fokusnya adalah melindungi dan melayani masyarakat, standar pelayanannya harus diperjelas. Memberi contoh bagaimana pegawai negeri harus menjadi pelayan, restoran waralaba McDonalds yang memiliki standar pelayanan dan kompetensi yang sama di semua cabangnya bisa menjadi contoh.

Standar pelayanan itu diperlukan agar pelayanan dirasakan sama di seluruh Indonesia, baik di kelurahan dan kecamatan. Di McDonaldÆs, siapa pun dilayani secara sama tanpa membedakan. Semua disuruh antre dan mendapat pelayanan cepat yang sama. Jika standar pelayanan tidak terpenuhi, ada penalti. Lebih dari satu menit dapat es krim, misalnya.

Contoh sederhana yang dapat mengubah kultur birokrasi ini tidak terjadi dalam birokrasi di Indonesia. Menurut pengalaman di birokrasi Indonesia saat ini, ada pembedaan pelayanan berdasarkan status sosial. Jika Anda miskin, pelayanan akan berbeda dengan jika Anda kaya.

Masalah birokrasi lain yang perlu dilakukan reformasi adalah distribusinya yang tidak merata. Karena itu, usulan reformasi birokrasi dengan melakukan pemotongan jumlah pegawai tak bisa diterima. Masalahnya bukan terletak pada jumlah, tetapi pada sebarannya yang tidak merata karena hanya terkonsentrasi di kota-kota besar, seperti Jakarta. Padahal, bersamaan dengan otonomi daerah, peran Jakarta harus dikurangi karena memang harusnya didelegasikan ke daerah-daerah.

Selain menetapkan standar pelayanan untuk pegawai negeri di seluruh Indonesia, reformasi birokrasi harus dilakukan dengan merombak sistem eselonisasi. Eselonisasi membuat mereka yang masih muda dan memiliki kualifikasi dan kompetensi tidak langsung dapat masuk ke jajaran tinggi. Eselonisasi menghambat upaya mewujudkan birokrasi yang berbasis kompetensi.

Banyak sekali anak muda yang pintar-pintar di birokrasi. Tetapi, karena dia masih berpangkat III A, tidak bisa menjadi kepala seksi. Ada doktor di salah satu departemen tidak mendapat jabatan dan kewenangan apa-apa karena masih eselon III C. Adapun bosnya yang tidak mengerti apa-apa, tetapi pangkatnya lebih tinggi, memiliki jabatan. Sistem ini harus diubah.

Reformasi sistemik ini harus dilakukan serentak, mulai dari pola perekrutan dan promosi. Sitem eselonisasi atau kepangkatan sudah tidak relevan karena bisa diperoleh dengan membayar. Untuk jabatan strategis dalam sebuah birokrasi, harus dipikirkan perekrutan terbuka.

Untuk direktur jenderal, sekretaris daerah, dan kepala dinas perlu dipikirkan pembukaan lamaran terbuka di koran. Standar kualifikasi yang dibutuhkan perlu disebutkan dan dapat diikuti oleh seluruh warga negara Indonesia. Untuk jabatan yang sifatnya khusus, seperti kejaksaan, sistem kepangkatan untuk menduduki jabatan tertentu tidak lagi relevan.

Penunjukan jabatan di lingkungan kejaksaan harus didasarkan pada track record. Harus dicek dan diteliti berapa kali jaksa itu menang di pengadilan. Kalau jaksa yang setiap kali kalah karena membuat dakwaan yang tidak jelas atau kabur justru harus dipecat. Jaksa yang mempunyai jabatan adalah jaksa yang memang sudah teruji.

Dalam birokrasi, harus ada jabatan-jabatan politik. Seorang menteri atau gubernur harus memiliki staf ahli yang naik dan turun bersamaan dengan menteri atau gubernur yang bersangkutan. Reformasi birokrasi dengan memperjelas standar pelayanan, membentuk corporate culture, promosi jabatan, dan distribusi, dilakukan dengan tujuan untuk serving the people better.

Siapa pun orang itu, berhak mendapatkan perlakuan sama. Itulah fungsinya birokrasi.

inu

kampanye dangdut

KALAU juru kampanye jeli, tidak perlu sebenarnya berteriak-teriak
dengan pengeras suara untuk mengumpulkan massa yang terserak di luar
tempat kampanye.

Cukup dengan memanggil penyanyi dangdut yang telah
disewa, massa yang haus hiburan pasti berhamburan mengerumuni sekitar
panggung.

Tesis itu terbukti dalam kampanye Partai Bintang Reformasi
(PBR) di Rawamangun, Jakarta, Selasa (23/3).

"Jangan takut panas. Kader PBR harus kuat!" ujar juru kampanye yang juga calon anggota
legislatif PBR.

Dia sih enggak panas, wong nongkrong di panggung, berkemeja lengan panjang,
lengkap dengan topi koboinya. Meski seruan itu diteriakkan berulang-ulang,
massa PBR tetap enggan turun karena teriknya panas Matahari siang.

Namun, begitu penyanyi dangdut dengan balutan baju hitam ketat memegang mikrofon dan mengajak bergoyang,
massa PBR lantas turun berkerumun di sekitar panggung.

"Panas memang. Tetapi, kalau sambil goyang dan hati senang, panasnya hilang," ujar Nurdin (25).

Tariik... Mang...!

inu

kampanye bersih

ADMIN (22) terduduk lemas di mushala Gelanggang Olahraga Tanjung Duren, Jakarta. Perasaannya kontras dengan massa partai politik yang tiba-tiba datang membeludak memenuhi GOR di lingkungan padat penduduk tersebut. Sambil membenahi alas tidurnya di mushala itu, Admin yang tampak lelah memandang ratusan orang yang tampak gembira meneriakkan yel partai mereka. "Kerja keras lagi deh nanti," ujarnya.

Admin bersama kedua orangtuanya, Nasdaud dan Sukimah, dan seorang saudaranya telah bertahun-tahun menjaga dan membersihkan GOR yang berisi tiga lapangan bulu tangkis tersebut. "Selain menyapu dan mengepel, kami merangkap jadi satpam. Saya sendiri bersama saudara saya tinggal di GOR. Sementara bapak dan ibu tinggal di bedeng di dekat GOR," ujar Admin.

Sementara kampanye berjalan ingar-bingar dan memekakkan telinga, Admin asyik menunggu di kios minuman dan rokok di depan GOR. "Saya baru bisa menikmati kalau ada musik dangdutnya. Selebihnya saya tidak tahu. Pusing denger pidato," ujarnya.

Tidak lama kemudian, ketika pembawa acara kampanye memanggil penyanyi dangdut untuk tampil ke atas panggung, raut wajah Admin terlihat berubah. Sambil menikmati alunan musik, Admin menggandeng tangan anaknya dan menggoyang-goyangkannya. "Lumayan, ada hiburan sebelum kerja keras membersihkan sampah," ujarnya.

Kampanye usai. Selebihnya adalah sampah berserakan di seluruh ruangan GOR. Semuanya seperti cerminan sesungguhnya saat ini, ingar-bingar elite politik berkampanye dan selebihnya adalah janji-janji yang tak lebih dari "sampah" mereka.

Admin yang menjaga dan bertugas membersihkannya bersama bapak, ibu, dan saudaranya itu tak membuang waktu. Dia bersama anaknya bergegas mencari sapu dan tempat sampah untuk membersihkan GOR. Bapak dan ibunya juga langsung membongkar panggung kecil yang ditinggalkan juru kampanye. "Bagus kalau ada kampanye di sini tanpa meninggalkan sampah," ujar lelaki yang telah bekerja di GOR sejak sembilan tahun lalu itu.

"Kalau hanya sampah kering tidak terlalu susah membersihkannya. Yang sering terjadi adalah sampah makanan dan minuman yang menempel di lantai atau poster yang ditempel di sekeliling tembok. Selain susah dibersihkan, biasanya sampah itu meninggalkan bekas di lantai kayu atau di tembok," kata Nasdaud.

Untuk hari Minggu (21/3) lalu, petani penggarap asal Banjarnegara, Jawa Tengah, ini sedikit terhibur di sela-sela tugasnya lantaran mendapat tips sebesar Rp 100.000 untuk mereka berempat dari panitia kampanye. Namun, dua kali kampanye sebelumnya yang meninggalkan sampah menggunung, sepeser pun tidak mereka terima. "Padahal, dua partai itu partai besar pada zaman Orde Baru," ujarnya kecut.

Keluhan ketidakpedulian massa kampanye dan panitia penyelenggara dengan meninggalkan timbunan sampah di arena kampanye disampaikan juga oleh penjaga kebersihan GOR Bulungan. Berusaha menyadarkan massa kampanye, di depan pintu gerbang GOR yang terletak di kawasan Blok M ini ditulisi pengumuman: "Kampanye yang sukses adalah kampanye yang tanpa meninggalkan sampah".

Akan tetapi, pengumuman itu tenggelam dalam janji-janji gombal para jurkam. Dan, sampah pun tetap berserakan, tak terbersihkan, sama seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang juga tak bisa terbersihkan dari negeri ini....

inu