Friday, February 22, 2008

krayon

BERBEKAL krayon warna-warni, meja sebagai alas menggambar, dan beberapa lembar koran bekas untuk duduk, sekitar 1.400 murid taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) dari 16 Kecamatan di wilayah Kabupaten Gresik dengan wajah ceria dalam gandengan ibu atau guru mereka berduyun-duyun datang ke Alun-alun Kota Gresik, Selasa (25/6/2002) pagi.

Kontan saja, Alun-alun Kota Gresik yang pada hari biasa hanya dijadikan tempat berteduh beberapa pedagang minuman dan makanan atau mereka yang hendak berteduh dari panasnya Kota Gresik, pagi itu sekitar pukul 08.00 sudah padat dan riuh karena keceriaan anak-anak yang tidak bisa diam melihat tanah lapang. Bersama teman-temannya, mereka berlari ke sana kemari sebelum acara dimulai.

Begitu acara aneka lomba akan dimulai, dalam bimbingan orangtua dan beberapa guru yang menyertai, anak-anak mengambil posisi duduk berbaris rapi dengan alat gambarnya. Namun, selain menggambar dan juga mewarnai, ada beberapa lomba lain seperti senam berirama, menyanyi, melipat, menggunting, dan merekat, sandiwara boneka, boling, egrang, dan bakiak.

Aneka lomba ini terpadu dalam acara peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan Hari Anak Nasional yang diselenggarakan secara bersama oleh dua dinas dan dua organisasi di Kabupaten Gresik, yaitu Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Gabungan Organisasi Penyelenggara Taman Kanak-kanak Indonesia (GOPTKI), dan Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTKI).

"Selama tiga tahun terakhir kami menggabungkan dua peringatan tersebut karena kedekatan waktu dan kesamaan sasarannya, yaitu anak-anak," ujar Ketua GOPTKI Sri Rubiyati Gunawan.

Untuk tahun 2002 ini, sekitar 1.400 peserta terbagi dalam dua kategori lomba utama, yaitu lomba dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni dengan peserta 1.000 anak, dan lomba dalam rangka Hari Anak Nasional 23 Juli yang diikuti sekitar 400 anak.

Selain alasan praktis seperti disebut di atas, acara anak-anak yang juga melibatkan ratusan orangtua ini bukan tanpa alasan yang lebih mendasar. Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi Gresik yang sudah lebih awal menyelenggarakan acara serupa memiliki dasar pemikiran yang jauh ke depan.

"Pembangunan kesadaran, juga kesadaran lingkungan membutuhkan waktu yang panjang. Kami ingin menanamkan kesadaran itu sejak dini kepada anak-anak lewat aneka lomba yang kami adakan," ujar Kepala Sub-Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Gresik Adiana Setiawati.

Oleh karena itu, pelestarian lingkungan menjadi tema lomba mewarnai yang diikuti murid-murid TK dan lomba menggambar yang diikuti murid-murid SD. "Kalau buang sampah enggak boleh sembarangan. Enggak boleh di jalan seperti ini. Kasihan petugas kebersihan," tutur Firda Arvia (5) yang terus didampingi ibunya saat mewarnai.

Dengan penuh semangat dan ketelitian, bersama 15 temannya dari TK Muslimat 08 Lumpur, Gresik, Firda memilih-milih krayon untuk mewarnai langit yang masih polos berwarna putih. Ia mengambil krayon biru muda untuk memberi warna pada langit.

Ketika ditanya kenapa memilih warna biru, dengan polos-masih dalam bimbingan ibunya-Firda menjawab, "Biar udaranya enak, enggak panas kayak di sini."

SEDERHANA tampaknya. Tetapi, kesadaran yang tampaknya sederhana itu diyakini oleh penyelenggara acara akan membekas di benak dan akan terus terbawa oleh 1.400 anak yang penuh semangat mengikuti lomba hingga acara berakhir sekitar pukul 11.00.

Penanaman kesadaran sejak dini macam ini yang hendak diupayakan dengan acara yang sudah berjalan, dan akan diteruskan di tahun-tahun mendatang. "Selain untuk tujuan itu, acara ini dipakai sebagai ajang seleksi. Beberapa pemenang aneka lomba ini akan diikutkan dalam lomba tingkat Provinsi Jawa Timur menyambut perayaan Hari Anak Nasional 23 Juli mendatang," ujar Sri Rubiyati.

Perkara lingkungan dan juga upaya penyadaran kelestariannya, disadari oleh Adiana sebagai "barang mewah". Dan hal itu terasa makin mewah jika diwacanakan dan diupayakan di Indonesia yang sampai sekarang masih terseok-seok menata perekonomiannya yang morat-marit lantaran krisis.

Namun, dengan upaya yang dilakukan sejak dini kepada anak-anak setiap tahun lewat aneka lomba bertema lingkungan ini, "barang mewah" itu diharapkan akan "terbeli". Karena pada gilirannya, merekalah yang akan memiliki barang mewah itu di kelak kemudian hari. Semoga....

inu

wonokromo

MATAHARI belum juga muncul. Namun, ribuan pasang mata telah terbelalak menjadi saksi ludes terbakarnya ribuan kios di Pasar Wonokromo yang tercatat memiliki 4.703 stan. Meskipun tidak ada korban jiwa, perasaan ribuan pemilik kios tersayat menyaksikan tumpuan hidup mereka terbakar habis bersamaan dengan asap tebal menjulang ke angkasa.

Minggu (26/5/2002) pagi itu, api yang mulai menyala di kios bubur ayam yang letaknya di tengah pasar tersebut diketahui sekitar pukul 04.30. Api menjalar begitu cepat tak terkendali. Beberapa saksi mata bersama pedagang lain kewalahan memadamkan kobaran si jago merah.

Kedatangan pasukan pemadam kebakaran (PMK) Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dengan 10 mobil pemadam juga tidak mampu menguasai api. Mereka tiba di sekitar lokasi kebakaran setelah 45 menit api membakar kios-kios pasar peraih Adipura dari Pemkot Surabaya tiga kali berturut-turut (1996, 1997, dan 1998) itu. Api baru berhasil dijinakkan pukul 08.30, saat hampir semua stan telah rata dengan tanah.

Keterlambatan PMK dikeluhkan pedagang dan juga petugas keamanan pasar legendaris yang dibangun di era Presiden Soekarno tersebut. "Pemadam kebakaran datang terlambat. Mereka datang setelah hampir semua kios di pasar ini hangus terbakar," keluh Handiri, petugas keamanan Pasar Wonokromo ketika kebakaran itu terjadi. Akibat keterlambatan PMK, dan cepatnya api menjalar ke seluruh bagian pasar, muncul kecurigaan dari para pedagang bahwa kebakaran ini disengaja. Kalaupun tidak disengaja, kebakaran pasar sepertinya dibiarkan saja terjadi tanpa upaya maksimal dari petugas untuk memadamkannya.

Mengenai kecurigaan adanya unsur kesengajaan, Kepala Perusahaan Daerah (PD) Pasar Surya Djupri langsung membantah ketika ditemui saat kebakaran terjadi. "Tidak mungkin kalau ada unsur kesengajaan, karena setiap hari ada petugas keamanan yang berjaga-jaga. Namun, kalau human error mungkin saja," katanya tanpa merinci "makhluk" seperti apa human error tersebut.

KINI, sebulan telah berlalu sejak peristiwa kebakaran yang dalam beberapa jam saja membuat ribuan atau bahkan belasan ribu orang kehilangan mata pencaharian alias menganggur, dengan jumlah kerugian yang beragam. Hari pertama, ribuan pedagang hanya bisa meratap sedih sambil mencari lokasi lain di sekitar pasar untuk menggelar dagangannya.

Karena tidak semua pedagang mendapat tempat di sepanjang Jalan Stasiun Wonokromo, pada hari berikutnya para pedagang berkelompok membersihkan puing-puing sisa kebakaran. Perlahan-lahan dengan modal pinjaman seadanya, puluhan pedagang kembali mendirikan kios di lokasi bekas kebakaran.

Di tengah upaya para pedagang untuk tetap dapat menghidupi keluarganya ini, beredar berbagai versi mengenai rencana pemkot yang katanya akan menggandeng investor untuk membangun Pasar Wonokromo, dan rencana relokasi semua pedagang ke lahan milik kompleks pertokoan Mangga Dua Surabaya di Jalan Jagir Wonokromo.

Yang disesalkan para pedagang, dari rencana yang menyangkut kelangsungan hidup dan nasib mereka, Pemkot Surabaya tidak sekali pun mengajak mereka berdialog atau sekadar urun rembuk. Menurut para pedagang, pemkot seakan membisu kepada para pedagang yang terkena musibah, namun menjual mulut kepada investor yang sepertinya sangat ditunggu-tunggu kehadirannya bak malaikat penyelamat.

"Kami ini dianggap apa? Layaknya sebuah bencana, kami yang telah menjadi korban seharusnya didisikno (didahulukan). Tetapi, kenyataannya sampai sekarang pemkot hanya sibuk mencari investor, yang sampai sekarang juga belum bisa memberi kepastian," keluh Baini (55) dengan nada bertanya-tanya.

Oleh karena itu, pedagang barang pecah belah yang memiliki 21 surat stan sah di Los C yang semuanya ludes terbakar tersebut akan tetap bertahan di Pasar Wonokromo yang ditempatinya sejak pertama kali pasar itu berdiri. "Kami akan bertahan di sini. Biar saja pemkot asyik dengan rencananya, toh mereka tidak membutuhkan kami," tegasnya sambil melayani pelanggannya yang kembali berdatangan.

Aparat Pemkot Surabaya lewat para petugas keamanan pasar pernah datang, tetapi tidak untuk berdialog dan urun rembuk. Mereka datang menyampaikan surat larangan mendirikan kembali kios di bekas lokasi kebakaran. Larangan tanpa kejelasan solusi itu ditandatanggani oleh Pelaksana Tugas Wali Kota Surabaya Bambang DH, bertanggal 31 Mei 2002, dan sampai ke tangan para pedagang tanggal 2 Juni 2002.

Memang, dalam surat yang ditembuskan ke beberapa instansi terkait itu disebutkan bahwa lahan kompleks pertokoan Mangga Dua Surabaya sebagai tempat relokasi. Namun, para pedagang sudah telanjur membangun kembali kios mereka dengan modal tidak sedikit. Larangan dinilai para pedagang sudah terlambat. Dan, ketika mereka melihat tempat relokasi, mereka langsung menolak karena lokasinya di trotoar dan bahu jalan. Lagi pula, jumlah serta ukurannya tidak masuk akal, yaitu hanya 915 stan dengan ukuran sekitar satu meter persegi.

BUKAN hanya para pedagang yang menilai tidak masuk akalnya jumlah dan ukuran stan, namun para petugas PD Pasar Surya juga mengatakan hal senada. "Dengan luas sekitar satu meter persegi, bisa berjualan apa para pedagang jika menempati relokasi ini. Untuk badan saja, pasti sudah sulit," papar Imam C, staf PD Pasar Surya yang ditemui sedang menjaga stan yang sudah selesai dikerjakan.

Pembangunan tempat berjualan itu sekarang tidak jelas lagi kelanjutannya, lantaran rencana mendirikan lagi sekitar 4.000 stan di lahan kompleks pertokoan Mangga Dua Surabaya sesuai rencana sepihak Pemkot Surabaya ditolak oleh pemilik lahan. Bersamaan dengan selesainya kios di trotoar dan bahu Jalan Jagir Wonokromo itu, pihak Mangga Dua mendirikan tembok beton setinggi tiga meter di lahan sepanjang jalan tersebut.

Di tengah ketidakjelasan rencana Pemkot Surabaya ini, semua pedagang sudah hampir selesai mendirikan kiosnya kembali di lahan bekas kebakaran. Saat ini, hampir separuh pedagang sudah kembali menggelar dagangannya di dalam pasar. Bahkan, puluhan pedagang yang semula menggelar dagangan di tepi Jalan Stasiun Wonokromo berangsur-angsur masuk kembali ke dalam pasar karena kios mereka sudah siap ditempati kembali.

"Kalau menunggu rencana pemerintah yang sampai sekarang juga tidak jelas, mau makan apa saya. Kebutuhan setiap hari enggak bisa dibendung. Lagipula, keempat anak saya butuh biaya yang enggak sedikit, karena sebentar lagi tahun ajaran baru," ujar Nur (38) yang kembali berjualan pakaian di kiosnya di Los F.

Selain sambungan aliran listrik yang belum terpasang, kini sarana pasar sudah kian lengkap dan semakin ramai seperti sebelum terjadi peristiwa kabakaran. Para pembeli dan pelanggan pun sudah berangsur berdatangan. Beberapa pedagang justru sudah kembali memasang pesawat telepon karena kabelnya masih ada.

SAAT Pemkot Surabaya tampak tidak siap dengan rencana relokasi yang sering didengungkannya, dan saat ribuan pedagang tetap bertahan di lokasi bekas kebakaran untuk kembali berjualan, apa yang harus dilakukan?

Mungkin kita akan tertegun lama memikirkannya. Namun, jika bertanya kepada para pedagang yang penuh semangat dan optimistis untuk memulai babak baru kehidupannya setelah menjadi korban peristiwa kebakaran, jawabannya cukup sederhana.

"Saatnya pemkot turun ke sini. Ngomong dan berdialog langsung dengan pedagang. Pemkot harus jujur mengenai rencananya, dan harus juga mendengarkan pendapat kami. Berlarut-larutnya permasalahan pasar ini karena pemkot salah langkah dengan tidak pernah mengajak para pedagang berkomunikasi," ujar Agung (31), pemilik kios di Los C.

Tampak sederhana memang, namun itulah langkah awalnya yang menurut para pedagang akan lebih dapat memecahkan permasalahan. "Pedagang di sini mudah diatur asal diwongke (diorangkan dengan diajak dialog). Kalau masih seperti sekarang, di mana pemkot membisu, kami juga akan terus bertahan dengan cara kami sendiri," tegas Salim (43), pedagang gerabah di Los C.

Sebulan sudah kebakaran Pasar Wonokromo berlalu. Akankah Pemkot Surabaya terus membisu di hadapan ribuan pedagang yang menjadi korban, namun kini penuh semangat dan optimisme menata kehidupan mereka setelah hasil jerih payahnya bertahun-tahun hangus terbakar bersama dengan kios-kios mereka? Hanya Pemkot Surabaya yang tahu jawabnya....

inu

rp 1.500

TEPAT pukul 12.00 di pabrik PT Golden Rubberindo I (New Era), Gresik. Tiga kali bunyi bel keras menyerupai bunyi sirene pertanda kebakaran, membuat ribuan buruh yang umumnya perempuan berhamburan keluar dari dalam lingkungan pabrik. Sebelum menuju gerbang yang dijaga dua petugas satuan pengamanan (satpam), para buruh meninggalkan keplek (tanda pengenal) di pos.

Beberapa saat kemudian, puluhan warung makan yang sebelumnya sepi di sepanjang Jalan Mayjen Sungkono itu riuh karena penuh dijejali buruh. "Soto dua enggak pakai sambel." "Bakso bening satu." "Nasi pindang, sambelnya yang banyak." "Nasi kuah tahu sama sayur lodeh." "Saya biasa, Bu, nasi sama kering tempe."

Teriakan pesanan makan siang itu terlontar dari para buruh bersahut-sahutan di setiap warung makan. Tidak jauh berbeda, gerobak para pedagang makanan yang khusus mangkal pada jam istirahat antara pukul 12.00-13.00 di sekitar pabrik juga dikerumuni para buruh yang memesan makanan yang mereka jajakan, seperti rujak dan kerupuk upil.

Beberapa saat kemudian, bel keras kembali berbunyi pertanda waktu istirahat tinggal 30 menit. Mereka umumnya sudah selesai makan, dan lalu berkelompok ngerumpi di trotoar atau di sekitar warung tempat mereka makan. Pukul 12.50, mesin pabrik sandal itu dihidupkan. Gemuruh bunyi mesin seakan menjadi perintah bagi satpam untuk segera membunyikan bel.

Para buruh lalu bergegas masuk ke dalam pabrik. Tepat pukul 13.00, bel dibunyikan tiga kali lagi sebagai pertanda jam istirahat sudah selesai, diikuti penutupan gerbang pabrik setinggi tiga meter oleh satpam. Jalan Mayjen Sungkono yang sebelumnya ramai, kembali sepi. Itulah rutinitas yang terjadi setiap hari.

NAMUN, Senin (3/6/2002), rutinitas itu tidak terlihat karena aksi mogok seluruh buruh yang berjumlah 3.500 orang di pabrik itu. Tidak ada kegiatan produksi, sehingga gemuruh bising mesin terhenti. Bunyi bel keras tidak terdengar lagi. Dengan spanduk, poster, dan selebaran, para buruh menuntut perbaikan upah.

"Tidak muluk-muluk, kami tahu posisi kami. Karena itu, dengan mogok ini kami hanya menuntut hak minimal kami saja agar dipenuhi pihak manajemen," ujar buruh bagian material, Syaiful (21).

Seperti tertera dalam selebaran, tuntutan para buruh adalah kenaikan uang makan menjadi Rp 2.500 dari Rp 1.500 per hari, uang kopi menjadi Rp 1.000 dari Rp 350 per hari, uang premi hadir Rp 15.000 dari Rp 8.000 per hari, dan uang pembalut sebesar dua kali gaji pokok dua hari.

Alasan tuntutan para buruh sangat mendasar, yaitu kenaikan harga kebutuhan sehari-hari yang seakan berlomba dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). "Bisa apa zaman sekarang dengan uang makan Rp 1.500 per hari?" tanya Hani yang sudah lima tahun menjadi buruh di pabrik itu.

Selain karena minimnya upah, para buruh juga mengeluhkan manajemen yang tidak tunduk pada peraturan perundangan yang ada, seperti pemberian pesangon terhadap buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Karena itu, para buruh menuntut dibuat kembali kesepakatan kerja bersama (KKB) yang sesuai dengan peraturan perundangan.

SELANG beberapa saat setelah tuntutan buruh disampaikan, manajemen menyebarkan selebaran yang berisi "ancaman" bagi para buruh. Manajemen menilai mogok kerja itu ilegal, dan akan diambil sikap tegas terhadap mereka yang tetap mogok kerja.

"Segala tuntutan tidak dapat diterima di saat kondisi ekonomi atau pasar seperti sekarang. Manajemen telah bekerja sama dengan aparat kepolisian untuk melakukan perlindungan bagi karyawan yang ingin bekerja, dan penangkapan bagi buruh yang melakukan penghadangan terhadap yang ingin bekerja," bunyi selebaran yang ditempel di sepanjang tembok pabrik.

Membaca jawaban manajemen tersebut, para buruh tidak puas. Pimpinan Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan (PUK FSPKEP) PT Golden Rubberindo I Sudirman mendekati para buruh yang mogok. Sudirman dan para pengurus PUK FSPKEP lainnya, yang menurut sejumlah buruh sudah "terbeli", meminta seluruh buruh bekerja kembali. Dia berjanji akan menyampaikan tuntutan para buruh kepada manajemen.

"Sudahlah, ayo tanda tangan di sini dan bikin pernyataan tidak akan mogok lagi," rayu Sudirman yang bekerja di bagian teknik kepada beberapa buruh yang memimpin mogok. Dengan janji bahwa PUK FSPKEP akan memperjuangkan tuntutan mereka, para buruh menghentikan mogok namun tidak bersedia membubuhkan tanda tangan di kertas kosong.

Hari berikutnya, buruh kembali bekerja dalam penjagaan luar biasa dari aparat Kepolisian Resor (Polres) Gresik dan beberapa anggota TNI dari Korem 084 Surabaya. Para petugas itu bahkan datang lebih awal ketimbang buruh ke pabrik sandal tersebut. "Kami hanya memenuhi permohonan perusahaan untuk memastikan tidak akan ada lagi aksi mogok para buruh," ujar polisi yang berjaga sejak pukul 07.00.

Lalu, bagaimana dengan tuntutan para buruh yang dimandatkan kepada PUK FSPKEP untuk disampaikan ke pihak manajemen? "Belum ada kelanjutan. Belum ada meeting," ujar Sudirman dengan nada tinggi ketika dihubungi melalui telepon. Sebelumnya, dia selalu menolak menerima dengan alasan sibuk, juga ketika istirahat.

Bagaimana dengan buruh yang sehari sebelumnya mogok? Bagai tidak pernah terjadi apa-apa, para buruh kembali bekerja seperti biasa. Tiga buruh yang dituduh sebagai provokator, yaitu Kendar, Toha, dan Alfin, dipaksa manajemen perusahaan untuk menandatangani surat pengunduran diri alias terkena PHK.

Ditanya, bagaimana langkah berikutnya dalam menyampaikan tuntutan yang sebelumnya disampaikan dengan mogok kerja, beberapa buruh hanya pasrah. "Kami enggak heran. Akhirnya pasti seperti ini, manajemen enggak akan mempertimbangkan tuntutan kami. Ya, daripada mogok enggak dapat upah sama sekali, lebih baik masuk kerja meskipun upahnya selalu tidak mencukupi. Coba saja bayangkan, bisa apa dengan uang makan Rp 1.500 per hari?"

inu

organik

KEGEMBIRAAN dan optimisme terpancar dari wajah 31 petani yang tergabung dalam Kelompok Among Tani Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur (Jatim), Sabtu (25/5/2002).

Bukan karena pupuk yang akhir-akhir ini langka telah melimpah tersedia di desa mereka dengan harga terjangkau. Kegembiraan dan optimisme itu terpancar karena munculnya tekad yang kuat dari para petani di lereng Gunung Semeru ini melepaskan ketergantungannya pada pupuk kimia seperti urea yang menjadi langka dan tidak terjangkau harganya saat musim tanam tiba.

Tekad ini muncul karena hasil panen raya perdana padi seluas 25 hektar yang mereka tanam dengan pupuk organik, Desember 2001, berhasil dan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dan tentu menguntungkan kelestarian lahan pertanian.

Sebelumnya, jarang bisa melihat kegembiraan dan optimisme di wajah para petani, sekalipun musim panen tiba. Pasalnya, kenyataan kelangkaan pupuk dan jatuhnya harga gabah selalu menyertai setiap musim panen tiba. Hasil panen yang telah para petani tunggu dengan kucuran keringat di bawah teriknya Matahari selama sekitar empat bulan, seakan tidak ada nilainya.

"Kami merasakan itu semua. Rasanya makin sulit saja kami bisa gembira setiap kali musim panen tiba. Harga gabah jatuh. Urea langka dan harganya lalu naik. Padahal, setiap musim tanam tiba, jumlah urea yang kami gunakan selalu harus lebih banyak dari musim tanam sebelumnya. Bisa dibayangkan bagaimana kami bisa gembira dengan kondisi seperti itu," papar Poniman (50).

Karena kesadaran jeratan belenggu tersebut, dimulailah upaya Poniman dan 30 petani lainnya untuk meninggalkan ketergantungan menggunakan pupuk kimia seperti urea san SP 36. Upaya makin gigih dilakukan setelah mendapati kenyataan bahwa tanah pertanian mereka yang semula subur menjadi tandus dan miskin unsur haranya setelah pemakaian pupuk kimia.

Tidak diperlukan penelitian macam-macam untuk mengetahuinya. Poniman mengatakan, meningkatnya jumlah urea yang mereka gunakan setiap musim tanam membuktikan kemiskinan unsur hara di lahan mereka. Pada tahun 1970-an petani hanya membutuhkan 150 kg urea, namun makin lama kebutuhan urea meningkat, dan sekarang mencapai 500 kg per hektar.

Menurut penelitian yang dilakuan oleh Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Holtikultura Jatim di tujuh kabupaten, indikasi lain kemiskinan tanah akibat penggunaan pupuk kimia telihat dari sisa kandungan organik di lahan pertanian tersebut yang hanya tinggal 1,7 persen. Padahal, idealnya kandungan organik di lahan pertanian adalah lima persen. Penggunaan pupuk kimia tidak mampu memperbaiki kondisi ini, tetapi justru sebaliknya, makin mempermiskin.

"Kondisi tersebut membuat beberapa dari kami menyambut baik tawaran Koperasi Tani Nusantara yang bersedia memberi modal dan membeli hasil pertanian yang kami kembangkan secara organik. Saat ini baru 25 hektar dengan 31 petani. Namun, saya yakin dengan keuntungan yang lebih banyak tidak hanya secara ekonomis, 200 hektar lahan yang ada di kecamatan kami akan berubah menjadi lahan pertanian organik," ujar Poniman yang bersama keluarganya menggarap lahan seluas enam hektar.

PETANI Desa Oro-oro Ombo termasuk beruntung, karena bisa beralih ke pertanian organik pada saat jutaan petani lain di Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali tergantung pada pupuk kimia. Mereka beruntung karena lahan pertaniannya berada di dataran tinggi di lereng Gunung Semeru.

Di dataran tinggi, karakteristik lahan yang disyaratkan untuk bisa dikembangkan secara organik terpenuhi. Karakteristik itu adalah memiliki mata air langsung yang mengalir ke lahan tanpa melalui daerah lain, lahan sangat subur dan memiliki unsur hara yang tinggi, belum ada aktivitas penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara intensif, lahan jauh dari permukiman padat, dan jauh dari kegiatan industri yang menghasilkan limbah.

Dari pemeriksaan lapangan pada tanggal 7-8 Mei 2002 oleh Badan Sertifikasi Organik EMBRIO dan Lembaga Pengawasan Produk Pertanian, dinyatakan, kondisi lahan pertanian di Desa Oro-oro Ombo sangat mendukung untuk pengembangan pertanian organik. EMBRIO yang mendapat lisensi dari International Federation of Organic Agriculture Movement (IFOAM) kemudian mengeluarkan sertifikat kelayakan pertanian organik di areal 25 hektar tersebut.

Sertifikasi ditujukan untuk melindungi konsumen dari penipuan atau manipulasi produk organik di pasar dan melindungi produsen (petani) produk pertanian organik dari produk lain yang disebut-sebut sebagai produk organik. Selain itu, sertifikasi ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian bahwa seluruh tahapan produksi, persiapan, penyimpanan, pengangkutan, dan pemasaran dilakukan sesuai persyaratan sistem organik yang berlaku secara internasional.

Sebagai contoh adalah persyaratan teknis yang termasuk dalam aspek teknis berupa lahan dan bibit. Lahan yang digunakan untuk produksi pertanian organik harus bebas dari bahan kimia sintetis (pupuk kimia dan pestisida). Jika lahan yang akan digunakan berasal dari lahan yang sebelumnya digunakan untuk pertanian non-organik, maka lahan itu harus dilakukan konversi selam 12 bulan. Sementara untuk benih dan bibit harus digunakan dari pertanian organik pula, dan tidak boleh berasal dari produk rekayasa genetika.

SEBAGAI ganti pupuk kimia berupa urea dan SP 36 yang selama ini digunakan, para petani beralih pada pupuk castingyang merupakan kotoran cacing yang dipelihara dengan memberinya pakan jerami dan kotoran ternak. "Rata-rata dibutuhkan satu ton castinguntuk lahan seluas satu hektar, yang ditaburkan dua kali saat setelah dibajak dan setelah 20 hari tanam," tutur Susapto (40).

Karena baru memulai, untuk sementara, Susapto dan petani lain mendatangkan castingyang sudah jadi dari Lumajang dengan harga per kuintal Rp 70.000. "Namun, sekarang kami sudah bisa membuat sendiri pupuk organik tersebut. Kami hanya perlu membeli cacing penghasil castingyang didatangkan dari Malaysia," jelasnya. Proses pembuatan pupuk organik ini memakan waktu satu minggu. Selain cacing yang dibeli dengan harga Rp 100.000 per kilogram dari PT Mega Surya Lumajang, bahan yang diperlukan adalah jerami, cairan pupuk FGSP, dan kotoran ternak yang merupakan pakannya.

Dari penelitian yang dilakukan Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) Kabupaten Lumajang, hasil yang diperoleh dengan penggunaan pupuk organik adalah kesuburan lahan dan produktivitasnya meningkat, kualitas produk lebih baik dan sehat, nilai jual lebih tinggi, pendapatan petani meningkat, dan petani menjadi terampil dan mandiri.

SEPERTI sudah dikemukakan, tidak semua lahan pertanian bisa diolah secara organik. Namun, dari sekitar 1.160.426 hektar luas lahan pertanian di Jatim, sekitar 1.830 hektar lahannya layak dikembangkan untuk pertanian organik. Lahan itu tersebar di tujuh kabupaten, yaitu Lumajang (880 hektar), Magetan (418 hektar), Malang (280 hektar), Tulung Agung (140 hektar), Ngawi (55 hektar), Jombang (37 hektar), dan Madiun (20) hektar.

Dengan surplus produksi padi dua juta ton dibandingkan tingkat konsumsi masyarakat di Jatim, maka merupakan keputusan sangat tepat mengembangkan pertanian organik di 1.830 hektar lahan potensial tersebut. Dengan demikian, surplus produksi padi yang merupakan salah satu faktor penyebab turunnya harga dasar gabah, dapat dialihkan menjadi produk yang memiliki nilai tambah dan diminati pasar dunia, yaitu produk pertanian organik.

inu

pekalen

PETUALANGAN dimulai dari base camp Songa Rafting (SR) di Desa Condong, Kecamatan Gading, Probolinggo, Jawa Timur (Jatim). Usai mengenakan perlengkapan arung jeram seperti helm, pelampung, dan dibekali dayung paddle (dayung perorangan), para penggiat arung jeram dibawa dengan mobil bak terbuka menuju lokasi pemberangkatan yang berjarak sembilan kilometer di Desa Pesawahan, Kecamatan Tiris.

Setelah melalui jalan menanjak dan berkelok-kelok menembus beberapa desa, penggiat diminta membentuk lingkaran untuk melakukan peregangan otot, dipimpin seorang kru SR. "Sungai Pekalen yang akan kita arungi berjarak sekitar 900 meter dari sini. Kita akan berjalan kaki menuju tempat pemberangkatan itu setelah peregangan otot selesai," ujarnya memotivasi.

Tiba di lokasi pemberangkatan, empat perahu karet dan beberapa kru SR lain sudah siap. Penggiat sudah tidak sabar ingin segera terjun saat melihat jernihnya Sungai Pekalen yang bersumber dari Gunung Argopuro dan Gunung Lamongan. Namun, demi keselamatan, terlebih dahulu diberi instruksi praktis dan singkat berarung jeram dan aba-aba yang dipakai. Ketegangan kian bertambah.

"Untuk keselamatan, kami tidak mau berkompromi. Karena itu, semua tahapan harus diikuti, dan instruksi mengenai teknik dan aba-aba harus dipahami penggiat arung jeram," jelas Manajer Program SR Imam Santoso (29) yang turut serta dalam rombongan. Setelah semua paham, perahu karet pertama berisi enam orang yang sekaligus tim rescue mengarungi derasnya arus Sungai Pekalen.

DARI Desa Pesawahan, empat perahu karet berisi masing-masing enam penggiat arung jeram kemudian berturut-turut menyusuri sungai yang melalui tiga kecamatan di Kabupaten Probolinggo, yaitu Tiris, Bremi, dan Condong. Menurut catatan SR, terdapat sedikitnya 33 jeram di jalur berjarak sembilan kilometer yang "berdinding" bebatuan dan rimbunnya tanaman.

Dimulai dengan jeram yang diberi nama Jeram Selamat Datang, penggiat sudah diingatkan agar berhati-hati dan mematuhi aba-aba dua kru SR yang berada di masing-masing perahu karet. "Maju kanan," seru kru bernama Nyoman (17) untuk menghindarkan perahu menabrak batu besar di sisi kiri perahu yang terbawa arus.

Meskipun pakaian basah kuyup karena empasan arus sungai yang masuk kategori grade dua sampai tiga plus setara dengan arus Sungai Citarik, Sukabumi, Jawa Barat, keceriaan penggiat segera terpancar. Dayung paddle masing-masing lalu diangkat tinggi-tinggi untuk kemudian ditamparkan ke aliran sungai sebagai tanda keberhasilan melewati sebuah jeram dan kekompakan tim dalam satu perahu.

Lolos dari Jeram Selamat Datang, Jeram Pilihan Agak Rumit atau biasa disingkat Jeram Pilar sudah menanti. Disebut agak rumit, karena jeram tersebut diapit dua batuan besar. "Sebelum meneriakkan aba-aba kepada timnya, kru harus mengambil pilihan untuk melalui sisi sebelah mana. Itu letak agak rumitnya Jeram Pilar ini," papar Imam.

Melintasi dua jeram ini, empat perahu masih selamat. Namun, begitu melintasi Jeram Topmarkotop Satu, satu perahu yang terseret derasnya arus menambrak sisi kiri perahu di depannya dan terbalik. Dua kru lalu membalikkan perahu, diikuti naiknya empat penggiat lain ke perahu tersebut untuk melanjutkan pengarungan sungai dengan wajah tetap ceria penuh tawa, meskipun beberapa teguk air sempat tertelan.

"Di alam, menghadapi situasi apa pun kuncinya harus tenang. Dan karena ada pemandu, prosedur dan aba-aba yang disampaikannya harus diikuti agar semua selamat," jelas Imam. Karena itu, selain menawarkan keceriaan dan kesegaran, wisata air yang baru digalakkan di Sungai Pekalen awal 2002 ini diharapkan juga menumbuhkan rasa percaya diri para penggiatnya.

Dari jeram satu ke jeram berikutnya yang jaraknya berdekatan dengan tingkat kesulitan bervariasi, kepercayaan diri penggiat akan teruji. "Dari semua jeram yang akan dilalui, Jeram God Bless merupakan yang paling berbahaya dengan tingkat kesulitan mencapai grade empat. Di situlah kami harus waspada penuh, karena kemungkinan perahu terbalik sangat besar," ujar Erwin yang hafal betul sejarah dan karakteristik setiap jeram yang dilalui.

Pemuda asli Probolinggo ini menambahkan, penamaan setiap jeram memiliki sejarah yang unik. Selain mencerminkan karakteristik jeram, nama itu kadang juga begitu saja diberikan berdasar pada kejadian di jeram tersebut. Sebut saja misalnya Jeram Indosat, Jeram Marlboro, Jeram Istana, dan Jeram Silvie.

"Dinamai Jeram Silvie karena di jeram yang dikategorikan tidak berbahaya tersebut penggiat asal Surabaya bernama Silvie terjatuh. Karena waktu itu belum ada namanya, Silvie lantas dipakai sekaligus untuk mengingat kejadian itu," jelas Erwin sambil tersenyum.

Jeram lain diberi nama berdasarkan karakteristiknya, seperti Jeram Kuda Liar, Kuda Binal, dan Kuda Nil yang berturut-turut harus diarungi. Melewati Jeram Kuda Binal kami seperti dihentak-hentakkan seekor kuda karena jalur menurun dan berjeram panjang.

Jeram lainnya adalah dua jeram berbentuk huruf S, Mercury, Penantian, Rengganis, Lumba-lumba, Lorong, dan Delta. Ada sensasi berbeda saat mengarungi setiap jeram dengan waktu tempuh sekitar tiga jam dengan sekali istirahat menikmati segarnya kelapa muda dan makanan kecil yang disediakan warga sekitar sungai.

SEBAGAI wahana baru berwisata, arung jeram Sungai Pekalen memang jauh dari terkenal jika dibanding wisata alam Pegunungan Bromo yang sama-sama berada di Kabupaten Probolinggo. Operator SR menyadari hal ini, dan melihatnya sebagai tantangan untuk menunjukkan variatifnya pilihan berwisata di wilayah Pegunungan Bromo dan Jatim.

"Potensi wisata arung jeram di sungai terbaik di Jatim ini sangat besar. Tingkat kesulitan yang variatif dan jaminan dapat dilaluinya sungai sepanjang tahun, memungkinkan wisata petualangan ini dapat menyegarkan dan terutama menghibur," ujar Imam yang berencana membangun beberapa prasarana penunjang wisata di sekitar lokasi arung jeram.

Untuk kesiapan tersebut, SR yang berkerja sama dengan beberapa operator arung jeram lain seperti Mega Rafting Bali dan Mitra Persada Rafting Yogyakarta siap memandu satu kelompok berjumlah 60 penggiat sekali jalan. Untuk rombongan sebanyak itu, dibutuhkan 16 perahu karet beserta sekitar 30 kru. Karena setiap hari melayani dua trip, pukul 09.00 dan 14.00, maksimal 180 penggiat bisa dilayani per hari.

"Namun, kami juga tidak gegabah. Untuk musim hujan, demi keamanan, kami hanya akan melayani trip pagi. Itu pun setelah kami melihat kondisi lapangan yang grade-nya bisa meningkat menjadi empat dengan tingkat kesulitan dan risiko lebih tinggi," jelas Imam.

Sebagai sebuah potensi, Sungai Pekalen, menurut mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam (Himapala) IKIP Surabaya ini, lebih potensial jika dibanding dengan Sungai Ayun, Bali. "Unsur hiburan dan tantangan dari 33 jeram yang dilalui membuat arung jeram di Bali tidak ada apa-apanya," katanya.

Hanya saja, besarnya potensi yang ada masih harus menunggu waktu lama realisasinya. Minimnya prasarana pendukung seperti jalan dan angkutan menuju lokasi bisa menjadi hambatan. SR sebagai operator sudah membuat kesepakatan dengan Pemerintah Kabupaten Probolinggo mengenai pengadaan dan perbaikan prasarana ini.

"Dalam kesepakatan tersebut kami diminta menyetor Rp 2,6 juta per bulan ke pemerintah dengan konsekuensi mereka membantu pengadaan prasarana. Meskipun kami rasakan berat, kami menerima dengan harapan segera dibangun prasarananya. Namun, sampai sekarang dukungan pemerintah belum juga terlihat," keluhnya.

Oleh karena sulit mengandalkan pemerintah, SR berupaya juga menggandeng pihak lain untuk menggali potensi wisata petualangan ini. Saat ini sedang dalam tahap kesepakatan untuk membuat paket-paket wisata dengan Hotel Grand Bromo di Desa Sukapura yang berjarak sekitar 60 kilometer dari lokasi arung jeram.

Sementara paket itu akan dijalankan, SR juga akan membangun prasarana seperti tempat ganti pakaian, kamar mandi, dan tempat peristirahatan usai berarung jeram. "Selain menjadikannya sebagai pusat wisata, ke depan di sini bisa dijadikan pusat pendidikan outbond training untuk orang muda," jelasnya sambil bergegas menuju tempat peristirahatan untuk menikmati hidangan santap siang setelah setengah hari berarung jeram.

Berminat mencoba menaklukkan 33 jeram di Sungai Pekalen yang berjarak sekitar 100 kilometer dari lokasi wisata Pegunungan Bromo? Jika ya, jangan lupa membawa pakaian ganti, sandal atau sepatu untuk berbasah-basah, dan lotion atau sun block untuk melindungi kulit dari sengatan matahari bagi mereka yang takut kulitnya menghitam.

inu

gas

USAI shalat isya di Desa Rahayu, Kecamatan Soko, Tuban, Jawa Timur (Jatim). Rumah warga yang umumnya berdinding anyaman bambu tertutup rapat. Tidak terlihat aktivitas penduduk di luar rumah yang redup kekuning-kuningan karena nyala bola lampu berdaya rendah. Meskipun malam itu langit cerah, warga memilih mengurung diri di dalam rumah.

TIDAK ada keceriaan anak-anak menyambut terangnya bulan dan bertaburannya bintang di langit seperti digambarkan dalam lagu-lagu dolanan. "Warga memilih berada di dalam rumah karena tidak tahan dengan bisingnya suara dari dua sumur minyak itu dan bau gas H2S (hidrogen sulfat-Red), gas berbahaya yang menyengat hidung," papar warga sambil bergegas pergi dengan sepeda kumbangnya, Jumat (3/5) malam.

Alasan senada mengenai sepinya desa berpenduduk sekitar 2.000 jiwa itu diungkapkan juga oleh belasan pemuda yang malam itu berkumpul di balai bambu di sekitar lokasi dua sumur minyak. Kondisi ini menurut mereka sudah berlangsung sejak tahun 1998, saat eksploitasi minyak mentah oleh Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Devon dimulai di desa tersebut.

Berbagai upaya telah dilakukan warga untuk menyampaikan keluhan tersebut kepada pihak JOB yang dalam beberapa kesempatan sering ingkar janji. Puncak keluhan disuarakan dalam lima tuntutan dan disampaikan dua hari berturut-turut tanggal 1-2 Mei 2002 yang berujung pada pembubaran dengan kekerasan oleh aparat Kepolisian Wilayah (Polwil) Bojonegoro dan Kepolisian Resor (Polres) Tuban, persis seusai negosiasi yang tidak menghasilkan kesepakatan apa pun.

Selain mengakibatkan puluhan warga luka-luka, pembubaran dengan berondongan peluru karet aparat, Kamis malam itu membuat lima warga luka tembak serius. Mereka adalah Karnoto Paetam (40), Suparji (23), Bayan Sauri (35), Rahmat (30), dan Kanan (39). Sampai sekarang, tidak jelas bagaimana penyelesaian kasus penembakan ini.

Lima warga yang menjadi korban ini menandai lima tuntutan mereka yang tidak dikabulkan JOB dalam negosiasi, yaitu pemberian kompensasi Rp 20.000 per warga per hari, pembangunan poliklinik, kontribusi untuk desa Rp 100 juta per bulan, sewa tanah sampai radius 500 meter, dan pemberian kesempatan bekerja sebagai tenaga kasar di perusahaan yang memproduksi sekitar 12.000 barrel minyak mentah per hari.

JEDA tiga hari setelah negosiasi tanpa hasil dan pembubaran aksi warga Rahayu dengan kekerasan oleh polisi, dilakukan negosiasi lanjutan antara wakil warga dengan JOB, Senin lalu. Karena sudah diwanti-wanti baik oleh aparat Pemerintah Kabupaten Tuban dan aparat kepolisian sejak sehari sebelumnya agar tidak menggelar aksi di sekitar lokasi negosiasi di Mudi PAD B, warga hanya berkumpul di pertigaan pasar desa dan di balai desa. Kumpulnya warga yang menunggu hasil negosiasi ini pun mendapat penjagaan polisi.

Penjagaan jauh lebih ketat di lokasi negosiasi. Puluhan aparat Polsek Soko, Polsek Rengel, Polres Tuban, dan Koramil Soko, bersiaga dengan menegur dan mendekati setiap orang yang mencurigakan di sekitar lokasi. Sementara di dalam ruangan, 13 wakil warga selama lebih dari enam jam bernegosiasi dengan pihak JOB yang diwakili Field Manajer Harun Siregar. Bertindak sebagai moderator yang memosisikan diri di pihak JOB adalah Kepala Satuan Reserse Polres Tuban Ajun Komisaris Kartono.

Meskipun berjalan alot, akhirnya Field Manajer JOB Harun Siregar sebagai pihak pertama dan Kepala Desa Rahayu M Solikhin sebagai pihak kedua bersedia menandatangani nota kesepakatan yang berisi kesediaan pihak pertama memberikan bantuan pengembangan masyarakat (community development), diadakan penelitian oleh pihak independen dengan memperhatikan saran-saran dari Dinas Lingkungan Hidup Tuban, dan apa pun hasil penelitian tersebut akan menjadi tanggung jawab pihak pertama. Rekrutmen tenaga kerja akan memperhatikan sumber daya manusia yang ada di sekitar lokasi operasi JOB, dan penyampaian aspirasi masyarakat di waktu mendatang tidak dalam bentuk demonstrasi.

Khusus untuk poin pertama nota kesepakatan tersebut, JOB pada tahun 2002 bersedia memberi kontribusi ke Desa Rahayu berupa 300 ekor kambing, program pompanisasi/irigasi seluas sekitar 40 hektar sawah petani di sekitar Flare CPA, dan klinik keliling untuk kesehatan warga yang dikoordinasikan dengan Dinas Kesehatan Tuban. Alokasi dana untuk kontribusi ini mencapai Rp 583 juta, dan JOB yang akan ditinggal hengkang Devon-digantikan oleh Petro China sebagai operator-berjanji akan melanjutkan kontribusi serupa tahun 2003.

HASIL kesepakatan yang sebenarnya masih jauh dari harapan dan tuntutan warga ini setidaknya untuk sementara waktu mampu meredam kemarahan mereka. Meskipun belum tahu kapan realisasi kontribusi JOB tersebut, warga Rahayu kini lebih tenang. "Kami menunggu pelaksanaan program tersebut dan semua tergantung Devon," ujar Solikhin.

Lebih lanjut Kepala Desa Rahayu ini mengatakan, meskipun telah ada kesepakatan dalam negosiasi lanjutan tersebut, tuntutan warga berkaitan dengan buangan gas H2S dan kebisingan mesin yang menjadi pokok utama tuntutan tidak terbatalkan dan meminta pihak independen segera bekerja dan menyerahkan hasilnya kepada JOB yang bersedia bertanggung jawab apa pun hasilnya.

Seperti pengakuan sejumlah warga yang umumnya petani, buangan gas H2S telah menimbulkan banyak korban mulai dari pusing, mual, muntah, dan bahkan pingsan. Warga mengalami hal itu tidak hanya ketika sedang menggarap sawah, tetapi juga ketika sedang berada di dalam rumah.

"Dalam hari-hari terahir seusai demonstrasi, kami merasakan adanya pengurangan buangan gas H2S dari dua sumur tersebut. Kami enggak tahu, mungkin Devon sudah mulai sadar. Tetapi, bagaimanapun penelitian oleh pihak independen harus tetap dilakukan dan segera ditindaklanjuti hasilnya, karena gas tersebut masih tetap mengancam kami yang tinggal dekat lokasi," tegas Solikhin.

inu

siti fatimah

SEPI dan terpencil. Kesan itulah yang menyergap ketika memasuki Kompleks Makam Siti Fatimah binti Maimun di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik, Jawa Timur (Jatim). Kesan ini sama sekali berbeda jika, misalnya, kita memasuki kompleks makam penyebar Islam lainnya seperti Syeikh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri di kabupaten yang sama.

DUA kompleks makam terakhir rata-rata dikunjungi 25 rombongan bus peziarah setiap hari. Peziarah tidak hanya berasal dari Jatim atau Pulau Jawa saja, tetapi juga dari Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Sementara itu, di Kompleks Makam Siti Fatimah binti Maimun yang bergelar Putri Dewi Retno Swari, satu rombongan bus peziarah per minggu saja sangat jarang terjadi.

"Biasanya yang datang berombongan ke makam ini adalah rombongan yang kelebihan waktu saja. Kalaupun ada sangat jarang. Belum tentu seminggu sekali ada yang datang berombongan. Setiap hari, ya seperti ini suasananya. Sepi," tutur Hasim (46) yang secara turun-temurun menjadi juru kunci makam tersebut.

DITILIK dari umur, kompleks makam Islam yang menjadi penyibak kejayaan Gresik masa lalu ini merupakan yang tertua. Di makam inilah ditemukan sumber tertulis primer berupa batu nisan berhuruf Kufi (Arab), berbahasa Arab, dan terkenal dengan sebutan Batu Nisan Leran (de Grafsteen te Leran). Penamaan ini didasarkan pada tempat ditemukannya batu nisan, yaitu Desa Leran.

Menurut Mohammad Yamin, orang pertama yang menemukan dan membaca tulisan ini adalah peneliti asal Belanda JP Moquette, tahun 1911. Ia menerjemahkan tulisan di batu nisan tersebut ke dalam huruf Arab baru.

Terjemahannya dalam bahasa asing tertuang dalam Handelingen van hest Eerste Conggres voor de Tall, Land, en Volk enkunde van Java. Seperti diterjemahkan Yamin, tulisan dalam nisan tersebut berbunyi sebagai berikut: Atas nama Tuhan Allah Jang Maha-Penjajang dan Maha Pemurah. Tiap-tiap machluk jang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana. Tetapi wadjah Tuhan-mu jang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanja. Inilah kuburan wanita jang mendjadi kurban sjahid, bernama Fatimah binti Maimun, putera Hibatu'llah, jang berpulang pada hari Djumijad ketika tudjuh... sudah berliwat bulan Radjab dan pada tahun 495, jang mendjadi kemurahan Tuhan Allah Jang Mahatinggi, bersama pula Rasulnja Mulia. (Muhammad Yamin, Tatanegara Madjapahit, Jajasan Prapandja, Djakarta: 1962).

Mengenai tahun meninggalnya Fatimah yang diduga karena terserang wabah penyakit ini, Moquette membacanya tahun 495 H atau 1102 M, tetapi menurut Yamin, ada kemungkinan pula tahun 475 H atau 1082 M. Perbedaan ini disebabkan karena masih ada keraguan dalam membaca satu kata yang mungkin berarti 70 atau mungkin berarti 90. Berdasar tarikhnya, Yamin dalam buku tersebut menyatakan, tulisan Leran merupakan tulisan Arab tertua di Asia Tenggara.

Dari interpretasi tulisan tersebut, para peneliti sependapat bahwa Fatimah yang menurut juru kunci makam berasal dari negeri Kedah, Malaka, adalah pemeluk Islam. Sementara interpretasi tentang beradanya Islam di Leran pada masa itu terdapat berbagai asumsi yang berbeda. Yang pasti, pada masa itu Leran telah menjadi daerah permukiman dengan status desa perdikan "Sima" yang di dalamnya hidup orang-orang bebas yang umumnya identik dengan pedagang.

LUAR biasa penting peninggalan sejarah di makam tempat 13 pemeluk Islam pertama di Jawa ini dimakamkan. Namun sayang, berbeda dengan beberapa makam bersejarah lain yang tersebar di wilayah Gresik, kompleks makam ini terkesan terabaikan oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang untuk mengelola dan melestarikan peninggalan bersejarah ini.

Petunjuk jalan atau penanda ke arah makam yang terletak di tepi Jalan Manyar miring dan hampir rubuh tidak terurus. Tulisan petunjuk sudah tidak lagi terbaca karena seluruh catnya telah mengelupas.

Memang ada gerbang bercat hijau mencolok di mulut jalan menuju makam. Namun, seperti penuturan Hasim yang sejak kecil bersama orangtuanya tinggal di kompleks makam sebagai juru kunci, gerbang itu merupakan sumbangan pribadi seorang kiai asal Jombang.

Mengenai pemasangan jaringan listrik dan pengaspalan jalan menuju makam, Hasim menuturkan, kejadiannya kebetulan dan terlihat tidak ada konsep, meskipun tetap disyukurinya. "Tahun 1996, hari Jumat, saya ke Pak Bupati (Soewarso-Red) untuk memberitahu kalau makam perlu penerangan listrik. Sabtu berikutnya tiang listrik datang, Minggu didirikan, dan Senin sudah menyala lampunya," paparnya penuh semangat.

Pengaspalan jalan pun terkesan kebetulan saja. Suatu hari, pada tahun 1996, anak bupati bersama beberapa temannya dengan mobil datang ke makam. Waktu itu jalan masih becek. Mobil yang kotor kemudian dilumuri lumpur jalan. Anak itu lalu pulang memberitahu bapaknya bahwa ada makam kuno bersejarah, tetapi jalannya becek sambil menunjukkan mobilnya yang penuh lumpur. "Tidak berapa lama kemudian jalan ke makam diaspal," tutur juru kunci yang sejak tahun 1979 diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Trowulan, Mojokerto.

Setelah pengaspalan jalan dan pemasangan jaringan listrik, nyaris tidak ada lagi perhatian dari mereka yang berwenang untuk mengembangkan, memelihara, dan melestarikan kompleks makam bersejarah yang terletak sembilan kilometer arah baratlaut Gresik ini. Rehabilitasi terakhir oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jatim dilakukan tahun 1979.

"Dua tahun ini memang berdiri yayasan makam yang dibentuk oleh desa. Namun, apa yang dilakukan tidak lebih dari mengurusi kotak-kotak amal yang tersebar di beberapa sudut makam. Kontribusinya untuk makam tidak ada," jelas Hasim. Bahkan, ketika awal April lalu listrik di kompleks makam dipadamkan karena menunggak rekening selama empat bulan, yayasan yang sebelumnya telah menyanggupi membayar biaya tersebut tidak melunasinya. Hasim sendirilah yang kemudian membayar biaya listrik sekitar Rp 500.000 tersebut.

Ironis memang. Namun, jika dikelola secara sungguh-sungguh dan terkonsep dengan pengadaan sarana dan prasarana pendukung, kompleks makam seluas sekitar 2,5 hektar dengan "benteng" rimbunnya pepohonan ini cukup potensial untuk dijadikan salah satu dari rangkaian wisata ziarah. Dengan dasar urutan waktu, makam yang terbagi dalam empat gugus ini dapat dijadikan awal untuk wisata ziarah makam di seluruh wilayah Kabupaten Gresik.

Di kompleks makam ini, makam Fatimah berada dalam sebuah cungkup berbentuk empat persegi panjang dengan atap berbentuk limasan yang mengerucut. Cungkup ini merupakan bangunan utama dan terbesar. Di dalam cungkup tersebut, selain Fatimah, dimakamkan juga empat orang dayangnya yaitu Nyai Seruni, Putri Keling, Putri Kucing, dan Putri Kamboja.

Selain makam dalam bangunan utama ini, terdapat tiga gugus makam lain tempat dimakamkannya tiga paman Fatimah, tiga panglima, dan dua penjaga. Untuk makam para paman dan panglima, panjangnya makam mencapai sembilan meter dan secara umum dikenal sebagai Makam Panjang. Menurut Hasim, panjangnya makam itu merupakan kiasan mengenai panjangnya rentang waktu yang dibutuhkan untuk menyebarkan agama Islam di Jawa.

Harapan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gresik untuk menghidupkan wisata ziarah tampaknya membutuhkan waktu panjang melihat terabaikannya makam Islam tertua itu selama ini. Jika pemkab hanya sibuk mengurusi retribusi wisata ziarah untuk peningkatan pendapatan yang saat ini sudah dibuatkan peraturan daerahnya tanpa konsep pengembangan, pemeliharaan, dan pelestariannya, rentang waktu yang dibutuhkan untuk mewujudkan harapan itu mungkin akan lebih panjang lagi.

inu

peluru karet

JATUHNYA puluhan korban karena tembakan peluru karet, pukulan popor senapan, dan tendangan sepatu lars aparat tidak sedikit pun menyurutkan semangat sekitar 2.000 warga Desa Rahayu, Kecamatan Soko, Tuban, Jawa Timur.

Mereka tetap bertekad untuk menuntut kompensasi atas kerugian yang mereka tanggung sejak 1998 saat dimulainya eksploitasi minyak mentah oleh Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Devon di desa mereka.

Bahkan, usai insiden pembubaran aksi damai ratusan warga di depan gerbang JOB secara paksa dengan kekerasan oleh aparat Kepolisian Wilayah (Polwil) Bojonegoro dan Kepolisian Resor (Polres) Tuban, Rabu (1/5) malam, ratusan warga berniat kembali menutup gerbang. Namun, karena masih dimungkinkan negosiasi lanjutan, warga memilih menyimpan energi.

"Meskipun puluhan warga menjadi korban, warga bukannya tambah takut. Kami akan tetap memperjuangkan tuntutan kami, karena sekarang tidak ada warga yang takut," ujar Mujiono (31), anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) Rahayu, Jumat malam. Saat ditemui, sejumlah warga sedang omong-omong mengenai kasus ini di rumahnya.

Dari puluhan yang terluka karena pembubaran aksi secara paksa dengan kekerasan oleh aparat, lima warga kondisinya masih parah. Mereka adalah Karnoto Paetam (40), Suparji (23), Bayan Sauri (35), Rahmat (30), dan Kanan (39). Selain karena peluru yang membuat luka berdarah di tubuh dengan diameter tiga centimeter dan memar di sekitarnya, wajah mereka tembam dan ada yang giginya rontok karena popor senapan.

"Sampai sekarang, Karnoto belum bisa duduk karena luka tembak yang cukup parah di pantat," ujar Sutaji (30), petani yang ditemui Jumat malam bersama belasan pemuda desa di balai bambu di depan lokasi sumur minyak yang bising dan menimbulkan bau H2S yang menyengat. Ia sendiri belum pulih dari luka tembak di kaki kanannya. Memar kehitaman yang diobatinya sendiri masih nyeri dan membekas.

Aksi damai yang dilakukan warga dengan memblokir gerbang masuk JOB berawal dari keinginan warga menagih janji penambang minyak mentah itu yang belum juga terealisir. JOB antara lain berjanji mengaspal jalan desa, membuat penerangan jalan, membuatan lapangan olahraga, membangun gedung Taman Kanak-kanak (TK), dan merekrut tenaga kasar untuk sopir dan produksi.

"Mereka menjajikan itu tahun 2000 dan sampai sekarang, satu pun tidak terealisir," ujar Mujiono.

Untuk menanyakan realisasi janji itu, puluhan warga Desa Rahayu mendatangi kantor JOB Devon-Pertamina di Bojonegoro. Warga ingin "menjemput" petinggi JOB ke desa mereka untuk negosiasi dengan wakil warga perihal lima tuntutan mereka karena eksploitasi minyak mentah yang merugikan warga desa.

Tuntutan mereka adalah pemberian kompensasi Rp 20.000 per warga per hari, pembangunan poliklinik, kontribusi untuk desa Rp 100 juta per bulan, sewa tanah sampai radius 500 meter, dan pemberian porsi kesempatan bekerja sebagai tenaga kerja kasar. Oleh karena tidak berhasil "menjemput", warga pulang dan memblokir gerbang masuk JOB di wilayah desa mereka dengan mendirikan terob untuk berteduh.

Usai Magrib, aparat kepolisian dari Polres Tuban yang didukung Polwil Bojonegoro, minta warga bubar, namun warga menolak. Dengan alasan kemanusiaan, menjelang larut malam, blokir dibuka untuk memberi kesempatan karyawaan JOB pulang. "Secara bergantian, warga tetap berdiam di depan gerbang itu," tutur Saekan (48) yang berdiam di gerbang bersama puluhan warga lain hingga dini hari.

Aksi pemblokiran gerbang kemudian berlanjut hari berikutnya saat akhirnya ada negosiasi antara wakil warga dengan petinggi JOB. Namun, sampai sekitar pukul 20.00, negosiasi tidak menghasilkan kesepakatan mengenai tuntutan warga. Sesaat setelah wakil warga yang bernegosiasi keluar ruangan, dengan peringatan tembakan ke atas aparat membubarkan aksi warga dengan memberondongkan peluru karet ke arah kerumunan warga. Warga tidak melawan dan hanya bisa lari menyelamatkan diri meskipun puluhan warga menjadi korban.

Dalam negosiasi yang tidak menghasilkan kesepakatan tersebut, wakil warga merasa dilecehkan oleh JOB yang meremehkan keluhan dan dampak ekspolitasi yang nyata terasa oleh warga.

"Kami merasa tuntutan kami wajar. Untuk tanaman kedelai dan waluh yang jadi mandul karena dampak eksploitasi tersebut saja mendapatkan ganti rugi, meski pengurusannya ruwet, masak kami yang manusia tidak mendapat kompensasi yang layak. Kami tidak melihat itikad baik JOB untuk mengakomodasi keluhan nyata warga. Mereka hanya janji sejak sebelum operasi," keluh seorang guru SMPN 1 Soko.

Menurut warga, sejak rencana eksploitasi yang dimulai oleh rekanan Pertamina Santa Fe awal tahun 90-an, masalah sudah muncul berkaitan dengan pembebasan tanah. Warga desa akhirnya melepaskan sekitar 19 hektar tanahnya secara bertahap karena tindakan represif aparat selama proses pembebasan tanah. "Saat pertemuan waktu itu kami disentaki aparat dengan dasar pasal 33 (UUD 45 pasal 33-Red). 'didol ora didol tetep dibor kanggo negoro'," ujar Saekan menirukan bentakan aparat waktu itu.

Tahun 1993, tanah warga yang akan dibebaskan dihargai Rp 2.500 per meter, tahun 1994 Rp 5.000, tahun 1997 Rp 13.500, dan tahun 2000 Rp 35.000. "Warga sebenarnya tidak ingin menjual tanah mereka karena dihargai sangat murah. Namun, karena disentaki aparat dan takut diciduk, warga melepaskan tanahnya. Waktu itu warga enggak berani melawan," jelas Mujiono.

Masalah yang kini mencuat kembali dengan jatuhnya puluhan korban tersebut merupakan akumulasi kekesalan warga yang sama sekali tidak merasakan kemakmuran yang dulu dijanjikan sebelum eksploitasi.

Berbeda dengan awal tahun 90-an, saat ini, warga tidak takut lagi memperjuangkan tuntutan yang menurut mereka sangat masuk akal.

Selain dengan unjuk rasa, keberanian warga tergambar dalam ungkapan tuntutan mereka yang ditulis mencolok di sepanjang ruas jalan utama desa. Selain berisi tuntutan, tulisan dan coretan tersebut berisi kecaman terhadap JOB Pertamina-Devon yang mengabaikan makin melaratnya warga justru setelah operasional sumur minyak mentah tahun 1998.

"Tuntutan akan terus kami perjuangkan sampai ada kompensasi yang layak untuk kami yang setiap saat menghirup H2S dan mendengar bisingnya operasional sumur minyak yang membuat petani pusing, mual, muntah, dan bahkan jatuh pingsan saat menggarap sawah di sekitar lokasi eksploitasi," tegas Mujiono.

Rencananya, Senin (6/5/2002), warga akan kembali melakukan aksi saat negosiasi antara wakil warga dengan pihak JOB dilangsungkan.

mislachun

NELAYAN tidak bisa dipisahkan dari perahu. Dan perahu nelayantradisional Kelurahan Lumpur, Kecamatan Gresik, Gresik, Jawa Timur (Jatim), tidak bisa dipisahkan dari Mislachun (63) dan keluarganya.

Kenapa? Mislachun dan keluarganyalah yang secara turun-temurun mewarisi keahlian membuat hampir semua perahu nelayan tradisional di kelurahan yang terletak di Selat Madura ini.

"Saya enggak tahu kapan persis mulainya. Menurut ayah saya, sejak zaman kakek saya dulu, galangan perahu ini sudah dipakai untuk membuat dan memperbaiki perahu-perahu nelayan yang ada di sini," ujar Mislachun sambil berusaha mengingat.

Galangan perahu yang dimaksud pria asli Gresik ini adalah ruang berukuran 6x12 meter yang dipenuhi papan kayu beragam jenis dan ukuran. Di tempat itulah, selama puluhan tahun, ratusan perahu tradisional khas Lumpur dibuat dan diperbaiki oleh anak-anaknya dan dirinya sendiri, ayahnya, dan juga kakeknya.

SEPERTI umumnya warga Lumpur, Mislachun pun semula adalah nelayan yang setiap hari pergi ke laut mengadu nasib. Dikatakan mengadu nasib, karena meskipun sudah bertahun-tahun melaut, hasil tangkapan tidak pernah bisa diprediksi. Bisa jadi, hari ini mendapat banyak ikan atau udang, hari berikutnya mendapat sedikit, dan hari berikutnya lagi tidak mendapat apa-apa selain penat.

Lantaran sulit diprediksinya hasil tangkapan itulah, ayah delapan anak ini memilih tidak lagi melaut pada tahun 1970. "Waktu itu hasil tangkapan saya terus berkurang. Karena mau lebih fokus membuat perahu, saya memutuskan tidak melaut," ujarnya sambil sesekali memberi arahan kepada tiga anaknya yang sedang menghaluskan lambung perahu pesanan seorang nelayan.

Sebagai modal usaha membuat perahu, pria yang sejak remaja sudah melaut ini menjual semua peralatannya menangkap ikan, terutama perahu buatan ayahnya sebagai modal usaha. Uang hasil penjualan itu kemudian dibelikannya kayu untuk membuat perahu. Setelah perahu jadi, ternyata ada yang meminatinya. Hasil penjualan itu dibelikan kayu lagi. Kala itu, jumlah kayu yang dibeli lebih banyak sehingga dua perahu bisa dibuatnya dan segera laku terjual.

Setelah cukup dikenal lewat perahu buatannya, Mislachun tidak perlu lagi mengeluarkan modal untuk membuat perahu, karena para pemesanlah yang memberi modal. Saat ini, untuk membuat sebuah perahu ukuran 9,5 meter diperlukan modal Rp 20 juta, dan untuk perahu 7,5 meter diperlukan modal Rp 15 juta.

Keuntungan dari membuat perahu ini, menurut Mislachun, "lumayan", tidak kalah jika dibandingkan dengan hasil menjadi nelayan. Ketika ditanya seberapa lumayan keuntungan itu, ia tersenyum sebentar dan kemudian menjawab. "Yah, minimal saya bisa menyekolahkan delapan anak saya sampai tingkat SMA (sekolah menengah atas-Red). Bahkan, ada beberapa yang melanjutkan ke perguruan tinggi, meskipun akhirnya enggak selesai," ujarnya sambil menunjuk anak-anaknya yang berada di galangan. Sebagai gambaran mengenai penghasilan yang "lumayan" tersebut, Mislachun baru saja menunaikan ibadah haji.

Kedelapan anaknya, enam laki-laki dan dua perempuan. Keenam anaknya yang laki-laki, sejak dia menginjak dewasa, bekerja membantu membuat perahu yang tidak pernah sepi dari pemesan. Sementara dari dua anak perempuannya, satu meninggal dan satu tinggal di rumah menggantikan peran istri Mislachun yang sudah meninggal tahun 1996.

Dalam membuat perahu, hampir tidak pernah ada istirahat. Rata-rata ada tiga pesanan yang mengantre. Namun, antrean ini masih normal. Antrean pesanan perahu pernah memuncak pada saat krisis ekonomi yang justru membawa berkah bagi para nelayan karena harga hasil tangkapan laut melambung. "Waktu itu, antrean yang minta dibuatkan perahu sampai 17 orang. Kami sampai kewalahan, terutama mencari bahan baku," jelasnya.

MENGENAI kesulitan bahan baku, yaitu kayu jati, putra pertama Mislachun, Ashari (41), yang biasa mengusahakannya. Dia pernah ditawari kayu-kayu ilegal yang mudah didapat oleh beberapa orang di lingkungan hutan jati di Bojonegoro. Namun, karena sadar risiko yang bisa membuat dia ditahan dan tutupnya galangan yang selama puluhan tahun menjadi gantungan hidup keluarga besarnya, dia menolak.

"Biar lebih mahal, lama, dan prosedurnya kadang berbelit, saya tetap memilih memakai kayu legal dari Perhutani. Selain aman, mutu kayu Perhutani masih di atas kayu rakyat atau kayu ilegel lainnya yang lebih mudah didapat," jelas Ashari.

Selain kayu jati yang rata-rata dibutuhkan satu sampai dua meter kubik untuk tiap perahu, bahan lain yang diperlukan adalah dempul, cat, mur, baut, kayu bung untuk pasak, dan peralatan tukang pada umumnya seperti pahat, palu, gergaji, bor, dan kapak pacul.

"Bahkan untuk ukuran dan kelengkungan lambung perahu, kami mendasarkan pada kebiasaan dan feeling saja. Enggak ada gambar sebelum bikin perahu, soalnya dari zaman dulu perahu nelayan Lumpur ya seperti itu, enggak pernah berubah," jelas pria yang sempat kuliah ekonomi pembangunan selama empat semester ini.

Karena bentuk yang selalu tetap dengan cantikan yang khas di depan dan di belakang dasaran perahu tersebut, pengalihan keahlian pembuatan perahu menjadi lebih mudah. "Saat ini sudah ada dua anak saya yang bisa mandiri membuat perahu. Ukurannya adalah kemampuan mereka melengkungkan dan memuntir kayu untuk lambung perahu. Itu bagian tersulit. Kalau itu sudah bisa, dia bisa mandiri," jelas Mislachun.

Saat ditanya siapa yang kira-kira akan menjadi penggantinya kelak sebagai pembuat perahu yang menjadi penopang kehidupan sekitar 800 nelayan tradisional yang terkelompok dalam tujuh balai ini, pria berkacamata ini tidak bisa memastikan. "Seperti saya dulu juga begitu. Hampir semua saudara saya membantu bapak membuat perahu. Tetapi, yang akhirnya menggantikan profesinya, ya cuma saya. Yang lain memilih pekerjaan lain," paparnya.

MESKIPUN modernisasi telah merasuk dalam kehidupan nelayan tradisional, seperti penggunaan mesin menggantikan layar, jaring pabrik pengganti jaring bambu, dan makin ekspansifnya permukiman nelayan hingga menjorok ke tepi laut, tradisi yang menyertai pembuatan sebuah perahu tetap terpelihara.

Seperti dituturkan Mislachun, sebelum memulai membuat perahu, terlebih dahulu harus ditentukan tanggal dan hari baik menurut perhitungan kalender Jawa. Setelah itu, pertama-tama dibuat dasaran dan cantikan yang kemudian disambung. Usai penyambungan, harus diadakan semacam selamatan dengan syarat bubur merah dan putih, rujak, dan dawet.

Selamatan dimaksudkan untuk memohon berkah dari yang kuasa melalui perahu tersebut. Selamatan berikutnya dilakukan sesaat sebelum perahu yang sudah selesai dikerjakan diluncurkan ke laut. Dua selamatan ini wajib, dan selalu dilakukan oleh pemesan perahu sejak dulu.

"Hari dan tanggal baik itu ditentukan oleh pemesan perahu, sesuai dengan perhitungan dan keyakinannya. Kami tidak turut campur dalam penentuannya," ujarnya.

inu

cincin

RUANGAN berukuran 2x3 meter di salah satu sudut di Desa Klangonan, Kecamatan Kebomas, Gresik, Jawa Timur (Jatim), tampak sederhana. Tidak ada ubin ataupun langit-langit. Batu batako berwarna abu-abu kehitaman yang disusun sebagai tembok ruangan telanjang tidak terbungkus plesteran semen sama sekali.

Namun, di situ perhiasan yang dipahami sebagai simbol kemewahan dibentuk dan dihasilkan dari dua pasang tangan terampil perajinnya.

Dimulai dari melebur dan mencetak butir-butir timah seharga Rp 150.000 per ons ke dalam singen menjadi batangan perak. Batangan inilah yang kemudian dijadikan sebagai bahan baku cincin. Setelah diukur dan dipotong sesuai dengan ukuran lingkaran tangan pemesan yang umumnya warga sekitar Gresik, batangan itu digodam sesuai model yang diinginkan pemesan.

Untuk model, jenis, dan ragam hiasannya, pemesan tidak perlu repot-repot jika belum memiliki gambaran. Di ruang tersebut calon pemesan dimanjakan dengan adanya tiga majalah perhiasan terbitan luar negeri yang dibeli di sebuah pasar loak buku di Surabaya.

Pemesan bisa melihat-lihat, dan jika tertarik dengan salah satu model perhiasan di majalah tersebut, dua perajin, Ali Ruhama (42) atau Cak Ali dan Ahmad Nufajri (21) atau Ari, sanggup membuatkannya.

"Paling tidak kami butuh waktu tiga hari untuk menggarap sebuah pesanan cincin," ujar Cak Ali, 10 April. Dari seluruh proses, waktu terbanyak disita untuk mengerjakan detail-detail kecil seperti mengukir nama dengan gergaji rambut, membuat hiasan atau motif, dan menghaluskan cincin-cincin tersebut setelah jadi. Makin rumit motifnya, makin lama juga waktu yang dibutuhkan.

Dari satu ons perak yang sudah dicetak menjadi batangan, rata-rata bisa dihasilkan 50 cincin. Setiap pesanan, rata-rata dikenakan biaya Rp 12.500. Selain perak, Cak Ali juga melayani pesanan pembuatan perhiasan dari emas, namun karena harganya mahal dan tidak tetap, ia tidak menyediakan stok. "Kalau ada yang memesan, saya baru membeli emas pada sepupu yang punya toko emas," ujarnya.

MESKIPUN hanya melayani pesanan warga Gresik, order pesanan tidak pernah sepi. Setiap hari ada saja warga yang memesan untuk dibuatkan aneka macam cincin, bros, gelang, dan perhiasan lain. Pesanan makin meningkat untuk saat-saat khusus, seperti misalnya pada Hari Kasih Sayang (Valentine's Day) yang dirayakan sebagian remaja pada setiap bulan Februari.

"Permintaan pada bulan itu meningkat tajam. Namun, karena keterbatasan tenaga dan peralatan, pesanan yang biasa diselesaikan tiga hari, pada saat-saat khusus baru bisa selesai setelah empat atau lima hari," jelas Ari yang sudah empat tahun "magang" pada Cak Ali. Umumnya Ari melayani pesanan remaja dan anak muda yang dekat dengan dunianya.

Peralatan yang menurut dia terbatas merupakan peralatan tradisional yang kerjanya lambat seperti kempus dan solder, godam, dan stempel nama. Peralatan yang sedikit modern yang digunakan hanya gerinda listrik dan bor gantung listrik. Selain itu, lamanya waktu pembuatan saat pesanan meningkat disebabkan juga karena dua perajin tersebut membatasi maksimal membuat tujuh cincin atau perhiasan lain dalam satu hari, demi kualitas.

"Memerlukan konsentrasi dan ketekunan untuk mengerjakan detail pada cincin seperti nama yang umumnya kecil-kecil," jelas Ari sambil melingkarkan batangan perak dan kemudian menyambungnya dengan patri dan pijer sebagai perekat.

PESANAN memang meningkat dan diakui oleh kedua perajin bahwa mereka sering kewalahan. Namun, ketika ditanya kenapa tidak mencari tambahan modal untuk membeli peralatan-peralatan yang lebih modern untuk mempercepat pekerjaan, Cak Ali yang sudah menekuni pekerjaan sebagai perajin cincin sejak 14 tahun itu berujar, "Saya dan juga orang sini enggak pandai mengelola uang."

Pria asli Gresik ini kemudian menceritakan latar belakang munculnya kesadaran tersebut. Beberapa tahun sebelumnya, perajin cincin dan perhiasan emas sepuhan banyak menjamur di desanya. Aktivitas perajin terus meningkat dengan dilibatkannya anak-anak, dan pemasaran hasil usahanya yang menembus Bali. Suatu kali ada tawaran bantuan dana untuk modal dari beberapa pihak, dan sebagian besar perajin menerima bantuan tersebut.

Namun, karena umumnya para perajin begitu sederhana dan seperti penuturannya tidak pandai mengelola uang, segera saja modal tersebut ludes untuk membeli barang-barang konsumtif seperti sepeda motor dan barang-barang lain yang tidak ada kaitannya dengan usaha. Akibatnya, satu persatu usaha yang diberi bantuan modal itu bertumbangan.

"Makanya, saya enggak mau waktu ditawari modal untuk mengembangkan usaha yang nyata-nyata bikin penyakit tersebut," ujar Cak Ali. Pria yang belajar membuat cincin dan perhiasan perak karena hobi ini kemudian menggantungkan kemajuan usaha kerajinan perhiasannya secara alami sesuai dengan kemampuannya.

DILIHAT dari hasil pekerjaannya yang rapi, halus, dan cepat, meskipun dengan peralatan sekadarnya dan tergolong tradisional, usaha ini sebetulnya cukup prospektif untuk dikembangkan. Hal ini sudah terbukti dengan adanya tawaran dinas terkait Pemerintah Kabupaten Gresik. Namun, karena trauma dengan pengalaman para perajin sebelumnya, Cak Ali tetap pada pendiriannya, menolak bantuan.

Menghargai trauma yang memang masuk akal ini, diperlukan terobosan atau langkah komprehensif dalam memberikan bantuan pengembangan suatu unit usaha kecil menengah. Pengucuran modal berupa dana memang diperlukan, namun harus disadari bahwa semua tidak lantas beres dan usaha menjadi berkembang setelah dana diberikan.

Karena pola pikir yang sederhana, kucuran dana justru kadang menjadi bumerang yang bisa mematikan usaha. Lalu apa yang harus dilakukan untuk memajukan usaha kecil yang potensial maju tersebut? Dalam kasus Cak Ali dan juga perajin lain seperti perajin sepuh emas dan pengusaha kerupuk yang ada di Desa Klangonan, perlu dipikirkan pembekalan pengetahuan administrasi dan manajemen keuangan secara sederhana, misalnya.

Harus disadari oleh semua pihak, terutama yang berambisi untuk memajukan usaha kecil, adanya dana tidak serta-merta memajukan suatu usaha. Perlu dukungan dan bantuan lain dalam bentuk peningkatan sumber daya manusia (SDM)-nya. Artinya, upaya pengembangan usaha kecil tidak bisa parsial, harus menyeluruh, melingkupi semua bidang, mulai dari produksi hingga pemasarannya juga.

inu

jagir

KEKHAWATIRAN para keluarga korban gusuran bantaran kali di Surabaya untuk sementara sirna. Mereka sebelumnya sempat merasa tidak menentu nasibnya, karena "dijemput" dan dipindahkan ke tempat yang tidak dikenalnya. Mereka merasa kembali menemukan tempat yang lebih "beradab" setelah berminggu-minggu tinggal di tenda-tenda darurat, paling tidak untuk tiga bulan mendatang.

Setelah pemindahan hari Senin lalu, saat ini tenda-tenda darurat sebagai tempat tinggal ratusan warga yang sebelumnya memenuhi sepanjang Jalan Nginden Intan Selatan hingga Jalan Medokan Semampir, tidak terlihat lagi. Yang masih terlihat di sepanjang jalan itu adalah batu bata, genteng, kayu-kayu, dan pintu-pintu bekas bangunan yang tidak bisa dibawa ke penampungan.

Sebanyak 437 warga dari 124 keluarga korban gusuran bantaran (stren) Kali Jagir, Surabaya, yang berasal dari empat wilayah-Semampir, Wonorejo, Panjangjiwo, dan Nginden Jangkungan-memenuhi Asrama Transito milik Dinas Kependudukan Provinsi Jawa Timur (Jatim) yang digunakan untuk menampung mereka selama tiga bulan, Selasa (23/4/2002).

Warga empat wilayah itu berangsur-angsur memenuhi asrama yang biasa dipakai untuk menampung para calon transmigran yang akan diberangkatkan ke Indonesia bagian timur ini sejak pukul 09.00. Berbeda dengan proses "penjemputan" sehari sebelumnya yang diwarnai unjuk rasa penolakan oleh puluhan warga wilayah Nginden Jangkungan, proses kali ini berjalan lancar tanpa perlawanan.

"Sebelum petugas yang akan menjemput datang, saya dan suami sudah menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke penampungan," ujar Ririn (30) yang sehari sebelumnya turut dalam unjuk rasa menolak penampungan itu. Ia, mertua, dan keempat anaknya, akhirnya mau pindah ke penampungan setelah suaminya mengecek lokasi penampungan yang terletak di Jalan Margorejo 74 itu.

"Pulang dari mengecek penampungan, suami saya bilang kalau tempatnya lebih baik dan layak jika dibanding tinggal di tenda-tenda bekas gusuran. Selain itu, ada jaminan pendidikan, kesehatan, dan makanan," tuturnya girang. Keputusannya untuk bersedia ditampung ini diikuti juga oleh puluhan warga lain yang sebelumnya menolak.

Karena jumlah warga korban gusuran diperkirakan akan terus bertambah, Dinas Kependudukan akan menambah barak agar bisa menampung semua warga. "Jika warga stren terus berdatangan dan enam barak yang disiapkan tidak mampu menampung, kami akan memakai barak yang semula disiapkan untuk mengantisipasi kepulangan tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal dari Malaysia," ujar staf Dinas Kependudukan Kota Surabaya Zaifoer.

Jika penambahan barak ini tidak mampu menampung juga, dinas akan memakai aula dan Balai Latihan Transmigrasi di Krian, Sidoarjo, dengan kapasitas 60 keluarga sebagai tambahan. "Prinsipnya kami tidak mau menampung warga melebihi kapasitas barak yang ada. Kasihan mereka kalau itu terjadi," tambah Zaifoer.

Secara ideal, satu barak yang luasnya sekitar 180 meter persegi itu dihuni oleh 20 keluarga dengan jumlah anggota tiga atau empat jiwa setiap keluarga. Sambil berjalan, dinas akan menyiapkan sekat-sekat sebagai pembatas antarkeluarga. Warga tidak perlu memasak makanan sendiri, karena dinas telah menyiapkan dapur umum yang ditangani 15 juru masak.

Asrama Transito yang terdiri dari sembilan barak ini tampak makin penuh karena banyaknya barang yang dibawa para korban gusuran. Mereka juga membawa barang seperti kasur, kompor, almari, alat usaha mereka (becak, gerobak), sampai binatang peliharaan, seperti sapi dan kambing. Izin sekolah

Berkaitan dengan kelanjutan pendidikan anak-anak yang jaraknya jauh dari asrama, Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jatim sudah mulai melakukan pendataan. "Tadi setelah saya datang, babak-bapak dari dinas mendata anak saya. Kata mereka, jauhnya jarak sekolah dengan penampungan akan dipikirkan pemecahannya," ujar Ririn.

Sambil menunggu proses pemecahan masalah tersebut, Ririn yang anaknya paling besar kini duduk di kelas satu SD, juga warga lain yang memiliki anak usia sekolah, diharapkan lebih dulu minta izin ke kepala sekolah masing-masing.

"Saya disuruh memintakan izin selama seminggu untuk anak saya ke kepala sekolah," tuturnya.

Meskipun terlihat senang, wanita asal Nganjuk ini masih tetap khawatir mengenai kelangsungan jaminan pendidikan, kesehatan, dan makanan yang dijanjikan pemerintah selama tiga bulan. "Sekarang masih terlihat enak, enggak tahu nanti. Kalau satu bulan kerasan, saya akan lanjut. Kita ke sini untuk membuktikan jaminan pemerintah tersebut," paparnya sambil menidurkan bayinya yang berusia tiga bulan.

inu

sirkus

MESKIPUN sudah bertahun-tahun dilatih dan berkali-kali tampil di berbagai arena sirkus dengan atraksi yang sama, ternyata tidak mudah membujuk Bayu untuk menerobos lingkaran dengan kobaran nyala api. Saat digiring ke meja dudukan di depan lingkaran api tersebut, Bayu tidak bereaksi, diam.

Terang saja, "aksi diam" harimau putih asal India ini membuat dua pelatih yang memandu atraksi bingung. Setelah bujukan kedua, Bayu baru bersedia menerobos lingkaran api itu bolak-balik dengan meloncat. Bersamaan dengan lompatan mendebarkan itu, tepuk tangan ratusan penonton yang semula tertahan memecah ketegangan ruang tenda raksasa full AC asal Eropa berkapasitas 2.500 penonton tersebut.

Masih dalam rangkaian atraksi hewan pemakan daging tersebut, Ratu sempat ngambek saat digiring memasuki arena yang dibatasi pagar kawat setinggi sekitar tiga meter itu. Ngambeknya harimau benggala ini menghambat dua harimau lain yang terhambat masuk arena. Namun, setelah sepotong daging ayam diberikan, perlahan sambil menggigit daging itu, Ratu berjalan menuju "singgasananya" di samping Bayu.

Atraksi hewan langka yang nyaris punah ini hanyalah satu dari belasan rangkaian atraksi dalam pertunjukan sirkus dan akrobat hasil kolaborasi antara artis-artis Oriental Circus Indonesia (OCI) dengan artis-artis Akrobatik Sinchuan dari Cina yang digelar di Lapangan Parkir Surabaya Delta Plaza, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (3/4) sampai 28 April 2002. Atraksi lainnya tidak kalah menarik dan mendebarkan sehingga membuat penonton berdecak kagum penuh keheranan sambil bertanya: "Kok, bisa ya?"

MEMUNCULKAN pertanyaan di benak penonton pertunjukan sirkus dan akrobat yang sekaligus dimaksudkan untuk penggalangan dana bagi konservasi satwa liar di Taman Safari Indonesia ini ternyata bukan perkara mudah. Tengoklah bagaimana para artis dan hewan sirkus mempersiapkan diri sebelum pertunjukannya.

Seperti prajurit yang harus selalu siap bertempur, para artis dan pendukung acara pun harus selalu siap untuk tampil. Kesiapan ini dipupuk setiap hari dengan latihan di sela-sela pertunjukan. Waktu-waktu tersebut sekaligus dimanfaatkan untuk melatih kepaduan atraksi dua kelompok pertunjukan yang berasal dari dua negara berbeda yang baru bertemu beberapa hari sebelum pertunjukan dimulai.

"Meskipun dari dua negara yang berbeda dan belum lama bertemu, kepaduan dalam menampilkan antraksi dipermudah karena kesamaan asal guru. Guru kami juga berasal dari Cina," ujar Humas Taman Safari II Erry Soelistyono. Kepaduan dua kelompok pertunjukan itu terlihat manis saat para artis bergabung membuat atraksi menyusun tujuh kursi di atas meja dudukan.

Persiapan intensif dan kontinu itu juga dilakukan jauh sebelum pertunjukan di gelar di suatu tempat. Di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, tempat OCI bermarkas dan kemudian menjadi cikal bakal Taman Safari Indonesia, misalnya, terdapat pusat pendidikan sirkus. Setiap hari baik artis maupun hewan sirkus berlatih dan dilatih minimal dua kali, pagi dan sore.

DUA tim dengan masing-masing lima artis dari OCI yang didirikan tahun 1966 mengawali pertunjukan dengan unjuk ketangkasan pada ayunan dan gerakan salto di udara. Meskipun dipasang jaring pengaman di bawah, kesulitan gerakan membuat penonton tetap berdebar.

Disusul kemudian dengan atraksi lempar mangkuk oleh artis-artis dari Sinchuan sambil mengayuh sepeda satu roda. Dengan terus mengatur keseimbangan sepeda, tiga mangkuk dilemparkan ke tumpukan mangkuk lain di atas kepala masing-masing artis. Semua mangkuk yang dilempar tertumpuk tepat di atas mangkuk lainnya. Ketegangan lain yang selalu disertai dengan pelepasannya berupa riuh tepuk tangan selalu terasa dan terdengar setiap setelah satu atraksi mendebarkan ditampilkan.

Selain ketegangan, dalam pertunjukan dengan tiket masuk bervariasi antara Rp 10.000 sampai Rp 50.000 ini penonton dijamin akan geleng-geleng kepala atau malah berbahak-bahak melihat atraksi lain dari hewan sirkus seperti enam anjing pudel yang "pandai" berhitung, empat gajah sumatera yang pandai berjoged, maupun tiga harimau yang bisa meniti tali dan melompati kobaran api.

Untuk atraksi hewan ini, keterampilan yang ditampilkan hewan itu umumnya merupakan keterampilan alami hewan tersebut di alam bebas. Keterampilan alami tersebut dikembangkan dan diintensifkan sehingga menjadi suguhan yang menyegarkan.

Meskipun durasi pertunjukan hampir dua jam, penonton dijamin tak akan bosan, lantaran tampilnya tiga badut yang bermain sulap, melawak, atau merelakan diri ditertawakan karena kekonyolannya saat jeda waktu antaratraksi. Yang berniat sekadar tertawa tanpa harus banyak mencerna, tingkah polah tiga badut ini dapat menyegarkan pikiran dan tubuh yang penat.

inu

nelayan

BERTEMPAT di depan Bale Cilik, Desa Lumpur, Kecamatan Gresik, Gresik, Jawa Timur (Jatim), sekitar 100 anggota keluarga nelayan Lumpur berkumpul mengelilingi perahu tradisional khas Lumpur yang baru selesai dibuat, Senin (8/4/2002). Kumpulan orang makin bertambah saat modin mulai membacakan doa memohon keselamatan bagi perahu dan nelayan yang akan menggunakannya.

Usai doa yang dilakukan di atas perahu baru tersebut, nasi tumpeng, lauk pauk, dan sayurannya, kemudian diedarkan kepada semua yang hadir. Suasana gembira penuh keakraban segera tercipta dalam makan bersama yang dimaksudkan untuk selametan perahu baru yang diberi nama Sedep Malem tersebut. Masing-masing orang saling menawarkan makanan yang ada di depannya kepada yang lain.

Sementara sebagian besar nelayan menikmati nasi tumpeng yang terhidang, beberapa dari mereka yang telah selesai makan mencari tambang dan beberapa papan kayu. Setelah dapat, tambang diikatkan pada perahu dan beberapa papan kayu disusun menuju tepi Selat Madura yang berjarak sekitar 30 meter dari lokasi selametan.

"Ayo ditarik ramai-ramai ke laut," ujar seorang nelayan setelah semua selesai makan. Segera, perahu baru dengan panjang 9,5 meter itu ditarik ke tepi selat. Karena memotong jalan raya, dua nelayan di depan menghentikan truk peti kemas dan beberapa kendaraan yang akan melintas. Sepuluh menit kemudian, perahu yang masih penuh dengan sesaji seperti bunga mawar, bunga pohon jambe, dan dua batang tebu itu sudah berada di tepi Selat Madura dan siap dicoba.

"LEGA, akhirnya selesai juga perahu pesanan tersebut," ujar Subkan (50), nelayan yang sekaligus pembuat perahu tradisional khas Lumpur tersebut. Dibutuhkan 40 hari untuk menyelesaikan pembuatan perahu yang masuk kategori besar dengan panjang 9,5 meter. Selama waktu itu, pria yang sejak remaja menjadi nelayan tersebut tidak turun ke laut mencari ikan.

"Akan tetapi, karena saya juga senang mengerjakannya, tidak melaut untuk sementara pun enggak apa-apa," paparnya sambil berjalan menuju Bale Cilik tempat diadakannya selametan. Untuk perahu besar tersebut, dibutuhkan dana Rp 20 juta. Sementara untuk perahu yang lebih kecil dengan panjang 7,5 meter, dibutuhkan dana Rp 15 juta.

Uang itu sebagian besar digunakan untuk membeli bahan utama berberapa jenis kayu. Kayu-kayu yang diperlukan adalah jati, besi, ulin, dan bung. Kayu jati yang dibutuhkan dua sampai tiga meter kubik, dibeli di Lamongan. Harga kayu jati sekitar Rp 5 juta per meter kubik. Keuntungan yang diperoleh dari setiap pesanan sekitar Rp 2 juta.
Setelah semua kayu siap, pekerjaan membuat perahu dimulai. Diawali dengan membuat dasar perahu dari kayu besi yang keras. Setelah itu, kayu jati dengan ketebalan 3,5 cm dan 6 cm dipanasi dengan obor untuk dilengkungkan dan dipuntir. "Jati menjadi pilihan karena bentuknya cenderung tetap setelah dipanasi untuk dilengkung atau dipuntir," jelas Subkan.

Melengkungkan dan memuntir kayu jati merupakan pekerjaan tersulit. Untuk satu papan, diperlukan waktu minimal satu hari satu malam, padahal dibutuhkan empat papan untuk lambung sir perahu. Sementara melengkungkan dan memuntir papan-papan kayu, dibuat gading sebagai tulang perekat papan-papan tersebut. Kekuatan perahu terletak pada gading ini. Makin kokoh gadingnya, makin kuat dan tahan lama perahu tersebut.

Untuk semua perahu yang pernah dibuat Subkan, rata-rata usia pakainya antara 10 sampai 20 tahun. Selain perawatan, kekuatan perahu bergantung jenis kayu, dan jati adalah yang paling kuat. "Itu perahu pertama buatan saya. Sudah tidak layak untuk melaut, karena kayu yang dipakai adalah jenis meranti yang harganya lebih murah," ujarnya sambil menunjuk ke arah perahu yang sudah pudar catnya di tengah puluhan perahu lain.

KEAHLIAN membuat perahu dimiliki Subkan karena dia nekat mencoba-coba. Kenekatan ini kemudian berbuah. Kini, Subkan menjadi tumpuan lebih dari 100 pemilik perahu yang tergabung dalam kelompok nelayan Bale Cilik, Desa Lumpur. Selain melayani pesanan membuat perahu, umumnya pemilik perahu meminta dia memperbaiki perahu dengan memasang gading baru agar perahu yang sudah berumur bisa kokoh kembali dan aman dipakai melaut.

Saat ditanya peralatan apa yang digunakan untuk membuat atau memperbaiki perahu, ia tampak bingung. "Apa ya, enggak ada yang istimewa. Saya cuma memakai peralatan menukang seperti gergaji, golok, pahat, dan bor. Enggak ada yang aneh-aneh. Untuk mengukur dan menjaga keseimbangan, saya pakai perkiraan saja, enggak pakai meteran sama sekali," ujarnya.

Meskipun demikian, dari 13 perahu yang telah dibuatnya, tidak ada satu pun yang bermasalah, karena perahu-perahu tersebut dibuat dengan "pakem" yang sudah bertahan ratusan tahun. Pakem itu adalah model perahu tradisional Lumpur yang khas dengan cantikan menusuk di depan dan belakang perahu.

"Sejak zaman kakek-kakek saya, ya seperti itu model perahunya, enggak berubah, karena memang sudah teruji kekuatannya," ujar pria yang seluruh keluarganya turun-temurun bekerja sebagai nelayan. Perubahan yang dibuat biasanya berkaitan dengan hiasannya saja. Hiasan yang dimaksud adalah mahkota perahu yang disebut bejanggan, cantikan yang menyatu dengan dasaran perahu, topeng, dan tapak wangun yang merupakan ciri setiap perahu untuk membedakannya dengan perahu nelayan lain.

Sentuhan modernisasi pada perahu-perahu tradisional Lumpur terjadi tahun 1980-an, saat para nelayan menggunakan mesin sebagai penggerak perahu. Ini pun tidak mengubah sama sekali bentuk perahu, kecuali menanggalkan songgo layar yang sebelumnya menjadi salah satu cirinya. Bersamaan dengan ini, rumah-rumahan yang dibangun di atas perahu tidak ada lagi. Demi praktisnya, para nelayan menambah terpal plastik yang bisa digulung untuk melindungi diri dari teriknya sinar Matahari atau dinginnya embun pagi.

Mengenai hasil tangkapan, nelayan Bale Cilik yang jumlahnya sekitar 500 orang sangat bergantung pada alam dan musim. "Dua bulan terakhir susah sekali mencari ikan. Tetapi, bersamaan dengan selesainya musim hujan, hasil tangkapan beberapa hari terakhir mulai meningkat dengan nilai Rp 15.000. Lumayan, bisa untuk hidup," ujar Taufik, nelayan yang turut mencoba perahu Sedep Malem.

inu

barongsai

HARI masih pagi, namun Jalan Tambak Bayan Tengah, Surabaya, Jawa Timur (Jatim), sudah ramai oleh kerumunan orang yang umumnya berkaus, bercelana training, dan bersepatu olahraga. Keramaian makin bertambah menjelang pukul 08.00, Minggu (24/3/2002), saat acara "Pekan Muharram 2002" yang diselenggarakan Yayasan Dharma Mulia yang terletak di jalan tersebut dimulai.

Tepat pukul 08.00, enam remaja putra dengan kaus kuning bertuliskan nama yayasan tersebut maju membawa peralatan musik: dua tambur, tiga pasang pyeng-pyeng (simbal), dan satu canang. Selama lima menit, tiga jenis alat musik itu dibunyikan dan berpadu harmonis membuka acara.

Usai pembukaan, sekitar 70 orang berjalan berarak dalam rombongan dengan membawa barongsai, liong, dan alat musik menuju jembatan pojok di ujung Jalan Tambak Bayan. Di jembatan itu rombongan "tuan rumah" Dharma Mulia dan Karya Surya Harapan Kesejahteraan (KSHK) menjemput tiga rombongan Boen Bio, Budi Luhur, dan Lima Bhakti yang sudah menunggu dengan peralatan lengkap.

Sesudah para ketua rombongan saling memberi hormat, semua tambur dibunyikan bersama-sama. Sejenak kemudian, pawai barongsai menuju Jalan Tambak Bayan Tengah No 38 sejauh 500 meter dimulai. Panji-panji rombongan berbaris di depan diikuti pembawa dua liong, lima barongsai, dan pengiring musik.

Mendengar semarak musik dibarengi atraksi liong yang berputar-putar meliuk-liukkan badan dan loncatan-loncatan barongsai, warga di sepanjang jalan yang lebarnya tiga meter itu keluar rumah. Mereka berkerumun menyaksikan pawai yang melewati rumah mereka.

Di salah satu halaman rumah tergantung sebuah amplop merah (angpao) setinggi sekitar tiga meter. Melihat ini, satu barongsai yang dikendalikan dua orang beratraksi untuk mengambilnya. Saat berhasil "menggigit" angpao tersebut, tepuk tangan rombongan lain dan warga yang menyaksikan lantas bergemuruh.

Tiba di halaman yayasan, liong dan barongsai berbaris menunggu giliran untuk memberi penghormatan kepada leluhur yang ada di dalam gedung yayasan. Sementara itu, rombongan lain duduk berkelompok membuat lingkaran. Selesai memberi penghormatan, masing-masing rombongan beratraksi unjuk ketangkasan mulai dari memainkan barongsai, liong, tambur, dan wushu, di dalam lingkaran.

Berturut-turut mulai dari rombongan Budi Luhur, Boen Bio, Lima Bhakti, dan tuan rumah unjuk kebolehan. Anggota rombongan lain dan warga sekitar dari berbagai latar belakang etnis berbaur menyaksikan dan memberikan tepukan tangan setiap usai satu rombongan tampil. "Hebat banget," ujar Amui (34) sambil menggelengkan kepala saat menyaksikan barongsai yang meloncat-loncat dari satu papan ke papan lain di atas meja.

ACARA yang baru pertama kali diadakan ini diprakarsai Yayasan Dharma Mulia yang didirikan kembali 17 juli 2001. Didirikan kembali, karena yayasan ini merupakan kelanjutan dari yayasan Kuang Chau Li Tze Sheh yang ditutup pemerintah tahun 1958 setelah empat tahun berdiri.

Bersamaan dengan bergulirnya reformasi, muncul harapan untuk membuka kembali yayasan. "Pada bulan Juli 2001 saya dipanggil tetua-tetua yayasan yang masih hidup. Dalam pertemuan tersebut saya disuruh memimpin yayasan agar hidup kembali seperti dahulu," jelas ketua yayasan Wen Chi Liang (60).

"Setelah yayasan berdiri, pada momentum tahun baru Imlek 2553 (2002) setelah sembahyang kepada leluhur, kami bertekad untuk bangkit kembali," tambahnya. Pekan Muharram 2002 dipakai untuk menandai bangkitnya kembali aktivitas yayasan yang terbuka untuk umum seperti olahraga dan kesenian.

Selain itu, acara yang diawali dengan senam poco-poco ini dimaksudkan untuk menumbuhkan benih-benih kesatuan dan kerukunan antarwarga yang kaya akan keragaman etnis dan budaya. Keragaman ini tercermin juga dari rombongan pengisi acara. Sebagai gambaran, atraksi liong dan tambur Budi Luhur didukung puluhan orang dari beragam etnis. Bahkan, hanya tiga anggota dari 20 anggota yang beretnis Tionghoa, lainnya dari etnis yang beragam.

Untuk agenda kegiatan berikutnya, yayasan menggiatkan acara olahraga seperti bela diri, bulu tangkis, bola voli, dan pingpong. Siapa saja, dari etnis dan dengan latar belakang apa saja dipersilakan bergabung asalkan bersedia tertib dan disiplin.

SEBELUM acara puncak pembagian sembilan bahan pokok (sembako) kepada 150 warga sekitar yayasan yang tidak mampu, tuan rumah menyuguhkan atraksi pembuka acara pemberian jiwa kepada barongsai baru. Atraksi yang dilakukan anak-anak muda itu antara lain mengangkat orang dengan koran, membengkokkan besi cor dengan leher, mematahkan sumpit dengan leher, dan memecah kelapa muda dengan sikut.

Usai atraksi, dua remaja tampil ke depan dengan barongsai belum "berjiwa" di sebelahnya. Setelah memberi hormat kepada ketua yayasan, dua remaja itu memainkan beberapa jurus bela diri diiringi musik. Setelah itu, dikenakannya barongsai belum "berjiwa" tersebut.

Ketua yayasan kemudian mengambil kuas dengan cat berwarna merah lalu memberi "jiwa" pada barongsai dengan mengoleskan cat di kedua matanya. Dengan diiringi musik yang makin keras dan cepat, barongsai baru meloncat-loncat penuh energi, dan menari-nari seakan menandai yayasan yang bangkit kembali.

inu

bojonegoro

APA ya...? Enggak ada sepertinya. Hutan jati sudah hampir habis dibabat, obyek wisata Kayangan Api, karena terpencil, saya belum pernah lihat," tutur Mali (21), Selasa (26/3/2002) lalu, ketika diminta menyebutkan keistimewaan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur (Jatim) tempatnya dibesarkan.

Saat ditemui, pemuda asal Kecamatan Kedungadem ini sedang dalam perjalanan kembali ke Yogyakarta tempatnya kuliah mengambil jurusan Manajemen Informatika setelah libur seminggu. Ketika ditanya kenapa tidak kuliah di Bojonegoro, mahasiswa semester empat ini berdalih: "Saya tidak yakin dengan kualitas pendidikan tinggi di sini. Lagipula, jurusan yang saya minati tidak ada".

Apa yang diutarakan Mali, memotret permasalahan yang kemudian menjadi kendala kabupaten dengan luas wilayah 2.307,06 km2 ini dalam menghadapi otonomi daerah. Setidaknya, ia menyebutkan tiga dari sekian banyak kendala yang hendak diatasi kabupaten ini, yaitu pengelolaan dan penjarahan hasil hutan, penyediaan prasarana terutama jalan, dan mutu pendidikan.

Kendala lain yang lebih mendasar adalah kemiskinan. Menurut catatan Badan Pusat Statistik Provinsi Jatim tahun 2001, sebanyak 28,61 persen dari 1.165.401 penduduk Bojonegoro tergolong miskin.

Catatan ini menempatkan kabupaten dengan 27 kecamatan ini dalam kategori kabupaten miskin di Jatim bersama Sampang (45,69 persen), Bondowoso (39,85 persen), Ponorogo (31,59 persen), dan Pacitan (31,31 persen).

KEMISKINAN sebenarnya sulit dipercaya bisa bercokol di Bojonegoro jika mengingat potensi alam yang dimilikinya seperti hutan jati terbesar di Jatim dan melimpahnya kandungan minyak yang belakangan mulai disadari dan dilirik investor. Namun, itulah yang terjadi, juga di tengah otonomi yang sudah satu tahun berjalan.

"Bagaimana bisa segera beranjak dari kemiskinan kalau potensi utama daerah kami masih juga dikuasai pemerintah pusat," keluh Bupati Bojonegoro Atlan. Potensi yang dimaksudkan adalah hutan jati, pertanahan, dan minyak. Berkali-kali bupati asal Madura ini melakukan negosiasi dengan pemerintah mengenai pengelolaan dan persentase bagi hasil, namun belum banyak membuahkan hasil.

Bahkan, untuk rencana eksploitasi minyak, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro merasa dilecehkan oleh Mobile Cepu Limited (MCL) yang tidak memperhitungkannya dengan alasan sudah mendapat izin dari pusat. Jika MCL tidak mempedulikan pemkab, Atlan mengancam akan menghentikan rencana eksploitasi minyak di Desa Malo dan Kasiman. "Izin lokasi saja belum kami berikan. Dan, jika nekat, kami tidak akan segan menghentikannya," tegasnya.

Sambil terus melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat, Pemkab Bojonegoro berupaya mengatasi kemiskinan dan ketertinggalan daerahnya. Secara konkret, upaya mengatasi kemiskinan dan mengejar ketertinggalan ini dituangkan dalam pilihan prioritas penanganan kendala, yaitu pembangunan prasarana termasuk jalan, pendidikan, dan pengentasan masyarakat miskin.

Pengadaan prasarana termasuk jalan diprioritaskan agar isolasi wilayah dapat dibuka dan pertumbuhan ekonomi masyarakat dipastikan meningkat. Untuk prioritas ini, disediakan dana sekitar Rp 22 milyar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2002. "Setelah jalan kecamatan di-hotmix, selanjutnya adalah jalan desa termasuk pengadaan sarana angkutan," tutur Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bojonegoro Masruchin Irfan.

Hal yang lebih pelik untuk mengatasi ketertinggalan adalah peningkatan mutu pendi-dikan. Dari prioritas ini hendak dicapai tiga hal, yaitu meningkatkan persentase wajib belajar sembilan tahun, meningkatkan mutu pendidikan, dan memberikan bekal tambahan bagi peserta didik yang umumnya tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

Secara persentase, peningkatan jumlah peserta didik wajib belajar sembilan tahun memang menggembirakan. Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bojonegoro tahun 2001, sebanyak 99 persen anak usia 7-12 tahun duduk di bangku sekolah dasar dan 86,21 persen anak usia 13-15 tahun duduk di bangku sekolah lanjutan. Artinya, target 95 persen peserta didik wajib belajar sembilan tahun pada tahun 2002-2003 akan segera bisa dicapai.

Namun, masalahnya justru muncul setelah peserta didik lulus sekolah lanjutan pertama. Hanya 47,24 persen atau 21.029 anak usia 16-18 tahun yang duduk di sekolah lanjutan atas. Lebih problematis lagi, dari jumlah tersebut tidak lebih dari 14 persen yang melanjutkan ke perguruan tinggi.

Dari data ini bisa dilihat bagaimana mutu angkatan kerja di Bojonegoro yang sebagian besar lulusan sekolah lanjutan pertama. Apa yang bisa diharapkan dari lulusan sekolah lanjutan pertama atau bahkan sekolah lanjutan atas sekalipun. Kalau hanya mengandalkan bekal akademis, tidak banyak yang bisa dilakukan.

MENYADARI kondisi ini, sejak dua tahun terakhir Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bojonegoro menerapkan kebijakan Manajemen Pendidikan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dan, atas kebijakan dimana sekolah dapat menentukan sendiri muatan lokal, masyarakat luas cukup memberi perhatian. Ini terlihat dari partisipasi mereka.
Untuk prioritas pendidikan ini, pemkab mengucurkan dana sekitar Rp 18 milyar dari APBD 2002 yang berjumlah Rp 297 milyar. Dana tersebut sekaligus dialokasikan untuk program beasiswa penuh kepada mereka yang benar-benar tidak mampu, namun memiliki prestasi. "Kami sadar, pendidikan adalah investasi jangka panjang dan perlu terus ditindaklanjuti," jelas Atlan.

inu

kerajinan

ENGGAK nyangka. Semula saya enggak telalu banyak berharap. Yang ada di benak saya, Gresik adalah kota kecil. Tetapi, belum juga pesta kerajinan dibuka, pengunjung sudah berjubel. Supaya mereka tidak kecewa, kami sepakat membuka pesta kerajinan ini sehari sebelum waktu yang sudah direncanakan," papar Syaiful Anies, memberi gambaran antusiasme masyarakat "kota pudak" Gresik untuk datang ke Pesta Kerajinan Jogja (PKJ) yang ia koordinir.

Tidak hanya itu, acara yang sesuai izin yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata Informasi dan Komunikasi (Disparinkom) Kabupaten Gresik harus ditutup pukul 22.00, akhirnya baru ditutup pukul 23.00. Alasannya sama, selepas batas waktu yang diizinkan, Sabtu (16/3/2002), pengunjung PKJ yang digelar di Gedung Nasional Indonesia yang letaknya di pusat Kota Gresik, masih memenuhi ruangan tanpa pendingin itu.

Pada hari berikutnya, Minggu, saat secara resmi PKJ dibuka untuk selama 10 hari berikutnya, pengunjung tetap membeludak. Terang saja, hal yang semula tidak diduga ini membawa berkah bagi 28 perajin yang ambil bagian dalam pesta kerajinan yang baru pertama kali digelar di Gresik ini.

"Hasil penjualan dalam dua hari ini menggembirakan, dengan omzet masing-masing perajin bervariasi antara Rp 500.000 sampai Rp 1,5 juta," jelas Nanda, Senin (18/3). Omzet penjualan hasil karya perajin batik kontemporer asal Yogyakarta ini dalam dua hari rata-rata mencapai sekitar Rp 1,5 juta.

ADALAH Paguyuban Perajin Indonesia (PPI) yang menggagas acara PKJ di Gresik ini. Dengan persiapan hanya dua minggu, Koordinator PPI Syaiful Anies mulai menghubungi semua instansi dan dinas terkait di Gresik untuk memperoleh izin tempat dan waktu pameran. "Karena mepetnya waktu, kami hanya mampu memasang delapan spanduk pameran dari 20 yang kami siapkan," ujar dia.

Gresik dipilih sebagai tempat PKJ, menurut Syaiful, merupakan langkah kebetulan dari rencana semula di Balai Pemuda, Surabaya, yang gagal terwujud karena gedung akan dipakai untuk suatu acara salah satu partai. "Gresik kami pilih karena lokasinya dekat dengan Surabaya, sehingga buyer langganan kami di Surabaya tidak perlu bersusah-susah mencari hasil kerajinan kami," ujar perajin batik dan pemilik Butik Gentong ini.

Karena berupa paguyuban dalam arti sesungguhnya, di mana keguyuban menjadi nilai utama, perpindahan tempat tidak terlalu membawa masalah bagi para perajin. "Kami sudah seperti grup ketoprak tobong tahun 70-an dulu yang berkeliling dari satu kota ke kota lain. Karena keakraban dan kesediaan untuk saling membantu, boyongan ke Gresik berjalan lancar," tutur Ketua PPI Suwarto Peyot.

Belum selesai PKJ di Gresik, PPI sudah mendapat tawaran untuk menyelenggarakan pameran serupa di Malang, Jawa Timur (Jatim). Tawaran pameran selama satu bulan ini merupakan kelanjutan dari suksesnya acara yang mereka gelar bulan Oktober 2001 di Malang. Dan, dalam semangat paguyuban, untuk menanggapi tawaran tersebut, malam seusai pameran anggota PPI berembuk.

Selain hasil kerajinan kulit dan batik, dalam pameran yang akan dibuka sampai 27 Maret ini dipamerkan dan dijual juga hasil kerajinan perak, relief batu, kayu, rotan, bonggol bambu, gerabah, kap lampu dari batu, dan kerajinan lainnya. Yang jelas, tidak ada perajin dengan hasil yang sama dalam satu pameran.

APAKAH PPI hanya menampung perajin asal Yogyakarta saja? Ternyata tidak. Dalam pameran yang sudah dilakukan PPI selama lebih dari 16 kali setiap bulan di Surabaya dan beberapa kali di Malang dan Jakarta, terdapat juga perajin dari luar Yogyakarta seperti perajin lampu motif Jepang asal Lamongan, dan perajin batik asal Solo, Jawa Tengah (Jateng).

Suwarto berharap, jika nanti perajin dari daerah lain bisa tergabung dalam paguyuban, pameran kerajinan tidak lagi hanya bernama Pesta Kerajinan Jogja, tetapi bisa Pesta Kerajinan Gresik, Malang, atau daerah-daerah lain. Kalau memungkinkan, perajin yang memiliki delapan karyawan ini berharap bisa menggelar pameran dengan skala yang lebih besar dengan nama Pesta Kerajinan Indonesia, misalnya.

inu