APA ya...? Enggak ada sepertinya. Hutan jati sudah hampir habis dibabat, obyek wisata Kayangan Api, karena terpencil, saya belum pernah lihat," tutur Mali (21), Selasa (26/3/2002) lalu, ketika diminta menyebutkan keistimewaan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur (Jatim) tempatnya dibesarkan.
Saat ditemui, pemuda asal Kecamatan Kedungadem ini sedang dalam perjalanan kembali ke Yogyakarta tempatnya kuliah mengambil jurusan Manajemen Informatika setelah libur seminggu. Ketika ditanya kenapa tidak kuliah di Bojonegoro, mahasiswa semester empat ini berdalih: "Saya tidak yakin dengan kualitas pendidikan tinggi di sini. Lagipula, jurusan yang saya minati tidak ada".
Apa yang diutarakan Mali, memotret permasalahan yang kemudian menjadi kendala kabupaten dengan luas wilayah 2.307,06 km2 ini dalam menghadapi otonomi daerah. Setidaknya, ia menyebutkan tiga dari sekian banyak kendala yang hendak diatasi kabupaten ini, yaitu pengelolaan dan penjarahan hasil hutan, penyediaan prasarana terutama jalan, dan mutu pendidikan.
Kendala lain yang lebih mendasar adalah kemiskinan. Menurut catatan Badan Pusat Statistik Provinsi Jatim tahun 2001, sebanyak 28,61 persen dari 1.165.401 penduduk Bojonegoro tergolong miskin.
Catatan ini menempatkan kabupaten dengan 27 kecamatan ini dalam kategori kabupaten miskin di Jatim bersama Sampang (45,69 persen), Bondowoso (39,85 persen), Ponorogo (31,59 persen), dan Pacitan (31,31 persen).
KEMISKINAN sebenarnya sulit dipercaya bisa bercokol di Bojonegoro jika mengingat potensi alam yang dimilikinya seperti hutan jati terbesar di Jatim dan melimpahnya kandungan minyak yang belakangan mulai disadari dan dilirik investor. Namun, itulah yang terjadi, juga di tengah otonomi yang sudah satu tahun berjalan.
"Bagaimana bisa segera beranjak dari kemiskinan kalau potensi utama daerah kami masih juga dikuasai pemerintah pusat," keluh Bupati Bojonegoro Atlan. Potensi yang dimaksudkan adalah hutan jati, pertanahan, dan minyak. Berkali-kali bupati asal Madura ini melakukan negosiasi dengan pemerintah mengenai pengelolaan dan persentase bagi hasil, namun belum banyak membuahkan hasil.
Bahkan, untuk rencana eksploitasi minyak, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro merasa dilecehkan oleh Mobile Cepu Limited (MCL) yang tidak memperhitungkannya dengan alasan sudah mendapat izin dari pusat. Jika MCL tidak mempedulikan pemkab, Atlan mengancam akan menghentikan rencana eksploitasi minyak di Desa Malo dan Kasiman. "Izin lokasi saja belum kami berikan. Dan, jika nekat, kami tidak akan segan menghentikannya," tegasnya.
Sambil terus melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat, Pemkab Bojonegoro berupaya mengatasi kemiskinan dan ketertinggalan daerahnya. Secara konkret, upaya mengatasi kemiskinan dan mengejar ketertinggalan ini dituangkan dalam pilihan prioritas penanganan kendala, yaitu pembangunan prasarana termasuk jalan, pendidikan, dan pengentasan masyarakat miskin.
Pengadaan prasarana termasuk jalan diprioritaskan agar isolasi wilayah dapat dibuka dan pertumbuhan ekonomi masyarakat dipastikan meningkat. Untuk prioritas ini, disediakan dana sekitar Rp 22 milyar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2002. "Setelah jalan kecamatan di-hotmix, selanjutnya adalah jalan desa termasuk pengadaan sarana angkutan," tutur Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bojonegoro Masruchin Irfan.
Hal yang lebih pelik untuk mengatasi ketertinggalan adalah peningkatan mutu pendi-dikan. Dari prioritas ini hendak dicapai tiga hal, yaitu meningkatkan persentase wajib belajar sembilan tahun, meningkatkan mutu pendidikan, dan memberikan bekal tambahan bagi peserta didik yang umumnya tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Secara persentase, peningkatan jumlah peserta didik wajib belajar sembilan tahun memang menggembirakan. Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bojonegoro tahun 2001, sebanyak 99 persen anak usia 7-12 tahun duduk di bangku sekolah dasar dan 86,21 persen anak usia 13-15 tahun duduk di bangku sekolah lanjutan. Artinya, target 95 persen peserta didik wajib belajar sembilan tahun pada tahun 2002-2003 akan segera bisa dicapai.
Namun, masalahnya justru muncul setelah peserta didik lulus sekolah lanjutan pertama. Hanya 47,24 persen atau 21.029 anak usia 16-18 tahun yang duduk di sekolah lanjutan atas. Lebih problematis lagi, dari jumlah tersebut tidak lebih dari 14 persen yang melanjutkan ke perguruan tinggi.
Dari data ini bisa dilihat bagaimana mutu angkatan kerja di Bojonegoro yang sebagian besar lulusan sekolah lanjutan pertama. Apa yang bisa diharapkan dari lulusan sekolah lanjutan pertama atau bahkan sekolah lanjutan atas sekalipun. Kalau hanya mengandalkan bekal akademis, tidak banyak yang bisa dilakukan.
MENYADARI kondisi ini, sejak dua tahun terakhir Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bojonegoro menerapkan kebijakan Manajemen Pendidikan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dan, atas kebijakan dimana sekolah dapat menentukan sendiri muatan lokal, masyarakat luas cukup memberi perhatian. Ini terlihat dari partisipasi mereka.
Untuk prioritas pendidikan ini, pemkab mengucurkan dana sekitar Rp 18 milyar dari APBD 2002 yang berjumlah Rp 297 milyar. Dana tersebut sekaligus dialokasikan untuk program beasiswa penuh kepada mereka yang benar-benar tidak mampu, namun memiliki prestasi. "Kami sadar, pendidikan adalah investasi jangka panjang dan perlu terus ditindaklanjuti," jelas Atlan.
inu
Friday, February 22, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment