Friday, February 22, 2008

mbecak

HAMPIR sepanjang hari, Jupri (45), pedagang bakso dan es degan (kelapa muda-Red) yang ditampung di sisi barat Pasar Baru, Gresik, hanya duduk termangu. Sudah lewat tengah hari, belum seorang pun membeli dagangan pria asal Lamongan ini. Sebelum ditampung di penampungan yang jauh dari jalan raya ini, Jupri dan ratusan pedagang lain berjualan di sepanjang Jalan Gubernur Suryo.

Karena sepinya pembeli di tempat penampungan ini, sejumlah pedagang kaki lima (PKL) sudah tidak lagi berjualan. Puluhan tenda dan gerobak dorong dibiarkan saja dengan hanya ditutup terpal plastik. "Banyak dari PKL setelah dipindah di sini kehabisan modal, karena sepi dan tidak bisa lagi berjualan," ujar Jupri, Rabu (6/3/2002).

Selain para penjual bakso, PKL yang ditampung di tempat yang sama dengan para pedagang sayur-mayur ini adalah penjual pakaian, alat-alat rumah tangga, video compact disc (VCD), dan barang pecah belah lainnya. Lebih dari separuh PKL di tempat penampungan itu sejak beberapa hari terakhir tidak lagi berjualan.

Para PKL terpaksa pindah ke tempat penampungan setelah operasi penertiban digelar di sepanjang Jalan Gubernur Suryo sejak 18 Februari lalu. Tidak ada perlawanan dalam penertiban itu karena ada kesepakatan sebelumnya bahwa para PKL akan dicarikan tempat membuka usaha, yaitu di tempat penampungan tersebut.

"Mau gimana, seminggu saya coba berjualan, modal tidak juga kembali. Karena tidak punya modal lagi, saya tutup saja daripada terus merugi," tutur Munadi (29). Meskipun tidak berjualan, Munadi tetap juga ke tempat penampungan karena tidak ada kegiatan lain. Di penampungan itu, Munadi dan beberapa temannya hanya duduk-duduk melingkar bercengkerama sambil bermain kartu.

Mengenai kehabisan modal usaha karena sepinya pembeli di tempat penampung dialami juga oleh Jupri. Karena itu, dua hari terakhir ayah dua anak ini tidak berjualan. "Dua hari terakhir saya enggak jualan karena modal habis. Saya kembali berjualan setelah mendapatkan utangan dari saudara saya," katanya.

Jupri terpaksa mencari-cari utangan karena tidak lagi menemukan jalan lain untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup yang makin bertambah. Kampung halaman yang umumnya menjadi pilihan para PKL lain tidak dipilihnya karena ia sudah tidak punya sawah untuk digarap. "Ke kampung saya malu, mau mbecak sudah enggak mampu," tuturnya lirih.

LAIN lagi dengan Abukhori (34), pedagang bakso yang juga kehabisan modal usaha. Abukhori kapok berjualan karena terus merugi lantaran sepi pembeli. Karena itu, pria asal Lamongan ini beralih profesi untuk tetap bisa menghidupi tiga anak dan istrinya. "Karena masih kuat, saya menyewa becak untuk mencari nafkah. Modalnya sehari cuma Rp 2.000, ditambah tenaga," ujarnya.

Sebelum menjadi pengayuh becak, Abukhori sempat berjualan di tempat penampungan selama seminggu. Namun, karena tidak ada pemasukan, modal Rp 400.000 miliknya ludes. Dan, mengayuh becak menjadi pilihan terakhirnya untuk tetap bisa membiayai keluarga.

Pilihan mengayuh becak bukan hanya ditempuh Abukhori. Puluhan PKL yang kehabisan modal juga terpaksa mengambil profesi ini. Akibatnya, Jalan Gubernur Suryo yang memang cukup bersih dari PKL, dalam beberapa hari terakhir penuh dengan penarik becak yang memarkir becaknya di pinggir jalan. Jalan yang sempat rapi kini kembali semrawut. Bukan karena PKL, tetapi karena PKL yang beralih profesi menjadi pengayuh becak.

Para PKL sudah menyampaikan keluhan ini kepada pengelola pasar yang memberi mereka tempat penampungan setelah mereka ditertibkan, namun belum juga mendapat tanggapan. Karena memang tidak mampu lagi berjualan, beberapa wakil PKL mendatangi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Gresik untuk menyampaikan tuntutan.

Tuntutan para PKL cukup mendasar, mereka meminta anggota DPRD memperjuangkan nasib mereka. "Kami mohon anggota DPRD memikirkan nasib kami, ratusan PKL dan keluarganya yang sudah tiga minggu tidak mendapatkan penghasilan," jelas Tohirin, wakil PKL yang hendak menyampaikan tututannya ke anggota DPRD, Selasa pekan lalu.

Untuk bahan pemikiran para anggota DPRD, para PKL melalui Tohirin memberikan dua pilihan pemecahan. Pertama, untuk jangka pendek para PKL menuntut agar mereka diperbolehkan kembali berjualan di sepanjang Jalan Gubernur Suryo dengan sistem bongkar-pasang dan jam. Kedua, untuk jangka panjang, para PKL meminta anggota DPRD memikirkan tempat permanen untuk diusulkan ke pemerintah kabupaten.

"Untuk jangka pendek memang lebih menguntungkan pilihan pertama, namun untuk jangka panjang, pilihan kedua harus sungguh-sungguh dipikirkan. Untuk itu, kami mengusulkan Sub-Terminal Gubernur Suryo sebagai lokasi penampungan kami," jelas Tohirin.

Namun, sama seperti keluhan yang disampaikan kepada pengelola pasar, tuntutan yang disertai dengan pilihan pemecahan masalah para PKL ke anggota DPRD juga belum mendapat tanggapan. Dan, jika terus tidak mendapat tanggapan dan pemecahan sehingga terus merugi, sejumlah PKL yang masih bertahan di tempat penampungan berencana berjualan kembali di lokasi sebelum mereka ditertibkan.

"Selama ini kami masih patuh dan tidak melawan seperti ketika ditertibkan beberapa minggu lalu. Namun, kalau kenyataannya memang terus begini, dan kami tidak bisa makan, jangan salahkan kami jika kembali berjualan dan melawan jika ditertibkan kembali," ujar seorang PKL yang juga datang ke Gedung DPRD.

inu

No comments: