Friday, February 22, 2008

pegel

WIS pegel lan jenuh ngadepine," ungkap Shohib (54), nelayan tradisional asal Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik, dengan logat Jawa Timur (Jatim) yang kental. Jika diterjemahkan, artinya kira-kira sudah lelah dan jenuh menghadapinya.

Terang saja, sahutan teriakan "betul!" dari sekitar 150 nelayan tradisional langsung menggema di Pendopo Kecamatan Ujungpangkah, tempat dilaksanakannya pertemuan antara nelayan Gresik dengan nelayan Lamongan.

Ungkapan yang disampaikan pria bertubuh gempal ini telontar untuk memberi penjelasan kenapa ratusan nelayan tradisional Kecamatan Ujungpangkah akhirnya beroperasi ke laut, menangkap 16 perahu mini-trawl, dan kemudian menyitanya, 9 Maret 2002.

Selain alasan di atas, operasi ini mereka lakukan bersama-sama guna menyelamatkan habitat laut yang rusak, dan menyelamatkan mata pencaharian ratusan atau bahkan ribuan nelayan yang sudah turun-temurun, dari generasi ke generasi, menggantungkan hidup dari perairan tepi Laut Jawa yang berada di utara Kecamatan Ujungpangkah.
Perahu-perahu yang diamankan para nelayan terdiri dari delapan perahu nelayan Desa Sidokumpul, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, empat dari Desa Warulor, kecamatan dan kabupaten yang sama, dan empat lagi dari Desa Campur Rejo, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik. Ke-16 perahu yang disita ini disimpan dan dijaga belasan nelayan lain di muara Sungai Bengawan Solo.

"Sekali lagi, operasi kami ini merupakan ungkapan kejenuhan kami setelah bertahun-tahun menyaksikan habitat laut kami dirusak oleh beroperasinya ratusan perahu mini-trawl, tanpa ada tindakan tegas para aparat. Belakangan ini kami tidak lagi bisa tersenyum lebar ketika pulang melaut," ujar Shohib yang lantas terdiam. Dari diamnya pria yang kulitnya hitam terbakar terik matahari ini menuntut agar penggunaan mini-trawl dihentikan.

SEBALIKNYA, 32 nelayan dari ke-16 perahu itu bukan tanpa alasan menggunakan mini trawl atau dalam istilah mereka sejenis jaring payang yang dimodifikasi. Alasan yang mereka ungkapkan lewat wakil-wakilnya juga sangat mendasar, dan membuat orang yang mendengarknya tertegun.

"Soal habitat laut yang rusak butuh penelitian lebih lanjut. Tetapi yang jelas, penggunaan jaring tersebut merupakan upaya kami untuk bertahan dari makin sulitnya hidup," jelas Moch Syaiku, Kepala Desa Sumber Rejo, yang hadir di pendopo mewakili warganya yang tertangkap.

Lebih lanjut Syaiku menuturkan, sejak menggunakan payang modifikasi yang dimulai akhir tahun 1980 tersebut, ratusan nelayan di desanya bisa hidup lebih baik. Ia menyebutkan, pembangunan sarana umum seperti mushala dan jalan sebagai bukti dari meningkatnya kehidupan warganya.

"Penggunaan payang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat nelayan kami. Seandainya dilarang, mau makan apa kami. Sementara pemerintah saja sampai sekarang belum bisa menuntaskan masalah boleh tidaknya kami memakai apa yang disebut mini-trawl itu," tambah Syaiku, disertai anggukan puluhan warga yang turut hadir di pendopo.

Dasar alasan yang dikemukakan dua kelompok nelayan di dua kabupaten yang letaknya bertetangga ini membuat aparat penegak hukum dan pemerintahan yang hadir sejak pukul 09.00 kesulitan mengambil keputusan. Sampai pukul 13.00, Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor (Polres) Gresik Ajun Komisaris Sudibyo, Kepala Unit Satuan Polisi Air dan Udara (Polairud) Gresik Ajun Komisaris Sumedi, Camat Ujungpangkah Sabar, staf Dinas Kelautan dan Perikanan Gresik Sanusi tertegun di kursi deretan depan.

Mereka kemudian mempersilakan dua kelompok nelayan berdialog lebih lanjut untuk mengatasi permasalahan dengan membuat kesepakatan bersama. Dua kelompok nelayan kemudian berkerumun dalam kelompoknya masing-masing dengan satu atau dua orang diutus sebagai wakil untuk berdialog. Karena, jumlah nelayan yang melebihi kapasitas pendopo, mereka berpencar dan berkumpul di halaman atau teras beberapa rumah yang dekat dengan pendopo.

Setelah satu jam, mereka kembali ke pendopo dengan menggenggam empat butir kesepakatan yang siap dibacakan. Moderator acara kemudian membacakannya, kemudian disusul dengan penjelasan dalam bahasa Jawa karena nelayan yang sudah lanjut usia hanya mengerti bahasa tersebut.

"Pertama, perahu mini-trawl dilarang menepi ke wilayah laut dengan kedalaman lebih kecil dari 30 depa. Kedua, nelayan Ujungpangkah berhak menangkap perahu yang melanggar butir pertama. Ketiga, perahu yang melanggar kesepakatan pertama harus dibakar oleh juragan dengan disaksikan kepala desa. Keempat, jika juragan tidak hadir, kepala desa yang akan membakarnya," tutur moderator yang diikuti bisik-bisik para nelayan.

Mendengar butir-butir kesepakatan ini, aparat penegak hukum terkaget-kaget, terutama untuk butir yang ketiga dan keempat, mengingat para nelayan mengharapkan mereka menandatanganinya. "Sebagai aparat penegak hukum, bodoh kalau saya menandatanganinya. Itu sama saja mempersilakan masyarakat main hakim sendiri. Dua butir pertama bagus, tetapi butir berikutnya, tidak tepat," tegas Sudibyo.

Para nelayan yang polos dan sederhana cara berpikirnya, juga tidak kalah kagetnya mendengar penolakan aparat penegak hukum untuk membubuhkan tanda tangan. "Sebelumnya kami mohon maaf. Butir-butir kesepakatan ini kami buat sedemikan keras, karena lewat pengalaman yang sudah-sudah, penegakan hukum oleh para aparat sangat lemah.

Kejadian sama terus berulang, karena sanksi tidak membuat pelaku jera. Kami sudah jenuh," tutur Nadlim, nelayan Ujungpangkah yang seolah mewakili unek-unek ribuan nelayan di pantai utara Lamongan, Jatim.

Ketegangan seperti awal pembicaraan kembali muncul. Kali ini intensitasnya meningkat karena panas terik semakin menguras energi para nelayan. Di tengah hampir putus asanya para nelayan, diambil pemecahan bahwa kesepakatan itu dibuat menjadi pernyataan kedua kelompok nelayan dengan saksi para kepala desa. Aparat penegak hukum tidak turut dalam pernyataan tersebut.

"Akan tetapi, bukan berarti kami tinggal diam jika ada pelanggaran hukum. Acuan kami bertindak adalah hukum. Ada atau tidak hukum yang dilanggar, dan kalau ada akan kami sikat. Jika tidak puas dengan sanksi yang ditetapkan hakim di pengadilan, usulkan untuk mengubah undang-undangnya," jelas Sudibyo sambil menyebut bahwa Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 dan undang-undang (UU) tentang perikanan tahun 1980 sebagai dasar acuan penegakan hukum.

Meskipun masih menyangsikan keseriusan aparat melakukan operasi dan tindakan tegas, pernyataan dalam selembar kertas kemudian dibuat oleh kedua kelompok nelayan, dan akan diberlakukan untuk masa-masa mendatang sambil memegang jaminan penegakan hukum oleh aparat. Dengan ditandatanganinya pernyataan ini, para nelayan Ujungpangkah akan mengembalikan 16 perahu yang disita kepada pemiliknya.

Usai penandatanganan, ratusan nelayan kedua kelompok juga aparat penegak hukum dan pemerintahan-makan bersama di sebuah warung makan. Suasana yang sebelumnya tegang dan memanas, mulai mencair ketika para nelayan saling menawarkan sate dan gulai kambing yang dihidangkan.

"Kerasnya sanksi yang kami rumuskan jika terjadi pelanggaran adalah upaya kami untuk sedikit demi sedikit mengurangi penggunaan mini-trawl dengan menimbulkan efek jera kepada pelanggar. Soal alasan nelayan akan sulit mendapatkan nafkah karena larangan ini, kami menunggu pemecahan teknologi penangkapan ikan yang aman dari mereka yang berpendidikan tinggi," jelas Nurudin, pemuda Ujungpangkah yang prihatin pada nasib nelayan.

inu

No comments: