Friday, February 22, 2008

gas

USAI shalat isya di Desa Rahayu, Kecamatan Soko, Tuban, Jawa Timur (Jatim). Rumah warga yang umumnya berdinding anyaman bambu tertutup rapat. Tidak terlihat aktivitas penduduk di luar rumah yang redup kekuning-kuningan karena nyala bola lampu berdaya rendah. Meskipun malam itu langit cerah, warga memilih mengurung diri di dalam rumah.

TIDAK ada keceriaan anak-anak menyambut terangnya bulan dan bertaburannya bintang di langit seperti digambarkan dalam lagu-lagu dolanan. "Warga memilih berada di dalam rumah karena tidak tahan dengan bisingnya suara dari dua sumur minyak itu dan bau gas H2S (hidrogen sulfat-Red), gas berbahaya yang menyengat hidung," papar warga sambil bergegas pergi dengan sepeda kumbangnya, Jumat (3/5) malam.

Alasan senada mengenai sepinya desa berpenduduk sekitar 2.000 jiwa itu diungkapkan juga oleh belasan pemuda yang malam itu berkumpul di balai bambu di sekitar lokasi dua sumur minyak. Kondisi ini menurut mereka sudah berlangsung sejak tahun 1998, saat eksploitasi minyak mentah oleh Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Devon dimulai di desa tersebut.

Berbagai upaya telah dilakukan warga untuk menyampaikan keluhan tersebut kepada pihak JOB yang dalam beberapa kesempatan sering ingkar janji. Puncak keluhan disuarakan dalam lima tuntutan dan disampaikan dua hari berturut-turut tanggal 1-2 Mei 2002 yang berujung pada pembubaran dengan kekerasan oleh aparat Kepolisian Wilayah (Polwil) Bojonegoro dan Kepolisian Resor (Polres) Tuban, persis seusai negosiasi yang tidak menghasilkan kesepakatan apa pun.

Selain mengakibatkan puluhan warga luka-luka, pembubaran dengan berondongan peluru karet aparat, Kamis malam itu membuat lima warga luka tembak serius. Mereka adalah Karnoto Paetam (40), Suparji (23), Bayan Sauri (35), Rahmat (30), dan Kanan (39). Sampai sekarang, tidak jelas bagaimana penyelesaian kasus penembakan ini.

Lima warga yang menjadi korban ini menandai lima tuntutan mereka yang tidak dikabulkan JOB dalam negosiasi, yaitu pemberian kompensasi Rp 20.000 per warga per hari, pembangunan poliklinik, kontribusi untuk desa Rp 100 juta per bulan, sewa tanah sampai radius 500 meter, dan pemberian kesempatan bekerja sebagai tenaga kasar di perusahaan yang memproduksi sekitar 12.000 barrel minyak mentah per hari.

JEDA tiga hari setelah negosiasi tanpa hasil dan pembubaran aksi warga Rahayu dengan kekerasan oleh polisi, dilakukan negosiasi lanjutan antara wakil warga dengan JOB, Senin lalu. Karena sudah diwanti-wanti baik oleh aparat Pemerintah Kabupaten Tuban dan aparat kepolisian sejak sehari sebelumnya agar tidak menggelar aksi di sekitar lokasi negosiasi di Mudi PAD B, warga hanya berkumpul di pertigaan pasar desa dan di balai desa. Kumpulnya warga yang menunggu hasil negosiasi ini pun mendapat penjagaan polisi.

Penjagaan jauh lebih ketat di lokasi negosiasi. Puluhan aparat Polsek Soko, Polsek Rengel, Polres Tuban, dan Koramil Soko, bersiaga dengan menegur dan mendekati setiap orang yang mencurigakan di sekitar lokasi. Sementara di dalam ruangan, 13 wakil warga selama lebih dari enam jam bernegosiasi dengan pihak JOB yang diwakili Field Manajer Harun Siregar. Bertindak sebagai moderator yang memosisikan diri di pihak JOB adalah Kepala Satuan Reserse Polres Tuban Ajun Komisaris Kartono.

Meskipun berjalan alot, akhirnya Field Manajer JOB Harun Siregar sebagai pihak pertama dan Kepala Desa Rahayu M Solikhin sebagai pihak kedua bersedia menandatangani nota kesepakatan yang berisi kesediaan pihak pertama memberikan bantuan pengembangan masyarakat (community development), diadakan penelitian oleh pihak independen dengan memperhatikan saran-saran dari Dinas Lingkungan Hidup Tuban, dan apa pun hasil penelitian tersebut akan menjadi tanggung jawab pihak pertama. Rekrutmen tenaga kerja akan memperhatikan sumber daya manusia yang ada di sekitar lokasi operasi JOB, dan penyampaian aspirasi masyarakat di waktu mendatang tidak dalam bentuk demonstrasi.

Khusus untuk poin pertama nota kesepakatan tersebut, JOB pada tahun 2002 bersedia memberi kontribusi ke Desa Rahayu berupa 300 ekor kambing, program pompanisasi/irigasi seluas sekitar 40 hektar sawah petani di sekitar Flare CPA, dan klinik keliling untuk kesehatan warga yang dikoordinasikan dengan Dinas Kesehatan Tuban. Alokasi dana untuk kontribusi ini mencapai Rp 583 juta, dan JOB yang akan ditinggal hengkang Devon-digantikan oleh Petro China sebagai operator-berjanji akan melanjutkan kontribusi serupa tahun 2003.

HASIL kesepakatan yang sebenarnya masih jauh dari harapan dan tuntutan warga ini setidaknya untuk sementara waktu mampu meredam kemarahan mereka. Meskipun belum tahu kapan realisasi kontribusi JOB tersebut, warga Rahayu kini lebih tenang. "Kami menunggu pelaksanaan program tersebut dan semua tergantung Devon," ujar Solikhin.

Lebih lanjut Kepala Desa Rahayu ini mengatakan, meskipun telah ada kesepakatan dalam negosiasi lanjutan tersebut, tuntutan warga berkaitan dengan buangan gas H2S dan kebisingan mesin yang menjadi pokok utama tuntutan tidak terbatalkan dan meminta pihak independen segera bekerja dan menyerahkan hasilnya kepada JOB yang bersedia bertanggung jawab apa pun hasilnya.

Seperti pengakuan sejumlah warga yang umumnya petani, buangan gas H2S telah menimbulkan banyak korban mulai dari pusing, mual, muntah, dan bahkan pingsan. Warga mengalami hal itu tidak hanya ketika sedang menggarap sawah, tetapi juga ketika sedang berada di dalam rumah.

"Dalam hari-hari terahir seusai demonstrasi, kami merasakan adanya pengurangan buangan gas H2S dari dua sumur tersebut. Kami enggak tahu, mungkin Devon sudah mulai sadar. Tetapi, bagaimanapun penelitian oleh pihak independen harus tetap dilakukan dan segera ditindaklanjuti hasilnya, karena gas tersebut masih tetap mengancam kami yang tinggal dekat lokasi," tegas Solikhin.

inu

No comments: