Friday, February 22, 2008

sampang

NIPAH, nama desa ini mungkin segera muncul di benak ketika seseorang ditanya mengenai Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. Tidak mengherankan memang, karena beberapa warga Sampang mengemukakan hal yang sama ketika diminta menyebutkan kata yang menyertai kabupaten mereka. "Ya, Nipah," ujar Imron, mantan Kepala Desa Nipah setelah agak lama berpikir.

Tragedi Nipah tahun 1993 yang mengemuka karena perlawanan petani Sampang atas rencana pembuatan waduk di areal tanah garapan mereka ini begitu membekas. Karena itu, Sampang kemudian identik dengan tragedi tersebut, meskipun dalam perjalanan sejarah, perlawanan lain dalam siklus lima tahunan yang umumnya menyertai pemilihan umum (pemilu) sejak tahun 1982 juga terjadi.

Namun, apakah hanya karena tradisi perlawanan ini kabupaten yang berpenduduk 750.045 jiwa ini dikenal? Ternyata tidak. Sampang juga dikenal karena kemiskinan dan ketertinggalannya jika dibanding 38 kabupaten lain di Jawa Timur (Jatim). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim tahun 2001, kabupaten yang terbagi dalam 12 kecamatan ini merupakan yang termiskin dengan jumlah penduduk miskin 342.725 jiwa atau 45,69 persen.

Indikasi kemiskinan Sampang secara sederhana tercermin dari besarnya persentase anak usia sekolah (6-15 tahun) yang tidak sekolah 36 persen. Artinya, dari 128.790 anak usia sekolah di Sampang, 46.821 anak tidak sekolah. Penyebabnya beragam, tetapi satu penyebabnya bisa dipastikan, masalah ekonomi berupa kendala biaya.

MENYADARI ketertinggalan ini dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang menyusun beberapa program dan persiapan kebijakan dengan penekanan untuk mengejar ketertinggalan. "Beberapa persiapan yang kami buat sudah disetujui dan disahkan oleh DPRD," jelas Kepala Badan Perencanaan Pem-bangunan Daerah (Bap-peda) Sampang Asyhar, Selasa (19/3/2002) di Sampang.

Menurut alumnus Universitas Brawijaya Malang tahun 1983 itu, persiapan yang telah disahkan DPRD adalah rencana strategis tahun 2002-2006 dan penataan 36 lembaga sesuai kebutuhan daerah. Mengenai pembiayaan yang tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahun 2002, saat ini sedang dalam proses pengesahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sampang.

Dari RAPBD tersebut, Pemkab mengalokasikan 40 per-sen yang jumlahnya sekitar Rp 75 milyar untuk anggaran pembangunan. Pendidikan yang diprioritaskan dalam anggaran pembangunan ter-sebut mendapat alokasi dana Rp 15 milyar dengan perincian: untuk pendidikan formal Rp 7,581 milyar, perbaikan dan pengadaan sarana dan prasarana sekolah Rp 2,279 milyar, dan pendidikan nonformal sekitar Rp 2 milyar.

Sangat beralasan, kenapa Pemkab Sampang menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama dalam anggaran pembangunan. Selain karena minimnya anak usia sekolah yang duduk di bangku sekolah, mendesaknya penanganan pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Sampang. Pemkab merasa, jika kualitas SDM meningkat, potensi daerah bisa dikem-bangkan secara optimal.

Potensi daerah yang belum optimal dikembangkan adalah hasil perkebunan jambu air di Kecamatan Camplong, biji mete yang tersebar di beberapa kecamatan, bentul, tanah lempung untuk kerajinan, jamu tradisional, tambang posfat, dan wisata laut. Karena kekurangan tenaga terampil dan sentuhan teknologi, nilai ekonomi potensi tersebut masih rendah. Untuk jambu air, mete, dan bentul misalnya, masyarakat menjualnya secara gelondongan ke tangan tengkulak tanpa diolah atau dikemas terlebih dahulu.

Sebagai prioritas, tujuan yang hendak dicapai selama kurun waktu lima tahun sangat konkret, yaitu meningkatkan angka transisi murid sekolah dasar (SD) yang melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama (SMP). Melalui program ini, pemkab berharap, angka transisi meningkat dari 42 persen tahun 2001 menjadi 75 persen tahun 2006.

ITU semua adalah rencana yang masih harus dibuktikan dalam pelaksanaannya, lantaran kendala untuk mewujudkannya bukannya sedikit dan mudah. Kendala biaya mungkin bisa ditutup dengan pembebasan iuran sekolah dengan dana RAPBD. Pemkab merencanakan pembebasan biaya pendidikan untuk anak usia 6-15 tahun pada tahun 2002-2003.

Kendala yang lebih sulit adalah perubahan sikap masyarakat terhadap pendidikan. Secara umum, masyarakat Sampang menganggap pendidikan untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hal yang tidak penting. Mereka menganggap pendidikan agama sudah cukup. Karena itu, sikap yang tertanam adalah bagaimana dengan segala upaya bisa menunaikan ibadah haji.

Hal ini terbukti dengan sedikitnya lulusan sekolah lanjutan jika dibanding jumlah mereka yang berangkat haji. "Sikap utama orang Sampang adalah bekerja untuk bisa pergi haji. Apa pun akan mereka lakukan untuk bisa mencapai tujuan ini. Nah, jika sikap ini dilengkapi juga dengan sikap bekerja untuk pendidikan anak, niscaya kualitas SDM juga akan meningkat," ujar Asyar.

Untuk mengikis kendala tersebut, pemerintah berencana melibatkan para kiai dalam program. "Kami berharap ada sinergi antara pemerintah dan para kiai sehingga sikap dan pola hidup masyarakat dapat berubah untuk mementingkan pendidikan," ujar Bupati Sampang Fadhilah Budiono.

Seiring dengan rencana ini, Pemkab Sampang juga dihadapkan pada kendala lain, yaitu kenyataan minimnya jumlah guru di kabupaten yang tandus dan berbukit-bukit ini. Rata-rata, satu SD hanya ditangani dua atau tiga guru saja. Idealnya satu SD membutuhkan sembilan guru sebagai ke-pala sekolah, guru agama, guru olahraga, dan enam guru kelas. Karena itu, untuk me-ningkatkan kualitas lulusan, sedikitnya dibutuhkan 1.750 guru untuk sekitar 300 SD di 180 desa.

Meskipun tetap mengha-rapkan bantuan tenaga pengajar dari luar kabupaten, pemkab sedang mengupayakan pendidikan calon guru SD dengan merekrut lulusan SMA dan STM di Sampang. "Kami tidak bisa terus-menerus mengan-dalkan guru dari luar. Untuk itu program pendidikan calon guru ini akan kami upayakan terus sampai kebutuhan terpe-nuhi," tutur Fadhilah.

SECARA umum seperti beberapa kabupaten lain, Kabupaten Sampang pun dihadapkan pada masalah klasik berkaitan dengan otonomi daerah, yaitu dana dan kesiapan aparatur. Untuk yang kedua, kabupaten dengan luas darat-an 1.233 km2 ini baru membentuk otonomi daerah awal Maret 2002. Pembentukan ini tertunda karena tertahannya pelantikan Fadhilah selama lebih dari satu tahun.

Karena baru dlantik, beberapa aparat yang ditemui belum paham mengenai tugas pokok dan fungsinya. "Sementara ini kami hanya mempelajari undang-undang keotonomian dan belum tahu tugas dan fungsi kami karena baru saja dilantik," tutur Kepala Subbagian Otonomi Daerah Kabupaten Sampang Ach Boechari.

Mengenai dana, pemkab masih sangat bergantung pada dana alokasi umum (DAU) pemerintah pusat. Pendapatan asli daerah (PAD) Sampang setelah diupayakan dengan penertiban retribusi ratusan pasar tradisional dan pajak papan reklame tidak lebih dari Rp 5 milyar, padahal total RAPBD 2002 sekitar Rp 180 milyar. Artinya, hampir sepenuhnya rencana pelaksanan program pembangunan tergantung pada pemerintah pusat.

inu

No comments: