BERTEMPAT di depan Bale Cilik, Desa Lumpur, Kecamatan Gresik, Gresik, Jawa Timur (Jatim), sekitar 100 anggota keluarga nelayan Lumpur berkumpul mengelilingi perahu tradisional khas Lumpur yang baru selesai dibuat, Senin (8/4/2002). Kumpulan orang makin bertambah saat modin mulai membacakan doa memohon keselamatan bagi perahu dan nelayan yang akan menggunakannya.
Usai doa yang dilakukan di atas perahu baru tersebut, nasi tumpeng, lauk pauk, dan sayurannya, kemudian diedarkan kepada semua yang hadir. Suasana gembira penuh keakraban segera tercipta dalam makan bersama yang dimaksudkan untuk selametan perahu baru yang diberi nama Sedep Malem tersebut. Masing-masing orang saling menawarkan makanan yang ada di depannya kepada yang lain.
Sementara sebagian besar nelayan menikmati nasi tumpeng yang terhidang, beberapa dari mereka yang telah selesai makan mencari tambang dan beberapa papan kayu. Setelah dapat, tambang diikatkan pada perahu dan beberapa papan kayu disusun menuju tepi Selat Madura yang berjarak sekitar 30 meter dari lokasi selametan.
"Ayo ditarik ramai-ramai ke laut," ujar seorang nelayan setelah semua selesai makan. Segera, perahu baru dengan panjang 9,5 meter itu ditarik ke tepi selat. Karena memotong jalan raya, dua nelayan di depan menghentikan truk peti kemas dan beberapa kendaraan yang akan melintas. Sepuluh menit kemudian, perahu yang masih penuh dengan sesaji seperti bunga mawar, bunga pohon jambe, dan dua batang tebu itu sudah berada di tepi Selat Madura dan siap dicoba.
"LEGA, akhirnya selesai juga perahu pesanan tersebut," ujar Subkan (50), nelayan yang sekaligus pembuat perahu tradisional khas Lumpur tersebut. Dibutuhkan 40 hari untuk menyelesaikan pembuatan perahu yang masuk kategori besar dengan panjang 9,5 meter. Selama waktu itu, pria yang sejak remaja menjadi nelayan tersebut tidak turun ke laut mencari ikan.
"Akan tetapi, karena saya juga senang mengerjakannya, tidak melaut untuk sementara pun enggak apa-apa," paparnya sambil berjalan menuju Bale Cilik tempat diadakannya selametan. Untuk perahu besar tersebut, dibutuhkan dana Rp 20 juta. Sementara untuk perahu yang lebih kecil dengan panjang 7,5 meter, dibutuhkan dana Rp 15 juta.
Uang itu sebagian besar digunakan untuk membeli bahan utama berberapa jenis kayu. Kayu-kayu yang diperlukan adalah jati, besi, ulin, dan bung. Kayu jati yang dibutuhkan dua sampai tiga meter kubik, dibeli di Lamongan. Harga kayu jati sekitar Rp 5 juta per meter kubik. Keuntungan yang diperoleh dari setiap pesanan sekitar Rp 2 juta.
Setelah semua kayu siap, pekerjaan membuat perahu dimulai. Diawali dengan membuat dasar perahu dari kayu besi yang keras. Setelah itu, kayu jati dengan ketebalan 3,5 cm dan 6 cm dipanasi dengan obor untuk dilengkungkan dan dipuntir. "Jati menjadi pilihan karena bentuknya cenderung tetap setelah dipanasi untuk dilengkung atau dipuntir," jelas Subkan.
Melengkungkan dan memuntir kayu jati merupakan pekerjaan tersulit. Untuk satu papan, diperlukan waktu minimal satu hari satu malam, padahal dibutuhkan empat papan untuk lambung sir perahu. Sementara melengkungkan dan memuntir papan-papan kayu, dibuat gading sebagai tulang perekat papan-papan tersebut. Kekuatan perahu terletak pada gading ini. Makin kokoh gadingnya, makin kuat dan tahan lama perahu tersebut.
Untuk semua perahu yang pernah dibuat Subkan, rata-rata usia pakainya antara 10 sampai 20 tahun. Selain perawatan, kekuatan perahu bergantung jenis kayu, dan jati adalah yang paling kuat. "Itu perahu pertama buatan saya. Sudah tidak layak untuk melaut, karena kayu yang dipakai adalah jenis meranti yang harganya lebih murah," ujarnya sambil menunjuk ke arah perahu yang sudah pudar catnya di tengah puluhan perahu lain.
KEAHLIAN membuat perahu dimiliki Subkan karena dia nekat mencoba-coba. Kenekatan ini kemudian berbuah. Kini, Subkan menjadi tumpuan lebih dari 100 pemilik perahu yang tergabung dalam kelompok nelayan Bale Cilik, Desa Lumpur. Selain melayani pesanan membuat perahu, umumnya pemilik perahu meminta dia memperbaiki perahu dengan memasang gading baru agar perahu yang sudah berumur bisa kokoh kembali dan aman dipakai melaut.
Saat ditanya peralatan apa yang digunakan untuk membuat atau memperbaiki perahu, ia tampak bingung. "Apa ya, enggak ada yang istimewa. Saya cuma memakai peralatan menukang seperti gergaji, golok, pahat, dan bor. Enggak ada yang aneh-aneh. Untuk mengukur dan menjaga keseimbangan, saya pakai perkiraan saja, enggak pakai meteran sama sekali," ujarnya.
Meskipun demikian, dari 13 perahu yang telah dibuatnya, tidak ada satu pun yang bermasalah, karena perahu-perahu tersebut dibuat dengan "pakem" yang sudah bertahan ratusan tahun. Pakem itu adalah model perahu tradisional Lumpur yang khas dengan cantikan menusuk di depan dan belakang perahu.
"Sejak zaman kakek-kakek saya, ya seperti itu model perahunya, enggak berubah, karena memang sudah teruji kekuatannya," ujar pria yang seluruh keluarganya turun-temurun bekerja sebagai nelayan. Perubahan yang dibuat biasanya berkaitan dengan hiasannya saja. Hiasan yang dimaksud adalah mahkota perahu yang disebut bejanggan, cantikan yang menyatu dengan dasaran perahu, topeng, dan tapak wangun yang merupakan ciri setiap perahu untuk membedakannya dengan perahu nelayan lain.
Sentuhan modernisasi pada perahu-perahu tradisional Lumpur terjadi tahun 1980-an, saat para nelayan menggunakan mesin sebagai penggerak perahu. Ini pun tidak mengubah sama sekali bentuk perahu, kecuali menanggalkan songgo layar yang sebelumnya menjadi salah satu cirinya. Bersamaan dengan ini, rumah-rumahan yang dibangun di atas perahu tidak ada lagi. Demi praktisnya, para nelayan menambah terpal plastik yang bisa digulung untuk melindungi diri dari teriknya sinar Matahari atau dinginnya embun pagi.
Mengenai hasil tangkapan, nelayan Bale Cilik yang jumlahnya sekitar 500 orang sangat bergantung pada alam dan musim. "Dua bulan terakhir susah sekali mencari ikan. Tetapi, bersamaan dengan selesainya musim hujan, hasil tangkapan beberapa hari terakhir mulai meningkat dengan nilai Rp 15.000. Lumayan, bisa untuk hidup," ujar Taufik, nelayan yang turut mencoba perahu Sedep Malem.
inu
Friday, February 22, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment