Friday, February 22, 2008

rp 1.500

TEPAT pukul 12.00 di pabrik PT Golden Rubberindo I (New Era), Gresik. Tiga kali bunyi bel keras menyerupai bunyi sirene pertanda kebakaran, membuat ribuan buruh yang umumnya perempuan berhamburan keluar dari dalam lingkungan pabrik. Sebelum menuju gerbang yang dijaga dua petugas satuan pengamanan (satpam), para buruh meninggalkan keplek (tanda pengenal) di pos.

Beberapa saat kemudian, puluhan warung makan yang sebelumnya sepi di sepanjang Jalan Mayjen Sungkono itu riuh karena penuh dijejali buruh. "Soto dua enggak pakai sambel." "Bakso bening satu." "Nasi pindang, sambelnya yang banyak." "Nasi kuah tahu sama sayur lodeh." "Saya biasa, Bu, nasi sama kering tempe."

Teriakan pesanan makan siang itu terlontar dari para buruh bersahut-sahutan di setiap warung makan. Tidak jauh berbeda, gerobak para pedagang makanan yang khusus mangkal pada jam istirahat antara pukul 12.00-13.00 di sekitar pabrik juga dikerumuni para buruh yang memesan makanan yang mereka jajakan, seperti rujak dan kerupuk upil.

Beberapa saat kemudian, bel keras kembali berbunyi pertanda waktu istirahat tinggal 30 menit. Mereka umumnya sudah selesai makan, dan lalu berkelompok ngerumpi di trotoar atau di sekitar warung tempat mereka makan. Pukul 12.50, mesin pabrik sandal itu dihidupkan. Gemuruh bunyi mesin seakan menjadi perintah bagi satpam untuk segera membunyikan bel.

Para buruh lalu bergegas masuk ke dalam pabrik. Tepat pukul 13.00, bel dibunyikan tiga kali lagi sebagai pertanda jam istirahat sudah selesai, diikuti penutupan gerbang pabrik setinggi tiga meter oleh satpam. Jalan Mayjen Sungkono yang sebelumnya ramai, kembali sepi. Itulah rutinitas yang terjadi setiap hari.

NAMUN, Senin (3/6/2002), rutinitas itu tidak terlihat karena aksi mogok seluruh buruh yang berjumlah 3.500 orang di pabrik itu. Tidak ada kegiatan produksi, sehingga gemuruh bising mesin terhenti. Bunyi bel keras tidak terdengar lagi. Dengan spanduk, poster, dan selebaran, para buruh menuntut perbaikan upah.

"Tidak muluk-muluk, kami tahu posisi kami. Karena itu, dengan mogok ini kami hanya menuntut hak minimal kami saja agar dipenuhi pihak manajemen," ujar buruh bagian material, Syaiful (21).

Seperti tertera dalam selebaran, tuntutan para buruh adalah kenaikan uang makan menjadi Rp 2.500 dari Rp 1.500 per hari, uang kopi menjadi Rp 1.000 dari Rp 350 per hari, uang premi hadir Rp 15.000 dari Rp 8.000 per hari, dan uang pembalut sebesar dua kali gaji pokok dua hari.

Alasan tuntutan para buruh sangat mendasar, yaitu kenaikan harga kebutuhan sehari-hari yang seakan berlomba dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). "Bisa apa zaman sekarang dengan uang makan Rp 1.500 per hari?" tanya Hani yang sudah lima tahun menjadi buruh di pabrik itu.

Selain karena minimnya upah, para buruh juga mengeluhkan manajemen yang tidak tunduk pada peraturan perundangan yang ada, seperti pemberian pesangon terhadap buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Karena itu, para buruh menuntut dibuat kembali kesepakatan kerja bersama (KKB) yang sesuai dengan peraturan perundangan.

SELANG beberapa saat setelah tuntutan buruh disampaikan, manajemen menyebarkan selebaran yang berisi "ancaman" bagi para buruh. Manajemen menilai mogok kerja itu ilegal, dan akan diambil sikap tegas terhadap mereka yang tetap mogok kerja.

"Segala tuntutan tidak dapat diterima di saat kondisi ekonomi atau pasar seperti sekarang. Manajemen telah bekerja sama dengan aparat kepolisian untuk melakukan perlindungan bagi karyawan yang ingin bekerja, dan penangkapan bagi buruh yang melakukan penghadangan terhadap yang ingin bekerja," bunyi selebaran yang ditempel di sepanjang tembok pabrik.

Membaca jawaban manajemen tersebut, para buruh tidak puas. Pimpinan Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan (PUK FSPKEP) PT Golden Rubberindo I Sudirman mendekati para buruh yang mogok. Sudirman dan para pengurus PUK FSPKEP lainnya, yang menurut sejumlah buruh sudah "terbeli", meminta seluruh buruh bekerja kembali. Dia berjanji akan menyampaikan tuntutan para buruh kepada manajemen.

"Sudahlah, ayo tanda tangan di sini dan bikin pernyataan tidak akan mogok lagi," rayu Sudirman yang bekerja di bagian teknik kepada beberapa buruh yang memimpin mogok. Dengan janji bahwa PUK FSPKEP akan memperjuangkan tuntutan mereka, para buruh menghentikan mogok namun tidak bersedia membubuhkan tanda tangan di kertas kosong.

Hari berikutnya, buruh kembali bekerja dalam penjagaan luar biasa dari aparat Kepolisian Resor (Polres) Gresik dan beberapa anggota TNI dari Korem 084 Surabaya. Para petugas itu bahkan datang lebih awal ketimbang buruh ke pabrik sandal tersebut. "Kami hanya memenuhi permohonan perusahaan untuk memastikan tidak akan ada lagi aksi mogok para buruh," ujar polisi yang berjaga sejak pukul 07.00.

Lalu, bagaimana dengan tuntutan para buruh yang dimandatkan kepada PUK FSPKEP untuk disampaikan ke pihak manajemen? "Belum ada kelanjutan. Belum ada meeting," ujar Sudirman dengan nada tinggi ketika dihubungi melalui telepon. Sebelumnya, dia selalu menolak menerima dengan alasan sibuk, juga ketika istirahat.

Bagaimana dengan buruh yang sehari sebelumnya mogok? Bagai tidak pernah terjadi apa-apa, para buruh kembali bekerja seperti biasa. Tiga buruh yang dituduh sebagai provokator, yaitu Kendar, Toha, dan Alfin, dipaksa manajemen perusahaan untuk menandatangani surat pengunduran diri alias terkena PHK.

Ditanya, bagaimana langkah berikutnya dalam menyampaikan tuntutan yang sebelumnya disampaikan dengan mogok kerja, beberapa buruh hanya pasrah. "Kami enggak heran. Akhirnya pasti seperti ini, manajemen enggak akan mempertimbangkan tuntutan kami. Ya, daripada mogok enggak dapat upah sama sekali, lebih baik masuk kerja meskipun upahnya selalu tidak mencukupi. Coba saja bayangkan, bisa apa dengan uang makan Rp 1.500 per hari?"

inu

No comments: