Friday, February 22, 2008

peluru karet

JATUHNYA puluhan korban karena tembakan peluru karet, pukulan popor senapan, dan tendangan sepatu lars aparat tidak sedikit pun menyurutkan semangat sekitar 2.000 warga Desa Rahayu, Kecamatan Soko, Tuban, Jawa Timur.

Mereka tetap bertekad untuk menuntut kompensasi atas kerugian yang mereka tanggung sejak 1998 saat dimulainya eksploitasi minyak mentah oleh Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Devon di desa mereka.

Bahkan, usai insiden pembubaran aksi damai ratusan warga di depan gerbang JOB secara paksa dengan kekerasan oleh aparat Kepolisian Wilayah (Polwil) Bojonegoro dan Kepolisian Resor (Polres) Tuban, Rabu (1/5) malam, ratusan warga berniat kembali menutup gerbang. Namun, karena masih dimungkinkan negosiasi lanjutan, warga memilih menyimpan energi.

"Meskipun puluhan warga menjadi korban, warga bukannya tambah takut. Kami akan tetap memperjuangkan tuntutan kami, karena sekarang tidak ada warga yang takut," ujar Mujiono (31), anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) Rahayu, Jumat malam. Saat ditemui, sejumlah warga sedang omong-omong mengenai kasus ini di rumahnya.

Dari puluhan yang terluka karena pembubaran aksi secara paksa dengan kekerasan oleh aparat, lima warga kondisinya masih parah. Mereka adalah Karnoto Paetam (40), Suparji (23), Bayan Sauri (35), Rahmat (30), dan Kanan (39). Selain karena peluru yang membuat luka berdarah di tubuh dengan diameter tiga centimeter dan memar di sekitarnya, wajah mereka tembam dan ada yang giginya rontok karena popor senapan.

"Sampai sekarang, Karnoto belum bisa duduk karena luka tembak yang cukup parah di pantat," ujar Sutaji (30), petani yang ditemui Jumat malam bersama belasan pemuda desa di balai bambu di depan lokasi sumur minyak yang bising dan menimbulkan bau H2S yang menyengat. Ia sendiri belum pulih dari luka tembak di kaki kanannya. Memar kehitaman yang diobatinya sendiri masih nyeri dan membekas.

Aksi damai yang dilakukan warga dengan memblokir gerbang masuk JOB berawal dari keinginan warga menagih janji penambang minyak mentah itu yang belum juga terealisir. JOB antara lain berjanji mengaspal jalan desa, membuat penerangan jalan, membuatan lapangan olahraga, membangun gedung Taman Kanak-kanak (TK), dan merekrut tenaga kasar untuk sopir dan produksi.

"Mereka menjajikan itu tahun 2000 dan sampai sekarang, satu pun tidak terealisir," ujar Mujiono.

Untuk menanyakan realisasi janji itu, puluhan warga Desa Rahayu mendatangi kantor JOB Devon-Pertamina di Bojonegoro. Warga ingin "menjemput" petinggi JOB ke desa mereka untuk negosiasi dengan wakil warga perihal lima tuntutan mereka karena eksploitasi minyak mentah yang merugikan warga desa.

Tuntutan mereka adalah pemberian kompensasi Rp 20.000 per warga per hari, pembangunan poliklinik, kontribusi untuk desa Rp 100 juta per bulan, sewa tanah sampai radius 500 meter, dan pemberian porsi kesempatan bekerja sebagai tenaga kerja kasar. Oleh karena tidak berhasil "menjemput", warga pulang dan memblokir gerbang masuk JOB di wilayah desa mereka dengan mendirikan terob untuk berteduh.

Usai Magrib, aparat kepolisian dari Polres Tuban yang didukung Polwil Bojonegoro, minta warga bubar, namun warga menolak. Dengan alasan kemanusiaan, menjelang larut malam, blokir dibuka untuk memberi kesempatan karyawaan JOB pulang. "Secara bergantian, warga tetap berdiam di depan gerbang itu," tutur Saekan (48) yang berdiam di gerbang bersama puluhan warga lain hingga dini hari.

Aksi pemblokiran gerbang kemudian berlanjut hari berikutnya saat akhirnya ada negosiasi antara wakil warga dengan petinggi JOB. Namun, sampai sekitar pukul 20.00, negosiasi tidak menghasilkan kesepakatan mengenai tuntutan warga. Sesaat setelah wakil warga yang bernegosiasi keluar ruangan, dengan peringatan tembakan ke atas aparat membubarkan aksi warga dengan memberondongkan peluru karet ke arah kerumunan warga. Warga tidak melawan dan hanya bisa lari menyelamatkan diri meskipun puluhan warga menjadi korban.

Dalam negosiasi yang tidak menghasilkan kesepakatan tersebut, wakil warga merasa dilecehkan oleh JOB yang meremehkan keluhan dan dampak ekspolitasi yang nyata terasa oleh warga.

"Kami merasa tuntutan kami wajar. Untuk tanaman kedelai dan waluh yang jadi mandul karena dampak eksploitasi tersebut saja mendapatkan ganti rugi, meski pengurusannya ruwet, masak kami yang manusia tidak mendapat kompensasi yang layak. Kami tidak melihat itikad baik JOB untuk mengakomodasi keluhan nyata warga. Mereka hanya janji sejak sebelum operasi," keluh seorang guru SMPN 1 Soko.

Menurut warga, sejak rencana eksploitasi yang dimulai oleh rekanan Pertamina Santa Fe awal tahun 90-an, masalah sudah muncul berkaitan dengan pembebasan tanah. Warga desa akhirnya melepaskan sekitar 19 hektar tanahnya secara bertahap karena tindakan represif aparat selama proses pembebasan tanah. "Saat pertemuan waktu itu kami disentaki aparat dengan dasar pasal 33 (UUD 45 pasal 33-Red). 'didol ora didol tetep dibor kanggo negoro'," ujar Saekan menirukan bentakan aparat waktu itu.

Tahun 1993, tanah warga yang akan dibebaskan dihargai Rp 2.500 per meter, tahun 1994 Rp 5.000, tahun 1997 Rp 13.500, dan tahun 2000 Rp 35.000. "Warga sebenarnya tidak ingin menjual tanah mereka karena dihargai sangat murah. Namun, karena disentaki aparat dan takut diciduk, warga melepaskan tanahnya. Waktu itu warga enggak berani melawan," jelas Mujiono.

Masalah yang kini mencuat kembali dengan jatuhnya puluhan korban tersebut merupakan akumulasi kekesalan warga yang sama sekali tidak merasakan kemakmuran yang dulu dijanjikan sebelum eksploitasi.

Berbeda dengan awal tahun 90-an, saat ini, warga tidak takut lagi memperjuangkan tuntutan yang menurut mereka sangat masuk akal.

Selain dengan unjuk rasa, keberanian warga tergambar dalam ungkapan tuntutan mereka yang ditulis mencolok di sepanjang ruas jalan utama desa. Selain berisi tuntutan, tulisan dan coretan tersebut berisi kecaman terhadap JOB Pertamina-Devon yang mengabaikan makin melaratnya warga justru setelah operasional sumur minyak mentah tahun 1998.

"Tuntutan akan terus kami perjuangkan sampai ada kompensasi yang layak untuk kami yang setiap saat menghirup H2S dan mendengar bisingnya operasional sumur minyak yang membuat petani pusing, mual, muntah, dan bahkan jatuh pingsan saat menggarap sawah di sekitar lokasi eksploitasi," tegas Mujiono.

Rencananya, Senin (6/5/2002), warga akan kembali melakukan aksi saat negosiasi antara wakil warga dengan pihak JOB dilangsungkan.

No comments: